Share

Kedatangan Mantan

Aku bukanlah tipe orang yang sedikit-sedikit up date status baik di WA maupun F******k. Kalau pun membuat status WA hanya untuk mempromosikan bakso yang kujual. Namun tidak dengan kegiatan sehari-hari yang terkadang tidak begitu penting untuk dibagikan.

Beda dengan Mbak Ulfa yang rajin membuat status hingga tampilan statusnya layaknya benang jahit saking seringnya update. Mulai dari bangun tidur dalam pelukan suaminya, sarapan pagi dengan susu dan roti, mengantar anak sekolah mengendarai mobil, hingga nanti tidur lagi.

Terkadang membuat status di jam 11 malam hanya berupa emoji mata melotot yang menggambarkan dirinya masih terjaga di jam tersebut.

Kutatap nanar barisan huruf di layar ponselku yang baru saja dikirim Mbak Ulfa. Dahiku berkerut. Apa maksud kakak kandungku itu?

Siapa yang pencitraan? Jika aku membuat status aku bahagia itu memang benar adanya.

Bahagia tidak harus dengan memiliki suami dengan jabatan tinggi, naik mobil mewah, memakai tas dan baju branded, jalan-jalan ke luar negeri, atau makan di restoran ternama seperti yang digaungkan Mbak Ulfa selama ini.

Iya, anak kesayangan Ibuku itu selalu bilang padaku kalau kebahagiaan hanya dirasakan oleh orang yang punya banyak uang.

[Kamu menderita menjadi istri Ramzi, kan, Nes? Kamu bisa mengatakan pada orang-orang kalau bahagia, tetapi wajahmu nggak bisa bohong. Raut wajah penderitaan itu jelas terlihat] Mbak Ulfa mengirim pesan lagi.

Aku hanya membaca dan tidak ada niat untuk membalas pesannya. Aku tidak mau kebahagiaan yang kukecap saat ini ternoda oleh pikiranku sendiri gara-gara pesan dari Mbak Ulfa.

Ini hari bahagiaku dan tidak ada seorang pun yang bisa menganggunya. Aku bahagia yang sesungguhnya bukan pura-pura bahagia seperti yang Mbak Ulfa tuduhkan.

Kumasukkan kembali ponsel ke dalam saku lalu kembali fokus mendengarkan ceramah dari ustaz yang sedang berlangsung.

Acara selesai. Ibu mengajak kami para anak dan menantu berdiri di dekat pintu keluar untuk menyalami para tamu undangan seperti saat mereka datang.

Para tamu perempuan menyalami kami sambil mengucapkan selamat pada ibu mertua yang dijawab dengan ucapan terima kasih.

Mas Akbar, Mas Faris, dan Mas Ramzi menyalami para tamu laki-laki di barisan yang lain. Barisan orang yang sedang mengantri untuk bersalaman itu terlihat seperti ular panjang.

Satu per satu para tamu mulai meninggalkan lokasi. Aku bernapas lega melihat orang yang antri tinggal beberapa orang saja. Lumayan pegal kaki ini berdiri dari tadi.

Seorang wanita bertubuh subur memakai gamis brokat perpaduan warna hitam dan merah bersalaman pada ibu sambil bertanya. "Itu siapa, Bu?"

Wanita yang sengaja mengikat kerudungnya ke belakang leher agar kalung besar dengan liontin bulat sebesar sendok yang menjuntai di dadanya itu menunjukku.

Ibu menarik tanganku agar mendekat. Aku yang tadi berdiri di samping Mbak Divya kini ada di samping ibu.

Wanita yang sudah melahirkan suamiku itu tersenyum. "Oh, ini menantuku, istrinya Ramzi, namanya Nesya Humaira, tetapi biasa disapa Ines." Lalu ibu menoleh padaku. "Nes, kenalkan, ini Bu Ambar, masih saudara dengan kita. Waktu pernikahan kamu, beliau nggak bisa hadir karena sibuk. Iya, kan, Bu?"

Dadaku seolah dipenuhi bunga-bunga bermekaran dan kupu-kupu beterbangan kala Bu Mila tanpa ragu memperkenalkan aku sebagai menantu pada wanita dengan pakaian menyilaukan itu.

Aku jadi ingat dengan ibuku sendiri yang terkadang malu mengakui aku sebagai anak kandungnya. Masih terekam jelas dalam ingatanku saat kecil, aku diusir ibuku karena mengikutinya saat ada acara pernikahan tetangga.

Ibu yang menggandeng tangan Mbak Ulfa membiarkanku yang sedang menangis dan saat ada seseorang yang menegur, dengan entengnya ibu bilang kalau aku bukan anaknya. Lalu, aku ini anak siapa, Bu?

Bukan hanya ibu, ayah pun juga tidak menyayangiku seperti pada Mbak Ulfa.

Aku mengulurkan tangan dan tersenyum. "Ines,"

Wanita itu menggerakkan tangannya hingga menimbulkan bunyi gemerincing dari gelang yang beradu di tangannya. Ia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kali dengan tatapan sinis. Salah tingkah ku dibuatnya.

Aku menunduk, menyadari apa yang menjadi fokus tatapannya padaku. Tanganku yang polos tanpa perhiasan berbanding terbalik dengan tangannya yang penuh dengan gelang dan cincin di jari tangannya.

Tadi Mbak Divya sempat memberi tawaran untuk meminjamkan gelang miliknya, tetapi aku tolak. Aku lebih suka tampil apa adanya.

"Oh, jadi ini istrinya Ramzi?" Bu Ambar manggut-manggut seraya tersenyum sinis.

"Iya, Bu." Aku kembali tersenyum.

"Biasa. Nggak ada yang istimewa,"

"Apa maksud Bu Ambar?" tanya Bu Mila dengan suara sedikit meninggi.

Wanita itu tertawa sumbang. "Ya, biasa. Masa' Bu Mila nggak tahu maksudku? Apakah Bu Mila tidak malu punya menantu seperti dia? Wajahnya standar dan nggak punya apa-apa. Dia ini tidak ada apa-apanya dibanding Ririn."

Dadaku bergemuruh mendengar hinaan yang terang-terangan dari wanita itu.

"Dengar, ya, Bu. Jangan hina menantuku ini. Bagaimana pun juga Ramzi sangat mencintainya," kata Bu Mila.

"Bukan begitu, Bu. Saya hanya enggak nyangka aja selera Ramzi seperti ini. Hm, dia seperti membuang berlian demi batu kerikil," ujarnya lagi.

"Ada apa ini, Bu?" Mas Ramzi mendekat yang diikuti Mas Akbar dan Mas Faris.

"Oh, Ramzi." Bu Ambar manggut-manggut dan tersenyum sinis pada Mas Ramzi.

"Iya, ada apa, ya, Bu?"

"Kamu telah meninggalkan Ririn yang laksana berlian berkilauan demi dia yang hanya pecahan beling! Tetapi tak apa, saya tidak perlu menyesali dalam-dalam karena kamu hanya menjadi tukang bakso. Justru Ririn akan punya suami kaya raya yang lebih segalanya darimu," ujar wanita itu seraya mengangkat alis.

"Cukup, Bu! Ines ini menantuku." Tangan ibu terangkat dan merangkulku. "Dia sudah menjadi bagian dari keluargaku. Tak akan kubiarkan siapa pun menghinanya. Menghina Ines sama dengan menghinaku!"

***

"Nes?"

Aku mendongak dan mengusap pipiku yang basah oleh air mata melihat ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamarku.

Setelah kejadian tadi, aku langsung pulang dan menumpahkan air mata di bawah bantal.

"Boleh Ibu masuk?"

Aku mengangguk.

"Ibu minta maaf atas kejadian tadi, tetapi sungguh itu di luar kendali Ibu."

"Aku yang seharusnya minta maaf, Bu. Ibu dihina gara-gara aku," ucapku dengan suara sengau. Kuusap ingus yang meleleh dari hidung.

Wanita pemilik mata teduh itu tersenyum. " Ririn pernah mengejar-ngejar Ramzi, tetapi Ramzi nggak mau dan ibu juga nggak setuju."

"Kenapa begitu, Bu?"

Ibu menepuk pundakku. "Karena jodoh Ramzi bernama Nesya bukan Ririn."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status