Beranda / Urban / Kado untuk Ibu Mertua / Kedatangan Mantan

Share

Kedatangan Mantan

Penulis: Siti Aisyah
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-17 13:14:43

Aku bukanlah tipe orang yang sedikit-sedikit up date status baik di WA maupun F******k. Kalau pun membuat status WA hanya untuk mempromosikan bakso yang kujual. Namun tidak dengan kegiatan sehari-hari yang terkadang tidak begitu penting untuk dibagikan.

Beda dengan Mbak Ulfa yang rajin membuat status hingga tampilan statusnya layaknya benang jahit saking seringnya update. Mulai dari bangun tidur dalam pelukan suaminya, sarapan pagi dengan susu dan roti, mengantar anak sekolah mengendarai mobil, hingga nanti tidur lagi.

Terkadang membuat status di jam 11 malam hanya berupa emoji mata melotot yang menggambarkan dirinya masih terjaga di jam tersebut.

Kutatap nanar barisan huruf di layar ponselku yang baru saja dikirim Mbak Ulfa. Dahiku berkerut. Apa maksud kakak kandungku itu?

Siapa yang pencitraan? Jika aku membuat status aku bahagia itu memang benar adanya.

Bahagia tidak harus dengan memiliki suami dengan jabatan tinggi, naik mobil mewah, memakai tas dan baju branded, jalan-jalan ke luar negeri, atau makan di restoran ternama seperti yang digaungkan Mbak Ulfa selama ini.

Iya, anak kesayangan Ibuku itu selalu bilang padaku kalau kebahagiaan hanya dirasakan oleh orang yang punya banyak uang.

[Kamu menderita menjadi istri Ramzi, kan, Nes? Kamu bisa mengatakan pada orang-orang kalau bahagia, tetapi wajahmu nggak bisa bohong. Raut wajah penderitaan itu jelas terlihat] Mbak Ulfa mengirim pesan lagi.

Aku hanya membaca dan tidak ada niat untuk membalas pesannya. Aku tidak mau kebahagiaan yang kukecap saat ini ternoda oleh pikiranku sendiri gara-gara pesan dari Mbak Ulfa.

Ini hari bahagiaku dan tidak ada seorang pun yang bisa menganggunya. Aku bahagia yang sesungguhnya bukan pura-pura bahagia seperti yang Mbak Ulfa tuduhkan.

Kumasukkan kembali ponsel ke dalam saku lalu kembali fokus mendengarkan ceramah dari ustaz yang sedang berlangsung.

Acara selesai. Ibu mengajak kami para anak dan menantu berdiri di dekat pintu keluar untuk menyalami para tamu undangan seperti saat mereka datang.

Para tamu perempuan menyalami kami sambil mengucapkan selamat pada ibu mertua yang dijawab dengan ucapan terima kasih.

Mas Akbar, Mas Faris, dan Mas Ramzi menyalami para tamu laki-laki di barisan yang lain. Barisan orang yang sedang mengantri untuk bersalaman itu terlihat seperti ular panjang.

Satu per satu para tamu mulai meninggalkan lokasi. Aku bernapas lega melihat orang yang antri tinggal beberapa orang saja. Lumayan pegal kaki ini berdiri dari tadi.

Seorang wanita bertubuh subur memakai gamis brokat perpaduan warna hitam dan merah bersalaman pada ibu sambil bertanya. "Itu siapa, Bu?"

Wanita yang sengaja mengikat kerudungnya ke belakang leher agar kalung besar dengan liontin bulat sebesar sendok yang menjuntai di dadanya itu menunjukku.

Ibu menarik tanganku agar mendekat. Aku yang tadi berdiri di samping Mbak Divya kini ada di samping ibu.

Wanita yang sudah melahirkan suamiku itu tersenyum. "Oh, ini menantuku, istrinya Ramzi, namanya Nesya Humaira, tetapi biasa disapa Ines." Lalu ibu menoleh padaku. "Nes, kenalkan, ini Bu Ambar, masih saudara dengan kita. Waktu pernikahan kamu, beliau nggak bisa hadir karena sibuk. Iya, kan, Bu?"

Dadaku seolah dipenuhi bunga-bunga bermekaran dan kupu-kupu beterbangan kala Bu Mila tanpa ragu memperkenalkan aku sebagai menantu pada wanita dengan pakaian menyilaukan itu.

Aku jadi ingat dengan ibuku sendiri yang terkadang malu mengakui aku sebagai anak kandungnya. Masih terekam jelas dalam ingatanku saat kecil, aku diusir ibuku karena mengikutinya saat ada acara pernikahan tetangga.

Ibu yang menggandeng tangan Mbak Ulfa membiarkanku yang sedang menangis dan saat ada seseorang yang menegur, dengan entengnya ibu bilang kalau aku bukan anaknya. Lalu, aku ini anak siapa, Bu?

Bukan hanya ibu, ayah pun juga tidak menyayangiku seperti pada Mbak Ulfa.

Aku mengulurkan tangan dan tersenyum. "Ines,"

Wanita itu menggerakkan tangannya hingga menimbulkan bunyi gemerincing dari gelang yang beradu di tangannya. Ia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kali dengan tatapan sinis. Salah tingkah ku dibuatnya.

Aku menunduk, menyadari apa yang menjadi fokus tatapannya padaku. Tanganku yang polos tanpa perhiasan berbanding terbalik dengan tangannya yang penuh dengan gelang dan cincin di jari tangannya.

Tadi Mbak Divya sempat memberi tawaran untuk meminjamkan gelang miliknya, tetapi aku tolak. Aku lebih suka tampil apa adanya.

"Oh, jadi ini istrinya Ramzi?" Bu Ambar manggut-manggut seraya tersenyum sinis.

"Iya, Bu." Aku kembali tersenyum.

"Biasa. Nggak ada yang istimewa,"

"Apa maksud Bu Ambar?" tanya Bu Mila dengan suara sedikit meninggi.

Wanita itu tertawa sumbang. "Ya, biasa. Masa' Bu Mila nggak tahu maksudku? Apakah Bu Mila tidak malu punya menantu seperti dia? Wajahnya standar dan nggak punya apa-apa. Dia ini tidak ada apa-apanya dibanding Ririn."

Dadaku bergemuruh mendengar hinaan yang terang-terangan dari wanita itu.

"Dengar, ya, Bu. Jangan hina menantuku ini. Bagaimana pun juga Ramzi sangat mencintainya," kata Bu Mila.

"Bukan begitu, Bu. Saya hanya enggak nyangka aja selera Ramzi seperti ini. Hm, dia seperti membuang berlian demi batu kerikil," ujarnya lagi.

"Ada apa ini, Bu?" Mas Ramzi mendekat yang diikuti Mas Akbar dan Mas Faris.

"Oh, Ramzi." Bu Ambar manggut-manggut dan tersenyum sinis pada Mas Ramzi.

"Iya, ada apa, ya, Bu?"

"Kamu telah meninggalkan Ririn yang laksana berlian berkilauan demi dia yang hanya pecahan beling! Tetapi tak apa, saya tidak perlu menyesali dalam-dalam karena kamu hanya menjadi tukang bakso. Justru Ririn akan punya suami kaya raya yang lebih segalanya darimu," ujar wanita itu seraya mengangkat alis.

"Cukup, Bu! Ines ini menantuku." Tangan ibu terangkat dan merangkulku. "Dia sudah menjadi bagian dari keluargaku. Tak akan kubiarkan siapa pun menghinanya. Menghina Ines sama dengan menghinaku!"

***

"Nes?"

Aku mendongak dan mengusap pipiku yang basah oleh air mata melihat ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamarku.

Setelah kejadian tadi, aku langsung pulang dan menumpahkan air mata di bawah bantal.

"Boleh Ibu masuk?"

Aku mengangguk.

"Ibu minta maaf atas kejadian tadi, tetapi sungguh itu di luar kendali Ibu."

"Aku yang seharusnya minta maaf, Bu. Ibu dihina gara-gara aku," ucapku dengan suara sengau. Kuusap ingus yang meleleh dari hidung.

Wanita pemilik mata teduh itu tersenyum. " Ririn pernah mengejar-ngejar Ramzi, tetapi Ramzi nggak mau dan ibu juga nggak setuju."

"Kenapa begitu, Bu?"

Ibu menepuk pundakku. "Karena jodoh Ramzi bernama Nesya bukan Ririn."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kado untuk Ibu Mertua   Akhir dari Semuanya

    Ririn mundur beberapa langkah hingga menyentuh tembok. Tatapan matanya tidak berkedip melihat Candra yang menatapnya seolah hendak menelannya bulat-bulat. "Ayolah, Rin. Selama dua tahun ini aku sudah begitu sabar menunggumu untuk bisa kusentuh. Kita ini suami istri, tetapi kenapa aku tidak pernah mendapatkan hakku? Kesabaran seorang lelaki ada batasnya. Aku seorang lelaki normal yang tidak akan sanggup menahan hasrat yang bergejolak ini," kata Candra dengan tatapan memelas. Brak! Pintu terbuka lebar bersamaan dengan masuknya Yani--ibunya Candra. "Apa maksudmu, Ndra?" "Ibu?" Ririn dan Candra berbarengan. "Apa maksudmu tidak pernah menyentuh Ririn? Pernikahan macam apa ini?" tanya Yani dengan nada tinggi. Mau tidak mau Candra bercerita pada ibunya kalau selama menikah dengan Ririn, ia sama sekali tidak pernah merasakan indahnya surga dunia. Ririn selalu menolak saat diajak melakukan hubungan suami istri. Bahkan, selama ini mereka tidak pernah tidur dalam satu ranjang. Candra tidu

  • Kado untuk Ibu Mertua   Terima kasih

    "Romi, bolehkah aku kembali padamu?" kata Indy dengan mulut bergetar. Romi mengurai rangkulannya pada Ulfa lalu menatap tajam Indy yang berusaha tersenyum semanis mungkin. "Apa? Ingin kembali?" Indy mengangguk. "Iya, boleh kan? Aku yakin tidak mudah bagimu melupakan diriku yang sangat cantik ini. Bukankah kamu dulu begitu tergila-gila padaku?" Romi tertawa sumbang. "Romi yang dulu bukanlah yang sekarang. Kalau dulu dia suka main dengan banyak wanita, sekarang tidak lagi. Sekarang hanya ada satu wanita yang aku cintai di dunia ini yaitu Maria Ulfa." Indy melengos ketika Romi menatap Ulfa penuh cinta lalu mencium keningnya. "Jadi, kamu nolak aku?" tanya Indy dengan nada tinggi. "Hal seperti ini tidak usah ditanyakan lagi. Jawabannya sudah pasti. Sekarang silakan kamu pergi dari sini dan biarkan aku hidup tenang bersama istriku tercinta." Romi menatap Ulfa dan mengedipkan mata. Ia merasa dari hari ke hari rasa cinta pada wanita yang dulu pernah disia-siakannya itu semakin bertamba

  • Kado untuk Ibu Mertua   Dia Datang Kembali

    "Kau tahu kenapa aku sangat ingin mendonorkan sebagian hatiku ini untukmu?" tanya Ulfa setelah mereka pulang dari rumah sakit seminggu kemudian dan saat ini mereka berada di rumah Ines. Ines tersenyum. "Kenapa?" Ines mengambil air putih dan menyesapnya. "Sampai saat ini aku masih mencintai Ramzi dan dengan adanya sebagian hati di tubuhmu itu aku harap secuil hati itu bisa mendapatkan cinta dari orang yang aku cintai." Ines melotot, tetapi Ulfa malah tertawa. "Enggak, Nes. Aku bercanda. Sebenarnya yang mau mendonorkan hati untukmu itu adalah Ibu, tetapi setelah diperiksa dokter ternyata kondisi kesehatannya tidak memungkinkan. Saat dalam pemeriksaan tensi darah Ibu drop sementara untuk menjadi pendonor harus dalam keadaan prima. Lagi pula usia Ibu yang sudah 56 tahun sudah tidak diperbolehkan menjadi pendonor karena maksimal berusia 55." "Iya, Nes. Waktu itu Ibu berniat memberikan secuil hati ini untukmu, tetapi Ibu tidak memenuhi syarat untuk menjadi pendonor. Maafkan Ibu." Murni

  • Kado untuk Ibu Mertua   Sembuhlah, Adikku

    "Astagfirullah."Dunia Ramzi dan Ines seakan berhenti berputar saat mendengar pendengar penjelasan dokter bahwa organ hati Ines bermasalah. Ines memang sudah lama merasa badannya kurang sehat, tetapi ia berpikir mungkin itu efek dari sering begadang karena punya bayi. Ia juga sering mual dan muntah, tetapi ia tidak pernah menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Ramzi memejamkan mata. Belakangan ini, ia merasa nafas Ines sangat bau tidak seperti biasanya. Lelaki itu ingin mengatakan pada sang istri akan hal itu, tetapi ia takut wanita yang sangat ia cintai itu tersinggung. Iya, siapa yang tidak malu dan tersinggung jika disebut mulutnya bau padahal baru saja gosok gigi. Tidak tahunya itu adalah salah satu tanda jika organ hatinya bermasalah. Ines juga merasa tubuhnya semakin kurus. Hal itu ia rasakan saat celana maupun rok yang biasanya pas atau ketat, kini terasa longgar, tetapi wanita itu menganggap hal itu biasa terjadi karena ia sedang menyusui. Nanti kalau Alifa sudah berhen

  • Kado untuk Ibu Mertua   Ines Sakit?

    "Ibu bilang juga apa, Ul?" Murni mengusap pundak Ulfa dengan lembut. "Buang jauh-jauh rasa benci yang menumpuk dalam hatimu itu. Hidup rukun bersama saudara itu lebih menyenangkan." Saat ini mereka sedang berada di rumah sakit menunggu Ramzi yang sedang diperiksa dokter. Lelaki yang sudah menyelamatkan Zanna itu perlu dilakukan rontgen karena ia mendapat pukulan di bagian perut berulang kali. "Aku tidak akan pernah memaafkan diriku jika Ramzi sampai kenapa-napa. Dia menjadi begini karena aku lalai sebagai orang tua dalam menjaga anak." Romi mengacak rambut frustrasi. Ia tatap kakinya yang hanya tinggal sebelah sehingga membuat ia sulit bergerak. "Doakan saja semoga Ramzi tidak apa-apa," kata Murni. "Iya, Bu. Semoga dia baik-baik saja." Romi tergugu membayangkan Ramzi yang berjuang sendiri melawan penjahat itu. Pukulan demi pukulan ia dapatkan, sementara ia sendiri tidak bisa melakukan apa pun. Semua orang bernapas lega saat hasil rontgen keluar dan Ramzi dinyatakan baik-baik saja

  • Kado untuk Ibu Mertua   Kita adalah Keluarga

    Ines tersenyum sendiri melihat status WA kakaknya. Dalam diam, dia bersyukur akhirnya Ulfa mendapat kebahagiaan dengan caranya sendiri. Tiba-tiba terbersit dalam benaknya untuk datang berkunjung ke rumah Ulfa.Semenjak Ulfa menikah, sekali pun ia belum pernah berkunjung ke rumahnya karena selalu dilarang dengan alasan tidak level menerima tamu seperti Ines, tetapi sekarang Ines yakin, kakaknya itu pasti akan memberi izin.Untungnya Ramzi tidak keberatan diajak ke rumah kakak ipar. Mereka berdua telah sampai di sebuah rumah megah berlantai dua dengan halaman luas dan terlihat asri dengan tanaman rumput jepang. Ulfa yang sedang memasak, gegas mematikan kompor begitu mendengar pintu depan ada yang mengetuk. Wanita itu mengintip dari balik jendela siapa yang datang. Ia memekik saat melihat Ines dan Ramzi sudah berdiri di depan rumahnya. Dengan bibir mengerucut, wanita yang saat ini sedang hamil muda itu membuka sedikit daun pintu dan melongokkan kepala. "Mau ngapain kalian ke sini?"

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status