LOGINDi ruang bawah tanah yang lembap di bawah kedai mi tua di sudut kota, cahaya dari kristal spiritual bulan memantul di wajah tiga anggota Klan Bulan yang setia. Moyan, pemuda yang melihat selebaran pagi itu, berbicara dengan suara rendah namun membara.
“Istana dan rakyat sudah dimanipulasi,” tegas Moyan. “Mereka menyebut putri kita sebagai kutukan. Penyihir! Kita harus segera menyelamatkannya.”
Pemilik kedai mi, seorang pria tua bernama Kong, menghela napas berat. “Kita harus berhati-hati, Moyan. Kita adalah sisa-sisa terakhir. Bergerak terburu-buru hanya akan mengkhianati Putri. Kita harus tetap bersembunyi.”
Guan, seorang wanita muda di sudut lain berkata lirih, “Kita tak bisa menentang kekaisaran secara terbuka, Moyan. Jika kita gegabah, justru Putri bisa dalam bahaya.&rdq
Cailin masuk ke kamar Kaisar tanpa suara. Shangkara sudah terbaring, walau matanya masih terbuka, menatap langit-langit. Ada kerutan samar di antara alisnya, bukti bahwa ia belum sepenuhnya pulih.“Kau tidak tidur?” bisik Cailin, mendekat.“Aku tidak bisa,” jawab Shangkara, suaranya lelah. “Aku bisa merasakan apa yang terjadi di luar. Berita itu sudah meracuni ibu kota. Mereka takut.”Cailin duduk di tepi ranjang. Ia menggenggam tangan Shangkara, dan mengalirkan energi bulan yang sejuk. Kemudian, dengan nada serius, ia mulai bercerita.“Ada hal yang belum kuceritakan tentang perjalanan pulang dari kuil bulan. Waktu itu, kami mampir di Kota Angin.” Cailin menceritakan tentang pelayan tua keluarga Lian, cincin giok, dan perte
Di ruang bawah tanah yang lembap di bawah kedai mi tua di sudut kota, cahaya dari kristal spiritual bulan memantul di wajah tiga anggota Klan Bulan yang setia. Moyan, pemuda yang melihat selebaran pagi itu, berbicara dengan suara rendah namun membara.“Istana dan rakyat sudah dimanipulasi,” tegas Moyan. “Mereka menyebut putri kita sebagai kutukan. Penyihir! Kita harus segera menyelamatkannya.”Pemilik kedai mi, seorang pria tua bernama Kong, menghela napas berat. “Kita harus berhati-hati, Moyan. Kita adalah sisa-sisa terakhir. Bergerak terburu-buru hanya akan mengkhianati Putri. Kita harus tetap bersembunyi.”Guan, seorang wanita muda di sudut lain berkata lirih, “Kita tak bisa menentang kekaisaran secara terbuka, Moyan. Jika kita gegabah, justru Putri bisa dalam bahaya.&rdq
Angin malam menyusup melalui kisi-kisi jendela kamar Shangkara. Wangi dupa obat masih tercium samar di udara. Shangkara duduk bersila di tepi ranjang, matanya terpejam, berusaha menstabilkan aliran Qi-nya yang masih bergejolak.Pintu kamar berderit pelan. Cailin masuk dan menutup pintu di belakangnya. Ia berjalan mendekat, berhenti beberapa langkah di depan Shangkara.“Shangkara,” panggilnya lirih.Pria itu membuka mata perlahan. “Cailin?”Cailin menatapnya tanpa berkata-kata untuk sesaat, lalu dengan suara yang tenang tapi tajam, ia bertanya,“Apa benar ... kau terikat pada Daiyu?”Shangkara terdiam. Hanya tangan kirinya yang mengepal pelan di atas lutut, ototnya menegang.Cailin maju satu langkah. “Aku butuh kebenaran.”“Ledakan ritual itu menciptakan sesuatu yang tidak seharusnya,” katanya akhirnya dengan suara serak. “Inti vermilion ku yang retak … tertarik ke jiwa Daiyu yang terluka. Sekarang sebagian qi ku terikat padanya. Jika dia mati,” ia berhenti, sorot matanya meredup, “aku
Ren menurunkan tangannya perlahan dari mulut Lian. Jarak mereka masih terlalu dekat.Untuk sesaat, hanya suara jangkrik dan gema langkah penjaga di kejauhan. Ren menarik diri lebih dulu, kemudian berdehem pelan. “Kau baik-baik saja?” suaranya serak, sedikit bergetar.“Kau hampir membuatku jantungan.”“Lebih baik jantungan daripada tertangkap,” balas Ren singkat.Mereka saling berpandangan sejenak, kemudian buru-buru menunduk. Ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka, campuran antara canggung dan suara detak jantung yang seharusnya tidak terdengar sejelas itu.“Soal Daiyu nanti saja,” katanya cepat, suaranya lebih mantap dari yang ia duga. “Sekarang yang penting, penja
Di ruang guru Fen di kuil istana timur, cahaya dari kristal spiritual menerangi ruangan. Guru Fen dan Ren membungkuk di atas sebuah meja, dikelilingi oleh tumpukan kitab dan gulungan kuno. Di tengah meja, tergeletak kitab terkutuk yang terbuka bersampul kulit gelap: “Teknik Ikatan Jiwa Vermilion.”“Tidak ada,” desah guru Fen frustrasi. Ia menutup sebuah gulungan tua. “Semua teks kuno hanya menyebutkan cara menciptakan ikatan terlarang ini, bukan cara memutuskannya tanpa membahayakan kedua belah pihak.”Ren menunjuk pada satu baris kalimat dalam kitab ritual milik selir ibu. “Bagaimana dengan ini, guru? Disebutkan tentang ‘resonansi balik’ jika mediumnya dihancurkan.”“Itu yang terjadi pada Daiyu dan Shangkara,” jawab guru Fen getir. “Seharusnya, saat Shangkara menghancurkan paksa medium ritualnya, mereka hanya terluka di qi nya. Tapi yang masih belum aku pahami, entah mengapa hal itu malah membentuk ikatan paksa pada inti qi Kaisar dengan jiwa Daiyu. Mereka terhubung di akar qi kaisar
Cailin duduk di bangku batu, memeluk lutut, sementara Ren berdiri tak jauh darinya, bersandar di pilar kayu dengan tangan terlipat.Ia menatap pintu kuil yang masih tertutup, tempat Shangkara dan Guru Fen menghilang sejak tadi. “Sudah lama sekali,” gumam Cailin pelan.Ren melirik sekilas. “Guru Fen memang tidak pernah berbicara singkat. Apalagi saat kaisar meminta jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.”Cailin diam sejenak, lalu bertanya, “Ren ... kau tahu apa yang sebenarnya mereka bicarakan?”Ren mengangkat bahu. “Kalau aku boleh menebak, sepertinya tentang ramalan Yin-Yang itu. Tadi di rapat dewan, ada tetua yang membicarakannya.”Cailin menggigit bibir. “Jadi mereka membicarakannya lagi. Apa kau tahu sesuatu?”“Tidak,” jawab Ren cepat.Cailin menatap lagi pintu kuil yang masih tertutup. “Ren,” panggil Cailin pelan. “Apakah kau tahu apa yang terjadi pada Daiyu? Lian bilang dia menghilang. Apakah benar? Kau tahu dia dimana? Apa ini ada hubungannya dengan ritual gagal itu?”Ren menghe







