Share

4. Menemukan Andin

Kami makan dalam diam. Erika bermuka masam sejak duduk didepan meja makan. Aku malas meladeninya apalagi bertanya untuk membujuknya. Entah apa lagi yang ia keluhkan. Pikiranku masih melayang ke mimpi malam tadi. Mimpi yang sangat buruk yang membuatku tidak dapat melanjutkan tidur, dan akhirnya malah duduk di depan laptop memaksakan diri bekerja.

"Sudahlah Jak, jangan terlalu khawatir dengan istrimu itu. Dia pasti balik. Minta cerai sok kecakepan. Badan besar dengan wajah pas-pasan memangnya bisa apa dia." Ibu masih menghina Andin. Memang sedari awal kami menikah, Ibu kurang setuju. Ibu ingin aku menikahi Erika--anak temannya. Ibu kurang suka karena Andin hanya anak yatim piatu dari keluarga biasa. Padahal Ibu tidak tahu, rumah yang kami tempati itu adalah rumah Andin. Bukan rumahku. Bahkan waktu dulu aku di PHK kerja, Andinlah yang membantu perekonomian kami. Ia membuka usaha menjahit, ditambah dengan rumah orang tuanya yang dikontrakkan dan hasilnya selalu ia bagi denganku. Lebih tepatnya untuk Ibu, yang dikira Ibu itu adalah hasil gajihku.

Saat istriku bisa bekerja dan di saat Ibu membanggakanku karena rutin selalu memberinya uang, di sanalah egoku naik. Hingga aku berpikir harus mengurangi jatah bulanan Andin atas saran Ibu dan kalau perlu berhenti memberinya uang, toh ia sudah mempunyai penghasilan sendiri.

"Mas, minta uang dong." Sudah kuduga. Erika tidak akan kuat lama-lama merajuk. Ia pasti akan mengalah demi meminta uang.

"Uang jajanmu yang sebulan memangnya kamu kemanakan?" Rasanya kesal setiap hari diminta uang sama Erika. Baru saja seminggu yang lalu kuberikan jatah bulanannya, sudah minta lagi. Dia berbeda dengan Andin, sangat boros.

"Hm … tinggal dikit. Nggak akan cukup buat belanja," jawabnya terlihat ragu.

Aku menggeleng. Lelah rasanya punya istri yang bisanya cuma minta uang saja, nggak bisa bantu suami.

"Berhematlah, Ka. Kita harus menabung buat lahiran anak kita nanti," tegurku lembut.

"Ya, ini juga untuk persiapan kelahiran anak kita, Mas. Adek mau beli baju dan perlengkapan bayi, nyicil dikit demi sedikit," jawab Erika.

"Lo, kecepatan Nak. Beli baju dan perlengkapan bayi itu nanti, menunggu usia kandunganmu menginjak delapan atau sembilan bulan baru kita beli. Pamali Kalau sekarang," jelas Ibu menegur Erika.

"Owh, gitu. Maaf Bu, saya tidak tahu," jawabnya dengan wajah tertunduk.

"Tapi, Mas, kalau gitu uangnya aja dulu biar Erika simpan, nanti kalau sudah mendekati lahiran, baru Erika pakai buat beli perlengkapan anak kita," pintanya lagi masih bersikeras ingin meminta uang tersebut.

Kubuang napas untuk mengontrol emosi. "Nanti saja, Ka. Biar uangnya Mas yang pegang. Mas berangkat dulu, nanti telat di jalan, takut macet." Kuulurkan tangan ke arahnya. Ia menyambut dengan cemberut, tidak lupa juga ke arah Ibu mencium takzim punggung tangannya.

Hari ini sengaja pergi ke kantor lebih awal bukan untuk bekerja atau ada kerjaan yang harus dibereskan. Melainkan ingin menyempatkan waktu mencari keberadaan Andin. Aku ingin pergi ke rumah Lola--sahabatnya Andin. Hanya dia teman dekatnya yang kuketahui. Hati kecilku mengatakan ia ada di sana. Selain itu juga ingin menghindari Erika yang selalu meminta uang padaku.

"Lola, tunggu!" Kupanggil nama seorang wanita yang ingin masuk ke sebuah rumah yang kusinggahi. Aku yakin orang yang kupanggil itu adalah Lola.

Wanita itu berbalik. Dahinya mengernyit tapi seketika wajahnya berubah masam saat kudekati pintu pagarnya.

"Kamu?" Ngapain di sini?" tanyanya ketus.

Lola bersikap ketus seperti itu pasti dia mengetahui sesuatu. Selama ini aku tidak mempunyai permasalahan dengannya. Kami tidak dekat, hanya bertegur sapa saja bila bertemu. Jadi aneh kalau tiba-tiba ia menampakkan wajah tidak bersahabat begitu padaku.

"Lol, Andin dimana? Dia ada di rumahmu kan? Jujurlah aku tahu," tudingku sembari mengedarkan pandangan ke dalam rumahnya.

Ia tersenyum getir lalu keluar dari pagar rumah dan menutupnya kembali.

"Andin? Kenapa mencari ke sini? Memangnya Andin pergi kemana? Kenapa sampai kamu tidak tahu ia ada dimana dan menuduhku menyembunyikannya di sini?" Pertanyaan beruntun ia lempar ke arahku.

Aku terdiam sesaat mencoba mencerna. Apa benar Lola tidak tahu? Itu tidak mungkin. Pasti dia tahu sesuatu. Sayang jendela rumahnya masih tertutup, jadi kesulitan untuk mengamati isi dalamnya.

"Aku haus, bolehkah aku masuk? Bolehkah duduk sebentar di dalam?" Kucoba bersiasat mencari celah untuk masuk ke dalam rumahnya.

"Maaf, aku tidak bisa membiarkanmu masuk ke dalam rumahku. Kalau kamu butuh minum, tunggulah di sini biar kuambilkan," ucapnya menolak. Ia mengunci kembali pintu pagarnya dan masuk ke dalam rumah.

Rencanaku gagal. Padahal hanya itu cara untuk memastikan apakah Andin ada di dalam rumah tersebut atau tidak.

"Nih, minumlah!" Dengan kasar Lola menyodorkan segelas air putih kepadaku.

Aku harus sabar, jangan emosi. Bukan hasil yang kudapat tapi nihil. Aku tidak ingin pulang dengan tangan kosong. Paling tidak, mengetahui keadaan Andin baik-baik saja itu sudah melegakan.

"Andin!" teriakku dari luar pagar. Aku melihatnya. Aku yakin orang yang baru saja menyibak tirai jendela adalah Andin.

Aku ingin masuk tapi dihalangi Lola. Ia masuk dan mengunci pintu pagarnya.

"Lol, itu Andin kan? Izinkan aku bertemu dengannya. Aku suaminya. Kamu tidak berhak melarang seorang suami menemui istri sahnya," tegasku mengancam Lola di depan pagar yang tertutup.

Lola tersenyum kecut. "Suami? Suami yang mana? Suami zalim yang suka menyiksa batin istrinya? Suami zalim yang tidak adil pada istrinya? Atau suami zalim yang sudah menyakiti hati istrinya hingga dia jatuh sakit? Yang itu? Maaf aku tidak bisa mengizinkannya," tolak Lola tegas dengan bersedekap tangan.

Lola tahu semua. Itu artinya Andin memang ada di rumahnya.

"Andin sakit, Lol? Izinkan aku masuk, Lol, ini semua hanya salah paham. Aku bisa menjelaskan semuanya," jelasku meyakinkannya.

"Sudah, pulanglah. Urus istri hamilmu itu. Nggak usah pedulikan Andin, dan tunggu saja surat gugatannya di rumah. Eh maaf, lupa ngasih tahu. Andin berpesan segera kosongkan rumahnya karena sebentar lagi rumah itu mau dijual. Jadi tunggulah di rumah ibumu tersayang, Paham? Pergilah!" Lola mengusirku dari rumahnya.

Apa? Dijual? Andin mau menjual rumah itu? Aku menggelengkan kepala. Tidak Din, itu rumah kenangan kita, jangan dijual.

"Andin! Andin! Ini Mas Jaka datang Din, keluarlah!" Dengan berteriak aku memanggil nama istriku itu agar ia mau keluar.

"Eh, apaan ini? Pergilah! Jangan buat keributan di pagi hari di rumahku." Lola terlihat panik, aku tidak peduli. Tetap kupanggil nama istri tersayangku.

"Andin …!" panggilku lagi sampai ada tangan seseorang menepuk bahuku pelan.

"Mas, jangan buat keributan di sini, semua bisa dibicarakan baik-baik," ujar seorang laki-laki yang barusan menepuk bahuku pelan. Aku menoleh ke arahnya, memindai penampilannya dan … wajah itu, sepertinya aku mengenalnya. Dia ….

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Jaka sudah menumpang dirumahnya Andin tapi banyak gaya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status