Share

Bab 3 - Hal Buruk

"Ada apa?" tanya Harvey penuh selidik.

Dari sudut matanya, dia bisa merasakan perubahan sikap Lillian. Wanita itu duduk dengan tegang sambil memandang ponsel ditangannya seperti sedang menerima kabar buruk.

Melihat Lillian tercenung, Harvey mengulang pertanyaannya, "Ada apa? Apa sesuatu yang buruk terjadi?"

Bukannya menjawab, Lillian malah mematikan ponsel dan buru - buru memasukkan benda pipih itu ke dalam tas, lalu memeluk tasnya erat - erat. Caranya memegang seakan mencegah siapa pun menyentuh tas itu.

"Tidak. Tidak ada apa pun selain tugas mendadak dari atasanku yang menyebalkan," bohongnya dengan suara terbata - bata.

"Kamu tidak pintar berbohong, Lili," jawab Harvey dengan nada suara rendah.

Lillian semakin erat memeluk tas miliknya sambil bergumam, "Aku sudah cukup dewasa untuk mengatasi masalahku sendiri, Har."

Harvey menghela napas, kantor Lillian sudah terlihat di depan sana. Dia juga tak ingin merusak mood Lillian hari ini. Harvey menghentikan mobilnya tepat di depan lobby perusahaan, lalu membukakan seatbelt untuk Lillian. "Baiklah. Kamu tahu aku selalu siap untukmu. Apa pun masalahnya," ujarnya, tak lupa mengecup kening Lillian.

Lillian hanya mengangguk, ada hal penting yang harus dia lakukan begitu sampai di ruangannya. Baru beberapa jam menjalani hari, pikirannya sudah penuh.

Setelah sampai di kantor, hal pertama yang dilakukan oleh Lillian adalah kembali membuka notifikasi pemakaian kartu kredit yang diterimanya. Wanita itu mengetuk - ngetuk mejanya dengan mulut mengerucut. Pikirannya berputar - putar tak tentu arah. Uang senilai hampir lima ratus juta rupiah itu digunakan untuk membeli sebuah mobil di salah satu show room.

Ernest benar - benar gila. Padahal mobil mereka yang lama masih tergolong baru, belum satu tahun mereka membelinya. Yang membuat Lillian kepikiran adalah dia baru sadar kalau selama ini dirinya tidak pernah melihat mobil mereka terparkir di rumah. Harvey selalu setia mengantar jemput dirinya kemana pun dan kapan pun, tentu saja dengan mobil Harvey.

Meski tahu akan sia - sia, Lillian mengadu peruntungan dengan menelpon suaminya. Dia ingin protes karena Ernest seenaknya memakai kartu kredit miliknya. Suaminya saja sulit dihubungi, bagaimana nanti kalau jatuh tempo pembayaran. Angka cicilan disana tergolong besar, belum lagi bunga keterlambatan. Gajinya satu bulan akan habis dipakai untuk membayar.

"Arrgh!" Lillian mengacak - acak rambutnya sendiri, frustasi.

Mencoba menghubungi Ernest? Jelas bukan solusi yang baik. Yang ada emosi kian menumpuk karena nomer laki - laki kurang ajar itu tidak aktif empat hari terakhir ini.

Sebal, marah, penasaran dan pikiran buruk semua bercampur menjadi satu. Lillian membombardir Ernest dengan rentetan text berisi omelan. Dan, tentu saja pesan itu centang satu. Tapi setidaknya Lillian sudah meluapkan emosi dengan memaki - maki Ernest melalui pesan.

"Heh, bengong aja!"

Tepukan di bahu membuat Lillian terlonjak kaget.

"Sorry, kaget ya?" ringis Angel yang baru datang dengan membawa tumpukan dokumen. Dia meletakkan tumpukan dokumen itu dan berkata, "Pak Boss bilang, kamu yang akan memeriksa file - file ini."

Lillian mengangkat alisnya tinggi - tinggi, rambutnya sedikit berantakan. "Aku?" keluhnya. Memeriksa file di saat pikiran kacau bukanlah ide yang bagus.

"Hm-hm. Apa ada masalah?" tanya Angel heran. Penampilan Lillian terlihat kusut.

"Tidak apa. Hanya memikirkan design-ku yang belum selesai." Lillian memandang tumpukan dokumen di atas mejanya sambil menghela napas.

"Kamu yakin baik - baik saja?" tanya Angel lagi yang menyadari perasaan Lillian sedang tidak baik - baik saja.

Lillian menampilkan senyum terbaiknya yang selalu berhasil mengelabui siapa saja, kecuali Harvey tentunya. "I'm okay. Ini dateline besok kan? Jam berapa?"

"Setelah makan siang," Angel menepuk tumpukan dokumen itu. "Oke. Aku lanjut dulu. Kalau butuh apa - apa, jangan sungkan telpon."

Lillian mengangguk dan melambai pada Angel yang keluar dari ruangannya. Sekarang waktunya fokus pada pekerjaan, masalah Ernest akan diurusnya nanti saat laki - laki itu muncul.

Beberapa jam berlalu, Lillian masih berkutat dengan pekerjaan yang seakan tidak ada habisnya.

Ting!

"Jangan lupa makan."

Lilliana mendengus. Harvey sudah seperti mesin pengingat otomatis saja, selalu mengingatkannya pada hal yang sama yaitu makan dan makan.

"Yaaaaaaaaaaa.... " balasnya dengan menyertakan huruf a yang panjang, pertanda dirinya sedang sebal.

Di seberang sana, Harvey mengulum senyum. Baginya, Lillian sangat menggemaskan. Dia membalasnya dengan acungan jempol.

Lillian meletakkan kembali ponselnya dan melanjutkan pekerjaan. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam lewat tapi pekerjaannya masih belum selesai. Dia bertekad untuk menyelesaikannya malam ini. Lebih baik sekarang dari pada menundanya. Kita tak pernah tahu ada tugas baru apa lagi menanti keesokan harinya.

Tak terasa jarum jam akhirnya mendekati jam sembilan saat Lillian benar - benar menyelesaikan pekerjaannya. Dia menyandarkan punggung di kursi lalu meregangkan otot - ototnya yang kaku. Setelah itu dilepasnya kacamata anti radiasinya dan mengucek mata. Lelahnya baru terasa sekarang. Saatnya untuk pulang.

Lillian meraih ponsel, ada beberapa pesan masuk dari rekan kerja dan grup kantor. Dia membaca satu per satu dan membalas sesuai kebutuhan.

Dia beralih ke pesan selanjutnya, dari siapa lagi kalau bukan Harvey. "Lili, sudah malam. Ayo pulang."

Hah? Jantung Lillian rasanya jatuh hanya dengan membaca pesan pendek dari Harvey. Dia tahu Harvey tidak akan marah karena menunggu tapi tetap saja ada rasa sungkan. Dalam sekejap, wanita itu sudah setengah berlari menuju lift untuk turun ke lobby.

Langkahnya terhenti saat melihat Harvey ada di ujung tangga sambil tersenyum padanya.

"Bagaimana? Lelah?" Tangan kanannya mengusap kepala Lillian sementara tangan kirinya mengambil alih tas yang dibawa oleh Lillian.

"Kenapa menungguku? Sorry, aku lupa bilang kalau lembur."

"Tidak apa. Aku juga tidak ada pekerjaan di rumah." jawab Harvey santai. Dia membukakan pintu penumpang. "Silahkan."

"Aku bisa pulang naik taxi, Har. Tidak perlu terlalu memanjakanku seperti ini," omel Lillian untuk menutupi rasa sungkannya karena sudah membiarkan Harvey menunggu.

"Keselamatanmu itu tanggung jawabku, Lili," Harvey menggerakkan kepalanya, memberi kode pada Lillian untuk masuk.

Lillian dengan patuh masuk ke dalam mobil dan duduk dengan manis. Kalimat terakhir Harvey memberikan sensasi hangat di hati Lillian. Di saat suaminya entah kemana, bahkan tidak perduli apakah dirinya sudah makan atau belum, sehat atau sakit, lagi - lagi Harvey yang selalu ada.

Mereka berkendara dalam diam. Harvey berusaha membuka percakapan tapi jawaban Lillian selalu pendek - pendek seakan memberi petunjuk kalau perempuan itu tidak dalam mode ingin bercakap - cakap.

Akhirnya Harvey diam, menyetir dalam kecepatan sedang. Mengantarkan wanita yang disayanginya pulang ke rumah. Diam - diam dia menarik napasnya, semakin dekat ke tempat tujuan semakin tidak ingin dia berpisah. Hanya dalam beberapa menit, mereka sudah berhenti di depan rumah Lillian.

Ada sebuah mobil parkir tepat di depan mobil Harvey berhenti. Lillian mengamati mobil itu baik - baik lalu menoleh ke dalam rumah dan lampu sudah menyala.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status