ホーム / Romansa / Kaisar Tunduk Padaku / Bab 6 : Dalam Pelukan Yang Tertunda

共有

Bab 6 : Dalam Pelukan Yang Tertunda

作者: Selvy
last update 最終更新日: 2025-04-16 14:01:54

Langit barat membakar dirinya sendiri saat matahari terbenam. Jingga dan merah jambu menari di cakrawala, seolah-olah surga sedang membuka tirainya untuk menyambut sesuatu yang agung. Di balik bukit berbatu, seekor burung gagak terbang rendah. Ia membawa kabar, atau kutukan.

Dan di bawah langit itu, Li Qianru berdiri di ujung jembatan kayu yang menyeberangi sungai tua di luar kota barat. Hanya ada angin, air, dan harap yang rapuh seperti kaca.

Sudah lima tahun.

Lima tahun sejak ia terakhir melihat Li Weixian, kakaknya, ditarik oleh para pengawal, terkunci dalam gudang kayu, dan terbakar bersama kehormatan keluarga mereka. Ia memaksa dirinya melupakan suara teriakannya.

Tapi malam ini, ia datang karena keyakinannya tak bisa dipadamkan.

Langkah kaki terdengar dari sisi lain jembatan.

Qianru menoleh perlahan, dan waktu berhenti.

Ia masih mengenali sosok itu, meski tubuhnya lebih kurus, dan bekas luka bakar membentuk peta kejam di sisi kiri wajahnya. Tapi mata itu… mata penuh tekad dan kelembutan yang sama seperti dulu, masih menatapnya seperti gadis kecil yang dulu ia ajari menulis puisi di bawah pohon plum.

“Gege…”

Suaranya patah, seperti embun yang jatuh sebelum waktunya.

Li Weixian berdiri mematung. Seluruh napasnya habis. Tapi ia berjalan. Langkah demi langkah. Tidak terburu-buru. Seolah ingin memastikan ini bukan mimpi, bukan bayangan hantu dari masa lalu yang mengunjunginya lagi.

Dan ketika mereka berdiri hanya sejengkal terpisah, Qianru tak mampu menahan air matanya.

Ia tak bicara.

Ia hanya memeluknya.

Erat.

Tanpa suara. Tapi seluruh langit seperti menghela napas lega.

Di balik bekas luka, tangan Weixian bergetar saat membalas pelukan itu. Tubuh adiknya lebih kuat dari dulu, tapi hatinya masih sama—keras kepala, setia, dan membara seperti api yang dulu membakar rumah mereka… tapi tak pernah membakar cintanya.

“Aku pikir… kau benar-benar terbakar,” Qianru berbisik.

“Aku terbakar,” jawabnya lirih. “Tapi hatiku tetap mencarimu.”

Mereka duduk di bawah pohon tua, hanya diterangi lentera kecil dan suara air sungai.

“Aku tak bisa keluar dari bayangan jika tak tahu kau masih hidup,” kata Weixian. “Tapi sekarang… aku di sini. Dan aku melihat, kau tak hanya hidup, tapi memimpin. Ayah pasti bangga.”

“Tidak, Gege,” jawab Qianru pelan. “Aku tidak memimpin karena ingin dihormati. Aku berdiri karena kalau aku duduk… tak ada lagi yang akan berdiri.”

“Kau sudah melampaui semua harapan. Bahkan lebih dari yang bisa kubayangkan.”

Qianru tersenyum. “Tapi kau… kau membawa bagian jiwaku yang tak pernah pulih. Hari ini, kau kembalikan itu padaku.”

Malam itu, mereka berbicara panjang. Tentang ayah, tentang ibu yang terakhir memeluk Qianru sebelum ditarik pengawal. Tentang mimpi-mimpi yang patah. Tentang masa kecil yang kini hanya bisa diingat dalam warna sepia.

Tapi di antara semua itu, mereka bicara tentang hari esok.

“Kau siap kembali ke istana?” tanya Qianru.

Weixian mengangguk. “Bukan untuk memohon keadilan. Tapi untuk mengambilnya.”

“Kita akan hadapi Zhou Shixuan. Kita akan bongkar semua arsip pengkhianatannya. Aku sudah punya kunci. Yang kupikir takkan pernah kugenggam lagi.”

Weixian membuka gulungan kecil dari sakunya: surat tua dari tangan Menteri Zhou, yang dulu memerintahkan penggeledahan fiktif ke kediaman keluarga Li—surat dengan segel pribadi Kaisar yang saat itu belum pernah digunakan.

“Ini… akan mengguncang takhta.”

Qianru menggenggam tangannya.

“Kita tidak ingin takhta. Kita ingin membersihkan jalannya. Dan jika itu berarti menumbangkan semua yang berdiri di atas kebohongan… maka biar seluruh istana gemetar.”

Sementara itu, di dalam istana, Kaisar Xu Jiayan duduk sendiri di ruang pribadinya. Lentera belum dinyalakan. Ia hanya menatap langit kosong dari jendela terbuka.

Di tangannya tergenggam surat puisi dari Qianru yang ia simpan bertahun-tahun. Surat yang tak pernah dibalas.

“Jika kau tidak datang padaku sebagai laki-laki,

maka jangan datang padaku sebagai raja.

Karena hatiku tidak melayani mahkota.”

Suara langkah masuk ke ruangan. Menteri Zhou Shixuan.

“Yang Mulia,” katanya tenang, “aku dengar Selir Li menghilang dari paviliunnya malam ini.”

Jiayan tetap diam.

“Apakah kau tahu ke mana dia pergi?”

Jiayan hanya berkata pelan, “Ke masa lalu.”

Zhou memicingkan mata. “Maka kita harus bertindak sebelum masa lalu itu menumbangkan masa depan kita.”

Tapi Jiayan sudah tahu—semua sedang berubah. Dan ia harus memilih: menjadi Kaisar yang berkuasa… atau pria yang mencintai wanita yang bisa menjatuhkan seluruh kekuasaannya.

Kembali di tepi sungai, Qianru dan Weixian berdiri.

Angin malam bertiup lembut. Tapi dalam hati mereka, badai telah menyala.

Mereka berjalan berdampingan, menapaki jalan kembali ke pusat dunia yang telah menghancurkan segalanya. Tapi kali ini, mereka tidak sendiri.

Mereka adalah warisan.

Mereka adalah bukti bahwa kejatuhan tak selalu berarti akhir.

Dan mereka akan menulis ulang sejarah… dengan tangan mereka sendiri.

Langit barat berpendar merah seperti luka lama yang belum sembuh. Di kaki cakrawala, cahaya matahari tenggelam perlahan, menebarkan warna keemasan di atas sungai tua di luar kota barat. Air mengalir pelan, seolah menjaga rahasia yang mengalir bersamanya selama bertahun-tahun.

Di ujung jembatan kayu, Li Qianru berdiri dalam diam. Jubah hitamnya berkibar oleh angin petang. Tidak ada pelayan. Tidak ada kasim. Hanya dirinya, langit, dan harap yang telah terlalu lama disimpan seperti barang pusaka.

Sudah lima tahun.

Lima tahun sejak malam penuh darah dan api itu.

Lima tahun sejak nama keluarganya dilenyapkan, dan satu-satunya keluarganya yang tersisa—Li Weixian, kakaknya—dinyatakan mati, terbakar hidup-hidup di gudang belakang kediaman mereka.

Dan hari ini… surat tanpa nama itu membawanya ke sini.

“Tuan mudamu belum mati. Dan dia mencarimu.”

Langkah kaki terdengar dari sisi lain jembatan.

Qianru tak menoleh. Tak berani. Karena jika itu bukan dia—jika ini hanya permainan lain dari istana—maka harapan yang dibangunnya akan runtuh sepenuhnya.

Tapi suara itu datang. Dalam. Pelan. Penuh beban.

“Qianru…”

Ia menoleh.

Dan dunia berhenti.

Sosok itu berdiri tegak. Tubuhnya lebih kurus. Wajahnya tertutup sebagian oleh luka bakar lama di sisi kiri. Tapi mata itu… mata penuh ketegasan dan kelembutan, mata yang sama yang dulu menggendongnya ketika ia menangis, yang dulu mengajarinya mengikat benang layang-layang, yang dulu menatapnya dengan cinta tanpa syarat.

“Gege…”

Suaranya patah seperti daun jatuh dari pohon yang terlalu tua untuk mekar.

Weixian terdiam. Matanya pun berkaca. Tapi ia tetap melangkah—perlahan, pasti—hingga hanya satu langkah memisahkan mereka.

Dan di sanalah, tanpa kata-kata besar, Li Qianru memeluknya.

Seerat lima tahun penantian.

Seerat semua luka yang tak pernah sempat diobati.

Mereka tidak menangis seperti anak-anak.

Air mata mereka jatuh seperti prajurit yang pulang, dalam diam, dalam hormat kepada rasa kehilangan yang tak sempat dikebumikan.

Dan dalam pelukan yang tertunda itu, dua jiwa yang terpisah oleh sejarah kembali menyatu.

Di bawah pohon willow dekat sungai, mereka duduk. Lentera kecil menggantung di dahan, memantulkan cahaya temaram di permukaan air. Angin malam membawa suara jangkrik dan aroma tanah basah. Weixian menyeduh teh dari peralatan sederhana.

“Aku sempat percaya kau mati, Gege,” kata Qianru.

“Aku pikir aku memang mati. Saat kobaran api itu menyala, saat aku mendengar jeritan ibu dan ayah… aku merasa seluruh jiwaku hangus.”

“Aku bertahan karena satu hal. Karena aku percaya, kau akan datang mencariku.”

Weixian menatapnya dalam. “Dan aku kembali karena satu hal. Karena aku tahu, kau belum menyerah.”

Mereka berbicara lama. Tentang malam kelam itu. Tentang pelarian Weixian bersama pengawal rahasia yang menyelamatkannya. Tentang hidup di pengasingan, menyamar sebagai petani, lalu sebagai tabib keliling, hingga akhirnya mendengar kabar bahwa adiknya masih hidup—dan bukan hanya hidup, tapi kembali ke istana sebagai kekuatan.

“Ayah benar tentangmu,” ucap Weixian. “Kau bukan hanya bunga. Kau adalah akar yang menolak mati.”

“Dan kau adalah bayangan yang kembali saat semua orang mengira terang telah menang.”

Qianru menarik napas dalam. “Istana tak pernah berubah. Zhou masih di sana. Jiayan masih dibutakan oleh rasa takut pada sistem. Tapi aku sudah masuk ke dalam. Dan sekarang, aku tak sendiri.”

Weixian mengeluarkan gulungan kecil dari balik jubahnya—surat asli bersegel Kaisar, surat yang ditandatangani Zhou Shixuan, memerintahkan penggeledahan fiktif ke kediaman keluarga Li, menciptakan “bukti” pemberontakan.

“Ini,” katanya, “adalah nyawa yang dulu mereka pakai untuk membunuh kita. Sekarang… kita bisa menggunakannya untuk hidup kembali.”

Qianru memegang surat itu seperti memegang bagian dari dirinya yang hilang. Tangannya gemetar, tapi matanya menyala.

“Kita akan menjatuhkan mereka, Gege. Satu per satu. Dengan kepala tegak, tanpa darah yang tak perlu, tapi dengan kebenaran yang tak bisa dibantah.”

Weixian tersenyum. “Kau akan jadi legenda, Qianru.”

“Tidak,” jawabnya lembut. “Kita akan jadi legenda.”

Di dalam istana, Kaisar Xu Jiayan duduk sendiri di ruang pribadinya, surat tua dari Qianru tergenggam di tangannya. Ia tahu ia kehilangan banyak. Tapi hari ini, ia merasa… ia mungkin kehilangan segalanya.

“Qianru…” bisiknya. “Apa yang tersisa dariku di matamu?”

Tak ada yang menjawab. Hanya bayangan yang bergeser di dinding, seolah mengingatkan bahwa seorang Kaisar pun bisa sendirian.

Kembali di tepi sungai, Qianru dan Weixian berdiri.

Langit kini gelap, tapi bintang pertama telah muncul. Di dalam hati mereka, bintang itu seperti janji—bahwa malam pun bisa membawa cahaya.

Mereka berjalan berdampingan. Tak banyak bicara lagi.

Karena kata-kata telah selesai.

Yang tersisa kini adalah langkah. Dan dunia akan menyaksikan:

bagaimana dua anak dari keluarga yang pernah dihancurkan… bangkit bukan hanya untuk membalas dendam, tapi untuk menulis ulang sejarah.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 19 : ketika anak kecil bicara diruangan orang dewasa

    Langit di atas istana tampak terlalu biru untuk hari seperti ini. Tenang, nyaris tanpa awan, seperti sengaja disiapkan untuk menyambut peristiwa penting—atau, mungkin, sebuah eksekusi diam-diam.Qianru melangkah masuk ke Aula Batu Terbuka, tempat forum istana luar biasa diselenggarakan. Bukan pengadilan. Tapi juga bukan jamuan. Ini—dalam bahasa lembut para menteri—adalah “dialog untuk meluruskan pemahaman rakyat.”Tapi semua tahu:Ini adalah panggung jebakan.Di sisi kiri, para menteri duduk berderet.Di sisi kanan, para utusan rakyat—guru, pedagang, kepala madrasah—diundang sebagai penonton.Tapi tak satu pun dari mereka boleh bicara.Dan di ujung aula, duduk Kaisar Jiayan.Wajahnya tegang. Bukan dingin—tapi seperti seseorang yang tahu badai akan datang, dan ia… memilih tidak membawa payung.Qianru berhenti di tengah aula. Ia tidak membungkuk. Ia tidak tersenyum. Tapi ia berdiri dengan tenang, seperti seseorang yang lebih takut kehilangan kata-kata daripada nyawa.Menteri Fei memulai

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 18 : ketika surat tidak ditulis di istana

    Hari itu, langit mendung tapi belum hujan. Kota kekaisaran tampak seperti menahan napas. Tidak ada jamuan. Tidak ada pengumuman. Tapi semua orang tahu… sesuatu akan tiba.Di pagi yang seolah biasa itu, surat dari istana tiba di tangan Qianru. Tapi bukan dibawa utusan resmi.Surat itu tiba melalui seorang anak tukang roti, yang berkata:“Tadi pagi, lelaki berpakaian hitam menitipkan ini. Katanya, ‘Untuk Suara yang Tak Lagi Punya Dinding.’”Surat itu tidak memakai lambang kekaisaran. Tidak dimeteraikan emas.Tapi tulisan tangannya… Qianru mengenalnya.Itu tulisan Jiayan.Ia membaca perlahan:“Aku pernah mengira diam adalah cara melindungi.Tapi sekarang aku tahu: diam hanya menyelamatkan istana, bukan orang yang aku cintai.”“Aku tidak tahu bagaimana jadi Kaisar dalam badai.Tapi jika kau masih bersedia… maka biarkan aku berdiri di dekatmu.Bukan di atasmu.”Surat itu membuat ruangan hening.Weixian membaca ulang tiga kali, lalu berkata, “Kalau dia tulus, itu pertanda baik. Tapi kalau i

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 17 : Ketika Kota menyaksikan tanpa memihak

    Langit kota kekaisaran pagi itu dipenuhi kabut tipis dan suara burung-burung pasar. Tidak ada pengumuman. Tidak ada gendang. Tapi desas-desus menyebar seperti api pelan:“Dia akan datang pagi ini. Dia akan bicara.”Tidak semua percaya. Beberapa menertawakannya.Tapi tetap saja… ratusan orang berkumpul diam-diam di Lapangan Utara — tempat dulu diadakan pengumuman bea beras dan eksekusi pendosa. Kini, tidak ada panggung. Hanya batu. Hanya langit. Dan satu tempat kosong di tengah kerumunan.Mereka menunggu.Dan saat jam bayangan menunjukkan waktu pagi keempat, dia datang.Qianru.Tanpa palanquin. Tanpa kasim. Tanpa jubah bangsawan.Ia mengenakan kain polos biru kelabu, tanpa lambang, tanpa payung.Ia berjalan kaki. Sendirian.Orang-orang tak bersorak.Tak juga mencemooh.Mereka… diam.Seperti melihat seseorang yang seharusnya tidak ada di sana, tapi justru tampak paling wajar.Di antara mereka, anak kecil menunjuk dan berbisik:“Itu dia… yang disebut suara.”“Bukan. Itu ibu dari anak dar

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 16 : Angin dari Utara

    Angin dingin dari utara menelusup masuk ke Biara Gunung Qiu sebelum fajar. Pagi tampak tenang, tapi ketenangan seperti itu sering kali bukan pertanda damai—melainkan peringatan yang tertunda. Weixian sudah bangun sejak tengah malam. Ia tidak mempercayai keheningan. Dan kecurigaannya segera terbukti. Seorang pengintai datang tergesa ke dapur biara, napasnya putus-putus, wajahnya penuh debu dan keringat. “Mereka datang,” katanya. “Pasukan dari garnisun selatan. Dua regu kecil. Tidak berseragam resmi. Lewat jalur semak belakang, bukan jalan utama.” Weixian tak perlu bertanya siapa yang mengirim. Dia hanya berkata, “Sembunyikan anak itu. Sekarang.” Di bangunan utama, Qianru sedang duduk di samping An Ji yang tertidur lelap. Tangannya menggenggam potongan bambu kecil, menulis pelan tapi pasti. Di permukaannya terukir kalimat: “Jika aku tak sempat bicara, maka jangan serukan namaku. Tapi bawa kata-kataku lewat langkahmu.” Ia menyelipkan bambu itu ke dalam pakaian dalam An Ji, l

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 15 : ketika darah sendiri menolak dibungkam

    Langit Gunung Qiu diselimuti kabut tipis ketika Qianru tiba di gerbang biara. Langkah kakinya ringan, tapi napasnya berat.Weixian berjalan di belakang, diam. Ia tahu:Perjalanan ini bukan lagi soal membela sejarah… tapi mengukir ulang masa depan.Seorang biarawan tua membuka pintu, matanya lembut tapi awas.“Apakah… kau dari Keluarga Li?” tanyanya.“Aku adalah sisa dari mereka yang dibakar, tapi belum padam.”Biarawan itu menunduk, lalu memberi isyarat.Mereka dibawa masuk melewati lorong batu dan halaman kecil hingga ke bangunan paling dalam.Di sana, di bawah pohon prem tua, duduk seorang anak laki-laki, kira-kira usia delapan.Ia sedang membaca sepotong kayu kecil bertuliskan kutipan Qianru.“Kalau kau tak bisa bicara, maka dengarkan.Dan kalau kau tak bisa menulis, maka hidupkan.”“Namanya An Ji,” kata biarawan. “Kami memberinya nama itu karena ia lahir saat langit terbuka hujan, tapi dia tidak menangis.”Qianru mendekat perlahan. Anak itu menatapnya.“Apa kamu tahu siapa aku?” t

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 14 : Api Tak Membakar Kebenaran

    Dua hari setelah pengumuman Kaisar, suasana istana tampak tenang—terlalu tenang.Tapi di balik dinding marmer dan ukiran emas, arah kekuasaan telah bergeser, dan semua yang pernah merasa aman… kini panik dalam diam.⸻Zhou Shixuan berdiri di ruang rahasia di belakang Aula Dokumentasi, dikelilingi oleh belasan gulungan surat. Semua bersimbol lambang Keluarga Li.“Ini bukan surat,” katanya pada kasim bayangannya. “Ini bahan bakar. Dan kita akan bakar semuanya. Malam ini.”“Kalau rakyat tahu?”“Rakyat tak tahu yang dibakar. Mereka hanya tahu yang tersisa.”⸻Sore itu, satu madrasah di barat istana terbakar.Kecil. Tidak memakan korban. Tapi seluruh tulisan Qianru yang disalin para murid… lenyap.Tak lama setelah itu, buku-buku kecil dan kutipan dari Qianru mulai disita.Tidak ada perintah resmi.Tidak ada surat kekaisaran.Tapi para penjaga mulai menyita dan membakar kertas—tanpa tanya.Bai Heng datang ke paviliun Qianru, wajahnya tegang.“Mereka mulai membakar,” katanya. “Bukan hanya su

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status