Perempuan seperti Cinderella memang tidak pernah ada di dunia nyata, begitu pun Snow White, Rapunzel, Aurora Sleeping Beauty, dan Mulan. Perempuan yang ada di muka bumi ini kebanyakan adalah semacam Siti Majenun. Setelah pesta kondangan usai digelar, acara adat selesai dilaksanakan, tenda-tenda dan panggung dibongkar serta kado-kado dibuka satu per satu. Maka, sifat-sifat asli Siti yang belum tampak selama status mereka berpacaran mulai bermunculan satu per satu di dalam mahligai pernikahan.
“Aku memang tidak bisa memasak, mencuci, dan beres-beres rumah. Apalagi ini cuma rumah kontrakan, jadi jangan paksa aku buat melakukan semua pekerjaan itu. Aku tidak suka! Berkali-kali kan sudah aku ingatkan, bahwa aku butuh asisten rumah tangga. Aku butuh pembantu! Kenapa kau tidak bisa mendengarku?” seru Siti entah untuk pertengkaran yang kesekian setelah umur pernikahan mereka mencapai usia enam bulan.
“Maaf, kalau aku belum bisa menepati janji memberimu seorang pembantu.”
“Baru asisten rumah tangga saja yang aku minta saat ini, aku belum meminta rumah, mobil dan perhiasan berlian. Apa sih susahnya mencari pembantu. Di sekitar kontrakan ini kurasa banyak juga yang mau. Tinggal kau minta saja pada mereka. Bukannya orang-orang di sini sering meminta pertolonganmu, kenapa kau biarkan pertolongan itu jadi barang gratis? Harusnya ada timbal balik yang kau minta dari mereka. Minimal mereka bisa menjadi pembantu di rumahmu.”
“Tidak mungkin, Siti. Mereka semua keluargaku.” Kadrun tidak mampu memahami cara pikir Siti.
“Nah, kalau mereka keluargamu, pasti mereka akan bantu. Seharusnya begitu hidup bertetangga. Saling tolong menolong dan membantu. Jangan seenaknya sendiri. Mentang-mentang kau mau-mau saja mengulurkan tangan, mereka terus-terusan manfaatkanmu untuk kepentingan mereka!”
“Sudahlah, Sayang. Nanti mereka dengar, aku tidak enak.”
“Kenapa pula tidak enak. Mana mereka juga suka pinjam uang denganmu. Seharusnya kalau mereka tidak bisa bayar kembali dengan uang, mereka bisa membayarnya dengan tenaga yang mereka punya. Bukan malah pura-pura tidak tahu. Kalau kau tidak berani bicara, biar aku yang ngomong dengan mereka.”
“Siti, aku sungkan sebenarnya punya pembantu di sini karena di lingkungan ini tidak ada orang yang punya pembantu. Kami semua mandiri.”
“Bohong! Itu pasti cuma alasanmu saja. Kau ingin mengakaliku kan? Jangan-jangan kau memang benar-benar kere sehingga untuk menggaji seorang asisten rumah tangga saja tidak sanggup. Lagi pula apa urusannya dengan mereka kalau istrimu ini ingin punya asisten rumah tangga, toh mereka tidak bisa juga mengulurkan tangan untukku. Jadi, jangan peduli dengan mereka. Masa bodoh saja. Untuk apa kau takut jadi bahan gunjingan mereka?”
“Aku tidak takut digunjingkan mereka. Mungkin yang lebih tepat omonganmu di awal, aku ini memang terlalu miskin, sehingga tidak pantas rasanya menggaji asisten rumah tangga. Sebab kerjaku cuma PNS, abdi negara yang digaji oleh negara. Aku bukan pengusaha yang dengan mudah menyediakanmu seorang pembantu.”
“Bukan pekerjaan yang harus kau salahkan. Cukup salahkan dirimu yang tidak pandai mengumpulkan uang. Banyak juga kok PNS yang kaya raya!”
Kadrun menelan ludah. Dia pikir, sebuah pernikahan akan membuatnya jauh dari hardikan dan cemoohan orang. Ternyata, pernikahan malah membuat hardikan dan cemoohan itu menghampirinya lebih sering. Nyaris setiap hari, tanpa jeda.
“Iya, baiklah. Aku pasti akan mencarikanmu pembantu.”
“Aku kasih waktu satu minggu.”
“Siti?”
“Kau ingatkan apa kata emakmu di kampung. Kalau kau tidak menuruti mauku, maka aku akan melapor kalau kau menyia-nyiakan aku sebagai istrimu.”
Kadrun menghela napas. “Iya, baiklah. Aku carikan maumu.”
Siti merasa menang, dia tersenyum senang, “Makasih ya, Sayang. Kau lihatkan kuku-kuku cantikku ini kalau mereka rusak maka penampilanku jadi tidak sempurna. Mana mungkin kau akan menilaiku cantik lagi.”
“Bagaimanapun keadaanmu, kau tetap cantik, Sayang.”
“Kadrun, Aku butuh pembantu!” suara Siti kembali meninggi dengan tatapan tajam.
Kadrun memejamkan mata dan menghela napas lagi.
“Pokoknya carikan aku asisten rumah tangga. Kalau tidak aku akan menuntut bahwa kau telah menyia-nyiakan hidupku.”
“Kau mau menuntut siapa dan kemana, Sayang?”
“Orang tuamu. Kali ini bukan sekedar ancaman, aku akan sungguh-sungguh melakukannya kalau minggu depan aku belum punya pembantu.”
Kadrun menelan ludah. Dia mulai menyadari, tidak ada kebahagiaan sejati dalam sebuah pernikahan. Semua itu cuma fatamorgana. Tidak ada isteri yang tidak punya tuntutan, perempuan memang diciptakan Tuhan untuk menuntut apapun dengan pasangan hidupnya.
“Aku juga heran. Masa gajimu bulan ini cuma segini, Drun? Kau pikir dengan gaji segini cukup untuk membeli lipstik dan bedakku? Kaupikir aku berhenti bekerja, maka aku juga harus berhenti memenuhi kebutuhanku? Aku harus tetap memenuhi kebutuhanku walaupun aku tidak bekerja, karena itulah aku menikah denganmu!”
Kadrun menatap Siti nanar.
“Kau janji kalau sudah menikah akan membuatku bahagia? Memang orang bisa bahagia tanpa uang? Omong kosong itu!” protes Siti.
“Jadi apalagi maumu setelah mendapat asisten rumah tangga?”
“Aku mau uang bulanan yang cukup untuk belanja dan perawatan. Minimal 5 juta.”
“Aku sudah ingatkan di awal, uang bulanan 3 juta saja berat untukku ditambah kau minta pembantu. Sekarang kau minta 5 juta sebulan dengan seorang pembantu?”
“Aku tahu penghasilanmu bukan cuma dari gaji PNS. Kau kan pembatik dan sudah cukup tersohor. Kau bisa menghasilkan uang banyak kalau kau mau.”
Kadrun tertawa, “Iya, benar katamu. Aku memang tidak mau menghasilkan uang banyak dari batik.”
“Memang kau bekerja untuk apa? Untuk capek? Untuk penghargaan? Seharusnya kau lebih realistis, Kadrun. Jangan jadi seniman yang menyedihkan dengan memegang prinsip yang fana.”
“Aku yakin dengan prinsipku. Aku yakin usaha membantu pengrajin akan membawa perubahan bagi perkembangan bisnis batik Jambi di Kota Seberang. Aku bertahan dengan mimpi itu yang mungkin tidak ada orang yang peduli. Tapi aku peduli, aku peduli dengan nasib para pengrajin batik.”
“Kadrun, batik itu apa? Bukankah dia komoditas bisnis. Barang yang diperdagangkan. Barang materialistis. Harusnya kau tidak terlalu picik, para pengrajin itu juga mengharapkan menjadi kaya raya dari batik. Mereka tidak penting soal kegiatan sosial. Mereka butuh hidup. Mereka butuh uang dari membatik. Barang yang mereka cintai dan juga kau sangat cintai itu. Cuma bedanya antara dirimu dengan orang-orang itu adalah mereka lebih realistis daripada kau, Kadrun. Para pengrajin itu membuat batik dan mereka jual untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Mereka tidak membatik untuk mengumpulkan uang amal.”
Kadrun terdiam.
“Buatlah batik, dan jual barang itu untuk memenuhi kebutuhanku, istrimu! Jangan lagi kau sumbangkan pada para pengrajin itu. Mereka sudah cukup dewasa untuk menopang diri mereka sendiri.”
Kadrun jengah.
“Rumah dan mobil tidak sekalian kau minta?” Kadrun mulai menyindir.
Mata Siti langsung berbinar dan suara mendesahnya kembali terdengar, “Bisa segera kau penuhi? Lagi pula Mak dan Bapak kan punya banyak tanah di kampung, pasti mereka tidak keberatan menjualkan sebagian untuk membuatkanmu rumah gedong di Jambi yang punya kolam renang, sehingga aku tidak perlu lagi jauh-jauh ke kolam renang umum untuk olahraga. Oh iya, mobil yang kemarin mereka hadiahkan untuk kita bisa kau minta dikirimkan ke Jambi saja?”
Kadrun semakin memanas. Kepalanya terasa mau meledak.
“Aku harus ke kantor dulu, masih ada kerjaan yang belum selesai.”
“Bukannya hari ini hari Minggu?”
“Iya.”
Kadrun bergegas mengambil kunci motor dari gantungan. Dia segera menyalakan mesin dan melajukan kendaraan bututnya itu.
Pertemuan dengan Zulaikah memutar memori putih abu-abu yang telah lama berlalu. Sepanjang jalan mengendarai sepeda motor kesayangannya senyum Kadrun tak berhenti mengembang. Kenangan antara dirinya dengan Zulaikah kembali berputar di kepalanya. Mereka berdua adalah sepasang sahabat yang sangat kompak dan saling memahami satu sama lain. Zulaikah selalu membantunya mengerjakan tugas sekolah dan ujian. Sementara Kadrun selalu menjadi pelindung Zulaikah. Mereka sering menghabiskan waktu selain di sekolah adalah di pasar. Tempat kursus menjahit Zulaikah berada di dekat pasar sementara Kadrun suka nongkrong di pangkalan ojek sekaligus pangkalan preman. Kadrun selalu menunggu Zulaikah selesai kursus menjahit, setelah kursus Zulaikah akan mengajarkan Kadrun pelajaran sekolah yang tertinggal, atau memberikan PR yang sudah dia kerjakan untuk Kadrun.“Masuk sekolah lah besok, Drun. Ada ulangan matematika,” Zulaikah berujar kala itu di pangkalan ojek setelah selesai kursus menjahit.“Aku belum be
“Kau sudah sangat sukses sekarang, Zulaikah.” Kadrun menyahut.Zulaikah tersenyum. “Ya, syukurlah. Rezeki itu Tuhan yang mengatur. Sebagai manusia kita harus mensyukuri.”“Aku bangga ternyata kawan akrabku jadi orang terkenal sekarang.” Kadrun menggoda Zulaikah yang sedang meneguk teh hangat yang dia pesan.“Ah, kawan akrab apa? Kau tidak bisa mengenaliku pas kita ketemu,” protes Zulaikah memonyongkan mulutnya.“Kau sangat berbeda, Zulai! Apalagi kau mengenakan hijab. Wajahmu tidak lagi jerawatan. Kau juga tidak mengenakan kacamata. Dulu kau hitam legam. Sekarang kulitmu seputih pualam. Manalah aku memikirkan kalau kalian orang yang sama. Apalagi dulu kau juga selalu memakai kawat gigi.”“Ingatanmu payah. Masa tidak sedikitpun dari wajahku ini yang kau ingat, padahal aku tidak operasi plastik. Apalagi kalau aku oplas habis-habisan!”“Ah, masa kau mau oplas? Begini
Kadrun terbangun dari tidurnya. Dia duduk sambil memegang kepala di atas ranjang kontrakannya. Dia memperhatikan sekeliling, masih terasa dan tercium aroma Siti. Bagi Kadrun kebersamaannya dengan Siti Majenun hanya sebuah mimpi. Sekarang dia sudah terbangun dari mimpi. Dia kembali ke kehidupan normalnya. Dia kembali kepada keadaan sedia kala.Kadrun melirik jam weker di atas nakas. Pukul 03.00 WIB dini hari. Matanya tidak lagi mampu dia pejamkan walaupun sebenarnya ia ingin segera tertidur dan kembali disibukkan dengan pekerjaan kantor. Kadrun meraih handphone yang tergeletak di nakas sebelah weker. Dia membuka sebuah pesan Whatsapp yang tak terbaca. Sebuah nomor tak dikenal mengirim sebuah pesan.Saya Zulaikah. Maaf, lancang mengirim pesan. Besok pagi apakah kita bisa bertemu? Jam sarapan. Jam 7.30. Saya tunggu di Kafe Morning.Kadrun mengingat kembali sosok Zulaikah. Dia perempuan yang tampak santun dan berpendidikan.
Setelah pertemuan di rumah dinas walikota, Kadrun segera memenuhi janjinya pada Agam, membawa sahabatnya itu ke tempat karaoke langganan mereka. Sambil mendengarkan Agam dan Brewok duet lagu dangdut sampai lagu rock metal, pikiran Kadrun melayang entah ke mana. Sebagian besar pikirannya terbang ke rumah, dia merindukan Siti sekaligus merasa membencinya pada saat bersamaan. Dia ingin segera pulang ke rumah. Beberapa kali dilihatnya arloji tetapi dua jam waktu berkaraoke yang dia pesan terasa terlalu lama berakhir.“Ayo, Jok. Nyanyi apa?” tanya Brewok menegur Kadrun yang terus melamun.Kadrun menggeleng.“Hei, di tempat karaoke itu nyanyi bukan melamun, Jok!” Agam ikut berkomentar.Kadrun hanya tersenyum. “Kalian lah dulu menyanyi, nanti aku belakangan.”Agam dan Brewok kembali memilih lagu. Mereka kembali bernyanyi, kali ini lagu pop Jawa. Kadrun menghela napas. Walaupun suasana hatinya sedang tidak baik, ta
Seperti yang sudah dijadwalkan, Kadrun bersama Agam dan Brewok sepulang kerja langsung meluncur ke rumah dinas walikota untuk menemui Ibu Walikota yang memanggil Kadrun. Rumah dinas tersebut tampak megah dengan pengawalan yang cukup ketat. Satpol PP menyambut kedatangan mereka bertiga di depan pintu pagar.“Wah, Bang Agam, sudah lama sekali tidak mampir ke sini. Sibuk sekali nampaknya?” tegur salah satu petugas Satpol PP yang mengenal Agam. Lelaki itu langsung mengulurkan tangan menjabat tangan Agam dengan erat.“Tidak sibuk-sibuk amat lah, Bang Rahmat. Kerja seperti biasa lah. Lagi pula kalau Ibu tidak memanggil saya, ndak berani juga saya sering-sering kemari, Bang. Oh, Iya, Bang. Ibu ada? Tadi pagi beliau menelpon saya menyuruh kawan saya kemari menemui beliau. Bapak Kadrun. Kata beliau ada tamu dari Jakarta yang mau diperkenalkan.” Agam menjelaskan.“Oh iya. Sudah ditunggu Ibu. Silahkan masuk saja, Bang Agam,” lelaki bertu
Kadrun tiba di kantor tanpa banyak bicara, sepanjang koridor kantor yang dilaluinya Kadrun tidak menyapa siapapun. Dia langsung memasuki ruangannya, meletakkan jaket, duduk di kursi kerjanya, dan mengaktifkan komputer.“Hei,” Brewok yang sedari tadi mengikuti Kadrun dari parkiran menepuk bahu sahabatnya itu. “Kayak pakai kaca mata kuda, jalannya ndak lihat kiri kanan lagi?”Kadrun tidak berkomentar.Brewok jadi dibuat garuk-garuk kepala. “Ada masalah berat di rumah? Bukannya katamu Siti sudah balik ke rumah.”Kadrun menatap tajam pada Brewok membuat lelaki itu jadi menelan ludah. Tidak ada satu katapun keluar dari mulut Kadrun.“Perlu aku peluk, Jok?” tawar Brewok membuat Kadrun bergidik. Dia kembali menghadap komputernya.Brewok yang merasa tidak mendapat respon positif sejak kedatangannya juga ikut-ikutan menarik kursinya menghadap komputer kerja.“Ya, enak buat desain batik saja