Cailin duduk di tempat tidurnya. Lian membersihkan luka di lutut Cailin dengan air hangat.
“Kau harus hati-hati, Cailin,” ujar Lian. Ia mencelupkan kain ke dalam wadah air hangat, perlahan ia menusap kembali luka di lutut Cailin. “Kau bisa terus-terusan di ganggu Daiyu.”
Brak!
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan suara keras.
Cailin dan Lian terkejut, menoleh ke arah pintu. Cailin langsung menurunkan roknya untuk menutupi kakinya yang terbuka.
Seorang pria tinggi tegap berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit tersengal. Matanya langsung menatap ke arah kaki Cailin. Ia melangkah mendekat.
Lian langsung berdiri, maju melindungi Cailin, “Siapa Anda?” tanyanya, suara bergetar. “Apa maksud kalian masuk kamar ini tanpa izin. Akan ku panggil penjaga.”
Shangkara mengabaikan pertanyaannya. Langkahnya mendekat, matanya terus menatap rembesan darah di baju Cailin. Ia ingin memastikan dugaannya.
Ren muncul dari belakang Shangkara, melangkah masuk mengikuti tuannya. Ia mendekati Lian, menunjukkan tanda identitas pengawalnya. “Kami pengawal istana, tidak perlu panggil penjaga.”
Lian mengangguk, tapi raut kaget dan bingungnya masih terlihat jelas. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi Ren kembali berbicara, “mari kita tunggu di luar, nona.”
Tangan Ren dengan halus membimbing bahu Lian untuk membujuknya keluar. “Biarkan… kapten… menangani ini. Dia lebih berpengalaman dengan luka.”
Lian menoleh ke arah Cailin yang mengangguk.
“Aku mengenalnya, jangan khawatir,” kata Cailin.
Setelah pintu tertutup, Shangkara langsung duduk di depan Cailin. Tangannya meraih kaki Cailin.
“Hey!” protes Cailin, tapi Shangkara tidak peduli. Tangannya menarik kaki Cailin ke pangkuannya, lalu menyingsingkan celana Cailin.
“Diam!” perintah Shangkara.
Cailin tersentak. Wajahnya memerah saat Shangkara melihat luka di lututnya, “kau tahu? Kaki seorang gadis tidak boleh dilihat oleh laki-laki yang bukan suaminya,” suaranya pelan, kepalanya menunduk tidak berani melihat Shangkara.
Shangkara menghela napas pendek, “aku hanya penasaran.”
Ia menarik kakinya naik ke atas tempat tidur, lalu menggulung celananya hingga lutut, memperlihatkan luka yang sama persis dengan luka Cailin. “Lihatlah! Aku tiba-tiba mendapat luka ini tanpa sebab. Dan ternyata sama persis dengan lukamu.”
“Maksudmu? Kenapa bisa begitu?”
Shangkara menggeleng, “aku juga belum tahu.”
Shangkara meraih kain dan mencelupkannya ke air di baskom perunggu. Ia mengusapkan pelan ke lutut Cailin yang terluka, “kau harus mengobatinya dnegan benar. Jangan sampai luka ini meninggalkan bekas.”
Cailin menahan napas, menggigit bibir bawahnya. Perasaannya campur aduk terkejut, malu, tapi juga… sesuatu yang lain, sebuah gejolak aneh di dalam perutnya. Ini adalah sentuhan yang tak pernah ia bayangkan, dan yang paling mengejutkan, ia tidak ingin Shangkara berhenti.
Shangkara mengoleskan salep luka dengan ujung jarinya, sentuhannya begitu lembut hingga Cailin hampir tidak merasakannya. Kaki Cailin berkedut sebentar merasakan perih saat obat mengenai lukanya.
Shangkara mendekatkan wajahnya, meniup luka itu dengan napas yang hangat. Desir napasnya membuat bulu kuduk Cailin merinding, bukan karena dingin, tapi sensasi aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Kemudian, Shangkara membalut luka itu dengan cekatan, seperti sudah terbiasa mengobati luka.
“Apa kau sering melakukan ini?” tanya Cailin, suaranya pelan, tidak bisa menyembunyikan rasa canggungnya.
“Kalau maksudmu mengobati luka, jawabannya iya. Aku sering mengobati lukaku sendiri. Aku tidak suka orang lain menyentuh tubuhku.” jawab Shangkara. Shangkara menatap Cailin langsung ke matanya yang membuat Cailin menunduk lebih dalam. “Tapi kalau mengobati luka seorang gadis, ini pertama kalinya.”
Cailin menarik kakinya setelah Shangkara menyelesaikan ikatan pada balutannya. “Kenapa kau lakukan ini padaku?”
Shangkara tidak menjawab, “kenapa kau menolongku saat di hutan? Kau bisa saja kabur. Pura-pura tidak melihatku. Tapi kau memilih membalut lukaku. Kenapa?”
Cailin terkejut mendengarnya. Ia menunduk, tangannya memainkan ujung lengan bajunya.
“Karena… kamu kesakitan,” jawab Cailin akhirnya, suaranya pelan tapi jelas. “Aku tahu rasanya sendiri, tidak ada yang menolong.”
Ia melihat ke arah jendela, seolah mengingat kenangan pahit. “Ibu tiriku—,” ia tidak meneruskan kalimatnya, “untuk apa aku cerita padamu. Pokoknya, aku tidak bisa melihatmu terluka, sendirian, tanpa bantuan, di tengah hutan.” suaranya sedikit berteriak untuk menutupi kecemasannya. “Kalau ada hewan buas bagaimana?”
Shangkara terdiam. Ia tidak menyangka alasannya begitu sederhana. Senyumnya muncul tiba-tiba. Senyum tulus yang membuat jantung Cailin semakin berdetak lebih kencang.
“Sampai kapan aku harus tinggal disini?” tanya Cailin berusaha menyembunyikan debar di dadanya. “Aku ingin kembali ke tempatku.”
“Tidak,” Shangkara menggeleng, “kau tidak akan kembali ke hutan. Kau harus disini. Paling tidak sampai kupastikan kau sembuh.”
“Aku tidak sakit,” protes Cailin, “lagian aku tidak suka disini. Banyak gadis-gadis aneh koleksinya Kaisar.”
Shangkara hampir melompat mendengar ucapan itu, matanya melotot, “koleksi Kaisar?”
“Iya. Aku dengar. Kaisar mengumpulkan para gadis disini untuk menjadi calon selir atau bahkan permaisurinya.”
Shangkara ingin protes, tapi ia mengurungkan niatnya. Di hadapan Cailin, ia bukan kaisar. Ia hanyalah pengawal istana biasa.
“Apalagi yang kau dengar tentang kaisar?” tanya Shangkara penasaran.
Cailin berpikir untuk menyusun kata-kata. “Katanya kaisar sangat kuat, dia bisa bertindak kejam. Wajahnya menakutkan.” Cailin mengangguk penuh percaya diri.
“Apa-apaan itu?” Shangkara tidak terima. “Siapa yang bilang?”
Cailin mengangkat bahu, “katanya.”
Ia berdiri dan hendak melangkah keluar, tapi lututnya masih terasa nyeri sehingga langkahnya nyaris terjatuh.Shangkara dengan sigap menahan lengan Cailin. Cengkeramannya kuat, namun lembut. Jarak mereka begitu dekat hingga Cailin bisa mencium aroma kayu manis yang samar darinya.
Ia ingin melepaskan diri, tapi tubuhnya membeku. Jantungnya berdebar kencang. Itu bukan karena rasa nyeri di kakinya. Dengan sekuat tenaga, ia mengibaskan tangannya. “Tidak usah pegang-pegang. Aku bisa jalan sendiri,” begitu katanya sambil berjalan dengan tertatih. Penuh percaya diri, menahan nyeri di lututnya.
***
Di luar kamar
Begitu pintu tertutup, Lian langsung melepaskan diri dari Ren.
“Siapa dia?” tanyanya pada Ren. “Aku tahu kamu bukan pengawal biasa. Tanda pengenalmu itu khusus untuk pengawal kaisar. Aku tahu itu.”
Ren menghela napas. Ia tidak bisa membocorkan rahasia tuannya, tapi juga tidak bisa mengusir pergi gadis bangsawan ini dengan kasar.
“Ya, kamu benar,” jawab Ren akhirnya. “Dia… atasan ku. Dia yang menemukan nona itu terluka, lalu merasa bertanggung jawab.”
Dari ujung koridor, Daiyu dan pengikutnya yang melihat seorang pria dengan tergesa masuk ke kamar gadis baru itu langsung berjalan mendekat.
“Jadi, seorang gadis kaisar boleh berduaan di kamar dengan laki-laki lain, ya?” Ucap Daiyu dengan angkuh, seolah bisa mendapatkan celah untuk mengusir Cailin.
Ren mundur selangkah, kepalanya menunduk hormat. Meskipun wajahnya datar, matanya menyipit waspada. Sebagai pengawal kaisar, ia tidak terbiasa menghadapi gadis-gadis manja.
“Sudah ku bilang dia bukan calon selir kaisar, Daiyu!” bantah Lian.
Daiyu tertawa mengejek, “kau terlalu naif, Lian. Tempat ini tidak bisa dihuni sembarang orang. Hanya calon selir yang bisa tinggal disini.”
Daiyu melangkah mendekati Ren, “Dan kau,” jarinya menunjuk Ren dengan angkuh, “mengapa seorang pengawal Kaisar datang kesini? Tidakkah kau punya tugas lain selain mengikuti gadis rendahan ini?”
Belum sempat Ren menjawab, pintu kamar terbuka. Cailin melangkah keluar dengan tertatih, diikuti Shangkara dari belakang. Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi ada perlindungan kuat yang terpancar dari sosok Shangkara di belakangnya.
Daiyu mengabaikan kehadiran dua pria itu. Matanya menyipit, penuh kebencian dan kemenangan, tertuju hanya pada Cailin. Dia melangkah mendekat, hingga hanya berjarak satu langkah.
“Kau pikir dengan ada 'pengawal' dibelakangmu, kau bisa seenaknya melanggar aturan istana dan menerima tamu lelaki di kamarmu?” hardik Daiyu, suaranya meninggi penuh tantangan. Jarinya hampir-hampir menunjuk hidung Cailin.
“Aku akan melaporkanmu pada Selir Ibu!” ancamnya, suaranya menggema di koridor yang sunyi. “Kau akan diusir dari sini! Dan 'pengawal'-mu itu…” tatapannya menyapu Shangkara dengan penghinaan “...akan dipecat dan dihukum karena berani menyentuh 'calon selir' Kaisar!”
Cailin membiarkan Daiyu berbicara. Ia menatapnya tanpa gentar. Begitu ancaman diucapkan, ia menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. Suaranya datar namun tajam, “laporkan saja sana!”
Cailin berbalik, melangkah masuk kamar, dan membanting pintu meninggalkan semua orang di luar.
Ruang batu itu terasa sejuk, nyaris membekukan. Shangkara merebahkan Cailin di tempat tidur batu yang datar dan dingin. Di luar, suara-suara istana seperti lenyap. Dengan belati, Shangkara kembali melukai tangannya. Darah vermilionnya menetes perlahan ke bibir Cailin. Cailin yang menggigil, sedikit mengerang saat darah hangat itu masuk. Tangan Shangkara yang lain dengan lembut mengusap dahi Cailin yang basah oleh keringat dingin. Perlahan, suhu tubuh Cailin mulai turun, namun ia masih menggigil, napasnya tersendat.“Tubuhnya dingin,” Shangkara menoleh kepada Ren, “cari selimut!” perintahya.Shangkara menggenggam tangan Cailin. Menggososknya dengan tangannya sendiri.Ren kembali dengan selimut tebal, lalu memberikannya pada Shangkara. Shangkara segera menyelimuti Cailin, tapi gadis itu masih menggigil hebat, bibirnya mulai membiru. “Tubuhnya masih dingin, Ren. Sangat dingin,” bisik Shangkara. “Aku harus menghangatkannya.” Ren mengerti, wajahnya berubah pucat. “Yang mulia, anda tidak
Keesokan paginya, istana timur sudah sibuk dengan berbagai aktivitas. Lian sudah menarik lengan Cailin dengan semangat.“Cailin, ayo ikut aku ke kuil! Kamu terlalu lemah. Kamu harus melatih energimu. Guru Fen akan menguji energi spiritualmu, supaya kita bisa berlatih bersama.”Cailin mengikuti langkah Lian dengan sedikit tertatih, karena luka di lututnya belum sembuh sempurna. “Tapi... aku tidak pernah belajar menggunakan energi. Aku bahkan tidak tahu apa itu energi spiritual.”Lian tersenyum lembut. “Tenang saja. Banyak gadis di sini juga baru mulai. Guru Fen akan membantumu.”Mereka berdua akhirnya tiba di kuil tempat latihan di wilayah istana timur. Lian membawa Cailin menemui seorang tetua berjubah abu-abu yang duduk tenang di depan sebuah batu kristal besar.Guru Fen membuka matanya perlahan. “Siapa ini, Lian?”“Guru, ini Cailin. Dia baru datang. Bisakah anda mengujinya?”Guru Fen mengangguk, lalu menatap Cailin. “Letakkan tanganmu di atas batu ini. Tutup matamu, dan coba rasakan
Cailin duduk di tempat tidurnya. Lian membersihkan luka di lutut Cailin dengan air hangat. “Kau harus hati-hati, Cailin,” ujar Lian. Ia mencelupkan kain ke dalam wadah air hangat, perlahan ia menusap kembali luka di lutut Cailin. “Kau bisa terus-terusan di ganggu Daiyu.”Brak!Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan suara keras.Cailin dan Lian terkejut, menoleh ke arah pintu. Cailin langsung menurunkan roknya untuk menutupi kakinya yang terbuka.Seorang pria tinggi tegap berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit tersengal. Matanya langsung menatap ke arah kaki Cailin. Ia melangkah mendekat.Lian langsung berdiri, maju melindungi Cailin, “Siapa Anda?” tanyanya, suara bergetar. “Apa maksud kalian masuk kamar ini tanpa izin. Akan ku panggil penjaga.”Shangkara mengabaikan pertanyaannya. Langkahnya mendekat, matanya terus menatap rembesan darah di baju Cailin. Ia ingin memastikan dugaannya.Ren muncul dari belakang Shangkara, melangkah masuk mengikuti tuannya. Ia mendekati Lian, menunju
“Kau harus ganti baju,” desisnya, membuka lemari dan mengeluarkan sebuah hanfu berwarna pastel. “Pakaianmu yang sekarang... terlalu mencolok. Itu akan membuatmu menjadi target.”“Aku Lian,” kata gadis itu, memecahkan keheningan yang menegangkan setelah ucapannya tentang ‘calon selir’ menggantung di udara. “Ayo, masuk ke kamarmu sebelum yang lain memperhatikanmu lebih jauh.”“Target? Target apa? Aku bukan calon selir!” bantah Cailin, suaranya masih bergetar.Lian hanya menghela napas, “Ah! Kamu tamu?”Cailin mengangguk cepat.Lian melanjutkan, “Di istana timur ini, persepsi lebih penting daripada kenyataan. Tidak peduli kamu tamu atau calon. Sekarang, ganti bajumu. Akan kuceritakan semuanya.”“Itu pakaian siapa?” tanya Cailin melihat hanfu warna pastel yang dipegang Lian.“Ini disiapkan istana. Kamu penghuni kamar ini, semua yang ada disini berarti milikmu.”Lian membantu Cailin mengganti baju, dan menyisir rambutnya. “Oh, ya. Siapa namamu? Kamu dari keluarga mana?” tanyanya, tangannya
Kesadaran merambat perlahan ke dalam diri Cailin, seperti kabut yang tersibak.Hal pertama yang dirasakannya adalah hangat.Bukan hangatnya selimut, tetapi sebuah kehangatan aneh yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, menyebar ke seluruh tubuhnya yang lemas. Dia membuka mata, perlahan, berkedip mencoba menyesuaikan pandangan.Langit-langit batu.Itu bukan langit-langit pondok kayunya di hutan. Ini... berbeda. Dingin. Asing.Ia mencoba duduk, kepalanya pusing. Meski lemah, tubuhnya terasa ringan dan hangat.Ia melihat sekeliling. Ruangan ini aneh. Dindingnya batu marmer yang halus dan dingin, diterangi cahaya biru misterius dari kristal-kristal yang menempel. Ada rak kitab kuno dan botol-botol aneh. “Kau sudah bangun.”Suara itu, rendah dan berwibawa, membuatnya terkejut. Cailin menoleh ke sumber suara.Seorang pria berdiri di dekat lengkungan batu, membelakangi cahaya biru sehingga wajahnya sebagian tersembunyi dalam bayangan. Ia tinggi tegap, mengenakan tunik praktis berwarna ge
Ruangan rahasia itu tersembunyi di balik kemegahan istana yang berlapis emas dan permata. Dindingnya terbuat dari batu marmer yang halus, yang dingin bila disentuh. Beberapa gulungan kitab kuno bersandar usang di rak kayu, bersamaan dengan beberapa botol kecil berisi cairan obat yang tidak diberi label. Di tengah ruangan, sebuah tempat tidur batu polos dan datar—yang biasanya menjadi tempat Shangkara bermeditasi hingga larut malam—kini tergeletak seorang gadis tak dikenal yang napasnya tersengal-sengal. Cahaya biru dari kristal-kristal energi yang tertanam di dinding menerangi segala sudutnya, menciptakan bayangan-bayangan yang menari. Tidak ada satu pun simbol kebesaran kerajaan yang terpajang. Ini adalah tempat Sang Kaisar melepas semua topeng dan mahkotanya, menjadi dirinya yang paling sederhana dan paling tersembunyi—sebuah ruang yang selalu dia sembunyikan dari seluruh dunia.Ren adalah satu-satunya orang yang ia izinkan masuk.Tiba-tiba tubuh Cailin yang terbaring tak sadarkan