Share

5 - Lutut

Author: Luna Maji
last update Huling Na-update: 2025-09-25 18:35:24

Cailin duduk di tempat tidurnya. Lian membersihkan luka di lutut Cailin dengan air hangat. 

“Kau harus hati-hati, Cailin,” ujar Lian. Ia mencelupkan kain ke dalam wadah air hangat, perlahan ia menusap kembali luka di lutut Cailin. “Kau bisa terus-terusan di ganggu Daiyu.”

Brak!

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan suara keras.

Cailin dan Lian terkejut, menoleh ke arah pintu. Cailin langsung menurunkan roknya untuk menutupi kakinya yang terbuka.

Seorang pria tinggi tegap berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit tersengal. Matanya langsung menatap ke arah kaki Cailin. Ia melangkah mendekat.

Lian langsung berdiri, maju melindungi Cailin, “Siapa Anda?” tanyanya, suara bergetar. “Apa maksud kalian masuk kamar ini tanpa izin. Akan ku panggil penjaga.”

Shangkara mengabaikan pertanyaannya. Langkahnya mendekat, matanya terus menatap rembesan darah di baju Cailin. Ia ingin memastikan dugaannya.

Ren muncul dari belakang Shangkara, melangkah masuk mengikuti tuannya. Ia mendekati Lian, menunjukkan tanda identitas pengawalnya. “Kami pengawal istana, tidak perlu panggil penjaga.”

Lian mengangguk, tapi raut kaget dan bingungnya masih terlihat jelas. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi Ren kembali berbicara, “mari kita tunggu di luar, nona.”

Tangan Ren dengan halus membimbing bahu Lian untuk membujuknya keluar. “Biarkan… kapten… menangani ini. Dia lebih berpengalaman dengan luka.”

Lian menoleh ke arah Cailin yang mengangguk.

“Aku mengenalnya, jangan khawatir,” kata Cailin.

Setelah pintu tertutup, Shangkara langsung duduk di depan Cailin. Tangannya meraih kaki Cailin. 

“Hey!” protes Cailin, tapi Shangkara tidak peduli. Tangannya menarik kaki Cailin ke pangkuannya, lalu menyingsingkan celana Cailin.

“Diam!” perintah Shangkara.

Cailin tersentak. Wajahnya memerah saat Shangkara melihat luka di lututnya, “kau tahu? Kaki seorang gadis tidak boleh dilihat oleh laki-laki yang bukan suaminya,” suaranya pelan, kepalanya menunduk tidak berani melihat Shangkara.

Shangkara menghela napas pendek, “aku hanya penasaran.”

Ia menarik kakinya naik ke atas tempat tidur, lalu menggulung celananya hingga lutut, memperlihatkan luka yang sama persis dengan luka Cailin. “Lihatlah! Aku tiba-tiba mendapat luka ini tanpa sebab. Dan ternyata sama persis dengan lukamu.”

“Maksudmu? Kenapa bisa begitu?”

Shangkara menggeleng, “aku juga belum tahu.”

Shangkara meraih kain dan mencelupkannya ke air di baskom perunggu. Ia mengusapkan pelan ke lutut Cailin yang terluka, “kau harus mengobatinya dnegan benar. Jangan sampai luka ini meninggalkan bekas.”

Cailin menahan napas, menggigit bibir bawahnya. Perasaannya campur aduk terkejut, malu, tapi juga… sesuatu yang lain, sebuah gejolak aneh di dalam perutnya. Ini adalah sentuhan yang tak pernah ia bayangkan, dan yang paling mengejutkan, ia tidak ingin Shangkara berhenti.

Shangkara mengoleskan salep luka dengan ujung jarinya, sentuhannya begitu lembut hingga Cailin hampir tidak merasakannya. Kaki Cailin berkedut sebentar merasakan perih saat obat mengenai lukanya. 

Shangkara mendekatkan wajahnya, meniup luka itu dengan napas yang hangat. Desir napasnya membuat bulu kuduk Cailin merinding, bukan karena dingin, tapi sensasi aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Kemudian, Shangkara membalut luka itu dengan cekatan, seperti sudah terbiasa mengobati luka.

“Apa kau sering melakukan ini?” tanya Cailin, suaranya pelan, tidak bisa menyembunyikan rasa canggungnya.

“Kalau maksudmu mengobati luka, jawabannya iya. Aku sering mengobati lukaku sendiri. Aku tidak suka orang lain menyentuh tubuhku.” jawab Shangkara. Shangkara menatap Cailin langsung ke matanya yang membuat Cailin menunduk lebih dalam. “Tapi kalau mengobati luka seorang gadis, ini pertama kalinya.”

Cailin menarik kakinya setelah Shangkara menyelesaikan ikatan pada balutannya. “Kenapa kau lakukan ini padaku?”

Shangkara tidak menjawab, “kenapa kau menolongku saat di hutan? Kau bisa saja kabur. Pura-pura tidak melihatku. Tapi kau memilih membalut lukaku. Kenapa?”

Cailin terkejut mendengarnya. Ia menunduk, tangannya memainkan ujung lengan bajunya. 

“Karena… kamu kesakitan,” jawab Cailin akhirnya, suaranya pelan tapi jelas. “Aku tahu rasanya sendiri, tidak ada yang menolong.” 

Ia melihat ke arah jendela, seolah mengingat kenangan pahit. “Ibu tiriku—,” ia tidak meneruskan kalimatnya, “untuk apa aku cerita padamu. Pokoknya, aku tidak bisa melihatmu terluka, sendirian, tanpa bantuan, di tengah hutan.” suaranya sedikit berteriak untuk menutupi kecemasannya. “Kalau ada hewan buas bagaimana?”

Shangkara terdiam. Ia tidak menyangka alasannya begitu sederhana. Senyumnya muncul tiba-tiba. Senyum tulus yang membuat jantung Cailin semakin berdetak lebih kencang.

“Sampai kapan aku harus tinggal disini?” tanya Cailin berusaha menyembunyikan debar di dadanya. “Aku ingin kembali ke tempatku.”

“Tidak,” Shangkara menggeleng, “kau tidak akan kembali ke hutan. Kau harus disini. Paling tidak sampai kupastikan kau sembuh.”

“Aku tidak sakit,” protes Cailin, “lagian aku tidak suka disini. Banyak gadis-gadis aneh koleksinya Kaisar.”

Shangkara hampir melompat mendengar ucapan itu, matanya melotot, “koleksi Kaisar?”

“Iya. Aku dengar. Kaisar mengumpulkan para gadis disini untuk menjadi calon selir atau bahkan permaisurinya.”

Shangkara ingin protes, tapi ia mengurungkan niatnya. Di hadapan Cailin, ia bukan kaisar. Ia hanyalah pengawal istana biasa.

“Apalagi yang kau dengar tentang kaisar?” tanya Shangkara penasaran.

Cailin berpikir untuk menyusun kata-kata. “Katanya kaisar sangat kuat, dia bisa bertindak kejam. Wajahnya menakutkan.” Cailin mengangguk penuh percaya diri.

“Apa-apaan itu?” Shangkara tidak terima. “Siapa yang bilang?” 

Cailin mengangkat bahu, “katanya.”

Ia berdiri dan hendak melangkah keluar, tapi lututnya masih terasa nyeri sehingga langkahnya nyaris terjatuh.Shangkara dengan sigap menahan lengan Cailin. Cengkeramannya kuat, namun lembut. Jarak mereka begitu dekat hingga Cailin bisa mencium aroma kayu manis yang samar darinya.

Ia ingin melepaskan diri, tapi tubuhnya membeku. Jantungnya berdebar kencang. Itu bukan karena rasa nyeri di kakinya. Dengan sekuat tenaga, ia mengibaskan tangannya. “Tidak usah pegang-pegang. Aku bisa jalan sendiri,” begitu katanya sambil berjalan dengan tertatih. Penuh percaya diri, menahan nyeri di lututnya.

***

Di luar kamar

Begitu pintu tertutup, Lian langsung melepaskan diri dari Ren. 

“Siapa dia?” tanyanya pada Ren. “Aku tahu kamu bukan pengawal biasa. Tanda pengenalmu itu khusus untuk pengawal kaisar. Aku tahu itu.”

Ren menghela napas. Ia tidak bisa membocorkan rahasia tuannya, tapi juga tidak bisa mengusir pergi gadis bangsawan ini dengan kasar.

“Ya, kamu benar,” jawab Ren akhirnya. “Dia… atasan ku. Dia yang menemukan nona itu terluka, lalu merasa bertanggung jawab.”

Dari ujung koridor, Daiyu dan pengikutnya yang melihat seorang pria dengan tergesa masuk ke kamar gadis baru itu langsung berjalan mendekat.

“Jadi, seorang gadis kaisar boleh berduaan di kamar dengan laki-laki lain, ya?” Ucap Daiyu dengan angkuh, seolah bisa mendapatkan celah untuk mengusir Cailin.

Ren mundur selangkah, kepalanya menunduk hormat. Meskipun wajahnya datar, matanya menyipit waspada. Sebagai pengawal kaisar, ia tidak terbiasa menghadapi gadis-gadis manja.

“Sudah ku bilang dia bukan calon selir kaisar, Daiyu!” bantah Lian.

Daiyu tertawa mengejek, “kau terlalu naif, Lian. Tempat ini tidak bisa dihuni sembarang orang. Hanya calon selir yang bisa tinggal disini.”

Daiyu melangkah mendekati Ren, “Dan kau,” jarinya menunjuk Ren dengan angkuh, “mengapa seorang pengawal Kaisar datang kesini? Tidakkah kau punya tugas lain selain mengikuti gadis rendahan ini?”

Belum sempat Ren menjawab, pintu kamar terbuka. Cailin melangkah keluar dengan tertatih, diikuti Shangkara dari belakang. Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi ada perlindungan kuat yang terpancar dari sosok Shangkara di belakangnya.

Daiyu mengabaikan kehadiran dua pria itu. Matanya menyipit, penuh kebencian dan kemenangan, tertuju hanya pada Cailin. Dia melangkah mendekat, hingga hanya berjarak satu langkah.

“Kau pikir dengan ada 'pengawal' dibelakangmu, kau bisa seenaknya melanggar aturan istana dan menerima tamu lelaki di kamarmu?” hardik Daiyu, suaranya meninggi penuh tantangan. Jarinya hampir-hampir menunjuk hidung Cailin.

“Aku akan melaporkanmu pada Selir Ibu!” ancamnya, suaranya menggema di koridor yang sunyi. “Kau akan diusir dari sini! Dan 'pengawal'-mu itu…” tatapannya menyapu Shangkara dengan penghinaan “...akan dipecat dan dihukum karena berani menyentuh 'calon selir' Kaisar!”

Cailin membiarkan Daiyu berbicara. Ia menatapnya tanpa gentar. Begitu ancaman diucapkan, ia menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. Suaranya datar namun tajam, “laporkan saja sana!” 

Cailin berbalik, melangkah masuk kamar, dan membanting pintu meninggalkan semua orang di luar.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    Bab Bonus – Ide Dua Kekuatan Itu Datangnya dari Sini

    Oke, izinkan aku sedikit curhat, karena mungkin di antara kalian ada yang mikir: “KENAPA CAILIN PUNYA API VERMILION DAN ES BULAN, GILA, GAK NGOTAK NIH AUTHOR!” Jawaban singkatnya: iya, gila. Tapi gila dengan alasan. 😌 Aku tuh dulu suka banget sama konsep dual core power, dan yang pertama kali ngenalin itu ke otak aku ya ... Tang San, Soul Land. Kalian tahu kan? Dua martial soul, dua sistem energi, dua takdir yang harus ditanggung satu tubuh. Aku suka karena dia bukan sekadar kuat — tapi dia punya beban “dua dunia” di dirinya, kayak nggak pernah bisa jadi satu orang penuh. Nah, dari situ aku mikir: gimana kalau ide kayak gitu dibawa ke dunia Vermilion? Tapi jangan salin konsepnya mentah. Aku pengen versiku tuh lebih emosional, bukan cuma teknikal. Jadi, jadilah Cailin, gadis yang dibuang ibu tirinya ke hutan yang aslinya adalah pewaris klan bulan, tapi tiba-tiba dapat energi Vermilion gara-gara satu kaisar sok pahlawan ngasih darahnya tanpa mikir dulu. Boom. Dua energ

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    116 - Persiapan

    Cahaya pagi yang lembut menyelimuti kamar Kaisar. Shangkara dan Cailin bangun, tidak ada raut kelelahan di wajah Shangkara setelah malam yang intens. Justru wajahnya berseri-seri dan inti Qi Vermilion nya berdenyut dengan stabil dan kuat.“Tidak lelah, Yang Mulia?” bisik Cailin, tangannya membelai Segel Vermilion di dada Shangkara.Shangkara tersenyum puas. “Tentu saja tidak, kalau kau mau lagi, aku siap,” godanya.Tawa lepas lolos dari bibir Cailin. “Aku harus kembali.”Ia bangkit dan duduk di tepi ranjang, rambutnya masih berantakan. Ada jejak samar cahaya merah di kulitnya, seolah Vermilion tadi malam masih menolak pergi.Shangkara bangun dan duduk di sebelahnya. Tangannya merapikan ramb

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    115 - Pertahanan

    Tetua He menatap ketiganya — Shangkara, Cailin, dan Guru Fen — dengan sorot mata dalam, seperti sedang membaca garis takdir.“Langit jarang memberi dua cahaya dalam satu kerajaan tanpa alasan,” katanya akhirnya. “Tapi arah cahaya itu … belum selesai ditulis.”“Dan bintang yang kau lihat itu?” tanya Shangkara.“Bintang itu, Putri Bulan," jawab Tetua He, menunduk ke arah Cailin. “Bintang baru belum sepenuhnya stabil. Langit belum selesai menulis.”Guru Fen menunduk hormat. “Apakah artinya bintang itu membawa pertanda baik, Tetua He?”Tetua He menghela napas panjang, lalu berjalan ke jendela. “Baik atau buruk bukan urusan manusia. Langit h

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    114 - Keseimbangan

    Cahaya matahari menembus kisi jendela, menciptakan garis-garis lembut di lantai batu. Cailin terbangun, menikmati kehangatan yang luar biasa di pelukan Shangkara. Ia enggan beranjak. Ia memejamkan matanya kembali dan membiarkan momen itu berlangsung sedikit lebih lama. Shangkara terbangun, tapi ia juga tidak bergerak. Tangannya masih melingkari pinggang Cailin. Ia menyentuh rambut Cailin pelan, menatap wajahnya yang damai. Ia ingin bangun, tapi tubuhnya menolak meninggalkan ketenangan itu. Cailin bergerak pelan, matanya terbuka sedikit. “Kau sudah bangun?” bisiknya. “Sudah dari tadi,” jawab Shangkara lembut. “Tapi aku tidak mau bergerak, takut kau menghilang.” Cailin tersenyum samar, matanya ditutup kembali. “Kalau begitu, aku akan disini dan biarkan dunia menunggu sebentar.” Mereka diam cukup lama, menikmati ketenangan dan kehangatan di antara mereka. Sampai akhirnya, Shangkara berbisik, “Hari ini Dewan Langit akan melapor soal tanggal pernikahan spiritual itu.” Cailin membuka

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    113 - Takdir Langit

    Malam itu, kabut tipis turun di sebuah jalan kecil yang cukup jauh dari Istana Vermilion.Cailin mengenakan jubah abu-abu polos, rambutnya disembunyikan di balik tudung. Di sampingnya, satu Pasukan Bayangan berjalan tanpa suara, membawa lentera spiritual yang nyalanya nyaris tak terlihat.“Kita akan masuk lewat terowongan yang langsung ke ruang meditasi Kaisar,” bisik prajurit itu. “Jalur ini hanya Kaisar dan kami para pengawal bayangan yang tahu.”Cailin tersenyum samar. “Aku pernah melewati jalan ini,” bisiknya pelan.Saat mereka muncul dari balik dinding batu yang tersembunyi di balik altar, udara di ruang meditasi menyambutnya. Dingin, berat, dan penuh kenangan.Cailin memandang ranjang

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    112 - Permainan

    Pagi itu, Aula Dewan Agung Istana Vermilion dipenuhi gema suara para tetua. Suara jubah sutra berdesir, suara kipas dibuka-tutup, dan kata-kata “keseimbangan spiritual” disebut berulang kali seakan itu adalah mantra yang tak boleh tidak diucapkan.Shangkara duduk di singgasananya, menatap dingin para tetua. Aura Vermilion-nya ditahan rapat.Tetua Wen berdiri di tengah ruangan, membacakan gulungan yang sudah disegel dengan stempel merah Dewan Agung.“Demi stabilitas spiritual dan keseimbangan kekaisaran, Dewan menuntut pelaksanaan Upacara Pernikahan Spiritual antara Kaisar Vermilion dan Tunangannya, Nona Daiyu, dalam waktu dekat.”Shangkara diam. Tatapan matanya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status