Share

Chapter 4

Iya Sayang, harus sabar. Aku kan juga sedang berusaha menjual batik seperti arahanmu. Aku tidak lagi menyumbang untuk para pengrajin. Semua penghasilan batikku akan kuberikan padamu. Cuma sekarang, pembeli batik sedang sepi. Jadi, jangan lagi berpikiran aku akan menelantarkanmu.” Kadrun meyakinkan Siti ketika suatu kali kembali didesak dengan segala tuntutan.

“Katanya kau seniman batik Jambi yang paling dicari karya-karyanya, yang paling digandrungi. Aku tidak percaya kalau dagangan batikmu jadi sepi sekarang. Uang bulanan yang aku minta cuma 5 juta, paling hanya butuh 10 sampai 15 potong kain batik buatamu yang terjual setiap bulan. Apa susahnya menjual 10-15 potong batik dalam sebulan?” Siti kembali mengajukan komplain pada Kadrun.

“Maaf, Sayang.”

“Maaf, maaf, itu saja yang keluar dari mulutmu.”

“Sungguh, sekarang aku sedang berusaha. Studio batikku sekarang lebih produktif. Kami banyak membuat desain-desain baru. Cuma memang butuh waktu.”

“Kalau sudah terkenal, untuk jualan seperti itu tidak butuh waktu lama. Aku paham hal seperti itu.”

“Maaf ya, Sayang,”

“Jangan-jangan, kau bantu lagi ya para pengrajin itu? Kan sudah aku bilang jangan. Mereka cuma pura-pura susah untuk memperalatmu.”

“Kadang pengrajin batik yang baru memulai bisnis butuh modal. Ya, kasihan mereka tidak tahu tempat untuk mencari modal. Abang sebagai senior harus membantu mereka agar batik Jambi bisa benar-benar tumbuh. Tidak ada yang benar-benar peduli sayang, hanya segelintir orang, dan segelintir orang itu hanya macam abang yang tidak punya banyak uang.”

“Kadrun!”

Kadrun tidak menjawab.

“Jadi, uang kita kau pinjamkan lagi pada orang-orang itu?”

“Iya, sayang. Kali ini aku membuat perjanjian dengan mereka, nanti akan mereka kembalikan.”

“Kapan?”

“Perjanjian kami untuk satu tahun. Setiap minggu mereka akan menyetor semampu mereka.”

Siti langsung meraung.

“Sayang, jangan lah begitu. Kasihan mereka.” Kadrun memohon pengertian Siti.

“Tapi, kau tidak kasihan denganku." 

“Kan aku sudah memberimu bulanan dua juta, kadang-kadang tiga juta.”

“Tidak cukup. Aku butuh lima juta dan seorang asisten rumah tangga.”

“Iya, Sayang. Aku paham.”

“Udah lah, Drun. Kalau begini caranya, kita cerai saja.” sahut Siti tiba-tiba di luar perkiraan Kadrun.

Kadrun tercekat. Ucapan itu terasa terlalu gampang keluar dari mulut Siti.

“Janganlah, Sayang. Apa kata orang tuaku?”

“Pokoknya kita cerai! Titik!”

“Sayang, jangan lah. Kumohon. Kau juga belum memberi aku seorang anak pun.”

Siti langsung berkacak pinggang dengan mata melotot menatap Kadrun, “Hei, kau ini memang tidak pernah peduli denganku. Uangmu kau bagi-bagikan ke orang lain padahal aku istrimu kau telantarkan, dan alasanmu menikah denganku cuma buat bikin anak? Kenapa kau tidak nikahi saja sejenis sapi atau kerbau yang gampang punya anak?” wajah Siti benar-benar beringas dan sinis.

“Sabarlah, Sayang. Dua hari lagi asisten rumah tangga bakal datang ke rumah kita ini.”

Siti mulai menangis, “Apakah permohonanku terlalu sulit? Apakah aku terlalu menuntut? Apakah salah seorang istri meminta sesuatu pada suaminya? Semua perempuan itu sama, dia ingin suaminya mampu membahagiakan dia. Karena kami tahu, lelaki itu sosok yang kuat, bahunya kokoh untuk tempat bergantung. Apapun bisa dilakukan suami untuk memberi kebahagiaan bagi istrinya.”

“Tentulah tugas suami untuk memenuhi kebutuhan istrinya, Sayang.”

“Tapi, lihat! Tidak satupun permintaanku bisa kau penuhi. Apa alasanku untuk bertahan denganmu? Aku hanya menyulitkanmu saja. Aku tidak bisa menjadi sosok yang kau minta membantu kesulitanmu sebab aku juga perempuan lemah. Aku menikah karena kupikir kau adalah lelaki yang mampu memenuhi semua harapan-harapan dan mimpi-mimpiku. Kau kuanggap sosok yang cukup kuat memanggul bebanku dan beban kita. Kalau kau pikir cinta itu cukup untukku, maka kau salah besar! Cinta saja tidak akan cukup untuk perempuan. Tidak, Kadrun! Cinta bisa muncul kemudian apabila semua kebutuhan lahir dan batin seorang perempuan terpenuhi. Kau tidak boleh munafik sebagai laki-laki, Kadrun.”

Kadrun geram, akan tetapi di sisi lain Kadrun membenarkan omongan Siti. Kadrun mencintai Siti, sebagai laki-laki dia tidak mungkin membiarkan orang yang dia cintai merasa teraniaya di sisinya.

Dua hari kemudian, Kadrun benar-benar membawa seorang perempuan separuh baya yang dimintanya dari Mak di kampung untuk istrinya. Perempuan itu bersedia menjadi asisten rumah tangga untuk Kadrun demi membalas jasa-jasa Mak dan Bapak Kadrun di kampung yang sudah menyekolahkan kedua anaknya sampai sarjana di kota.

Kadrun merasa lega untuk beberapa saat. Akan tetapi, itu cuma bertahan tiga bulan, karena Siti sudah memecat asisten rumah tangga yang dibawakan Kadrun jauh-jauh dari kampung dengan alasan tidak cocok dengan pembantunya tersebut.

“Dia itu sudah tua. Kerjanya lamban. Apa-apa yang disuruh pasti tidak tuntas. Kalau ditanya, dia bilang lupa. Mana masakannya juga tidak enak. Malah masih enak masakan di warung depan. Tolong carikan aku asisten baru, Sayang.”

Kadrun tidak terima, “Kau tidak bisa seenak itu memecat Wak Nur. Dia itu sudah semacam keluarga bagi kami. Sejak masih gadis dia ikut Mak dan Bapak, walaupun anak-anaknya sudah jadi orang besar, dia tetap setia bekerja sama Mak dan Bapak.”

Kadrun bergegas ke kamar yang disediakan untuk Wak Nur, lalu keluar menuju ke dapur. “Jadi orang tua itu kau usir begitu saja?” Kadrun kembali bertanya ke Siti setelah tidak menemukan sosok Wak Nur di dalam rumah kecilnya tersebut.

Siti menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mengusir dia!"

Perempuan itu menghempaskan badannya begitu saja di sofa sambilnya menyilangkan tangannya di dada.

Kadrun menghela napas, “Jangan sesuka hati begitu memecat orang, kasihan orang, dia kan tidak saja mencari nafkah. Dia di sini karena menghargai kita sebagai anak dari Mak dan Bapak! Sudah kau pecat, kau usir pula dia begitu saja! Mana tata kramamu pada orang yang lebih tua?”

“Dia tidak kuusir. Dia sendiri yang mau berhenti karena merasa tidak mampu memenuhi kemauanku. Dia menelpon anaknya, anaknya yang menjemput orang tua itu.”

“Siti!” Kadrun hampir saja melayangkan tangannya, tapi segera tersadar. “Apa yang harus aku cakapkan pada Mak dan Bapak di kampung? Tidak mungkin aku bilang, istriku yang punya otak dangkal ini mengusir orang kepercayaannya begitu saja dari rumah karena dianggap tidak becus kerja.”

Siti jadi naik pitam, dia langsung berdiri dari duduknya.

“Jadi kau salahkan pula aku?”

“Iya. Seharusnya berdiskusilah denganku untuk memecatnya. Seperti ketika kau minta dicarikan asisten.”

Siti mengerutkan keningnya dengan mulut terkatup rapat.

“Aku tidak berusaha menyalahkanmu. Aku hanya berharap kau bisa lebih berhati-hati dan sedikit mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil keputusan.”

“Jadi sekarang kau menyalahkan aku?”

“Tidak, Sayang. Aku cuma berharap kau cukup dewasa.”

“Hah, sekarang aku kau bilang kekanak-kanakan pula? Tidak dewasa?”

“Kurasa begitu.”

Siti tajam menatap Kadrun, “Sudah. Kita memang sepantasnya segera bercerai. Kita tidak pernah sepemahaman.” Siti bergegas ke kamarnya, tapi Kadrun cepat mencekal tangan isterinya tersebut.

“Mau apa?”

“Aku mau cerai.” Siti menantang Kadrun, matanya mulai berkaca-kaca.

 “Kenapa harus cerai?” Kadrun berusaha lebih sabar dan lembut.

“Karena aku merasa tidak bahagia denganmu,”

Hati Kadrun langsung terasa dicabik-cabik dengan badik.

“Kenapa tidak bahagia? Apa kau tidak pernah mencintai suamimu ini?”

Siti memicingkan mata, “Cinta? Kau selalu bicara cinta. Memang cinta adalah alasan di atas segala-galanya untuk menikah dan menerima semua kesulitan yang kita buat-buat?”

“Aku minta kau jawab dengan jujur, pernah kau menyukai aku?”

Siti diam. Dia tidak menjawab dan menghindar dari tatapan Kadrun.

“Siti, apakah kau pernah punya rasa untukku? Atau selama ini hanya aku sendiri yang punya perasaan itu?”

“Aku mau cerai!” Siti tidak menjawab pertanyaan Kadrun.

“Ok, aku akan menceraikanmu asal kau penuhi satu permintaanku.”

“Apa?”

Kadrun menatap isterinya tak kalah tajam, “Kasih aku anak. Setelah itu, pergilah kemana pun kau mau pergi. Aku tidak akan menghalang-halangi.”

“Apa untungnya aku memenuhi permintaanmu itu. Hamil dan melahirkan bisa membuat bentuk tubuhku jadi rusak, butuh banyak biaya untuk membuatnya kembali kayak semula. Tentu aku tidak mau!”

“Aku kasih kau uang 50 juta!”

Siti memandang Kadrun dengan ekspresi datar.

“50 juta tidak akan cukup.” Siti menarik tangannya.

“Aku kasih kau dua kali lipat. Seratus juta!”

“200 juta!” Siti menantang.

“OK. 200 juta. Sepakat!” Kadrun mengulurkan tangannya.

Siti tersenyum menyambut tangan Kadrun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status