Share

Curang?

"Tanpa berbasa-basi maka ujian ini dimulai!" suara Zidi menggelegar.

Semuanya memperhatikan apa yang dia katakan.

"Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini hanya ada satu tahap yang harus kalian selesaikan." Zidi menunjuk lingkaran batu, "Para peserta yang datang akan diuji di sana."

"Kalian cukup meletakkan tangan kalian di bagian pusat, maka benda itu akan secara otomatis memberitahukan apakah kalian pantas."

Selesai Zidi berbicara, baik yang hanya menonton maupun peserta saling bertanya. Batu itu dirasa tidak bisa memberikan keadilan, karena siapa yang tahu ada campur tangan orang lain. Ya misalnya jika ada orang berteriak mengatakan lolos?

Bisa jadi bukan?

Namun melihat para guru memasang raut seriusnya, agaknya tidak mungkin juga kecurangan terjadi. Atau bisa saja itu untuk menutupi yang sebenarnya.

"Mengapa mereka memilih ujian yang aneh ini? Lebih baik adu kekuatan saja seperti yang lalu," komentar Helda. Dia menoleh ke Aden yang hanya diam saja di sampingnya.

Helda yang tidak mau melihat Aden kesurupan hantu dan menyebabkan keributan, lantas mengguncang tubuh Aden, "Hoi, Den! Sadar!"

Aden terkesiap, dia berucap tanpa sadar. "Ada udang dibalik batu."

Helda cengo. Mengapa Aden malah memperhatikan hewan dibalik batu? Lagipula kan mereka di lapang, bukan di sungai. Mana ada udang yang hidup di darat.

"Kau tidak ngidam makan udang kan?" tanya Helda.

Aden memijat pangkal hidungnya, "Itu perumpamaan, Helda. Apa kau tidak pernah mendengarnya?"

"Jelas aku tahu itu. Maksudku kan aneh kau mengatakannya secara tiba-tiba," sahut Helda.

"Kau tadi menyebut ujian ini aneh. Maka aku berpikir seharusnya ujian kali ini ada maksud tertentu. Kelihatannya tidak rumit, namun tidak terlihat jelas." jelas Aden panjang lebar.

"Begitukah?" tanya Helda mengelus dagunya seolah memutar kembali kalimat Aden dalam otaknya, "Tahu ah! Kepalaku tambah pusing karena ucapanmu."

Aden menggelengkan kepalanya. Maklum, Helda pasti anak polos yang tahunya cuma seputar berlatih dan bertarung.

Mereka yang berdiri berdekatan mendengar percakapan Aden dan Helda juga sependapat. Salah satu dari mereka mendekati Aden, menatapnya dari atas ke bawah. Dari bawah ke atas kembali. Aden risi.

"Jadi kau yang diinginkan Tuan Edgar menjadi muridnya?" tanyanya sinis.

Edgar? Oh, rupanya ada juga selain Aden yang memanggil dengan sebutan itu.

Helda menutup mulut dengan kedua tangan, yang tadinya menguap lebar saat melihat pria muda dengan baju ungu yang di bagian lengan atasnya ada simbol bunga teratai.

"Apa pedulimu?" tanya Aden malas saat berbicara dengan orang yang sok kenal.

"Sama sekali tidak pantas." pria itu herdecih, lalu pergi meninggalkan Aden sebelum bilang bahwa dia akan mengalahkan Aden.

Aden mengedikkan bahunya. Dia melirik Helda yang seakan berusaha kuat menutup mulutnya agar tidak berbicara, "Ada apa denganmu? Tertarik dengan pria itu sampai tidak bisa berkata-kata?"

Helda menjitak kepala Aden, namun Aden lebih dulu menghindar.

"Kau tahu siapa dia?" tanya Helda setelah menurunkan tangannya.

"Tidak. Lagipula bukan urusanku." sahut Aden acuh.

"Aduh, dia itu pangeran dari kerajaan di wilayah barat. Meski aku lupa namanya, namun mataku tidak salah mengenali baju khas yang dipakainya." ucap Helda yakin.

Aden melihat yang katanya 'pangeran' itu pergi. Kelihatannya tidak ada yang spesial darinya. Apa yang membuat Helda heboh sampai seperti itu?

Helda masih mengoceh, "Bukankah Perguruan Barry lebih dekat dari tempat tinggalnya? Mengapa dia malah menjadi murid di sini? Oh astaga! Mungkinkah ada konspirasi ...."

Aden bergeser menjauh dari Helda yang sangat berisik. Kini fokusnya kembali ke depan.

Dari pusat batu lingkaran itu kini muncul segitiga yang tingginya sekitar satu meter. Di atas segitiga ada batu kecil berwarna merah menyala.

Satu-persatu peserta dipanggil. Aden mengamatinya. Beberapa dari mereka ada yang terlihat sombong, khawatir, takut, dan biasa saja namun lebih terkesan meremehkan.

Batu itu menyatakan silakan coba tahun depan, saat si sombong dan si khawatir meletakkan tangannya. Si takut dan si biasa saja juga sama, gagal. Namun ada juga yang dinyatakan pantas.

Aden berusaha menyimpulkan sedikit dari mereka. Mungkinkah ujian ini tergantung dari sifat atau kondisi mental?

Kini giliran si pangeran. Aden melihat dia menekan segitiga dengan kuat. Suara pantas pun terdengar. Dia melirik Aden tersenyum penuh kemenangan.

Apakah ini juga dipengaruhi oleh kekuatan fisik? Namun orang-orang sebelumnya tidak mengeluarkan tenaga sedikitpun.

Sibuk memikirkan itu, nama Aden dipanggil. Aden pun maju. Bersamaan dengan pangeran yang turun, menepuk pundak Aden.

Berbisik di telinga Aden, hingga hanya dia yang bisa mendengarnya. "Tidak perlu terlalu berusaha,"

Aden menatapnya tajam. Pangeran itu terkekeh lalu berjalan dengan kepala sedikit didongakkan. Beberapa orang memujinya, namun dia dengan acuh tak acuh menjawab.

"Tentu saja aku bisa, tingkatanku kan lebih tinggi daripada kalian semua."

Aden sudah di atas batu lingkaran, namun belum menaruh tangannya. Dia harus berpikir keras dalam waktu yang singkat ini, menemukan jawabannya.

Pangeran berteriak, "Cepat lakukan! Peserta yang lain menunggu!"

Akhirnya mereka juga ikut menyuruh agar Aden segera melakukannya.

Aden menarik napas dalam-dalam. Kalau perhitungannya tidak salah, seharusnya dia aman. Aden lalu menaruh tangannya di atas segitiga. Meyakinkan hatinya, serta sedikit memberi tekanan.

Beberapa detik dilewati dengan keheningan. Benda itu tidak memberi suara pantas ataupun silakan coba tahun depan. Semua orang menunggu-nunggu hasilnya.

"Mungkinkah batu itu rusak?"

"Kalau begini dia lolos atau tidak?"

"Kehabisan daya, mungkin."

Edgar yang sejak tadi duduk dengan tenang, perlahan maju. Aden bingung, berpikir apakah dia salah menyimpulkan?

Edgar menyuruh Aden melepaskan tangannya. Tak berselang lama, batu itu mengeluarkan suara pantas. Beberapa peserta yang belum maju bernapas lega, karena bagaimanapun juga berpengaruh pada mereka. Namun ada juga yang merasa tidak suka, contohnya si pangeran.

"Curang!" teriaknya.

"Apa maksudmu curang? Kau tidak melihat kami di sini sebagai juri?" ini yang menjawab sama berteriaknya adalah Zidi.

Bukannya ingin membela Aden, Zidi tidak ingin dirinya ikut dicap lalai oleh anak bau kencur.

Yang menjadi juri ada lima orang selain Edgar dan Zidi. Tentu saja mereka sudah lebih dari cukup untuk mengetahui jika ada peserta yang melakukan kecurangan.

"Maksudku saat dia menghampiri peserta itu!" pangeran menunjuk Edgar, "Bisa saja bukan dia melakukan trik?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
owl lord
kenapa aku tdk bsa mmbuka bab selanjutnya? pdahal aku memiliki koin,poinpun juga ada?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status