Share

Bab 2 Kembali Ke 1000 Tahun Lalu

Tubuh Angling Madangkara masuk ke dalam sebuah portal dan pandangannya mulai perlahan-lahan mulai gelap, baginya penglihatan terakhirnya adalah wajah gadis di dunia persilatan yang telah banyak membantunya menyusun kitab Arjuna Wiwaha yang melampaui kekuatan para dewa, dan bangsa siluman.

“Apakah aku akan mati, dan gagal? Apakah ini yang namanya kematian?”

Angling Madangkara rasanya ingin tertawa, karena merasa bodoh. Siapa yang coba ia bohongi? Begitu banyak penyesalan dalam dirinya, terutama melihat semua orang yang ia cintai telah gugur di medan perang, dan tak bisa menyelamatkan bumi. Namun menyesalinya pun sekarang merasa percuma.

Sekarang Angling Madangkara berada di dalam kegelapan tanpa batas, karena tanpa disadarinya, ia berhasil memutar waktu ke seribu tahun yang lalu.

“Guru, ayah … ibu, aku datang ….”

Disaat Angling Madangkara sudah mencapai puncak titik kepasrahan dan merelakannya. Tiba-tiba sebuah cahaya emas muncul di hadapannya.

“Oh, inikah alam baka?”

Belum sempat Angling Madangkara berpikir lebih jauh, cahaya emas itu membesar, dan menghampiri tubuhnya. Angling Madangkara ingin mengamati cahya emas itu lebih jauh, tetapi ketika cahaya emas itu mengenai tubuhnya, cahaya itu langsung masuk ke dalam tubuhnya.

“Aaaaaargh!”

Angling Madangkara meraung kesakitan, karena tiba-tiba tubuhnya seperti ditusuk ribuan pedang, dan dilempar dari ketinggian yang sangat tinggi, lalu dilempar kembali menghantam permukaan tanah dengan sangat keras.

“Aaaakh!” teriak Angling Madangkara, dan bangkit duduk. Namun tatapannya heran, saat melihat sosok yang sangat dikenalinya duduk di samping kanan Angling Madangkara.

“Kenapa? Mimpi buruk lagi?” tanya sosok pria tua berpakaian compang-camping yang memiliki rambut putih, dan jenggot putih yang bercahaya terang di kegelapan malam.

Angling Madangkara mengernyit, lalu memeluk pria tua tersebut. Air matanya terjatuh sangat deras, karena merasa terharu melihat gurunya yang bernama Satria Wibangkara atau dijuluki pendekar tongkat pemukul kucing itu masih hidup di hadapannya.

Empu Satria heran melihat murid kesayangannya itu tiba-tiba menangis, lalu mengelus lembut kepalanya, “Tenanglah, ini hanya mimpi buruk. Aku yakin mimpi buruk di bumi ini juga akan berakhir.”

Angling Madangkara langsung ingat, bahwa saat ini dirinya baru saja berumur 12 tahun, dan sedang mempelajari ajian Dasendria.

Ajian dibagi atas beberapa tingkat, yakni mulai dari tingkat jingga, perak, emas hitam, dan ungu.

Dalam dunia pendekar, tingkatan wadah induk tenaga dalam dilihat dari besar kecilnya tingkatan. Mulai dari fase pejuang, fase kayu, fase batu, fase besi, fase perunggu, fase perak, fase emas, fase berlian, fase raja, fase kaisar, fase legenda, dan masih banyak lagi diatasnya.

Tiap wadah induk tenaga dalam, memiliki lima tingkat bintang kepadatan. Tiap tingkat tenaga dalam memiliki wadah induk yang berbeda-beda, semakin tinggi fase, semakin besar pula wadah induk tenaga dalamnya.

Saat ini Empu Satria berada di fase pejuang bintang dua. Walaupun begitu keberaniannya tidak bisa dipungkiri lagi, karena ia memiliki keberanian tingkat dewa.

Angling Madangkara melepaskan pelukannya, lalu menyeka bulir bening yang membasahi kedua pipinya.

Mata Angling langsung menatap ujung kaki, dan meraba seluruh badannya yang saat Angling Madangkara berumur 12 tahun.

“Ayah, Ibu, tampaknya kematian tetap merenggutmu. Aku rupanya berhasil kembali di saat tubuhku berumur 12 tahun, tetapi jurus elemen ruang waktu atau ajian Kalapitayan hanya bisa sampai di saat umurku 12 tahun,” batin Angling Madangkara sambil menyeka kembali kedua kelopak matanya yang kembali menjatuhkan bulir-bulir bening.

Kedua orang tua Angling di bunuh seorang sosok pria bertopeng emas saat dirinya berumur 9 tahun, dan kedua orang tuanya dibunuh tepat di hadapannya. hal itu terjadi saat Angling bersama kedua orang tuang pergi ke kota raja Awan Merah, dan dicegat oleh sosok pria bertopeng emas. Setelah itu, tanpa basa-basi sosok bertopeng emas itu memenggal leher kedua orang tua Angling.

Beruntungnya Empu Satria yang sednag berkelana melewati jalan tersebut berhasil menghentikan sosok bertopeng emas saat akan memenggal kepala Angling.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang bergesekan dengan rumput ilalang, dan itu terdengar semakin mendekat.

“Angling, berlindunglah di belakangku!” teriak Empu Satria sambil menarik tubuh Angling ke belakang tubuhnya dengan tatapan tajam ke arah semak-semak.

Pusaka tongkat pemukul kucing ditegakan, dan bersiap diayunkan, kalau-kalau yang keluar dari semak-semak ilalang tersebut adalah orang-orang dari partai Kelabang Hitam.

Lima orang memakai pakaian hitam-hitam, dan bercadar hitam keluar dari semak-semak dengan golok panjang terhunus.

“Tangkap mereka berdua! Lalu habisi!”

“Siap!”

Keempat anggota partai Kelabang Hitam melesat bersamaan, lalu menyerang Empu Satria dengan tebasan pedang yang dilepaskan secara brutal.

Empu Satria hanya bisa menangkis setiap tebasan dengan pusaka miliknya sambil melindungi Angling Madangkara yang masih dianggapnya lemah.

“Aku tidak boleh tinggal diam. Di masa lalu Guru memang menang melawan mereka berlima, tetapi mendapatkan luka cukup parah, dan kehilangan ajian Dasendria. Kali ini aku harus bertindak,” gumam Angling Madangkara sambil menggigit jempolnya, dan menuliskan tetesan darahnya tersebut ke telapak tangan kirinya untuk menuliskan tanda segel kuno.

“Ajian tombak Bagawanta!”

Sekuat tenaga Empu Satria menyerang balik keempat anggota partai Kelabang Hitam dengan memukulkan pusaka miliknya.

Benturan demi benturan senjata terdengar sangat keras, tetapi mereka semua terlihat imbang, dan belum ada satupun yang terlihat akan kalah.

Pola tulisan kuno yang berada di telapak tangan kiri Angling bercahaya setelah diteteskan darah olehnya, dan memunculkan 5 pasang jarum, juga benang roh yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Namun karena fase Angling Madangkara turun sampai di fase pejuang bintang satu, ia hanya bisa membuat 10 jarum roh, dan benang roh sepanjang sepuluh meter.

Kejadian ini tentu tidak disadari oleh gurunya, karena ia terlalu fokus bertarung dengan kelima anggota partai Kelabang Hitam. Namun kelima anggota parta Kelabang Hitam tersebut melihat dari jauh kejanggalan di kedua tangan Angling Madangkara.

Oleh karena itu mereka melompat mundur, untuk menghindari Angling Madangkara. Lalu salah satu dari mereka melirik ke karah keempat anggotanya untuk memberi isyarat supaya menghabisi Angling yang mereka anggap sebagai ancaman.

Untuk mengecoh Empu Satria, pemimpin kecil kelompok partai Kelabang Hitam di Desa Pasir Merak tersebut melesat ke arah Empu Satria, dan keempat anggota lainnya melesat ke arah Angling Madangkara.

Empu Satria membalikan badan, dan menyerang keempat anggota parta Kelabang Hitam yang bersiap menebaskan ke arah angling Madangkara. Ia tidak peduli dengan pedang yang siap di tusukan oleh pemimpin kecil partai Kelabang Hitam yang sudah melesat, dan menghunuskan pedangnya ke arah pinggang Empu Satria.

Sambil memukuli keempat kepala anggota partai Kelabang Hitam, Empu Satria bergumam, “Nyawa muridku lebih baik dari nyawaku sendiri.”

“Ajian tombak Bagawanta!”

Tongkat pemukul kucing terus menghantam kepala, badan, dada, dan perut keempat anggota partai Kelabang Hitam. Angling Madangkara menjentikan jarinya untuk menembakan satu jarum roh ke pemimpin kecil yang sudah siap menusuk pinggang Empu Satria.

Pedang itu terjatuh, setelah jarum roh tersebut mengenai pergelangan bahu kanan sang pemimpin kecil partai Kelabang Hitam cabang Desa Pasir Merak.

Keempat anggota partai Kelabang Hitam yang sudah babak belur oleh Empu Satria melemparkan bom asap, dan saat itu pula terdengar suara pekikan kesakitan dari kepulan asap tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status