Home / Rumah Tangga / Kado Biru Istriku / 6. Rencana Licik Ibu

Share

6. Rencana Licik Ibu

Author: Syarlina
last update Last Updated: 2023-07-27 03:14:57

Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Kami bertiga duduk mengelilingi meja makan dalam diam. Ibu baru tiba dari rumahnya setelah kuminta datang segera ke sini. Kerumahku.

Diteguknya air dingin yang disediakan oleh Erika sampai habis.

"Ahhh …." Gumamnya setelah menandaskan minuman tersebut.

"Jadi kamu menyuruh Ibu ke sini cuma untuk bermalam? Supaya tetanggamu tidak curiga?" tanyanya dengan tatapan tajam ke arahku. Kuanggukkan kepala mengiyakan.

"Bukan bermalam, lebih tepatnya tinggal sampai Jaka bisa mengumumkan siapa Erika di komplek ini. Kalau kami cuma tinggal berdua dan dalam keadaan Erika yang sedang hamil, maka orang akan menuduh Jaka yang bukan-bukan. Jujur Sekarang pun siapa Erika bakal membahayakan posisi Jaka di perumahan ini."

"Ini nih yang jadi merepotkan Ibu. Sudah dari awal Ibu minta kamu cerita saja sama Andin, jadi nggak kayak gini jadinya. Andin kabur ya kalau tetanggamu tahu, tentu kamu yang dituduh bejat di sini. Seolah Andin pergi dari rumah karena kamu membawa madu baru ke sini, padahal madu lama." Erika mendelik tajam dibilang madu lama.

"Iya kan Sayang. Udah lama dinikahi kan madu lama namanya," ucap Ibu sadar telah menyinggung mantu kesayangan dan mencoba menenangkankannya.

"Ya sudah, Ibu manut saja. Ingat Lo ya, kamu harus bermain cantik. Harus kamu di sini yang menderita seolah Andin kabur demi lelaki lain dan Ibu ceritanya menghadirkan Erika sebagai penghibur kesedihan kamu."

"Penghibur? Maksud Ibu wanita penghibur?"

"Bu--bukan begitu. Maksud Ibu kamu jadi istri yang telah menenangkan hati suami, yang rela menjadi kedua untuk menghibur hati yang terluka, begitu, Er," jelasnya menepis dugaan Erika.

"Iya, tapi boleh dong kalau saya jadi yang pertama bukan kedua lagi?"

"Tentu, setelah masalah Andin selesai dan mereka cerai, Jaka akan mengurus surat-surat ke KUA dan menjadikanmu sah sebagai istrinya di mata negara."

Erika tersenyum setelah mendapat angin segar dari Ibu.

"Ehm … tapi Bu, saya kan lagi hamil, orang pasti curiga kalau melihat perut saya menyembul lebih besar dari wanita normal lainnya, badan saya kan tidak sebesarAndin, bagaimana ini?" tanya Erika. Sekarang ia baru sadar. Dari tadi kemana saja pikirannya baru terbuka.

"Tuh kamu baru sadar kan kenapa Mas tidak suka kamu ke sini. Lihat, gara-gara kamu, Mas harus berpikir keras lagi, harus bersandiwara segala. Argh … pusing kan kepala Mas, mana Andin nggak ketemu lagi," keluhku dengan menyugar kasar rambut. Penampilanku sekarang benar-benar menyedihkan. Baru pulang sudah disuguhkan dengan masalah yang baru. Mana belum mandi, rasanya gerah sekali.

"Oh … jadi Mas sempat mencari Andin? Untuk apa lagi? Mau mengajak dia rujuk, begitu?" Erika berkacak pinggang sambil melotot ke arahku.

Sekarang dia yang berbalik memarahiku. Salah lagi. Kenapa harus keceplosan mencari Andin tadi, Erika itu sangat pencemburu.

"Sudah, ini bukan saatnya bertengkar. Jadi maumu apa Jak? Apa kami harus pulang ke rumah Ibu, begitu?" usul Ibu menengahi.

"Mungkin itu yang terbaik, Bu. Nggak papa kan?" pintaku ragu.

Sejenak Ibu tampak berpikir. "Ya sudah, Er, bereskan bajumu dan ikut Ibu. Heh … Kalau gitu ngapain Ibu bawa baju segala ke sini, merepotkan," keluhnya setuju dengan mencebik. Erika dengan malas-malasan beranjak menuju kamar. Aku mengikutinya.

"Bantuin Mas, ini semua karenamu yang menghambur bajuku sampai berserakan di lantai," titahnya masih dengan bersungut. Salah sendiri sudah meletakkan pakaian di lemari tanpa izinku. Bagaimana kalau Andin pulang mendadak dan melihat ada Erika di sini? Makin kacau kan.

Kuhela napas mencoba sabar menghadapi istri keduaku ini. Ini adalah yang kesekian perbedaan Andin dan Erika. Andin tidak pernah sekalipun memerintahku seperti ini. Urusan rumah selalu dibereskannya sendiri, bahkan bagian memasang selang tabung gas pun dia bisa. Istriku itu memang mandiri.

"Bagaimana, sudah?" Ibu menyembulkan kepalanya dari balik pintu yang terbuka. Lalu ia masuk saja tanpa minta izin terlebih dahulu. Ini juga yang menyebabkan Andin merasa risih saat tinggal di rumah Ibu hingga kami memutuskan membeli rumah dari uang tabungannya. Aku tidak menyangka Andin mempunyai uang tabungan yang banyak. Aku pun tidak menanyakannya karena kupikir ia tidak mempunyai simpanan sebanyak itu.

"Sudah, Bu. Tinggal ganti baju saja." Keningku berkerut mendengarnya.

"Untuk apa, Ka? Pakai baju yang kamu kenakan saja. Kita mau pulang bukan mau kondangan," cibirku menggelengkan kepala.

"Benar, Er. Ini juga sudah malam. Kita keluar sembunyi-sembunyi bukan untuk menarik perhatian orang." Ibu membenarkan ucapanku.

"Iya." Dengan terpaksa ia menurut.

***

"Pak Jaka! Mau kemana?"

"Hah!" Aku sampai terkaget. Bu Dila--tetangga sebelah rumah, bertanya ketika memergokiku memasukkan koper ke dalam bagasi mobil taksi yang telah dipesan.

"Eh, ini--"

"Bu Dila, apa kabar? Baru pulang dari mana?" Ibu maju dan menghampiri Bu Dila.

"Ada Bu Menik, ini habis dari pesta ulang tahun suami saya, Bu. Kapan Ibu datang? Saya kok nggak dengar?"

"Bukan, tadi cuma mampir sebentar ke rumah Jaka. Ini juga mau pulang," jawab Ibu dengan seulas senyum semringah.

Bu Dila memperhatikan Erika. Aku segera mengkode Ibu.

"Ini sepupu Jaka, baru datang dari luar kota, mau saya bawa ke rumah," jelas Ibu menyambut kode dariku.

"Oh, mari Bu, masuk duluan." Bu Dila pamit ingin menutup pagar rumahnya.

Ibu menganggukkan kepala.

"Eh, Jaka. Istrimu kemana? Dari kemarin tidak melihatnya? Kata Bu Susi setelah pergi ingin menjual mesin jahitnya, ia tidak pernah terlihat lagi di rumah ini?" Bu Dila sampai bertanya lewat celah pagar yang telah ditutupnya. Susah juga mempunyai tetangga kepo dengan kehidupan orang lain. Hal begini saja diteliti mereka.

Ibu menatapku. Erika sudah masuk ke dalam mobil taksi atas perintahku. Aku tidak ingin Bu Dila memperhatikan Erika dan bertanya banyak tentangnya.

"Andin sedang liburan bersama temannya. Kasihan dia cuma berdiam diri di rumah, menjahit juga. Mungkin kalau pikirannya tenang dan badannya rileks maka dia bisa secepatnya memberikan saya cucu," jawab Ibu menjelaskan dengan tersenyum simpul. Aku diam saja, kurasa jawaban Ibu masuk akal.

"Oh, iya. Baguslah. Memang Bu Andin perlu hiburan. Kasihan, kadang akhir-akhir ini ia terlihat suntuk dan agak kurusan, kayak orang sakit. Syukurlah Pak Jaka dan Bu Menik cepat tanggap." Aku dan Ibu hanya tersenyum tipis.

"Kok Pak Jaka tidak ikut ya?" Ya Tuhan, ini yang paling malas berbicara dengan ibu-ibu, bertanya tidak hanya sekali tapi ada lanjutannya.

"Maaf, Bu. Kami harus pulang kasihan bapak sopirnya sudah lama menunggu. Nanti kapan-kapan lagi kita bicara," elak Ibu menyelamatkanku dari pertanyaan beruntunnya.

Bu Dila mengangguk dan meminta maaf. Ia pun juga pamit lagi berlalu masuk ke dalam rumahnya.

"Ingat Jak, setelah cerai dari Andin. Jual saja rumah ini dan beli rumah yang baru dengan suasana yang baru juga. Ibu malas kalau harus mendapatkan pertanyaan rempong dari ibu-ibu di sini. Apalagi kalau tidak salah mereka itu lumayan dekat dengan Andin. Jangan sampai mereka menghujatmu dan membencimu, bisa bahaya tinggal di sini. Secepatnya kamu bikin gosip kalau Andin telah selingkuh dengan lelaki lain hingga mereka iba dan berpihak padamu, Jak. Jadi seumpama Andin kembali ia akan mendapatkan julukan baru bukan Andin gendut lagi tapi wanita tidak tahu diri."

Tangan mengepal kuat mendengar rencana licik Ibu. Aku juga tidak suka cara Ibu mengatai Andin gendut. Bagaimana pun Andin adalah istriku juga. Istri yang kusesali telah menyakitinya. Andai … andai aku bisa bersabar sedikit saja, aku tidak perlu menikahi Erika atas sarannya hanya demi secepatnya mendapatkan keturunan.

Andin, maafkan Bang Jaka-mu ini. Abang menyesal, semoga besok Abang bisa membawamu balik ke rumah dan kita memulai hidup yang baru dengan anak yang ada dalam kandunganmu itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
pintar dan hebat si andin. meninggalkan rumah yg dibeli pake tabungannya sendiri buat suami dan gundiknya. semoga dlm dunia nyata g ada wanita tolol kayak si andin ini
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Rasakan penyesalan kamu Jaka karena terlalu menuruti ego ibumu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kado Biru Istriku   Ending

    Aku tidak menjawab permintaan Ibu untuk melepaskan Andin. Sulit untuk menjawab iya. Nyatanya hati ini masih menginginkannya. Hubunganku dengan Ibu sedikit renggang. Bukan maksud menjauhinya. Hanya sedikit menjaga jarak, dengan tidak mengajaknya banyak bicara, seperti yang biasanya kami lakukan. Aku tidak mungkin memusuhinya. Bagaimanapun ia orang yang paling berarti dalam hidupku. Diam-diam aku mengikuti Andin. Namun sayangnya ia lebih sering beraktivitas di dalam rumah. Dari cerita Ibu memang Andin menjadikan sebuah ruangan untuk tempat bisnisnya, dan memang berkembang pesat. Kuakui jiwa bisnis Andin dari dulu memang tinggi. Teknik marketing yang ia kuasai sangat menunjang usaha bisnis yang sedang ia geluti sekarang. *** "Abang tahu kenapa kuajak bertemu di luar?" Andin tiba-tiba menghubungiku untuk meminta bertemu. Aku senang, tapi di satu sisi juga tak tenang kenapa harus di luar? Kenapa tidak dibicarakan di rumahnya saja, karena aku akan kesana bersama Ibu pada hari ini, yai

  • Kado Biru Istriku   Cerita Ibu

    "Namanya Albiru Fauzan. Umur 32 tahun." Aku tidak begitu mendengarkan apa yang dikatakan Karyo, orang suruhanku untuk memata-matai lelaki yang bernama Al. Yang kuingat nama lengkapnya saja. Albiru Fauzan. "Pak!" "Pak!" panggil Karyo membuyarkan lamunanku. "Ya," jawabku terkaget. "Bapak dengar saya kan?" tanyanya menyelidik, menatapku lekat."I--iya. Saya dengar. Lalu apa lagi?" Kuletakkan kembali gelas kopi yang sudah kosong. Kami melakukan pertemuan di sudut cafe, di pinggir jalan. "Dia duda tanpa anak. Istrinya meninggal sejak setahun yang lalu." Karyo melanjutkan ceritanya. "Mempunyai tiga tempat gym dan satu kantor." "Kantor? Kantor apa?" Keningku mengerut mendengarnya. Ternyata banyak juga bisnis yang ia geluti. Salut, semuda ini dia sudah mempunyai banyak usaha. Bisa jadi karena bantuan orang tua. "Oh, itu Pak Jaka. Kantor yang khusus untuk bertemu klien atau apa ya …." Karyo tampak berpikir. "Sudahlah, tidak penting. Terus apa lagi?" selaku memotong ucapannya. Rasa

  • Kado Biru Istriku   Kalah Saing

    Astaga … aku baru ingat kalau laki-laki itu adalah orang yang bertengkar denganku di depan rumah Lola. Sebenarnya bukan bertengkar, hanya saja waktu itu aku tidak suka dia ikut campur dan sok mengurusi urusan kami, hingga Lola merasa benar waktu itu dan memojokkanku di hadapan warga sana. Waktu itu dia ngaku tetangganya Lola? Kalau dia memang tetangga Lola, tapi kenapa bisa akrab dengan Andin? Apa jangan-jangan …. Dengan cepat kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan menekan nomor Lola. "Lol, siapa laki-laki yang sedang dekat dengan Andin?" Aku sampai lupa mengucap salam ketika panggilanku disambut olehnya di seberang sana. Bukan jawaban yang kudapat malah tawa terbahaknya yang ia semburkan. Sialan, dia paling suka mengejekku. "Puas!" serangku ketika tawanya mereda.Lola masih terkekeh kecil di ujung sana. "Lagian kamu menelepon langsung bertanya seperti itu, ya aku tertawa jadinya," jawabnya tidak mau disalahkan. "Seperti itu apanya?" tanyaku tidak paham maksud pertan

  • Kado Biru Istriku   Akhirnya Bertemu

    "An, aku pulang dulu," ucapnya memandangi wajah Andin dengan seulas senyum tipis. Ada yang berbeda dari tampilan Andin. Badannya lebih kurus dari sebelumnya dan dia semakin cantik walau tanpa polesan make up. Sudah lama tidak ketemu membuatku sedikit pangling melihatnya. "Iya Mas, hati-hati ya, dan terima kasih hadiahnya untuk Ghaffar dan Ghani," balas Andin. Ghaffar dan Ghani adalah nama kedua anak kembarku. Siapa laki-laki itu dan apa hubungannya dengan Andin? Aku dan Ibu masih terpaku di depan rumahnya. Andin sama sekali belum menyapa kami. Genggaman tangan Ibu begitu erat di lenganku. Kucoba mengusapnya sebagai upaya menenangkan. "Masuklah!" titah Andin tanpa senyum setelah lelaki itu pergi. Aku dan Ibu masuk dengan ragu. Kami berjalan beriringan dengan Andin yang memimpin di depan. Rangkulan tangan Ibu belum lepas dari lenganku. "Duduklah, saya ke kamar dulu menjemput Ghaffar dan Ghani. Mau minum apa?" Aku dan Ibu saling pandang. "Air putih saja," ucapku diaminkan Ibu de

  • Kado Biru Istriku   siapa Lelaki Itu?

    Lagi aku membujuknya berharap sangat ia mau membantu. Hanya Lola harapanku satu-satunya. "Iya, tunggu saja kabar baik dariku. Kali ini kucoba percaya. Sudah ya, kututup." Lola mematikan teleponnya lebih dulu, obrolan kami pun berakhir. *** Hari ini Ibu sudah bisa pulang. Wajah Ibu masih pucat khas orang sakit. Ini pun terpaksa membawa pulang atas permintaannya. Bujukan untuk memaksanya tetap tinggal sehari lagi, sesuai rekomen dokter ditolaknya dengan alasan sudah bosan. "Jangankan Ibu, Jaka pun sama Bu, bosan ke rumah sakit terus. Bolak-balik kantor, rumah sakit, tapi kalau pulang sekarang, lalu Ibu sakit lagi gimana? Itu malah memperpanjang masa Ibu dirawat di sini." "Kamu sudah bosan ya urus Ibu? Iya, Ibu bisanya nyusahin kamu saja, sudah hancurin rumah tang--" "Hussstttt! Bukan itu, Bu. Bukan salah Ibu, tapi Jaka. Kalau Jaka bisa teguh sama prinsip Jaka, mau dibujuk bagaimanapun harusnya nggak akan goyah. Jadi stop menyalahkan diri sendiri. Ibu juga salah paham, Jaka nggak

  • Kado Biru Istriku   Mencari Cara

    Ibu dimasukkan ke IGD, dan sekarang dalam penanganan dokter. Aku terduduk lemas di kursi depan ruangan, menunggu dengan harap cemas. Ada penyesalan yang teramat dalam, karena ulahku Ibu sampai begini. Seharusnya tidak perlu kutanyakan pertanyaan yang bakal menyakiti hatinya, membuka tabir pesakitannya. "Bagaimana keadaan Ibu saya, dok?" Kuhampiri dengan cepat saat pintu ruangan UGD terbuka. Tampak seorang dokter keluar dari sana. "Anda anaknya Bu Menik?" Kuanggukkan kepala. "Syukur Ibu Menik cepat dibawa kemari. Kalau terlambat sedikit saja maka …." Dokter di depanku menggelengkan kepala dengan membuang napas pelan. "Lalu bagaimana kondisinya, dok?" ulangku karena ingin memastikan keadaannya, kuharap Ibu baik-baik saja. "Alhamdulillah masih bisa diselamatkan, tapi beliau masih dalam pantauan. Kita lihat perkembangannya. Kalau sudah membaik, maka bisa kita pindahkan segera ke ruang perawatan." Aku bernapas lega mendengarnya. Syukurlah Ibu tertolong. Aku tidak boleh ceroboh dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status