LOGINUdara pagi membawa aroma kopi yang menggoda dan suara lonceng kecil berdenting saat pintu kaca dibuka.
Aurelyn melangkah masuk ke dalam La Vie Sucrée, café kopi dan dessert yang ia bangun dari nol, dan yang kini menjadi kebanggaannya. Interior bergaya vintage-modern itu langsung memberi kesan hangat. Meja-meja kayu natural, lampu gantung temaram, serta aroma manis dari oven yang baru saja mematangkan cinnamon roll menjadi sambutan yang tak tergantikan setiap pagi.
“Hai, Kak Lyn!” sapa Livia, salah satu barista muda dengan senyum semangat.
“Pagi, Kak!” ujar Nico, pegawai kasir yang sedang sibuk menyusun struk pesanan.
“Pagi, kalian berdua. Udah siap tempur, belum?” Aurelyn tersenyum, meletakkan tas tangannya di balik meja kasir.
“Selalu siap kalau bosnya rajin bantuin kayak gini,” goda Livia sambil mengedipkan mata.
Aurelyn terkekeh. Walau dirinya pemilik café, ia tak pernah segan membantu. Baginya, menyapa pelanggan, meracik kopi, atau sekadar menerima pesanan di kasir, adalah bagian dari cintanya terhadap tempat ini.
Belum sempat ia mengenakan apron, suara denting pintu kembali terdengar.
“Selamat datang di La Vie Su—” ucapannya terhenti seketika.
Langkahnya membeku. Matanya membelalak, menatap pria yang berdiri beberapa meter darinya dengan aura dominan dan senyum miring yang sudah terlalu dikenalnya.
Zephyr...
Kemeja putih yang digulung sampai siku, celana hitam kasual, dan jam tangan silver di pergelangan tangan kirinya. Semuanya tampak biasa… jika saja bukan Zephyr yang memakainya.
“Selamat pagi,” sapa Zephyr yang langsung berdiri di hadapan Jesslyn walau terhalang etalase tempat dessert berada.
“Silakan sebelah sini, Tuan,” ucap Nico mengarahkan Zephyr ke arah kasir.
“Aku ingin dilayani oleh wanita di depanku,” ucap Zephyr di mana tatapannya tetap tertuju pada Jesslyn di depannya, membuat Jesslyn merasa geram sendiri di sana.
“Mohon maaf, Tuan. Tapi, cafe ini belum buka,” ucap Jesslyn terdengar ketus.
“Benarkah? Tapi pintunya tidak dikunci,” jawab Zephyr dengan santai.
“Apa anda tidak membaca tulisan close di pintu?” tanya Jesslyn.
“Apa itu penting? Aku sudah masuk, kan?” ucap Zephyr yang terus menjawab Jesslyn dengan tenang, membuat wanita itu merasa geram bukan main.
Nico menatap Aurelyn dengan ragu, seolah menunggu perintah. Udara dalam café mendadak terasa lebih tebal dan sesak. Bukan karena panas, tapi karena aura pria di hadapan mereka yang terasa terlalu mengancam… dan mengingatkan.
Aurelyn menarik napas dalam-dalam, mencoba menekan amarah dan detak jantung yang memburu.
“Kalau anda bersikeras, tunggulah sampai café benar-benar buka,” tukasnya tajam, melipat tangan di dada. “Atau silakan keluar dan kembali satu jam lagi.”
Tapi Zephyr tetap di tempatnya. Senyumnya mengembang pelan, seperti seekor kucing yang berhasil masuk ke kandang burung.
“Aurelyn... apa kamu harus memperlakukanku seperti pelanggan biasa?” tanyanya pelan namun cukup terdengar jelas oleh semua yang ada di ruangan itu. “Bukankah aku spesial.”
Aurelyn menegang. Dia benci saat namanya diucapkan dengan nada seperti itu—hangat, menggoda, dan menyebalkan dalam waktu bersamaan.
“Aku memperlakukanmu sebagaimana mestinya. Di tempat ini, aku pemiliknya. Aku punya aturan,” balasnya datar, meski suaranya sedikit bergetar.
Zephyr menyandarkan tangannya pada etalase kaca yang memajang aneka dessert. Matanya menelusuri setiap lapis kue dan tar, lalu kembali menatap Aurelyn. “Dan kamu tahu, aku suka wanita yang berani menetapkan aturan… asal dia juga tahu kapan harus melanggarnya.”
“Silakan keluar, sebelum aku benar-benar memanggil keamanan,” ujar Aurelyn dengan nada ancaman.
“Dan bilang apa?” Zephyr mengangkat alis, wajahnya tetap tenang. “Bahwa pria satu ma—eh, atau harus kusebut… kakak ipar—datang untuk beli kopi?”
Aurelyn mengepal tangan di balik meja.
Livia, yang dari tadi menyimak dari belakang mesin espresso, berbisik pelan ke arah Nico. “Kak… siapa pria itu. Dia bukan Kak Aveiro.”
Nico mengangguk samar. “Tadi, dia bilang Kakak ipar. Apa dia Kakaknya Kak Aveiro?”
“Kayaknya sih begitu.”
Livia yang masih berdiri di balik mesin espresso makin membelalak. Ia menampar pelan lengan Nico.
“Wih… lihat tuh, Kak! Tatapan cowok itu kayak di drama Korea, lho! Tapi… versi lebih jahat. Kamu yakin dia bukan mafia yang nyamar jadi kakak ipar? Tapi, dia ganteng banget, sumpah. Bahkan lebih tampan dari Kak Aveiro.”
Nico menghela napas pelan. “Liv, jangan mulai halu. Tapi ya, vibes-nya memang agak… Lee Je Hoon versi baratnya.”
Aurelyn yang mendengar bisik-bisik itu menutup matanya sejenak, menenangkan diri. Kalau saja bukan karena image sebagai pemilik café yang ingin tetap profesional, ia sudah lempar nampan ke kepala pria itu.
“Baiklah, Tuan,” ucap Aurelyn akhirnya, dengan nada pasrah namun tetap sinis. “Apa yang ingin Anda pesan? Berkat Anda, saya akan buka lebih awal hari ini,” ujarnya sambil menekan kata ‘berkat’ seolah sedang menekan jerawat yang membandel.
Zephyr tersenyum santai, melipat kedua tangannya di meja. “Satu americano. Dan…” ia melirik papan menu hanya sekilas, sebelum kembali menatap Aurelyn. Tatapannya menusuk, dan entah kenapa, Aurelyn merasa seperti dilempar ke momen mereka dulu. “Dessert andalan di sini. Yang paling best seller,” katanya penuh arti.
“Dessert itu belum siap,” balas Aurelyn, cepat. Suaranya terdengar lebih ketus dari niatnya. Tapi dia tidak peduli.
“Tidak masalah,” Zephyr menjawab sambil menyender santai di kursi. “Aku akan menunggu.”
Nico menoleh ke Livia dengan alis terangkat. “Dia mau nunggu dessert yang belum siap? Ini café, bukan klinik bersalin. Nunggu apa, kelahiran kue?”
Livia cekikikan pelan, buru-buru menutupi mulutnya saat Aurelyn melirik tajam. Tapi Zephyr tetap tak terganggu. Dia malah terlihat makin menikmati setiap detik kekacauan ini.
Aurelyn berjalan menuju dapur dengan langkah cepat, melempar celemek ke meja dapur sambil mendesis pelan, “Kenapa sih orang itu muncul lagi?!”
Di balik pintu dapur, Livia menyusul sambil membawa catatan order. “Kak, kita harus gimana? Mau bikin lava cake dulu?”
Aurelyn memijit pelipisnya. “Ya, bikin. Tambahin cabai kalau bisa. Biar dia tahu rasa.”
Livia mengedip geli. “Kita punya bubuk cabe rawit Korea, Kak. Pedesnya bikin nyesel hidup.”
“Tambahin dua sendok.”
Mereka tertawa pelan, meski detak jantung Aurelyn belum juga stabil. Bukan karena takut… tapi karena pria bernama Zephyr itu selalu berhasil mengacaukan dunianya—entah dengan kehadiran, tatapan, atau… kenangan.
Kembali ke depan, Zephyr menyandar sambil memainkan sendok kecil yang ada di mejanya. Ia menatap suasana café yang mulai disibukkan oleh aroma kopi dan langkah kaki pegawai. Tapi hanya satu yang menarik perhatiannya.
Aurelyn.
Wanita milik adiknya, kini berdiri di tempat yang Zephyr anggap sebagai wilayah kekuasaan baru yang menarik untuk ditaklukkan.
Aurelyn kembali ke meja kasir beberapa menit kemudian, kini dengan senyum profesional dan wajah datar seperti tembok. “Kopi Anda segera datang. Untuk dessert, harap sabar. Butuh waktu, apalagi yang spesial seperti itu.”
Zephyr mengangguk. “Aku suka yang spesial. Apalagi kalau dibuat oleh tangan ramping yang lembut, apalagi saat menyentuh kulitku.”
Aurelyn memutar mata. “Kalau tidak tahan pedas, bilang dari sekarang.”
Zephyr menyipitkan mata, lalu tertawa pelan. “Kenapa? Kamu mulai masak dengan kasih sayang dan… dendam?”
Aurelyn bersandar di meja dengan tatapan mengintimidasi. “Lebih ke arah cinta yang basi dan dendam yang masih fresh from the oven.”
Zephyr terdiam sesaat. Lalu, dia meletakkan tangan di dada, seolah pura-pura tersentuh. “Wah, hatiku… nyess. Tapi untungnya, hatiku kayak espresso. Hitam, pahit, tapi bikin ketagihan.”
“Lebih kayak espresso basi. Bau dan bikin mual.”
Nico yang sedang membereskan uang di kasir, hampir menjatuhkan koin karena menahan tawa.
***
Selama di perjalanan, Aurelyn sesekali menoleh ke arah Zephyr yang fokus menyetir mobil. “Terima kasih sudah nolongin aku,” ucap Aurelyn akhirnya membuka suaranya setelah lama diam. “Kenapa pergi sendirian saat malam hari?” tanya Zephyr. “Apa kamu sedang coba bunuh diri?” walau pertanyaan itu sarkas, tapi Aurelyn tahu kalau Zephyr mengkhawatirkannya.Aurelyn menunduk, jemarinya meremas ujung mantel Zephyr yang kini membungkus tubuhnya. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang masih tersisa.“Aku … aku cuma butuh waktu sendiri,” jawabnya pelan. “Aku nggak sangka mereka tiba-tiba muncul.”Zephyr menoleh sekilas dengan sorot mata dingin. “Kamu pikir dunia ini aman untukmu? Semua orang tahu siapa kamu, Aurelyn. Itu artinya, semua orang juga bisa menjadikanmu sasaran.”Aurelyn terdiam, hatinya terasa semakin berat. Kalimat Zephyr terdengar keras, tapi ia tahu, itu adalah bentuk nyata dari kekhawatiran.“Kalau aku terlambat satu menit saja-” Zephyr menghela napas panjang,
Mobil hitam berlapis baja sudah menunggu, mesin meraung pelan. Blade membuka pintu belakang dengan sigap, sementara Marvel memberi isyarat kepada dua kendaraan pengawal lain untuk bersiap mengikuti.Zephyr masuk ke dalam mobil, duduk tegak dengan wajah kelam. Tangannya mengepal di atas lutut, menahan amarah yang membuncah. “Jika ada goresan sedikit saja di tubuh Aurelyn, mereka semua akan kuhancurkan!”Blade duduk di depan, menoleh sekilas lewat kaca spion. “Tuan, kami bisa mendahului mereka dengan jalur alternatif. Tim pengintai sudah melacak posisi mobil yang membuntuti. Mereka melaju pelan, menunggu momen.”“Tidak ada momen untuk mereka. Aku yang akan menentukan akhir dari permainan ini,” sahut Zephyr dingin.Mobil melaju kencang menembus gelapnya malam. Salju berterbangan, lampu-lampu jalan berkelebat cepat.Sementara itu, di dalam mobil Aurelyn, ia duduk sendirian di kursi belakang, menatap keluar jendela. Matanya sayu, bibirnya terkatup rapat. Dia belum menyadari bahaya yang men
“Marvel, apa kamu sudah menyelidiki Varga dan Arwin Holt?” tanya Zephyr yang duduk di kursi kebesarannya. “Ya, Tuan,” jawab Marvel. “Apa hasilnya?” tanya Zephyr. “Saya tidak menemukan identitas itu. Tetapi, ada nama anak buah dari Jordan Valchev yang bernama itu,” jelas Marvel.Zephyr menyipitkan mata, jemarinya mengetuk pelan sandaran kursi kebesarannya. Ada kilatan dingin di tatapannya, menandakan pikirannya sedang berpacu cepat.“Jadi begitu,” gumam Zephyr lirih. “Jordan berusaha menyusup dengan nama samaran.”Marvel menunduk dalam, lalu menambahkan, “Sepertinya nama Varga dan Arwin Holt digunakan sebagai tameng, Tuan. Identitas asli mereka masih tertutup rapat. Namun, ada catatan pergerakan dana yang mengarah ke jaringan milik Valchev. Itu tidak kebetulan.”Zephyr mendengus dingin. “Jordan selalu bermain di balik bayangan. Dia pikir aku tidak akan menyadarinya. William dan Dimitri jelas melakukan ini dengan bantuan dari Jordan. Mereka pikir, aku bodoh
Langkah Zephyr terhenti di ujung pintu menuju atap. Pandangannya membeku saat melihat Aurelyn menangis di pelukan Aveiro. Nafasnya tertahan, seakan ada tangan kasar yang mencekik lehernya. Hatinya terasa diremukkan sekaligus dibakar api cemburu dan sakit.Aurelyn tidak menyadari kehadirannya, begitu juga Aveiro. Hanya bayangan tubuh Zephyr yang samar tertimpa cahaya lampu atap."Jadi ini, yang sebenarnya?" batin Zephyr. Matanya memerah, bukan hanya karena dingin salju, tapi karena luka yang merambat begitu cepat di dalam dadanya.“Aku mencintai Aveiro.” Kata-kata Aurelyn kembali muncul di kepalanya, seperti pisau yang menghunus langsung ke jantungnya.Ia mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. “Aurelyn ….” gumamnya lirih. “Padahal aku sudah menunggumu selama ini. Perasaanku tidak pernah berubah padamu, wanita yang memberikan coklat hangat, memberikan kehangatan padaku yang sedang kebingungan dan hilang arah,” batin Zephyr.“Kenapa? Tidak bisakah kamu mencintai
“Kenapa kamu membawaku ke sini, Aveiro?” tanya Aurelyn saat mereka berada di atap gedung perusahaan Clark yang sangat tinggi. Langit malam dengan udara dingin dan hujan salju yang jatuh ke tanah. “Ada yang ingin aku bicarakan padamu, Aurelyn,” ucap Aveiro menatap ke arah Aurelyn di depannya. “Apa?” tanya Aurelyn memandang Aveiro di depannya dengan intens. “Aku tidak bisa melanjutkan rencana perjanjian kita, Aurelyn.” Deg. Aurelyn jelas terkejut mendengar hal itu dari Aveiro. Wanita itu menghela napasnya pelan. “Apa alasannya?” “Aku sudah katakan, aku tidak suka rencana ini. Kamu terus saling serang dengan Zephyr. Mau sampai kapan ini akan terjadi, Rel?” tanya Aveiro. “Apa kamu tidak bisa mengabaikan hal itu?” tanya Aurelyn menatap Aveiro dengan tajam. “Tidak bisa!” jawabnya dengan tegas. “Aku tahu kamu mencintainya, Aurelyn. Kita sudah kenal sangat lama, kita berteman bahkan satu sekolah dan kuliah. Aku sa
“So, dia kan wanita yang kamu sukai, Leo? Tunangan adik sepupumu?” tanya Clarissa menoleh ke arah Zephyr.Clarissa menatapnya dengan tatapan penuh kepuasan, seakan menemukan kelemahan terbesar yang bisa ia gunakan kapan saja. Nada suaranya terdengar ringan, namun penuh dengan racun yang terbungkus manis.Zephyr menoleh perlahan, menatap Clarissa dengan sorot mata dingin yang membuat senyumnya sedikit menegang. “Jangan bicara sembarangan,” ucapnya datar, meski nada suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Clarissa tersenyum samar, tidak gentar sedikit pun. “Kenapa? Aku hanya menebak, kok. Tapi melihat caramu menatapnya tadi ah, rasanya aku tidak perlu menebak terlalu jauh.” Ia tertawa kecil, lalu kembali merapatkan dirinya ke lengan Zephyr, seolah menegaskan bahwa dialah yang kini ada di sisi pria itu.Zephyr berhenti melangkah, rahangnya mengeras. “Clarissa,” suaranya rendah, penuh peringatan, “jangan pernah singgung hal itu lagi.”Untuk pertama kalinya, ekspresi Clarissa sedikit







