Share

Bab 6 ~ Penguntit

last update Last Updated: 2025-08-01 22:05:07

Udara pagi membawa aroma kopi yang menggoda dan suara lonceng kecil berdenting saat pintu kaca dibuka.

Aurelyn melangkah masuk ke dalam La Vie Sucrée, café kopi dan dessert yang ia bangun dari nol, dan yang kini menjadi kebanggaannya. Interior bergaya vintage-modern itu langsung memberi kesan hangat. Meja-meja kayu natural, lampu gantung temaram, serta aroma manis dari oven yang baru saja mematangkan cinnamon roll menjadi sambutan yang tak tergantikan setiap pagi.

“Hai, Kak Lyn!” sapa Livia, salah satu barista muda dengan senyum semangat.

“Pagi, Kak!” ujar Nico, pegawai kasir yang sedang sibuk menyusun struk pesanan.

“Pagi, kalian berdua. Udah siap tempur, belum?” Aurelyn tersenyum, meletakkan tas tangannya di balik meja kasir.

“Selalu siap kalau bosnya rajin bantuin kayak gini,” goda Livia sambil mengedipkan mata.

Aurelyn terkekeh. Walau dirinya pemilik café, ia tak pernah segan membantu. Baginya, menyapa pelanggan, meracik kopi, atau sekadar menerima pesanan di kasir, adalah bagian dari cintanya terhadap tempat ini.

Belum sempat ia mengenakan apron, suara denting pintu kembali terdengar.

“Selamat datang di La Vie Su—” ucapannya terhenti seketika.

Langkahnya membeku. Matanya membelalak, menatap pria yang berdiri beberapa meter darinya dengan aura dominan dan senyum miring yang sudah terlalu dikenalnya.

Zephyr...

Kemeja putih yang digulung sampai siku, celana hitam kasual, dan jam tangan silver di pergelangan tangan kirinya. Semuanya tampak biasa… jika saja bukan Zephyr yang memakainya.

“Selamat pagi,” sapa Zephyr yang langsung berdiri di hadapan Jesslyn walau terhalang etalase tempat dessert berada.

“Silakan sebelah sini, Tuan,” ucap Nico mengarahkan Zephyr ke arah kasir.

“Aku ingin dilayani oleh wanita di depanku,” ucap Zephyr di mana tatapannya tetap tertuju pada Jesslyn di depannya, membuat Jesslyn merasa geram sendiri di sana.

“Mohon maaf, Tuan. Tapi, cafe ini belum buka,” ucap Jesslyn terdengar ketus.

“Benarkah? Tapi pintunya tidak dikunci,” jawab Zephyr dengan santai.

“Apa anda tidak membaca tulisan close di pintu?” tanya Jesslyn.

“Apa itu penting? Aku sudah masuk, kan?” ucap Zephyr yang terus menjawab Jesslyn dengan tenang, membuat wanita itu merasa geram bukan main.

Nico menatap Aurelyn dengan ragu, seolah menunggu perintah. Udara dalam café mendadak terasa lebih tebal dan sesak. Bukan karena panas, tapi karena aura pria di hadapan mereka yang terasa terlalu mengancam… dan mengingatkan.

Aurelyn menarik napas dalam-dalam, mencoba menekan amarah dan detak jantung yang memburu.

“Kalau anda bersikeras, tunggulah sampai café benar-benar buka,” tukasnya tajam, melipat tangan di dada. “Atau silakan keluar dan kembali satu jam lagi.”

Tapi Zephyr tetap di tempatnya. Senyumnya mengembang pelan, seperti seekor kucing yang berhasil masuk ke kandang burung.

“Aurelyn... apa kamu harus memperlakukanku seperti pelanggan biasa?” tanyanya pelan namun cukup terdengar jelas oleh semua yang ada di ruangan itu. “Bukankah aku spesial.”

Aurelyn menegang. Dia benci saat namanya diucapkan dengan nada seperti itu—hangat, menggoda, dan menyebalkan dalam waktu bersamaan.

“Aku memperlakukanmu sebagaimana mestinya. Di tempat ini, aku pemiliknya. Aku punya aturan,” balasnya datar, meski suaranya sedikit bergetar.

Zephyr menyandarkan tangannya pada etalase kaca yang memajang aneka dessert. Matanya menelusuri setiap lapis kue dan tar, lalu kembali menatap Aurelyn. “Dan kamu tahu, aku suka wanita yang berani menetapkan aturan… asal dia juga tahu kapan harus melanggarnya.”

“Silakan keluar, sebelum aku benar-benar memanggil keamanan,” ujar Aurelyn dengan nada ancaman.

“Dan bilang apa?” Zephyr mengangkat alis, wajahnya tetap tenang. “Bahwa pria satu ma—eh, atau harus kusebut… kakak ipar—datang untuk beli kopi?”

Aurelyn mengepal tangan di balik meja.

Livia, yang dari tadi menyimak dari belakang mesin espresso, berbisik pelan ke arah Nico. “Kak… siapa pria itu. Dia bukan Kak Aveiro.”

Nico mengangguk samar. “Tadi, dia bilang Kakak ipar. Apa dia Kakaknya Kak Aveiro?”

“Kayaknya sih begitu.”

Livia yang masih berdiri di balik mesin espresso makin membelalak. Ia menampar pelan lengan Nico.

“Wih… lihat tuh, Kak! Tatapan cowok itu kayak di drama Korea, lho! Tapi… versi lebih jahat. Kamu yakin dia bukan mafia yang nyamar jadi kakak ipar? Tapi, dia ganteng banget, sumpah. Bahkan lebih tampan dari Kak Aveiro.”

Nico menghela napas pelan. “Liv, jangan mulai halu. Tapi ya, vibes-nya memang agak… Lee Je Hoon versi baratnya.”

Aurelyn yang mendengar bisik-bisik itu menutup matanya sejenak, menenangkan diri. Kalau saja bukan karena image sebagai pemilik café yang ingin tetap profesional, ia sudah lempar nampan ke kepala pria itu.

“Baiklah, Tuan,” ucap Aurelyn akhirnya, dengan nada pasrah namun tetap sinis. “Apa yang ingin Anda pesan? Berkat Anda, saya akan buka lebih awal hari ini,” ujarnya sambil menekan kata ‘berkat’ seolah sedang menekan jerawat yang membandel.

Zephyr tersenyum santai, melipat kedua tangannya di meja. “Satu americano. Dan…” ia melirik papan menu hanya sekilas, sebelum kembali menatap Aurelyn. Tatapannya menusuk, dan entah kenapa, Aurelyn merasa seperti dilempar ke momen mereka dulu. “Dessert andalan di sini. Yang paling best seller,” katanya penuh arti.

“Dessert itu belum siap,” balas Aurelyn, cepat. Suaranya terdengar lebih ketus dari niatnya. Tapi dia tidak peduli.

“Tidak masalah,” Zephyr menjawab sambil menyender santai di kursi. “Aku akan menunggu.”

Nico menoleh ke Livia dengan alis terangkat. “Dia mau nunggu dessert yang belum siap? Ini café, bukan klinik bersalin. Nunggu apa, kelahiran kue?”

Livia cekikikan pelan, buru-buru menutupi mulutnya saat Aurelyn melirik tajam. Tapi Zephyr tetap tak terganggu. Dia malah terlihat makin menikmati setiap detik kekacauan ini.

Aurelyn berjalan menuju dapur dengan langkah cepat, melempar celemek ke meja dapur sambil mendesis pelan, “Kenapa sih orang itu muncul lagi?!”

Di balik pintu dapur, Livia menyusul sambil membawa catatan order. “Kak, kita harus gimana? Mau bikin lava cake dulu?”

Aurelyn memijit pelipisnya. “Ya, bikin. Tambahin cabai kalau bisa. Biar dia tahu rasa.”

Livia mengedip geli. “Kita punya bubuk cabe rawit Korea, Kak. Pedesnya bikin nyesel hidup.”

“Tambahin dua sendok.”

Mereka tertawa pelan, meski detak jantung Aurelyn belum juga stabil. Bukan karena takut… tapi karena pria bernama Zephyr itu selalu berhasil mengacaukan dunianya—entah dengan kehadiran, tatapan, atau… kenangan.

Kembali ke depan, Zephyr menyandar sambil memainkan sendok kecil yang ada di mejanya. Ia menatap suasana café yang mulai disibukkan oleh aroma kopi dan langkah kaki pegawai. Tapi hanya satu yang menarik perhatiannya.

Aurelyn.

Wanita milik adiknya, kini berdiri di tempat yang Zephyr anggap sebagai wilayah kekuasaan baru yang menarik untuk ditaklukkan.

Aurelyn kembali ke meja kasir beberapa menit kemudian, kini dengan senyum profesional dan wajah datar seperti tembok. “Kopi Anda segera datang. Untuk dessert, harap sabar. Butuh waktu, apalagi yang spesial seperti itu.”

Zephyr mengangguk. “Aku suka yang spesial. Apalagi kalau dibuat oleh tangan ramping yang lembut, apalagi saat menyentuh kulitku.”

Aurelyn memutar mata. “Kalau tidak tahan pedas, bilang dari sekarang.”

Zephyr menyipitkan mata, lalu tertawa pelan. “Kenapa? Kamu mulai masak dengan kasih sayang dan… dendam?”

Aurelyn bersandar di meja dengan tatapan mengintimidasi. “Lebih ke arah cinta yang basi dan dendam yang masih fresh from the oven.”

Zephyr terdiam sesaat. Lalu, dia meletakkan tangan di dada, seolah pura-pura tersentuh. “Wah, hatiku… nyess. Tapi untungnya, hatiku kayak espresso. Hitam, pahit, tapi bikin ketagihan.”

“Lebih kayak espresso basi. Bau dan bikin mual.”

Nico yang sedang membereskan uang di kasir, hampir menjatuhkan koin karena menahan tawa.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kakak Ipar yang Meresahkan   Bab 54

    “Zephyr, bukan anak kandung orang tuaku.” Degh!Aurelyn membeku di tempat.Detik itu, seluruh tubuhnya seperti tertarik ke dalam pusaran sunyi. Suara di restoran yang sebelumnya samar dengan suara iringan musik, denting sendok, dan percakapan pelan, mendadak lenyap. Yang tersisa hanya gema satu kalimat di kepalanya."Zephyr, bukan anak kandung orang tuaku."Perlahan, Aurelyn berbalik. Tatapannya penuh keterkejutan, namun ia berusaha tetap tenang meski dadanya bergemuruh.“Apa maksudmu?” tanyanya tajam. Aveiro meneguk sisa anggurnya sebelum berbicara, seolah membutuhkan keberanian. “Zephyr bukan darah daging ayah dan ibu kami. Dia anak dari Kakak pertama Ayahku, yang dibesarkan oleh orang tuaku saat dia masih kecil. Dia memang dibesarkan di rumah yang sama, dengan nama keluarga yang sama … tapi secara hukum, dia bukan bagian dari garis waris utama.”Aurelyn menyipitkan mata, sulit percaya. “Dan kamu pikir itu penting untuk aku tahu sekarang? Untuk apa, Aveiro? Untuk membuatk

  • Kakak Ipar yang Meresahkan   Bab 53

    “Kamu sudah datang,” ucap Aveiro bangkit dari duduknya saat melihat kedatangan Aurelyn di room private restoran. “Duduklah,” ujar Aveiro masih bersikap ramah dan itu cukup membingungkan Aurelyn. Padahal kemarin, Aveiro marah besar dan seperti ini mengamuk padanya. Tapi hari ini, seakan tidak pernah terjadi apa pun di antara mereka. “Aku bisa sendiri,” tolak Aurelyn saat Aveiro menarikkan kursi untuknya. “Tidak apa-apa, duduklah. Aku sudah biasa melakukan ini untukmu, kan,” ujarnya dengan tenang. Akhirnya, tidak mau berdebat lagi, Aurelyn pun duduk di sana dan Aveiro kembali duduk berhadapan dengan Aurelyn. “Aku sudah memesan steak untukmu, dengan kematangan medium rare, dan anggur kualitas terbaik di sini,” ucap Aveiro.Aurelyn menatap Aveiro beberapa detik, tajam, dan penuh pertanyaan. Wajahnya tenang, tapi dalam hatinya, dia terus bertanya-tanya. Pria di depannya ini adalah orang yang beberapa hari lalu membentaknya, menuduhnya, men

  • Kakak Ipar yang Meresahkan   Bab 52

    Aurelyn yang sedang menikmati kopinya hangatnya pagi itu, dikejutkan oleh dering ponselnya. Dia pun mengambil ponsel itu dan menerima panggilan masuk.“Ya, Mom?” tanya Aurelyn menerima panggilan masuk.“Lyn, besok malam kamu sibuk tidak sayang?” tanya Mommy.“Sepertinya tidak, Mom. Ada apa?” tanya Aurelyn.“Besok lusa ada dinner dengan keluarga Aveiro, seperti yang sudah kami sepakati, kalau kita akan membahas tanggal pernikahan kalian,” ucap Mommy di seberang sana membuat Aurelyn tertegun.Aurelyn membeku sejenak, cangkir kopi yang baru saja akan ia angkat perlahan turun kembali ke meja. Napasnya tertahan di tenggorokan, dan detik demi detik terasa panjang.“Aurelyn? Kamu masih di sana?” suara sang ibu terdengar lagi, lembut tapi penuh harap.Aurelyn mengatur napasnya, berusaha agar suaranya tetap tenang. “Mom … aku pikir kita sudah tidak membahas soal itu lagi.”“Tentu saja kita tetap membahasnya, Sayang.” jawab Mommy tegas tapi tetap hangat. “Kamu sudah bertunangan dengan Aveiro. S

  • Kakak Ipar yang Meresahkan   Bab 51

    “Apa yang kau lakukan di sini, Kak?” tanya Aveiro berjalan masuk ke dalam apartemen Aurelyn. “Kenapa?” tanya Zephyr dengan santainya melipat kedua tangannya di dada. Aveiro menatap ke arah Aurelyn yang masih diam. “Bisa kamu jelaskan semua ini, Aurelyn? Kamu tunanganku dan apa yang kamu lakukan dengan Kakakku di apartemenmu dengan pakaian kalian yang sangat santai. Sejak kapan?” tanya Aveiro menatap Aurelyn dengan tajam dan menyudutkannya. “Jangan menyudutkannya. Akulah yang mendatanginya,” ujar Zephyr berjalan mendekat dan menarik lengan Aurelyn untuk berdiri di belakangnya. “Kamu diam saja, Lyn? Inget, aku tunanganmu!” ujar Aveiro masih sangat terkejut. “Kenapa, Vei? Kamu juga memiliki wanita lain, kan di belakangku,” ujar Aurelyn. “Pertunangan kita juga hanya karena perjodohan." "Tapi, kita pacaran dan sepakat untuk saling membuka hati, Aurelyn!” bentak Aveiro sangat marah. “Jaga nada suaramu, Aveiro!” peringatan

  • Kakak Ipar yang Meresahkan   Bab 50

    “Um ….” Aurelyn membuka matanya perlahan dan dia cukup terkejut saat melihat dada bidang telanjang di hadapan wajahnya. Selain itu, sebuah tangan kekar melingkar di pinggangnya dengan posesif. Dia menekan pelipisnya yang terasa berputar dan nyeri. “Semalam aku mabuk lagi,” batinnya bergerak perlahan. Dia memindahkan tangan kekar Zephyr ke samping badannya dan beranjak bangun. Dia duduk di sisi ranjang dengan helaan napas, sampai dia merasakan sebuah tangan kekar memeluk pinggangnya. “Mau kabur ke mana, hm?” bisik Zephyr mengecup pundak polos Aurelyn dengan lembut. “Aku tidak kabur. Aku hanya ingin pergi ke kamar mandi,” jawab Aurelyn. “Bohong, aku mendengar helaan napasmu yang berat. Ada apa?” bisiknya. “Hm … entahlah. Aku merasa hubunganku semakin tidak jelas. Bertunangan dengan Jefan, tetapi menghabiskan waktu denganmu dan Jefan juga sudah memiliki wanita lain. Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?” tanya Aurelyn.Zephyr

  • Kakak Ipar yang Meresahkan   Bab 49

    “Jadi, sekarang kamu sedang patah hati?” tanya Zephyr mengambil duduk di kursi yang ada di samping Aurelyn. Wanita itu melihat ke arah Zephyr dan mendengus kecil sambil meneguk minumannya. “Kamu selalu tau aku di mana. Aku curiga, kamu memasang GPS di tubuhku,” ujar Aurelyn yang saat ini sedang duduk di meja bartender sebuah club malam. Zephyr memesan satu minuman pada bartender sebelum menjawab pertanyaan Aurelyn. Zephyr menerima gelas minumannya dari bartender, lalu mengangkatnya sedikit ke arah Aurelyn, seolah sedang bersulang. Senyumnya tipis nyaris seperti sindiran.“Aku tak perlu memasang GPS. Kamu tidak pandai menyembunyikan jejak,” jawab Zephyr. Aurelyn mendengus pelan, menyender ke kursinya. Rambutnya tergerai sedikit berantakan, pipinya tampak kemerahan entah karena minuman atau lelah.“Kenapa kamu ke sini?” tanyanya, suaranya mulai berat. “Kamu seharusnya ada rapat dengan dewan direksi malam ini, kan?”Zephyr menatapnya sejenak, lalu menyesap minumannya perlahan. “Rapa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status