Share

Chapter 7

Kadrun terbangun dari tidurnya mendengar suara lemari pakaian dibuka pelan-pelan. Dia mengintip dari balik kelopak mata yang tidak dibukanya penuh. Kadrun mendapati sosok Siti mengendap-endap menaruh tas dan sepatu kembali di lemari. Dia juga melepaskan satu persatu perhiasan dan gaun yang dikenakan. Kadrun mengintip jam weker yang ada di atas nakas.

Jam 4 subuh!

Istrinya baru pulang sepagi ini setelah sepanjang malam di luar bersama laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Kadrun langsung merubah posisinya dengan duduk di pinggir dipan.

“Sepagi ini kau baru pulang, Siti?”

Suara Kadrun mengagetkan Siti yang hanya memakai celana dalam dan bra. Dia membalik badan menghadap Kadrun. Kedua gunung kembar Siti tampak menantang di balik bra yang tampak tidak sanggup menampungnya. Warna bibir merah Siti yang kontras dengan kulit kuning langsatnya benar-benar memancarkan kecantikan alami Siti. Kadrun menelan ludah.

“Maaf ya pulang terlalu larut, Bang.” suara Siti sangat mendesah melangkah mendekati Kadrun. Siti tampak sangat menawan hanya berbalut bra dan celana dalam berenda berwarna hitam. Paha dan betisnya yang jenjang mengkilap tertimpa sinar lampu kamar.

“Bisnis apa yang dibicarakan sampai selarut ini?” Kadrun masih menaruh curiga dan amarah pada Siti.

Siti tersenyum, dia tampak berpikir ketika melangkah mendekati Kadrun.

“Yaaa, bisnis karaoke, Bang. Dia akan memodali aku membuka karaoke.” Siti sudah berdiri di depan Kadrun. Dia menunduk menghadapkan mukanya langsung pada Kadrun. Jarak antara hidung mereka berdua hanya sekitar lima inci. Hal itu membuat Kadrun makin jelas melihat buah dada Siti yang sedang dalam posisi menunduk. Jakun Kadrun naik turun.

“Abang belum tidur?” Siti mendesah.

Kadrun tidak bisa menjawab. Wajah mereka terlalu dekat hingga napas Siti yang bau alkohol langsung merasuk ke lubang hidung Kadrun.

Siti menaiki paha Kadrun dan duduk di atasnya. Kedua lengannya digantungkan di leher Kadrun. Mata Kadrun tidak bisa lepas melihat dua buah dada Siti yang ranum di depan matanya begitu dekat.

“Ini bukannya masih Jumat ya?” Kadrun bertanya.

“Kenapa?” Siti mulai memangut leher Kadrun.

“Apakah memang sudah jadwalnya? Bukannya Selasa, Kamis, Sabtu?” Kadrun mulai menggelinjang menahan geli dan nafsu karena kuping dan lehernya terus dipangut Siti penuh gairah.

Siti tidak menjawab. Perempuan itu dengan lembut mendorong tubuh Kadrun hingga rebah di atas Kasur. Siti kembali memangut tubuh Kadrun inci demi inci dari bagian atas hingga ke bagian bawah. Kadrun tidak mampu menolak dan menikmati setiap jengkal kecupan dan pangutan Siti di tubuhnya. Pergulatan subuh itu memang sungguh luar biasa. Siti selalu bertindak aktif dan memenangkan pergulatan. Geliat tubuh sintal milik Siti dan erangan manjanya saja membuat Kadrun serasa melihat adegan film porno di layar televisi.  Kadrun benar-benar dibuat terbang ke langit ke tujuh hingga pertempuran selesai dan kedua tubuh mereka terlentang bersimbah peluh dan tertidur karena kelelahan.

Pagi harinya, Kadrun terbangun dan segera menuju ke dapur. Kadrun menyiapkan sarapan nasi goreng lengkap dengan telur ceplok sambil bersenandung riang. Setelah sepiring nasi goreng siap, Kadrun pun melakukan ritual mandi dengan tetap bersenandung. Ritual mandi selesai Kadrun mengenakan seragam kantor, menyisir rambut, dan memakai parfum. Kadrun ingin tampil necis dan rapi. Kadrun merasa sangat tampan pagi itu. Lelaki kurus itu tidak lelah bersiul. Dia kembali ke dapur untuk membuat plating nasi goreng. Kadrun telah menyiapkan telur ceplok, irisan timun, irisan tomat, dan potongan cabai rawit sebagai pelengkap. Selayaknya chef profesional Kadrun mulai beraksi menata hasil masakannya di atas sebuah piring putih. Setelah selesai, Kadrun meraih segelas susu yang disiapkannya sedari tadi dan meraih piring berisi nasi goreng untuk selanjutnya dibawa ke kamar tidur. Secarik kertas note berbentuk hati diambil Kadrun dari dalam nakas sebelah ranjang. Dia menulis dengan terus tersenyum.

“SAYANG, JANGAN LUPA SARAPAN YA. INI KUBUAT DENGAN CINTA. NANTI SEKITAR JAM 12, JANGAN LUPA DICEK REKENINGNYA, AKU AKAN MENTRANSFER 100 JUTA ITU SEBELUM JAM 12. LOVE KADRUN.”

Sebelum meletakkan di atas nakas di sebelah menu sarapan yang dia siapkan untuk istrinya, dia mencium tiga kali kertas note tersebut. Selanjutnya, mendapati tubuh istrinya  telanjang bulat dengan posisi telentang di atas kasur dalam kondisi tertidur, segera dia tutupi dengan selimut. Lalu lelaki kurus itu kembali ke dapur meraih kotak bekal nasi goreng yang dibuatnya tadi untuk dirinya sendiri, menarik kunci motor yang digantung di dekat pintu lalu mulai menyalakan motor bebek andalannya sebelum kemudian melaju meninggalkan kontrakan dengan terus bersiul.

 Kadrun bahagia. Penuh semangat dia mengabsen di kantor sebelum meluncur mengantri ke bank. Dia mencairkan depositonya sebesar 500 juta. Uang dari penjualan batik-batik yang dikumpulkan sedikit demi sedikit selama delapan tahun. Sempat sahabatnya menyarankan uang itu dipakai untuk berinvestasi saham saja dibandingkan cuma disimpan dalam deposito. Akan tetapi, Kadrun merasa terlalu kolot dan merasa tidak cukup paham tentang invetasi saham. Kadrun memandang lembar depositonya itu dan menghela napas. Kadrun mempunyai rencana membuat gerai bank batik yang sangat besar di Kota Seberang dengan mengumpulkan uang tersebut, dia berencana bahwa gerai itu adalah tempat peminjaman modal bagi pengrajin batik. Para pengrajin tersebut tidak perlu membayar pinjaman dengan uang, namun dengan batik yang mereka hasilkan. Namun mungkin Kadrun harus menunda mimpi tersebut. Walaupun saat ini dia tetap bisa menjadi pemodal untuk pengrajin batik di Kota Seberang dengan jumlah yang relatif tidak terlalu besar. Kadrun akan mencoba mencari cara lain untuk tetap mewujudkan mimpinya. Benar kata istrinya, bahwa dia adalah seorang suami sehingga tanggung jawab terbesarnya tentulah sang istri, bukan orang lain. Dia mengirimkan seratus juta ke rekening Siti, sisanya uang tersebut ditaruh di rekening tabungannya.

Dia kembali ke kantor dan bekerja hingga jam tujuh malam membuat desain batik. Kadrun penuh dengan semangat untuk menjadi lelaki yang kaya raya dan mampu memberikan kepuasan materi bagi istri tercinta. Dia bercita-cita ingin membuat rumah gedong seperti permintaan istrinya. Dia juga sudah menelpon Mak dan Bapak di kampung untuk meminta mobil hadiah perkawinannya kemarin.

“Awak minta maaf berkaitan dengan Wak Nur, Mak.” Kadrun membuka pembicaraan di telepon dengan Mak.

“Iya, dak apa-apa. Wak Nur juga maklum karena dia tidak paham cakap Siti. Sekarang dia sudah di rumah kita lagi. Dia tampak lebih senang di kampung, maklum lah Bahasa Indonesia Wak Nur kan juga tidak begitu lancar. Pasti masalah komunikasi yang buat hubungan Siti dan Wak Nur terganggu.” Mak Kadrun menimpali dengan santai.

“Iya, Mak.”

“Tidak kau carikan lagi istrimu pembantu?”

“Belum, Mak. Nanti biar dia saja yang kusuruh cari sendiri, sesuai seleranya.”

“Oh iya, bagus juga begitu.”

“Ngomong-ngomong, Mak,” Kadrun ragu bicara.

“Apa, Nak?”

“Eh, itu, Mak, kendaraan kemarin yang Mak hadiahkan,”

“Iya, kau perlu mobil. Istrimu yang cantik itu tidak pantas kau bawa dengan motor bebek bututmu keliling kemana-mana.” Mak memotong sambil tertawa. “Seharusnya kau tidak perlu sungkan untuk memintanya, Drun.”

“Iya, Mak.”

“Nanti Bapak kirimkan mobil itu ke Jambi.”

“Terima kasih ya, Mak. Sebenarnya awak dak enak sama Mamak dan Bapak.”

“Ah, kau macam bukan anak Mak dan Bapak saja. Kenapa kau jadi banyak sungkannya sekarang?”

Kadrun nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Kau tidak pindah kontrakan? Atau kau sudah beli rumah untuk istrimu?”

“Rencananya begitu, Mak. Aku akan beli rumah cicilan.”

“Ah, biar Mak kirimkan uang buat kau bangun rumah. Ada tanah Mak dan Bapak di Jambi, lokasi tanah itu rasanya dekat dengan tempat kerjamu.”

“Ah, dak usahlah, Mak.”

“Kenapa pula tidak usah. Bagaimana menantuku bisa nyaman dan segera punya anak kalau dia tidak hidup enak.”

“Aku belum punya uang untuk bangun rumah.”

“Lah, Mak kan tadi ngomong kalau akan mengirimi uang untuk bangun rumah.”

“Nanti saja lah, Mak.”

“Kalau begitu, pindah kontrakan saja dulu yang lebih besar dan halamannya luas. Bagaimana kau taruh mobilmu kalau tidak ada halaman parkir dan jalan yang memadai.”

“Untuk sementara awak titip di bengkel Bang Somad dulu, Mak.”

“Oh, begitu. Jangan lama-lama, nanti merepotkan Bang Somad.”

“Sebenarnya awak juga tidak ingin pindah dari kontrakan itu. Awak sudah nyaman bertetangga di sana.”

“Jadi?”

“Rencananya awak mau membeli saja kontrakan yang sekarang itu.”

“Oh, bagus juga. Tinggal kau rehab. Cuma sayang di gang itu kan tidak muat buat masuk mobil, Drun.”

“Bisa lah nanti awak pikir, Mak. Tapi dak usah Mak ikut berpikir. Kalau memang butuh bantuan Mak dan Bapak, pasti awak hubungi.”

“Iya lah, Drun. Jaga kesehatanmu dan titip salam sama Siti.”

“Iya, Mak.”

Telepon pun ditutup.

Kadrun kembali ke rumah dan mendapati kontrakan dalam kondisi kosong. Sebuah pesan ditempel di atas layar televisi. Pesan itu dari Siti.

“AKU PULANG AGAK MALAM, SAYANG. MAKASIH BANYAK ATAS UANG TRANSFERANNYA. AKU URUS BISNIS DULU. JANGAN LUPA BESOK MALAM PERTEMPURAN KITA YA, SAYANG. LOVE SITI.”

Kadrun mengambil handphone untuk menghubungi istrinya. Akan tetapi tidak ada jawaban. Hingga lebih dari sepuluh kali tidak ada tanggapan. Kadrun terduduk di satu-satunya sofa di ruang kontrakannya itu.

Di tangannya baru saja dia beli lingerie motif macam tutul dari mall yang dihampirinya sebelum sampai ke rumah. Dia ingin Siti mencoba hadiah itu. Kadrun berniat untuk memberikan sebanyak mungkin perhatian untuk Siti. Kadrun akan membanjiri Siti dengan hadiah. Kadrun akan menyajikan masakan kesukaan Siti. Kadrun akan mengurus semua pekerjaan rumah tanpa membiarkan Siti kerepotan. Kadrun bersedia menjadi babu atau apapun asalkan Siti tetap berada di sisinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status