Share

6 - Energi

Author: Luna Maji
last update Last Updated: 2025-09-25 18:35:56

Keesokan paginya, istana timur sudah sibuk dengan berbagai aktivitas. Lian sudah menarik lengan Cailin dengan semangat.

“Cailin, ayo ikut aku ke kuil! Kamu terlalu lemah. Kamu harus melatih energimu. Guru Fen akan menguji energi spiritualmu, supaya kita bisa berlatih bersama.”

Cailin mengikuti langkah Lian dengan sedikit tertatih, karena luka di lututnya belum sembuh sempurna. “Tapi... aku tidak pernah belajar menggunakan energi. Aku bahkan tidak tahu apa itu energi spiritual.”

Lian tersenyum lembut. “Tenang saja. Banyak gadis di sini juga baru mulai. Guru Fen akan membantumu.”

Mereka berdua akhirnya tiba di kuil tempat latihan di wilayah istana timur. Lian membawa Cailin menemui seorang tetua berjubah abu-abu yang duduk tenang di depan sebuah batu kristal besar.

Guru Fen membuka matanya perlahan. “Siapa ini, Lian?”

“Guru, ini Cailin. Dia baru datang. Bisakah anda mengujinya?”

Guru Fen mengangguk, lalu menatap Cailin. “Letakkan tanganmu di atas batu ini. Tutup matamu, dan coba rasakan energi di sekitarmu.”

Cailin menatap batu kristal itu dengan gugup. Telapak tangannya yang berkeringat menempel pada permukaan dingin batu itu. Awalnya, tidak ada yang terjadi. Lalu, cahaya keperakan menyebar dari bawah tangannya—lembut, seperti bulan purnama.

Tapi tiba-tiba, sebuah getaran kasar mengguncang batu itu. Cahaya merah keemasan menyembur, menabrak cahaya perak yang lembut. Cailin menjerit kecil. Darahnya terasa mendidih, sementara tulang-tulangnya membeku. Dunia berputar, ia mendengar teriakan Lian, lalu gelap.

Guru Fen tersentak mundur, matanya membelalak. “Cahaya perak... dan... dan itu tadi... Cahaya merah emas? Itu mustahil! Ini…” Tangannya bergetar saat ia menyentuh nadi Cailin yang melemah.

Di saat yang sama, jauh di ruang sidang istana, Shangkara sedang mendengarkan laporan dari salah satu tetua.

“Yang mulia, laporan dari wilayah selatan. Musim hujan datang lebih awal—”

Tetua masih terus berbicara, tapi Shangkara tiba-tiba merasa tubuhnya mendadak lemas, dan pandangannya berkunang-kunang. Lengannya mencengkeram erat singgasananya, ia memejamkan mata perlahan, merasakan sensasi familiar dari energi yang meluap di dalam dirinya.

Ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang terjadi pada gadis itu.

Ia segera berdiri, tidak peduli dengan tatapan para tetua yang penuh pertanyaan.

“Kita lanjutkan nanti,” suaranya terdengar tegang. Tanpa penjelasan, ia melangkah meninggalkan ruang sidang, diikuti oleh Ren yang setia.

Shangkara bergegas menyusuri koridor, langkahnya begitu cepat. Dadanya naik turun dengan cepat, wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang tidak biasa terpancar dari seorang Kaisar.

“Kita mau ke mana, yang mulia?” tanya Ren, suaranya serak di tengah derap langkah.

“Kuil latihan di istana timur,” jawabnya, suaranya tegang. 

Ren, yang mengikuti di belakang, mengerutkan kening. “Anda akan datang sebagai kaisar atau pengawal?” tanyanya, menatap jubah kekaisaran tuannya. 

Tanpa berkata-kata, Shangkara berhenti. Tangannya dengan cepat melepas jubah kebesarannya dan melemparkannya ke tangan Ren. “Sini bajumu,” perintahnya singkat. Dia lalu mengenakan baju pengawal berwarna cokelat milik Ren, yang membuatnya terlihat seperti prajurit biasa.

Kuil latihan itu terasa sunyi, hanya diisi aroma dupa yang menenangkan. Shangkara melangkah masuk, derap langkahnya memecah keheningan. Cahaya lampu minyak berpendar lembut, menyoroti tubuh Cailin yang terbaring di atas ranjang kayu. Napasnya dangkal, wajahnya pucat seperti porselen. Lian berdiri gelisah di sisi ranjang, sementara Guru Fen menunduk penuh hormat ketika Shangkara masuk.

“Ren.” Shangkara hanya menyebut nama ajudannya. 

Ren mengangguk mengerti, melangkah mendekati Lian. “Nona, kembalilah ke kamar mu. Biarkan guru Fen yang menangani ini.” 

Lian menatap Ren, bingung, tetapi tatapan tajam pria itu tidak memberikan ruang untuk protes. Dengan enggan, Lian meninggalkan kuil.

Setelah pintu tertutup, guru Fen berbicara, “Yang mulia…” suaranya nyaris berbisik, tapi ruang kuil yang hening membuat setiap katanya terdengar berat. “Tubuh gadis ini menyimpan dua kekuatan. Energi bulan—sesuatu yang telah lama hilang dari dunia ini. Dan… energi anda, yang entah bagaimana meresap ke dalam dirinya. Keduanya bertarung di dalam dirinya, yang mulia. Seperti api dan es yang saling membakar dan membekukan.”

Guru Fen menatap Shangkara. Bukan tatapan ke kaisar, tapi tatapan seorang guru ke muridnya. “Shangkara, kamu penyebabnya? Itu berbahaya, dua energi bertolak belakang dalam satu tubuh akan menimbulkan kekacauan besar.”

Shangkara tidak menjawab. Ia mengulurkan tangan untuk mengangkat cailin. “Aku bawa ke ruang meditasiku.”

“Darah vermilion hanya bisa menstabilkan untuk sementara. Kau harus mencari cara lain.” ucap guru Fen sebelum Shangkara melangkah keluar kuil.

Shangkara berjalan cepat dengan Cailin dipelukannya. Langkahnya mantap menuju ruang meditasi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Luna Maji
terimakasih Kak Nezunez. yuk lanjut baca kisahnya Cailin dna Shangkara
goodnovel comment avatar
Nezunez
makin seruuu....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    Bab Bonus – Ide Dua Kekuatan Itu Datangnya dari Sini

    Oke, izinkan aku sedikit curhat, karena mungkin di antara kalian ada yang mikir: “KENAPA CAILIN PUNYA API VERMILION DAN ES BULAN, GILA, GAK NGOTAK NIH AUTHOR!” Jawaban singkatnya: iya, gila. Tapi gila dengan alasan. 😌 Aku tuh dulu suka banget sama konsep dual core power, dan yang pertama kali ngenalin itu ke otak aku ya ... Tang San, Soul Land. Kalian tahu kan? Dua martial soul, dua sistem energi, dua takdir yang harus ditanggung satu tubuh. Aku suka karena dia bukan sekadar kuat — tapi dia punya beban “dua dunia” di dirinya, kayak nggak pernah bisa jadi satu orang penuh. Nah, dari situ aku mikir: gimana kalau ide kayak gitu dibawa ke dunia Vermilion? Tapi jangan salin konsepnya mentah. Aku pengen versiku tuh lebih emosional, bukan cuma teknikal. Jadi, jadilah Cailin, gadis yang dibuang ibu tirinya ke hutan yang aslinya adalah pewaris klan bulan, tapi tiba-tiba dapat energi Vermilion gara-gara satu kaisar sok pahlawan ngasih darahnya tanpa mikir dulu. Boom. Dua energ

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    116 - Persiapan

    Cahaya pagi yang lembut menyelimuti kamar Kaisar. Shangkara dan Cailin bangun, tidak ada raut kelelahan di wajah Shangkara setelah malam yang intens. Justru wajahnya berseri-seri dan inti Qi Vermilion nya berdenyut dengan stabil dan kuat.“Tidak lelah, Yang Mulia?” bisik Cailin, tangannya membelai Segel Vermilion di dada Shangkara.Shangkara tersenyum puas. “Tentu saja tidak, kalau kau mau lagi, aku siap,” godanya.Tawa lepas lolos dari bibir Cailin. “Aku harus kembali.”Ia bangkit dan duduk di tepi ranjang, rambutnya masih berantakan. Ada jejak samar cahaya merah di kulitnya, seolah Vermilion tadi malam masih menolak pergi.Shangkara bangun dan duduk di sebelahnya. Tangannya merapikan ramb

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    115 - Pertahanan

    Tetua He menatap ketiganya — Shangkara, Cailin, dan Guru Fen — dengan sorot mata dalam, seperti sedang membaca garis takdir.“Langit jarang memberi dua cahaya dalam satu kerajaan tanpa alasan,” katanya akhirnya. “Tapi arah cahaya itu … belum selesai ditulis.”“Dan bintang yang kau lihat itu?” tanya Shangkara.“Bintang itu, Putri Bulan," jawab Tetua He, menunduk ke arah Cailin. “Bintang baru belum sepenuhnya stabil. Langit belum selesai menulis.”Guru Fen menunduk hormat. “Apakah artinya bintang itu membawa pertanda baik, Tetua He?”Tetua He menghela napas panjang, lalu berjalan ke jendela. “Baik atau buruk bukan urusan manusia. Langit h

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    114 - Keseimbangan

    Cahaya matahari menembus kisi jendela, menciptakan garis-garis lembut di lantai batu. Cailin terbangun, menikmati kehangatan yang luar biasa di pelukan Shangkara. Ia enggan beranjak. Ia memejamkan matanya kembali dan membiarkan momen itu berlangsung sedikit lebih lama. Shangkara terbangun, tapi ia juga tidak bergerak. Tangannya masih melingkari pinggang Cailin. Ia menyentuh rambut Cailin pelan, menatap wajahnya yang damai. Ia ingin bangun, tapi tubuhnya menolak meninggalkan ketenangan itu. Cailin bergerak pelan, matanya terbuka sedikit. “Kau sudah bangun?” bisiknya. “Sudah dari tadi,” jawab Shangkara lembut. “Tapi aku tidak mau bergerak, takut kau menghilang.” Cailin tersenyum samar, matanya ditutup kembali. “Kalau begitu, aku akan disini dan biarkan dunia menunggu sebentar.” Mereka diam cukup lama, menikmati ketenangan dan kehangatan di antara mereka. Sampai akhirnya, Shangkara berbisik, “Hari ini Dewan Langit akan melapor soal tanggal pernikahan spiritual itu.” Cailin membuka

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    113 - Takdir Langit

    Malam itu, kabut tipis turun di sebuah jalan kecil yang cukup jauh dari Istana Vermilion.Cailin mengenakan jubah abu-abu polos, rambutnya disembunyikan di balik tudung. Di sampingnya, satu Pasukan Bayangan berjalan tanpa suara, membawa lentera spiritual yang nyalanya nyaris tak terlihat.“Kita akan masuk lewat terowongan yang langsung ke ruang meditasi Kaisar,” bisik prajurit itu. “Jalur ini hanya Kaisar dan kami para pengawal bayangan yang tahu.”Cailin tersenyum samar. “Aku pernah melewati jalan ini,” bisiknya pelan.Saat mereka muncul dari balik dinding batu yang tersembunyi di balik altar, udara di ruang meditasi menyambutnya. Dingin, berat, dan penuh kenangan.Cailin memandang ranjang

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    112 - Permainan

    Pagi itu, Aula Dewan Agung Istana Vermilion dipenuhi gema suara para tetua. Suara jubah sutra berdesir, suara kipas dibuka-tutup, dan kata-kata “keseimbangan spiritual” disebut berulang kali seakan itu adalah mantra yang tak boleh tidak diucapkan.Shangkara duduk di singgasananya, menatap dingin para tetua. Aura Vermilion-nya ditahan rapat.Tetua Wen berdiri di tengah ruangan, membacakan gulungan yang sudah disegel dengan stempel merah Dewan Agung.“Demi stabilitas spiritual dan keseimbangan kekaisaran, Dewan menuntut pelaksanaan Upacara Pernikahan Spiritual antara Kaisar Vermilion dan Tunangannya, Nona Daiyu, dalam waktu dekat.”Shangkara diam. Tatapan matanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status