Keesokan paginya, istana timur sudah sibuk dengan berbagai aktivitas. Lian sudah menarik lengan Cailin dengan semangat.
“Cailin, ayo ikut aku ke kuil! Kamu terlalu lemah. Kamu harus melatih energimu. Guru Fen akan menguji energi spiritualmu, supaya kita bisa berlatih bersama.”
Cailin mengikuti langkah Lian dengan sedikit tertatih, karena luka di lututnya belum sembuh sempurna. “Tapi... aku tidak pernah belajar menggunakan energi. Aku bahkan tidak tahu apa itu energi spiritual.”
Lian tersenyum lembut. “Tenang saja. Banyak gadis di sini juga baru mulai. Guru Fen akan membantumu.”
Mereka berdua akhirnya tiba di kuil tempat latihan di wilayah istana timur. Lian membawa Cailin menemui seorang tetua berjubah abu-abu yang duduk tenang di depan sebuah batu kristal besar.
Guru Fen membuka matanya perlahan. “Siapa ini, Lian?”
“Guru, ini Cailin. Dia baru datang. Bisakah anda mengujinya?”
Guru Fen mengangguk, lalu menatap Cailin. “Letakkan tanganmu di atas batu ini. Tutup matamu, dan coba rasakan energi di sekitarmu.”
Cailin menatap batu kristal itu dengan gugup. Telapak tangannya yang berkeringat menempel pada permukaan dingin batu itu. Awalnya, tidak ada yang terjadi. Lalu, cahaya keperakan menyebar dari bawah tangannya—lembut, seperti bulan purnama.
Tapi tiba-tiba, sebuah getaran kasar mengguncang batu itu. Cahaya merah keemasan menyembur, menabrak cahaya perak yang lembut. Cailin menjerit kecil. Darahnya terasa mendidih, sementara tulang-tulangnya membeku. Dunia berputar, ia mendengar teriakan Lian, lalu gelap.
Guru Fen tersentak mundur, matanya membelalak. “Cahaya perak... dan... dan itu tadi... Cahaya merah emas? Itu mustahil! Ini…” Tangannya bergetar saat ia menyentuh nadi Cailin yang melemah.
Di saat yang sama, jauh di ruang sidang istana, Shangkara sedang mendengarkan laporan dari salah satu tetua.
“Yang mulia, laporan dari wilayah selatan. Musim hujan datang lebih awal—”
Tetua masih terus berbicara, tapi Shangkara tiba-tiba merasa tubuhnya mendadak lemas, dan pandangannya berkunang-kunang. Lengannya mencengkeram erat singgasananya, ia memejamkan mata perlahan, merasakan sensasi familiar dari energi yang meluap di dalam dirinya.
Ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang terjadi pada gadis itu.
Ia segera berdiri, tidak peduli dengan tatapan para tetua yang penuh pertanyaan.
“Kita lanjutkan nanti,” suaranya terdengar tegang. Tanpa penjelasan, ia melangkah meninggalkan ruang sidang, diikuti oleh Ren yang setia.
Shangkara bergegas menyusuri koridor, langkahnya begitu cepat. Dadanya naik turun dengan cepat, wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang tidak biasa terpancar dari seorang Kaisar.
“Kita mau ke mana, yang mulia?” tanya Ren, suaranya serak di tengah derap langkah.
“Kuil latihan di istana timur,” jawabnya, suaranya tegang.
Ren, yang mengikuti di belakang, mengerutkan kening. “Anda akan datang sebagai kaisar atau pengawal?” tanyanya, menatap jubah kekaisaran tuannya.
Tanpa berkata-kata, Shangkara berhenti. Tangannya dengan cepat melepas jubah kebesarannya dan melemparkannya ke tangan Ren. “Sini bajumu,” perintahnya singkat. Dia lalu mengenakan baju pengawal berwarna cokelat milik Ren, yang membuatnya terlihat seperti prajurit biasa.
Kuil latihan itu terasa sunyi, hanya diisi aroma dupa yang menenangkan. Shangkara melangkah masuk, derap langkahnya memecah keheningan. Cahaya lampu minyak berpendar lembut, menyoroti tubuh Cailin yang terbaring di atas ranjang kayu. Napasnya dangkal, wajahnya pucat seperti porselen. Lian berdiri gelisah di sisi ranjang, sementara Guru Fen menunduk penuh hormat ketika Shangkara masuk.
“Ren.” Shangkara hanya menyebut nama ajudannya.
Ren mengangguk mengerti, melangkah mendekati Lian. “Nona, kembalilah ke kamar mu. Biarkan guru Fen yang menangani ini.”
Lian menatap Ren, bingung, tetapi tatapan tajam pria itu tidak memberikan ruang untuk protes. Dengan enggan, Lian meninggalkan kuil.
Setelah pintu tertutup, guru Fen berbicara, “Yang mulia…” suaranya nyaris berbisik, tapi ruang kuil yang hening membuat setiap katanya terdengar berat. “Tubuh gadis ini menyimpan dua kekuatan. Energi bulan—sesuatu yang telah lama hilang dari dunia ini. Dan… energi anda, yang entah bagaimana meresap ke dalam dirinya. Keduanya bertarung di dalam dirinya, yang mulia. Seperti api dan es yang saling membakar dan membekukan.”
Guru Fen menatap Shangkara. Bukan tatapan ke kaisar, tapi tatapan seorang guru ke muridnya. “Shangkara, kamu penyebabnya? Itu berbahaya, dua energi bertolak belakang dalam satu tubuh akan menimbulkan kekacauan besar.”
Shangkara tidak menjawab. Ia mengulurkan tangan untuk mengangkat cailin. “Aku bawa ke ruang meditasiku.”
“Darah vermilion hanya bisa menstabilkan untuk sementara. Kau harus mencari cara lain.” ucap guru Fen sebelum Shangkara melangkah keluar kuil.
Shangkara berjalan cepat dengan Cailin dipelukannya. Langkahnya mantap menuju ruang meditasi.
Ruang batu itu terasa sejuk, nyaris membekukan. Shangkara merebahkan Cailin di tempat tidur batu yang datar dan dingin. Di luar, suara-suara istana seperti lenyap. Dengan belati, Shangkara kembali melukai tangannya. Darah vermilionnya menetes perlahan ke bibir Cailin. Cailin yang menggigil, sedikit mengerang saat darah hangat itu masuk. Tangan Shangkara yang lain dengan lembut mengusap dahi Cailin yang basah oleh keringat dingin. Perlahan, suhu tubuh Cailin mulai turun, namun ia masih menggigil, napasnya tersendat.“Tubuhnya dingin,” Shangkara menoleh kepada Ren, “cari selimut!” perintahya.Shangkara menggenggam tangan Cailin. Menggososknya dengan tangannya sendiri.Ren kembali dengan selimut tebal, lalu memberikannya pada Shangkara. Shangkara segera menyelimuti Cailin, tapi gadis itu masih menggigil hebat, bibirnya mulai membiru. “Tubuhnya masih dingin, Ren. Sangat dingin,” bisik Shangkara. “Aku harus menghangatkannya.” Ren mengerti, wajahnya berubah pucat. “Yang mulia, anda tidak
Keesokan paginya, istana timur sudah sibuk dengan berbagai aktivitas. Lian sudah menarik lengan Cailin dengan semangat.“Cailin, ayo ikut aku ke kuil! Kamu terlalu lemah. Kamu harus melatih energimu. Guru Fen akan menguji energi spiritualmu, supaya kita bisa berlatih bersama.”Cailin mengikuti langkah Lian dengan sedikit tertatih, karena luka di lututnya belum sembuh sempurna. “Tapi... aku tidak pernah belajar menggunakan energi. Aku bahkan tidak tahu apa itu energi spiritual.”Lian tersenyum lembut. “Tenang saja. Banyak gadis di sini juga baru mulai. Guru Fen akan membantumu.”Mereka berdua akhirnya tiba di kuil tempat latihan di wilayah istana timur. Lian membawa Cailin menemui seorang tetua berjubah abu-abu yang duduk tenang di depan sebuah batu kristal besar.Guru Fen membuka matanya perlahan. “Siapa ini, Lian?”“Guru, ini Cailin. Dia baru datang. Bisakah anda mengujinya?”Guru Fen mengangguk, lalu menatap Cailin. “Letakkan tanganmu di atas batu ini. Tutup matamu, dan coba rasakan
Cailin duduk di tempat tidurnya. Lian membersihkan luka di lutut Cailin dengan air hangat. “Kau harus hati-hati, Cailin,” ujar Lian. Ia mencelupkan kain ke dalam wadah air hangat, perlahan ia menusap kembali luka di lutut Cailin. “Kau bisa terus-terusan di ganggu Daiyu.”Brak!Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan suara keras.Cailin dan Lian terkejut, menoleh ke arah pintu. Cailin langsung menurunkan roknya untuk menutupi kakinya yang terbuka.Seorang pria tinggi tegap berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit tersengal. Matanya langsung menatap ke arah kaki Cailin. Ia melangkah mendekat.Lian langsung berdiri, maju melindungi Cailin, “Siapa Anda?” tanyanya, suara bergetar. “Apa maksud kalian masuk kamar ini tanpa izin. Akan ku panggil penjaga.”Shangkara mengabaikan pertanyaannya. Langkahnya mendekat, matanya terus menatap rembesan darah di baju Cailin. Ia ingin memastikan dugaannya.Ren muncul dari belakang Shangkara, melangkah masuk mengikuti tuannya. Ia mendekati Lian, menunju
“Kau harus ganti baju,” desisnya, membuka lemari dan mengeluarkan sebuah hanfu berwarna pastel. “Pakaianmu yang sekarang... terlalu mencolok. Itu akan membuatmu menjadi target.”“Aku Lian,” kata gadis itu, memecahkan keheningan yang menegangkan setelah ucapannya tentang ‘calon selir’ menggantung di udara. “Ayo, masuk ke kamarmu sebelum yang lain memperhatikanmu lebih jauh.”“Target? Target apa? Aku bukan calon selir!” bantah Cailin, suaranya masih bergetar.Lian hanya menghela napas, “Ah! Kamu tamu?”Cailin mengangguk cepat.Lian melanjutkan, “Di istana timur ini, persepsi lebih penting daripada kenyataan. Tidak peduli kamu tamu atau calon. Sekarang, ganti bajumu. Akan kuceritakan semuanya.”“Itu pakaian siapa?” tanya Cailin melihat hanfu warna pastel yang dipegang Lian.“Ini disiapkan istana. Kamu penghuni kamar ini, semua yang ada disini berarti milikmu.”Lian membantu Cailin mengganti baju, dan menyisir rambutnya. “Oh, ya. Siapa namamu? Kamu dari keluarga mana?” tanyanya, tangannya
Kesadaran merambat perlahan ke dalam diri Cailin, seperti kabut yang tersibak.Hal pertama yang dirasakannya adalah hangat.Bukan hangatnya selimut, tetapi sebuah kehangatan aneh yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, menyebar ke seluruh tubuhnya yang lemas. Dia membuka mata, perlahan, berkedip mencoba menyesuaikan pandangan.Langit-langit batu.Itu bukan langit-langit pondok kayunya di hutan. Ini... berbeda. Dingin. Asing.Ia mencoba duduk, kepalanya pusing. Meski lemah, tubuhnya terasa ringan dan hangat.Ia melihat sekeliling. Ruangan ini aneh. Dindingnya batu marmer yang halus dan dingin, diterangi cahaya biru misterius dari kristal-kristal yang menempel. Ada rak kitab kuno dan botol-botol aneh. “Kau sudah bangun.”Suara itu, rendah dan berwibawa, membuatnya terkejut. Cailin menoleh ke sumber suara.Seorang pria berdiri di dekat lengkungan batu, membelakangi cahaya biru sehingga wajahnya sebagian tersembunyi dalam bayangan. Ia tinggi tegap, mengenakan tunik praktis berwarna ge
Ruangan rahasia itu tersembunyi di balik kemegahan istana yang berlapis emas dan permata. Dindingnya terbuat dari batu marmer yang halus, yang dingin bila disentuh. Beberapa gulungan kitab kuno bersandar usang di rak kayu, bersamaan dengan beberapa botol kecil berisi cairan obat yang tidak diberi label. Di tengah ruangan, sebuah tempat tidur batu polos dan datar—yang biasanya menjadi tempat Shangkara bermeditasi hingga larut malam—kini tergeletak seorang gadis tak dikenal yang napasnya tersengal-sengal. Cahaya biru dari kristal-kristal energi yang tertanam di dinding menerangi segala sudutnya, menciptakan bayangan-bayangan yang menari. Tidak ada satu pun simbol kebesaran kerajaan yang terpajang. Ini adalah tempat Sang Kaisar melepas semua topeng dan mahkotanya, menjadi dirinya yang paling sederhana dan paling tersembunyi—sebuah ruang yang selalu dia sembunyikan dari seluruh dunia.Ren adalah satu-satunya orang yang ia izinkan masuk.Tiba-tiba tubuh Cailin yang terbaring tak sadarkan