Share

Kado untuk Ibu Mertua
Kado untuk Ibu Mertua
Penulis: Siti Aisyah

Buruk Sangka

"Kita mau memberi kado Ibu apa, Nes?" tanya Mas Ramzi--suamiku.

Aku yang sedang mengupas bawang untuk persiapan membuat bumbu kuah bakso hanya mengerutkan dahi mendengar pertanyaannya. "Kado?"

Mas Ramzi yang sedang membuat adonan untuk dibuat bakso itu tersenyum. "Maaf, aku lupa memberi tahu kalau ulang tahun ibu akan diadakan minggu depan. Biasanya anak-anak akan datang dan memberi kado, gitu."

Aku mendesah pelan. Usia ibu mertua tentu sudah tidak muda lagi, tetapi kenapa masih harus mengadakan acara ulang tahun segala. Mana anak-anak harus memberi kado pula. Merepotkan sekali.

Sebenarnya aku paling tidak suka dengan acara seperti ini. Berkumpul bersama keluarga dari Mas Ramzi rasanya tidak menyenangkan. Belum lagi harus mengeluarkan uang untuk membeli kado. Bukannya aku pelit, tetapi keadaanlah yang membuatku harus selalu perhitungan dengan yang namanya pengeluaran.

Aku dan Mas Ramzi baru dua bulan menikah dan sekarang baru merintis usaha jualan bakso. Dulu, kami sama-sama di perantauan bekerja di sebuah pabrik tekstil. Namun, setelah menikah, ibu mertua meminta Mas Ramzi untuk tinggal di sini karena para kakaknya sudah berumah tangga semua dan tinggal di kota.

Mas Ramzi, Mas Akbar, dan Mbak Divya memang lahir dari rahim yang sama, tetapi nasibnya berbeda.

Mas Akbar yang merupakan anak pertama di keluarga ini menjadi manager perusahaan ternama di kota, Mbak Divya punya suami dokter sedangkan suamiku--Mas Ramzi hanya menjadi pedagang bakso, itu pun baru merintis.

Mas Ramzi terpaksa tidak melanjutkan kuliah karena ayahnya meninggal saat ia duduk di bangku SMA sedangkan uang pensiunan sang ayah tidak cukup untuk biaya melanjutkan pendidikan karena masih ada Nella--anak bungsu--yang juga butuh biaya pendidikan.

Aku baru bertemu dengan para kakak ipar sekali saja yaitu dua bulan lalu saat hari pernikahanku dengan Mas Ramzi.

Aku dan mereka jelas sangat jauh berbeda. Mbak Nirma--istri Mas Akbar yang merupakan anak dari pemilik perusahaan tempat Mas Akbar bekerja adalah sosok wanita cantik dan berkelas. Penampilannya selalu cetar dengan baju branded dan perhiasan mewah.

Mbak Divya yang mempunyai suami dokter dan punya mertua kaya raya juga tidak kalah penampilannya.

Bisa dikatakan hanya aku menantu yang dari golongan menengah ke bawah di keluarga ini dan itu membuatku tidak percaya diri jika harus bertemu dengan mereka.

***

Aku gelisah membayangkan hari itu tiba. Bagaimana jika mereka menganggapku siluman yang ada tetapi tidak terlihat, parahnya lagi jika aku dianggap kuman yang harus disingkirkan saat acara yang katanya akan digelar dengan meriah itu.

Kuhela napas pelan. Dalam acara itu pasti ibu tidak mau mengenalkan aku sebagai menantu pada para tamu undangan. Jangan-jangan nanti aku hanya jadi tukang cuci piring. Huh, ingin rasanya aku menghilang saat ini juga agar tidak perlu hadir dalam acara itu nanti.

Di mana aku bisa mendapatkan uang untuk membeli kado ibu mertua? Untuk saat ini uang yang ada masih diputar untuk modal lagi. Lagi pula, kadonya juga tidak mungkin asal-asalan kalau tidak mau dihina oleh para kakak ipar yang sudah pasti memberi kado mahal.

"Nes?"

Aku terlonjak kaget saat tiba-tiba Bu Mila--Ibu mertuaku sudah berada di dekatku dan membuyarkan lamunanku.

Rumahku dan rumah mertua berdekatan, hanya dipisahkan sepetak tanah yang biasa digunakan untuk menaruh jemuran sehingga Bu Mila bisa masuk rumahku kapan saja.

"Minggu depan Ibu mau mengadakan ulang tahun." Ibu mengawali pembicaraan dan aku hanya menanggapinya dengan tersenyum tipis.

"Acara ini ide Divya," imbuhnya.

Aku menelan ludah. Ingin rasanya aku mengatakan 'aku tidak bertanya, Bu' tetapi hanya membatin saja.

Dia pasti bilang agar aku mempersiapkan kado. Apakah dia tidak tahu kalau saat ini keuangan kami sedang tidak baik-baik saja karena kami baru merintis usaha.

"Ini."

Mataku membola saat melihat Bu Mila mengulurkan lima lembar uang seratus ribuan.

"Apa ini, Bu?" tanyaku dengan dahi berkerut.

"Ambil uang ini dan belikan kado untuk Ibu." Ibu meletakkan uang itu di tanganku. "Maaf, bukannya Ibu meremehkanmu dan Ramzi, tetapi saat ini kalian lagi butuh uang sedangkan anak ibu yang lain nanti memberi kado semua. Ibu tidak ingin kamu malu, Nes."

"Ibu?" Aku menatapnya yang tersenyum manis sambil menyentuh lenganku.

"Sekali lagi Ibu minta maaf."

Dadaku menghangat. Mataku mengabur seolah dipenuhi kaca tebal. Demi harga diriku di depan anak-anaknya yang lain, ibu mertuaku rela memberiku uang padahal ia yang berulang tahun.

"Belikan Ibu gamis yang bagus dan nanti dibungkus yang rapi, ya! Ibu percaya kalau kamu yang memilih pasti bagus dan Ibu pasti suka."

Ibu ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status