Compartilhar

4 - Istana Timur

Autor: Luna Maji
last update Última atualização: 2025-09-25 18:34:59

“Kau harus ganti baju,” desisnya, membuka lemari dan mengeluarkan sebuah hanfu berwarna pastel. “Pakaianmu yang sekarang... terlalu mencolok. Itu akan membuatmu menjadi target.”

“Aku Lian,” kata gadis itu, memecahkan keheningan yang menegangkan setelah ucapannya tentang ‘calon selir’ menggantung di udara. “Ayo, masuk ke kamarmu sebelum yang lain memperhatikanmu lebih jauh.”

“Target? Target apa? Aku bukan calon selir!” bantah Cailin, suaranya masih bergetar.

Lian hanya menghela napas, “Ah! Kamu tamu?”

Cailin mengangguk cepat.

Lian melanjutkan, “Di istana timur ini, persepsi lebih penting daripada kenyataan. Tidak peduli kamu tamu atau calon. Sekarang, ganti bajumu. Akan kuceritakan semuanya.”

“Itu pakaian siapa?” tanya Cailin melihat hanfu warna pastel yang dipegang Lian.

“Ini disiapkan istana. Kamu penghuni kamar ini, semua yang ada disini berarti milikmu.”

Lian membantu Cailin mengganti baju, dan menyisir rambutnya. “Oh, ya. Siapa namamu? Kamu dari keluarga mana?” tanyanya, tangannya masih telaten merapikan rambut Cailin. Sentuhan itu terasa aneh, namun juga menenangkan. Cailin tidak terbiasa dengan kebaikan semacam ini.

“Aku Cailin. Keluarga? Apa maksudmu?”

Lian tergugup membeku.

“Keluarga Lin? Memangnya masih ada?” gumamnya pelan.

Cailin mendongak, “apa yang kamu katakan?”

“Tidak ada.” Lian memasang hiasan rambut terakhir sebelum akhirnya duduk di hadapan Cailin. “Semua gadis disini berasal dari keluarga terpandang.”

Cailin teringat pemandangannya saat masuk istana timur tadi. Pantas saja semua gadis-gadis itu terihat anggun dan menawan.

Ah, jadi ini memang tempat kaisar mengumpulkan para wanitanya. Lalu mengapa aku dikirim kemari? Pikir Cailin.

“Kaisar itu, orang seperti apa?” tanya Cailin penasaran. Orang seperti apa yang mengumpulkan banyak gadis untuk menjadi istrinya.

“Katanya sih gagah dan tampan. Itu sebabnya para gadis bersedia dikirim kesini. Tapi beberapa ada juga yang terpaksa.”

Akhirnya Cailin mengerti mengapa mata Lian menyiratkan kerinduan, “kamu dipaksa untuk datang kemari, ya?”

Lian menghela napas berat. “Bukankah sudah kewajiban kami untuk menurut kepada penguasa? Ini tanggung jawabku sebagai anak.”

Cailin mengangguk. Merasa nasibnya yang dibuang ibu tiri tidak terlalu menyedihkan. “Kamu belum pernah bertemu kaisar?”

Lian mengangguk, “diantara kami disini tidak ada satu pun yang pernah bertemu kaisar secara langsung. Bahkan sepertinya belum ada yang tahu wajah asli kaisar seperti apa.”

“Apa dia tidak pernah muncul di suatu acara? Wajahnya kan pasti terlihat?”

“Kaisar jarang muncul di depan umum. Kalaupun ada, itu dari jarak jauh. Kau tahu, kan? Kaisar sudah berhasil menguasai level tertinggi? Ada kabar burung juga, kalau wajah kaisar menakutkan. Itu sebabnya ia selalu menutupinya dengan aura vermilion.”

Cailin mengangguk. “Istana ini aman?”

Lian tertawa kering, “kalau maksudnya penjaga, iya, istana ini aman, banyak penjaga disini.” Lian menggeser kursinya, mendekat. Lalu berbisik, “kalau maksudmu aman dari para gadis lain, kau harus hati-hati dengan gadis yang bernama Daiyu.”

“Ah,” Cailin mendesah pelan. Jadi sama saja, ya. Di istana maupun di desa, selalu saja ada yang menyebalkan. “Seperti apa Daiyu?”

“Daiyu itu gadis yang paling berkuasa disini. Dia cantik, punya banyak bakat, dan dari keluarga yang sangat berpengaruh. Dia tidak segan menjatuhkan siapa pun yang dianggapnya sebagai pesaing.” Lian meremas tangan Cailin, “lebih baik jangan bertemu.”

Cailin mengangguk.

***

Keesokan paginya, Cailin yang sudah merasa lebih kuat, Lian mengajak berjalan-jalan di taman istana timur untuk menghirup udara segar. Mereka sedang asyik mengobrol tentang bunga, ketika sekelompok gadis menghalangi jalan mereka.

Daiyu berdiri di depan, dikelilingi oleh tiga pengikutnya. Dia tersenyum manis, tapi matanya tajam seperti belati.

“Lian,” sapanya, dengan nada manis yang palsu. “Kau menemukan mainan baru, rupanya.” Pandangannya beralih ke Cailin, menatapnya dari ujung kepala ke ujung kaki dengan pandangan merendahkan.

Cailin merasa tidak nyaman dan berusaha melewati mereka. “Permisi,” katanya, mencoba bersikap sopan.

“Tunggu,” ucap Daiyu tiba-tiba, suaranya dingin. Seorang pengikutnya dengan sigap menghalangi jalan Cailin. “Kita belum berkenalan. Kau dari keluarga mana? Aku tidak mengenalimu. Apa elemen kekuatanmu?”

“Aku... bukan dari mana-mana,” jawab Cailin, berusaha tenang.

“Bukan dari mana-mana?” Daiyu terkikik, diikuti oleh pengikutnya. “Jadi kau tersesat ke sini?”

Ia melangkah lebih dekat. “Aku pikir kau perlu diajarin sopan santun.” Dengan gerakan yang terlihat seperti hanya ingin membetulkan posisi berdiri Cailin, Daiyu pura-pura tersandung dan mendorong Cailin dengan keras ke arah pinggir jalan setapak yang tidak rata.

“Ah!” teriak Cailin. Kakinya tersandung batu, dan tubuhnya yang masih lemah itu jatuh tersungkur di atas hamparan kerikil tajam. Kerikil-kerikil tajam menembus pakaian tipisnya. 

Cailin meringis kesakitan. Rasa panas mengalir dari lututnya yang terkoyak. Ia melihat ke bawah, bajunya yang bersih tiba-tiba terkena rembesan berwarna merah segar. Ia tidak hanya merasakan sakit di lututnya, tapi juga rasa malu yang membakar di depan beberapa pasang mata yang mengamati.

Daiyu berdiri, masih dengan senyum palsunya. “Oh, maafkan aku. Jalannya banyak batu, aku tersandung. Aku bahkan belum mengeluarkan jurusku, ternyata kamu lemah.” Ucapannya dengan nada setengah mengejek. “Mungkin lain kali kau harus lebih hati-hati... atau tetap berada di tempat yang seharusnya.”

Ia dan kelompoknya meninggalkan Cailin yang masih terduduk di tanah, lututnya berdarah dan matanya berkaca-kaca karena rasa malu dan sakit.

Lian bergegas membantu Cailin berdiri. “Aduh, sepertinya lukanya dalam. Ayo, kita cepat balik ke kamar untuk dibersihkan!”

Sementara itu, di waktu yang sama di ruang kerja yang megah, Shangkara sedang membahas pelaku penyerangan sebelumnya dengan Ren.

“Jadi, kita masih belum menemukan orang yang menyerangku—” ujar Shangkara, tiba-tiba terhenti. “Agh!”

Sebuah rasa sakit tajam dan panas mengoyak lutut kanannya seolah-olah ditusuk dengan pisau. Tanpa pikir panjang, dia langsung menyandarkan diri ke sandaran kursi, wajahnya berkerut.

“Yang mulia?!” Ren langsung siaga, tangannya sudah menggenggam gagang pedang, matanya menyisir ruangan mencari ancaman yang tidak terlihat.

Shangkara menggertakan gigi. Matanya tertuju pada lututnya. Dengan gerakan gemetar dan penuh rasa tidak percaya, ia menyingsingkan lapisan jubah dan celana panjangnya yang terbuat dari sutra halus.

Dan di sana, di lutut kanannya, tiba-tiba muncul luka lebar. Darah yang pekat mulai mengalir.

“Tidak mungkin...” gumam Shangkara, menatap darah segar yang merembes di lututnya. Ia mengepalkan tangan, mencoba mengusir rasa sakit. “Ini ilusi. Mustahil aku tiba-tiba terluka begini.”

Tapi detik berikutnya, bayangan wajah Cailin muncul tanpa bisa ia cegah. Jantungnya berdegup keras, dan akhirnya ia tahu. Gadis itu... terluka.

“Dia…” bisiknya, suaranya serak. “Dia diserang. Atau... terluka.”

Shangkara menatap Ren, matanya menyala dengan campuran kepanikan, kemarahan, dan kebingungan.

Tanpa peduli lukanya, Shangkara berdiri. “Urusan ini ditunda, Ren. Sekarang, antar aku ke Istana Timur!”

Continue a ler este livro gratuitamente
Escaneie o código para baixar o App

Último capítulo

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    7 - Peluk

    Ruang batu itu terasa sejuk, nyaris membekukan. Shangkara merebahkan Cailin di tempat tidur batu yang datar dan dingin. Di luar, suara-suara istana seperti lenyap. Dengan belati, Shangkara kembali melukai tangannya. Darah vermilionnya menetes perlahan ke bibir Cailin. Cailin yang menggigil, sedikit mengerang saat darah hangat itu masuk. Tangan Shangkara yang lain dengan lembut mengusap dahi Cailin yang basah oleh keringat dingin. Perlahan, suhu tubuh Cailin mulai turun, namun ia masih menggigil, napasnya tersendat.“Tubuhnya dingin,” Shangkara menoleh kepada Ren, “cari selimut!” perintahya.Shangkara menggenggam tangan Cailin. Menggososknya dengan tangannya sendiri.Ren kembali dengan selimut tebal, lalu memberikannya pada Shangkara. Shangkara segera menyelimuti Cailin, tapi gadis itu masih menggigil hebat, bibirnya mulai membiru. “Tubuhnya masih dingin, Ren. Sangat dingin,” bisik Shangkara. “Aku harus menghangatkannya.” Ren mengerti, wajahnya berubah pucat. “Yang mulia, anda tidak

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    6 - Energi

    Keesokan paginya, istana timur sudah sibuk dengan berbagai aktivitas. Lian sudah menarik lengan Cailin dengan semangat.“Cailin, ayo ikut aku ke kuil! Kamu terlalu lemah. Kamu harus melatih energimu. Guru Fen akan menguji energi spiritualmu, supaya kita bisa berlatih bersama.”Cailin mengikuti langkah Lian dengan sedikit tertatih, karena luka di lututnya belum sembuh sempurna. “Tapi... aku tidak pernah belajar menggunakan energi. Aku bahkan tidak tahu apa itu energi spiritual.”Lian tersenyum lembut. “Tenang saja. Banyak gadis di sini juga baru mulai. Guru Fen akan membantumu.”Mereka berdua akhirnya tiba di kuil tempat latihan di wilayah istana timur. Lian membawa Cailin menemui seorang tetua berjubah abu-abu yang duduk tenang di depan sebuah batu kristal besar.Guru Fen membuka matanya perlahan. “Siapa ini, Lian?”“Guru, ini Cailin. Dia baru datang. Bisakah anda mengujinya?”Guru Fen mengangguk, lalu menatap Cailin. “Letakkan tanganmu di atas batu ini. Tutup matamu, dan coba rasakan

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    5 - Lutut

    Cailin duduk di tempat tidurnya. Lian membersihkan luka di lutut Cailin dengan air hangat. “Kau harus hati-hati, Cailin,” ujar Lian. Ia mencelupkan kain ke dalam wadah air hangat, perlahan ia menusap kembali luka di lutut Cailin. “Kau bisa terus-terusan di ganggu Daiyu.”Brak!Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan suara keras.Cailin dan Lian terkejut, menoleh ke arah pintu. Cailin langsung menurunkan roknya untuk menutupi kakinya yang terbuka.Seorang pria tinggi tegap berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit tersengal. Matanya langsung menatap ke arah kaki Cailin. Ia melangkah mendekat.Lian langsung berdiri, maju melindungi Cailin, “Siapa Anda?” tanyanya, suara bergetar. “Apa maksud kalian masuk kamar ini tanpa izin. Akan ku panggil penjaga.”Shangkara mengabaikan pertanyaannya. Langkahnya mendekat, matanya terus menatap rembesan darah di baju Cailin. Ia ingin memastikan dugaannya.Ren muncul dari belakang Shangkara, melangkah masuk mengikuti tuannya. Ia mendekati Lian, menunju

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    4 - Istana Timur

    “Kau harus ganti baju,” desisnya, membuka lemari dan mengeluarkan sebuah hanfu berwarna pastel. “Pakaianmu yang sekarang... terlalu mencolok. Itu akan membuatmu menjadi target.”“Aku Lian,” kata gadis itu, memecahkan keheningan yang menegangkan setelah ucapannya tentang ‘calon selir’ menggantung di udara. “Ayo, masuk ke kamarmu sebelum yang lain memperhatikanmu lebih jauh.”“Target? Target apa? Aku bukan calon selir!” bantah Cailin, suaranya masih bergetar.Lian hanya menghela napas, “Ah! Kamu tamu?”Cailin mengangguk cepat.Lian melanjutkan, “Di istana timur ini, persepsi lebih penting daripada kenyataan. Tidak peduli kamu tamu atau calon. Sekarang, ganti bajumu. Akan kuceritakan semuanya.”“Itu pakaian siapa?” tanya Cailin melihat hanfu warna pastel yang dipegang Lian.“Ini disiapkan istana. Kamu penghuni kamar ini, semua yang ada disini berarti milikmu.”Lian membantu Cailin mengganti baju, dan menyisir rambutnya. “Oh, ya. Siapa namamu? Kamu dari keluarga mana?” tanyanya, tangannya

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    3 - Bangun

    Kesadaran merambat perlahan ke dalam diri Cailin, seperti kabut yang tersibak.Hal pertama yang dirasakannya adalah hangat.Bukan hangatnya selimut, tetapi sebuah kehangatan aneh yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, menyebar ke seluruh tubuhnya yang lemas. Dia membuka mata, perlahan, berkedip mencoba menyesuaikan pandangan.Langit-langit batu.Itu bukan langit-langit pondok kayunya di hutan. Ini... berbeda. Dingin. Asing.Ia mencoba duduk, kepalanya pusing. Meski lemah, tubuhnya terasa ringan dan hangat.Ia melihat sekeliling. Ruangan ini aneh. Dindingnya batu marmer yang halus dan dingin, diterangi cahaya biru misterius dari kristal-kristal yang menempel. Ada rak kitab kuno dan botol-botol aneh. “Kau sudah bangun.”Suara itu, rendah dan berwibawa, membuatnya terkejut. Cailin menoleh ke sumber suara.Seorang pria berdiri di dekat lengkungan batu, membelakangi cahaya biru sehingga wajahnya sebagian tersembunyi dalam bayangan. Ia tinggi tegap, mengenakan tunik praktis berwarna ge

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    2 - Darah

    Ruangan rahasia itu tersembunyi di balik kemegahan istana yang berlapis emas dan permata. Dindingnya terbuat dari batu marmer yang halus, yang dingin bila disentuh. Beberapa gulungan kitab kuno bersandar usang di rak kayu, bersamaan dengan beberapa botol kecil berisi cairan obat yang tidak diberi label. Di tengah ruangan, sebuah tempat tidur batu polos dan datar—yang biasanya menjadi tempat Shangkara bermeditasi hingga larut malam—kini tergeletak seorang gadis tak dikenal yang napasnya tersengal-sengal. Cahaya biru dari kristal-kristal energi yang tertanam di dinding menerangi segala sudutnya, menciptakan bayangan-bayangan yang menari. Tidak ada satu pun simbol kebesaran kerajaan yang terpajang. Ini adalah tempat Sang Kaisar melepas semua topeng dan mahkotanya, menjadi dirinya yang paling sederhana dan paling tersembunyi—sebuah ruang yang selalu dia sembunyikan dari seluruh dunia.Ren adalah satu-satunya orang yang ia izinkan masuk.Tiba-tiba tubuh Cailin yang terbaring tak sadarkan

Mais capítulos
Explore e leia bons romances gratuitamente
Acesso gratuito a um vasto número de bons romances no app GoodNovel. Baixe os livros que você gosta e leia em qualquer lugar e a qualquer hora.
Leia livros gratuitamente no app
ESCANEIE O CÓDIGO PARA LER NO APP
DMCA.com Protection Status