Mag-log in“Aku Lian,” kata gadis itu, memecahkan keheningan yang menegangkan setelah ucapannya tentang ‘calon selir’ menggantung di udara. “Ayo, masuk ke kamarmu sebelum yang lain memperhatikanmu lebih jauh.”
“Kau harus ganti baju,” lanjutnya, membuka lemari dan mengeluarkan sebuah hanfu berwarna pastel. “Pakaianmu yang sekarang ... terlalu mencolok. Itu akan membuatmu menjadi target.” “Target? Target apa? Aku bukan calon selir!” bantah Cailin, suaranya masih bergetar. Lian hanya menghela napas, “Ah! Kamu tamu?” Cailin mengangguk cepat. Lian melanjutkan, “Di istana timur ini, persepsi lebih penting daripada kenyataan. Tidak peduli kamu tamu atau calon. Sekarang, ganti bajumu. Akan kuceritakan semuanya.” “Itu pakaian siapa?” tanya Cailin melihat hanfu warna pastel yang dipegang Lian. “Ini disiapkan istana. Kamu penghuni kamar ini, semua yang ada disini berarti milikmu.” Lian membantu Cailin mengganti baju, dan menyisir rambutnya. “Oh, ya. Siapa namamu? Kamu dari keluarga mana?” tanyanya, tangannya masih telaten merapikan rambut Cailin. Sentuhan itu terasa aneh, namun juga menenangkan. Cailin tidak terbiasa dengan kebaikan semacam ini. “Aku Cailin. Keluarga? Apa maksudmu?” Lian tergugup membeku. “Keluarga Lin? Memangnya masih ada?” gumamnya pelan. Cailin mendongak, “apa yang kamu katakan?” “Tidak ada.” Lian memasang hiasan rambut terakhir sebelum akhirnya duduk di hadapan Cailin. “Semua gadis disini berasal dari keluarga terpandang.” Cailin teringat pemandangannya saat masuk istana timur tadi. Pantas saja semua gadis-gadis itu terihat anggun dan menawan. Ah, jadi ini memang tempat kaisar mengumpulkan para wanitanya. Lalu mengapa aku dikirim kemari? Pikir Cailin. “Kaisar itu, orang seperti apa?” tanya Cailin penasaran. Orang seperti apa yang mengumpulkan banyak gadis untuk menjadi istrinya. “Katanya sih gagah dan tampan. Itu sebabnya para gadis bersedia dikirim kesini. Tapi beberapa ada juga yang terpaksa.” Akhirnya Cailin mengerti mengapa mata Lian menyiratkan kerinduan, “kamu dipaksa untuk datang kemari, ya?” Lian menghela napas berat. “Bukankah sudah kewajiban kami untuk menurut kepada penguasa? Ini tanggung jawabku sebagai anak.” Cailin mengangguk. Merasa nasibnya yang dibuang ibu tiri tidak terlalu menyedihkan. “Kamu belum pernah bertemu kaisar?” Lian mengangguk, “diantara kami disini tidak ada satu pun yang pernah bertemu kaisar secara langsung. Bahkan sepertinya belum ada yang tahu wajah asli kaisar seperti apa.” “Apa dia tidak pernah muncul di suatu acara? Wajahnya kan pasti terlihat?” “Kaisar jarang muncul di depan umum. Kalaupun ada, itu dari jarak jauh. Kau tahu, kan? Kaisar sudah berhasil menguasai level tertinggi? Ada kabar burung juga, kalau wajah kaisar menakutkan. Itu sebabnya ia selalu menutupinya dengan aura vermilion.” Cailin mengangguk. “Istana ini aman?” Lian tertawa kering, “kalau maksudnya penjaga, iya, istana ini aman, banyak penjaga disini.” Lian menggeser kursinya, mendekat. Lalu berbisik, “kalau maksudmu aman dari para gadis lain, kau harus hati-hati dengan gadis yang bernama Daiyu.” “Ah,” Cailin mendesah pelan. Jadi sama saja, ya. Di istana maupun di desa, selalu saja ada yang menyebalkan. “Seperti apa Daiyu?” “Daiyu itu gadis yang paling berkuasa disini. Dia cantik, punya banyak bakat, dan dari keluarga yang sangat berpengaruh. Dia tidak segan menjatuhkan siapa pun yang dianggapnya sebagai pesaing.” Lian meremas tangan Cailin, “lebih baik jangan bertemu.” Cailin mengangguk. *** Keesokan paginya, Cailin yang sudah merasa lebih kuat, Lian mengajak berjalan-jalan di taman istana timur untuk menghirup udara segar. Mereka sedang asyik mengobrol tentang bunga, ketika sekelompok gadis menghalangi jalan mereka. Daiyu berdiri di depan, dikelilingi oleh tiga pengikutnya. Dia tersenyum manis, tapi matanya tajam seperti belati. “Lian,” sapanya, dengan nada manis yang palsu. “Kau menemukan mainan baru, rupanya.” Pandangannya beralih ke Cailin, menatapnya dari ujung kepala ke ujung kaki dengan pandangan merendahkan. Cailin merasa tidak nyaman dan berusaha melewati mereka. “Permisi,” katanya, mencoba bersikap sopan. “Tunggu,” ucap Daiyu tiba-tiba, suaranya dingin. Seorang pengikutnya dengan sigap menghalangi jalan Cailin. “Kita belum berkenalan. Kau dari keluarga mana? Aku tidak mengenalimu. Apa elemen kekuatanmu?” “Aku... bukan dari mana-mana,” jawab Cailin, berusaha tenang. “Bukan dari mana-mana?” Daiyu terkikik, diikuti oleh pengikutnya. “Jadi kau tersesat ke sini?” Ia melangkah lebih dekat. “Aku pikir kau perlu diajarin sopan santun.” Dengan gerakan yang terlihat seperti hanya ingin membetulkan posisi berdiri Cailin, Daiyu pura-pura tersandung dan mendorong Cailin dengan keras ke arah pinggir jalan setapak yang tidak rata. “Ah!” teriak Cailin. Kakinya tersandung batu, dan tubuhnya yang masih lemah itu jatuh tersungkur di atas hamparan kerikil tajam. Kerikil-kerikil tajam menembus pakaian tipisnya. Cailin meringis kesakitan. Rasa panas mengalir dari lututnya yang terkoyak. Ia melihat ke bawah, bajunya yang bersih tiba-tiba terkena rembesan berwarna merah segar. Ia tidak hanya merasakan sakit di lututnya, tapi juga rasa malu yang membakar di depan beberapa pasang mata yang mengamati. Daiyu berdiri, masih dengan senyum palsunya. “Oh, maafkan aku. Jalannya banyak batu, aku tersandung. Aku bahkan belum mengeluarkan jurusku, ternyata kamu lemah.” Ucapannya dengan nada setengah mengejek. “Mungkin lain kali kau harus lebih hati-hati... atau tetap berada di tempat yang seharusnya.” Ia dan kelompoknya meninggalkan Cailin yang masih terduduk di tanah, lututnya berdarah dan matanya berkaca-kaca karena rasa malu dan sakit. Lian bergegas membantu Cailin berdiri. “Aduh, sepertinya lukanya dalam. Ayo, kita cepat balik ke kamar untuk dibersihkan!” Sementara itu, di waktu yang sama di ruang kerja yang megah, Shangkara sedang membahas pelaku penyerangan sebelumnya dengan Ren. “Jadi, kita masih belum menemukan orang yang menyerangku—” ujar Shangkara, tiba-tiba terhenti. “Agh!” Sebuah rasa sakit tajam dan panas mengoyak lutut kanannya seolah-olah ditusuk dengan pisau. Tanpa pikir panjang, dia langsung menyandarkan diri ke sandaran kursi, wajahnya berkerut. “Yang mulia?!” Ren langsung siaga, tangannya sudah menggenggam gagang pedang, matanya menyisir ruangan mencari ancaman yang tidak terlihat. Shangkara menggertakan gigi. Matanya tertuju pada lututnya. Dengan gerakan gemetar dan penuh rasa tidak percaya, ia menyingsingkan lapisan jubah dan celana panjangnya yang terbuat dari sutra halus. Dan di sana, di lutut kanannya, tiba-tiba muncul luka lebar. Darah yang pekat mulai mengalir. “Tidak mungkin...” gumam Shangkara, menatap darah segar yang merembes di lututnya. Ia mengepalkan tangan, mencoba mengusir rasa sakit. “Ini ilusi. Mustahil aku tiba-tiba terluka begini.” Tapi detik berikutnya, bayangan wajah Cailin muncul tanpa bisa ia cegah. Jantungnya berdegup keras, dan akhirnya ia tahu. Gadis itu... terluka. “Dia…” bisiknya, suaranya serak. “Dia diserang. Atau... terluka.” Shangkara menatap Ren, matanya menyala dengan campuran kepanikan, kemarahan, dan kebingungan. Tanpa peduli lukanya, Shangkara berdiri. “Urusan ini ditunda, Ren. Sekarang, antar aku ke Istana Timur!”Oke, izinkan aku sedikit curhat, karena mungkin di antara kalian ada yang mikir: “KENAPA CAILIN PUNYA API VERMILION DAN ES BULAN, GILA, GAK NGOTAK NIH AUTHOR!” Jawaban singkatnya: iya, gila. Tapi gila dengan alasan. 😌 Aku tuh dulu suka banget sama konsep dual core power, dan yang pertama kali ngenalin itu ke otak aku ya ... Tang San, Soul Land. Kalian tahu kan? Dua martial soul, dua sistem energi, dua takdir yang harus ditanggung satu tubuh. Aku suka karena dia bukan sekadar kuat — tapi dia punya beban “dua dunia” di dirinya, kayak nggak pernah bisa jadi satu orang penuh. Nah, dari situ aku mikir: gimana kalau ide kayak gitu dibawa ke dunia Vermilion? Tapi jangan salin konsepnya mentah. Aku pengen versiku tuh lebih emosional, bukan cuma teknikal. Jadi, jadilah Cailin, gadis yang dibuang ibu tirinya ke hutan yang aslinya adalah pewaris klan bulan, tapi tiba-tiba dapat energi Vermilion gara-gara satu kaisar sok pahlawan ngasih darahnya tanpa mikir dulu. Boom. Dua energ
Cahaya pagi yang lembut menyelimuti kamar Kaisar. Shangkara dan Cailin bangun, tidak ada raut kelelahan di wajah Shangkara setelah malam yang intens. Justru wajahnya berseri-seri dan inti Qi Vermilion nya berdenyut dengan stabil dan kuat.“Tidak lelah, Yang Mulia?” bisik Cailin, tangannya membelai Segel Vermilion di dada Shangkara.Shangkara tersenyum puas. “Tentu saja tidak, kalau kau mau lagi, aku siap,” godanya.Tawa lepas lolos dari bibir Cailin. “Aku harus kembali.”Ia bangkit dan duduk di tepi ranjang, rambutnya masih berantakan. Ada jejak samar cahaya merah di kulitnya, seolah Vermilion tadi malam masih menolak pergi.Shangkara bangun dan duduk di sebelahnya. Tangannya merapikan ramb
Tetua He menatap ketiganya — Shangkara, Cailin, dan Guru Fen — dengan sorot mata dalam, seperti sedang membaca garis takdir.“Langit jarang memberi dua cahaya dalam satu kerajaan tanpa alasan,” katanya akhirnya. “Tapi arah cahaya itu … belum selesai ditulis.”“Dan bintang yang kau lihat itu?” tanya Shangkara.“Bintang itu, Putri Bulan," jawab Tetua He, menunduk ke arah Cailin. “Bintang baru belum sepenuhnya stabil. Langit belum selesai menulis.”Guru Fen menunduk hormat. “Apakah artinya bintang itu membawa pertanda baik, Tetua He?”Tetua He menghela napas panjang, lalu berjalan ke jendela. “Baik atau buruk bukan urusan manusia. Langit h
Cahaya matahari menembus kisi jendela, menciptakan garis-garis lembut di lantai batu. Cailin terbangun, menikmati kehangatan yang luar biasa di pelukan Shangkara. Ia enggan beranjak. Ia memejamkan matanya kembali dan membiarkan momen itu berlangsung sedikit lebih lama. Shangkara terbangun, tapi ia juga tidak bergerak. Tangannya masih melingkari pinggang Cailin. Ia menyentuh rambut Cailin pelan, menatap wajahnya yang damai. Ia ingin bangun, tapi tubuhnya menolak meninggalkan ketenangan itu. Cailin bergerak pelan, matanya terbuka sedikit. “Kau sudah bangun?” bisiknya. “Sudah dari tadi,” jawab Shangkara lembut. “Tapi aku tidak mau bergerak, takut kau menghilang.” Cailin tersenyum samar, matanya ditutup kembali. “Kalau begitu, aku akan disini dan biarkan dunia menunggu sebentar.” Mereka diam cukup lama, menikmati ketenangan dan kehangatan di antara mereka. Sampai akhirnya, Shangkara berbisik, “Hari ini Dewan Langit akan melapor soal tanggal pernikahan spiritual itu.” Cailin membuka
Malam itu, kabut tipis turun di sebuah jalan kecil yang cukup jauh dari Istana Vermilion.Cailin mengenakan jubah abu-abu polos, rambutnya disembunyikan di balik tudung. Di sampingnya, satu Pasukan Bayangan berjalan tanpa suara, membawa lentera spiritual yang nyalanya nyaris tak terlihat.“Kita akan masuk lewat terowongan yang langsung ke ruang meditasi Kaisar,” bisik prajurit itu. “Jalur ini hanya Kaisar dan kami para pengawal bayangan yang tahu.”Cailin tersenyum samar. “Aku pernah melewati jalan ini,” bisiknya pelan.Saat mereka muncul dari balik dinding batu yang tersembunyi di balik altar, udara di ruang meditasi menyambutnya. Dingin, berat, dan penuh kenangan.Cailin memandang ranjang
Pagi itu, Aula Dewan Agung Istana Vermilion dipenuhi gema suara para tetua. Suara jubah sutra berdesir, suara kipas dibuka-tutup, dan kata-kata “keseimbangan spiritual” disebut berulang kali seakan itu adalah mantra yang tak boleh tidak diucapkan.Shangkara duduk di singgasananya, menatap dingin para tetua. Aura Vermilion-nya ditahan rapat.Tetua Wen berdiri di tengah ruangan, membacakan gulungan yang sudah disegel dengan stempel merah Dewan Agung.“Demi stabilitas spiritual dan keseimbangan kekaisaran, Dewan menuntut pelaksanaan Upacara Pernikahan Spiritual antara Kaisar Vermilion dan Tunangannya, Nona Daiyu, dalam waktu dekat.”Shangkara diam. Tatapan matanya







