Harvey terkejut. Tubuhnya seperti tersengat listrik saat dadanya yang bidang bertemu dengan tubuh bagian depan Lillian yang lembut. Posisi mereka benar - benar saling menempel, mata Harvey bertemu dengan tatapan sayu milik Lillian.
"Oh, Lili. Jangan menggodaku atau kamu akan menyesal." Harvey berbisik dengan suara serak. Ketegasannya menguap entah kemana. Permintaan Lillian untuk tidur bersama membuat pikirannya tak waras. Dulu mereka memang sering tidur bersama, tapi itu dulu sekali ketika Harvey belum menyadari kalau Lillian adalah wanita yang menarik. Saat itu mereka hanya tidur, benar - benar tidur. Tidak ada seks atau apa pun.
Belum berhasil mengumpulkan kewarasan, Lillian malah melingkarkan tangannya ke bahu Harvey, memaksa laki - laki itu mendekat. Lalu dengan cepat Lillian menyambar bibir Harvey dan menikmatinya dengan rakus.
Harvey baru tahu kalau ternyata bibir Lillian selembut ini. Aroma wine yang tersisa, membuat pikiran laki - laki itu kian melayang.
"Oh, Lili." Harvey mengerang ketika gairahnya bangun dengan sendirinya. Dia pria dewasa dan normal, tentu saja tak mudah menolak godaan wanita cantik di hadapannya. Apalagi selama ini Lillian sangat menarik baginya.
Harvey menangkup kedua pipi Lillian, memaksa wanita itu menjauh sebelum dirinya hilang kendali. Tapi terasa ada yang hilang saat ciuman itu terhenti. Harvey menelan ludah dengan susah payah saat Lillian kembali menempelkan bibirnya.
"Har... Harvey... "
Bisikan Lillian membuat bulu Harvey meremang, membangkitkan sisi primitif di dalam dirinya. Pertahanannya jebol, Harvey mulai membalas ciuman adik iparnya dengan penuh perasaan.
Mata Lillian terpejam, menikmati ciuman lembut dari Harvey, rasanya sungguh berbeda dengan saat dirinya berciuman dengan Ernest. Ada sayang yang terasa dari setiap sentuhan Harvey. Laki - laki itu memperlakukannya dengan hati - hati, membuat Lillian merasa dihargai. Dia tak ingin berhenti. Kedua tangannya meremas rambut Harvey sementara kepala mereka bergerak dari satu sisi ke sisi yang lain, bermain - main dengan lidah. Kecupan demi kecupan berlanjut dengan ciuman panas dibarengi dengan saling menyentuh hingga akhirnya sepasang kakak dan adik ipar itu terhanyut oleh sesuatu yang seharusnya dilarang oleh dunia.
Pagi harinya, Lillian disergap oleh perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Awalnya Lillian ingin sekali menghilang dari muka bumi saat menyadari Harvey dan dirinya sudah melakukan kesalahan fatal. Namun di sisi lain, kecupan demi kecupan yang terasa di bahunya membuatnya merasa nyaman. Seharusnya Lillian menolak perlakuan Harvey yang seperti ini, tapi Harvey seakan tak ingin membiarkannya pergi. Saat Lillian bergerak lengan kokoh itu mengeratkan pelukannya pada tubuh yang masih polos. Lebih gilanya, posisi seperti ini justru membuatnya nyaman. Rasanya seperti pulang ke rumah.
"Tidak! Ini tidak benar!" Lillian menyingkirkan tangan Harvey dari tubuhnya dan bergegas bangkit. Gerakannya yang tiba - tiba justru membangunkan laki - laki yang sedang tidur di sampingnya.
"Good morning, Sayang." sapa Harvey dengan suara serak khas orang bangun tidur.
Lillian terjengit. Salam yang keluar dari mulut Harvey terdengar horor di telinganya. Dengan canggung, wanita itu menoleh dan memaksakan diri untuk tersenyum. "Oh, m-morning, Har." Bayang - bayang panas semalam membuatnya mati kutu. Terlebih lagi Lillian ingat kalau dirinya yang lebih dahulu mencium Harvey. Astaga! Memalukan sekali.
Harvey tersenyum dan meloncat dari tempat tidur. "Tunggu disini! Kamu mau mandi sambil berendam kan? Aku siapkan dulu airnya," ujar pria itu sambil berjalan ke kamar mandi tanpa mengenakan apa pun.
Lillian hanya terbengong - bengong karena Harvey bersikap biasa saja seolah kejadian semalam bukan sebuah kesalahan. Dia menurut saja saat Harvey membimbingnya di depan kamar mandi. Dari depan pintu kamar mandi tercium bau aromateraphy bercampur sabun yang menenangkan hati. Harvey memang paling pandai menyenangkan hatinya.
Kini Lillian merasa terjebak di kamar mandi. Dia menghela napas dalam - dalam, melangkahkan kaki ke dalam bathub dan merebahkan diri. Dia berusaha relax tapi otaknya terus bekerja keras. Bagaimana dia harus bersikap pada Harvey setelah ini?
Saat Lillian sedang berperang dengan dirinya, Harvey merapikan kamar wanita yang notabene istri adiknya. Kemudian laki - laki itu ke dapur dan membuka lemari es dan membuat sarapan sederhana untuk mereka.
Makanan siap, namun yang ditunggu tak kunjung muncul. Harvey melirik jam di dinding, hampir pukul tujuh, jam delapan Lillian harus masuk kantor. Wanita itu terkenal disiplin dan tidak suka terlambat.
"Lili, ayo cepat! Atau kamu akan terlambat ke kantor." Harvey mengetuk pintu kamar mandi Lillian.
Lillian gelagapan.
"YAAAA!" serunya dari dalam kamar mandi dan buru - buru menyelesaikan acara berendamnya.
"Aku tunggu di ruang makan." Suara Harvey terdengar lagi dari balik pintu kamar mandi.
Bau harum masakan menguar di seluruh ruangan saat Lillian keluar dari kamarnya. Perlahan Lillian menyeberangi ruangan dan melihat sosok Harvey yang tinggi menjulang sedang menghadap kompor.
"Har.... " panggilnya ragu - ragu sambil mulai mendekat. Mereka sama - sama sudah dewasa maka harus menyelesaikan masalah ini secara dewasa pula.
"Aku hanya sempat menyiapkan ini." Harvey berbalik badan dan menyodorkan piring berisi potongan buah serta dua potong sandwich.
"Harvey, kamu tak perlu repot - repot. Aku bisa makan di kantor."
"Makan! Kamu butuh energi setelah kegiatan kita semalam. Sekarang aku akan berganti pakaian lalu aku akan mengantarmu ke kantor," ucap Harvey sambil berlalu dari hadapan adik iparnya.
"Harvey!!" geram Lillian dalam hati dengan wajah merah padam. Tapi, Harvey sudah menghilang untuk berganti baju. Lilian hanya bisa mendesah dan menghibur diri dalam hati. "Sudahlah, Lili. Bukankah Harvey terbiasa bicara blak - blakan kepadamu?"
Saat Lillian sibuk dengan pikirannya sendiri, Harvey datang dengan penampilan siap bekerja. Laki - laki itu menempelkan telapak tangannya di dahi Lillian. "Apa kamu baik - baik saja?"
Detik itu juga hatinya terasa bergetar. "Aku... " Wanita yang sudah siap berangkat bekerja itu refleks mundur satu langkah dan memaksakan diri tersenyum. "Ehm, aku baik - baik saja."
Harvey mengulum senyum saat mendapati Lillian salah tingkah. Dia meraih tangan wanita itu dan menggandengnya keluar. "Kamu terlihat tidak nyaman, Lili. Ada yang ingin aku bicarakan tapi sebaiknya kita berangkat sekarang atau kamu akan terlambat."
"Kamu mau membicarakan tentang kesalahan yang kita lakukan semalam kan?" tebak Lillian, mau tak mau mengekori Harvey.
"Ya. Dan kamu tahu? Aku tidak menyesalinya." ujarnya sambil memasangkan seatbelt untuk Lillian.
"Ha?" Lillian hanya bisa membelalakkan mata saat melihat laki - laki itu menutup pintu lalu berjalan memutar, masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Mereka sudah berselingkuh tapi Harvey sama sekali tidak terlihat canggung apalagi merasa bersalah. Ya Tuhan!
Lillian melipat kedua tangan di depan dada dan memasang wajah sebal. Harvey tertawa dan berkata, "Wajahmu jelek kalau cemberut seperti itu."
"Ayolah, Har! Berhenti menggodaku. Aku merasa sangat bersalah pada Ernest. Kita sudah mengkhianatinya. Pikirkan solusinya." protes Harvey.
"Hm, solusi?"
"YA!"
"Pilihannya sudah pasti ada dua. Mengaku atau diam saja. Terserah padamu, Lili. Aku siap menghadapi apa pun yang kamu pilih."
"Kamu gila, Har. Ernest akan menghajarku habis - habisan kalau tahu apa yang kita lakukan."
"Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, Lili. Kamu tahu itu kan?"
Lillian memutar bola matanya. Dia tak habis pikir bagaimana bisa Harvey begitu tenang. Bukankah mereka pantas dihajar?
"Tutup mulutmu, Har!" sahut Lillian sebal, memilih opsi kedua.
"Okay. Kalau itu pilihanmu. Aku harap kamu tidak lupa meminum pil-mu " tanya Harvey serius.
"Sudah!" geram Lillian. Apa sih yang Harvey tidak tahu tentang dirinya? Bahkan pria ini tahu kalau dirinya selalu menyimpan pil penunda kehamilan di lacinya sekedar berjaga - jaga kalau Ernest meminta haknya. Tapi sejujurnya Lillian lupa kapan dirinya terakhir minum pil itu, Ernest sudah lama sekali tidak menyentuhnya.
Harvey tersenyum dan mengusap kepala Lillian. "Good job, Cantik. Aku tahu kamu belum menginginkan seorang anak."
Lillian mencebik. Sebenarnya bukan karena dirinya tak ingin menimang bayi, tapi lebih karena dia ragu kalau Ernest bisa menjadi ayah yang baik untuk anak mereka. Memang suaminya itu sangat tampan dan romantis, tapi itu dulu sebelum semuanya berubah. Selain itu, Ernest juga tidak bisa mengayomi seperti Harvey yang selalu berhasil membuatnya merasa aman.
Ah, Lillian jadi merasa bersalah karena sudah membandingkan Harvey dan Ernest. Mereka dua orang yang berbeda, tentu saja karakternya berbeda. Untuk mengalihkan pikirannya dari Harvey dan Ernest, Lillian mengambil ponsel dari dalam tas. Lebih baik dirinya mengecek pekerjaan dari pada memikirkan yang tidak - tidak.
Satu per satu pesan dibukanya dan membalas bilamana diperlukan, tidak ada satu pun dari Ernest. Lillian mendengus dalam hati karena masih saja berharap pada suaminya yang tidak tahu diri. Tiba - tiba matanya menangkap sebuah notifikasi yang membuat matanya terbelalak.
"Astaga! Apa - apaan ini?" pekiknya dalam hati.
Dua tahun kemudian,"Sebelum jam 4 sore sudah ada di rumah ya?" pinta Harvey.Lillian mengangguk, "Iya, Har. Aku cuma sebentar di rumah makan. Setelah itu baru belanja. Kalau sudah dapat barangnya, pasti aku langsung pulang."Harvey cemberut. Hari ini Lillian ada janji pergi bersama Amara, kalau sudah begitu jam pulangnya tidak akan bisa ditentukan. Sejak putera mereka berusia satu tahun, istrinya itu semakin sibuk sampai - sampai pergi pagi pulang malam. Akhirnya, Harvey lebih memilih bekerja dari rumah sambil menjaga putera mereka.Kini dia jadi bapak rumah tangga, posisi mereka jadi terbalik. Lillian yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada Harvey."Kamu jangan mau kalau diajak keluyuran tidak jelas sama Amara. Nongkrong - nongkrong di cafe, belanja - belanja terus," omel Harvey.Lillian tersenyum. "Aku sudah nolak, Har. Tapi kamu tau sendiri bagaimana Amara kalau sudah punya keinginan. Lagipula, dia masih hamil. Apa kamu tega lihat dia keluyuran sendiri di kantor
Theopillus meyakinkan pada mereka kalau semua yang bernyawa di dalam rumah - rumah yang mengalami kebakaran sudah dievakuasi dan tidak ada yang tertinggal. Anak - anak, orang dewasa, manula, bahkan termasuk juga hewan peliharaan bagi yang memeliharanya di rumah.Kaki Harvey serasa tak berpijak saat mendengar kalau ada korban meninggal di rumah nomer E7, tapi dia memaksa diri untuk mengikuti langkah Theopillus ke sisi lain lapangan.Tidak berbeda dengan Harvey, Richard pun pucat pasi. Mereka berjalan seperti mayat hidup, sambil mendengarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh Theopillus.Dua laki - laki itu oleng saat melihat dua buah tandu yang berisi seseorang yang ditutup selimut sekujur tubuhnya. Mereka tidak bisa melihat wajah orang itu tapi Harvey tak sengaja melihat sebuah tangan dengan kulit putih pucat dari balik selimut di salah satu tandu. Leher Harvey tercekat, jantungnya berdegup kencang saat mengenali gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rantainya memang men
"Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent."Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini,"Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --""Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --""Ha? Ap--?"PIP.... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?"Sopir menatap Amara dengan bingung."Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil.Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya."Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kecepatan ting
"Har, kenapa HPnya tidak aktif? Aku sudah kirim pesan banyak banget lho dari pagi. Buruan susul aku. Sekarang aku sudah di rumah mama tapi malah bertemu dengan Ernest. Aku sedikit paranoid sama kelakuan Ernest... hehehe... aku ngumpet di kamar mandi. Semoga Amara cepat datang. Dia lagi beli lilin untuk kue ulang tahunnya mama.""Har, cepat pulang.""Har, perutku sakit.""Kebakaran."Suara Lillian melalui voice note terngiang - ngiang di rongga telinganya, berputar seperti kaset rusak, tidak bisa keluar dari kepalanya. Harvey berlari kencang, memaksa seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Menerobos jalanan yang macet, mendorong orang - orang yang menghalangi jalannya."Permisi! Permisi! Istri dan anakku terjebak kebakaran! Permisi!"Di belakangnya, Richard tidak kalah heboh."Menyingkiiir, kami harus menyelamatkan mereka!"Napas kedua laki - laki itu berderu, paru - parunya seperti akan meledak karena dipaksa lari melebihi batas kemampuan. Mereka tidak akan berhenti sebelum
Wajah Carina memucat, dia tak menyangka kalau keisengannya bisa berbuntut panjang. Dia ikut masuk ke dalam lift dengan bahu meluruh, wajahnya penuh penyesalan. "Begini saja, aku akan telepon Lillian dan menjelaskan kalau semua ini salahku. Aku hanya main - main. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kalian sampai dengan cepat dan selamat di St. Moritz." Dia menawarkan sebuah solusi sebagai upeti perdamaian.Harvey mendengus, sementara Richard berusaha menghubungi Amara, tapi tidak diangkat."Itu akan aku urus nanti. Aku punya perasaan kalau Lillian membutuhkan aku. Jangan - jangan dia mau melahirkan. Seharusnya aku langsung pulang setelah acara pemakaman di hari pertama. Aku bukan suami yang baik," sesal Harvey berkepanjangan. Ternyata sulit menemukan tiket pesawat yang diminta oleh Harvey. Tiket pesawat penerbangan menuju St. Moritz hanya ada dua jam lagi, sesuai jadwal keberangkatan Harvey, mau tak mau mereka menggunakan fasilitas dari Carina. Sebagai permohonan maa
Lillian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha berpikir jernih demi memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Diluar pertengkaran masih berlanjut."Pertama, kamu yang salah bergaul dengan sepupumu hingga terjerumus dalam obat - obatan dan minuman keras. Aku tidak pernah membuatmu mengkonsumsi barang - barang terlarang itu. Kamu yang salah pergaulan lalu kecanduan. Ernest, dengarkan dulu... kamu salah paham. Aku tidak pernah menyuruh orang untuk menangkapmu. Mereka dari kepolisian yang akan menahanmu karena bisnis obat terlarang. Aku justru memohon supaya kamu direhabilitasi daripada ditahan. Kamu harus sembuh, Ernest.Kedua, uang yang aku berikan padamu, sebaiknya kamu introspeksi. Kamu selalu mengambil sendiri uangku di lemari penyimpanan atau di ATM. Aku diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Aku ibumu, kamu ingin memakai uangku maka aku memberikannya.""BOHONG! KAMU PEMBOHONG!""Ernest, demi Tuhan, aku tidak per
"Kenapa kamu membiarkan Harvey menghamilimu?" Ernest merubah pertanyaannya."Maksud kamu, kenapa aku mau dihamili sama Harvey?" tanya Lillian dengan pikiran yang kacau.Ernest mengangguk, "Hm-hm."Demi apa pun di dunia, Lillian tidak tahu harus menjawab apa. Dia belum pernah mendapat pertanyaan seaneh ini. Otaknya berputar secepat yang dia bisa untuk menemukan jawaban yang tepat, tapi yang keluar malah kalimat - kalimat dengan nada bertanya."Karena kami berdua sudah menikah kan? Seorang wanita yang sudah menikah lalu hamil, itu normal kan?"Lillian merasa kalau kecerdasannya mendadak hilang begitu saja. Dia merasa seperti di desak oleh paparazi sinting dengan pertanyaan - pertanyaan wawancara yang super aneh."Memangnya kamu harus hamil?""Ha?"Ya ampun. Apa sih ini? Pertanyaan macam apa ini? Lillian benar - benar ingin kabur dari situasi ini."Orang menikah kan tidak harus punya anak. Diluar sana banyak yang menikah dan tidak punya anak dan mereka tetap bahagia. Child free menjadi t
Lillian terlihat ragu sejenak tapi posisinya dia sudah berada persis di ambang pintu. Boleh dibilang tubuhnya sudah masuk ke dalam ruang tamu. Tak ingin menyinggung Ernest, Lillian terpaksa masuk ke dalam rumah."Kamu itu menantu yang baik, selalu ingat hari penting mertua," ujar Ernest sambil mendahului masuk ke dalam rumah.Lillian sedikit lega saat melihat pintu rumah tidak tertutup sempurna. Itu artinya ketakutannya pada Ernest tidak beralasan. Bisa jadi mantan suaminya benar - benar sudah sembuh."Kamu mau minum apa?" tawar Ernest sambil mempersilahkan Lillian untuk duduk."Oh, terima kasih. Aku tidak haus," tolak Lillian secara halus. Dia menempelkan tubuhnya yang mulai terasa pegal ke sofa yang empuk."Bagaimana kalau air mineral? Botolnya masih tersegel, jangan khawatir aku tidak membubuhkan apa pun di dalamnya," ujar Ernest sambil tertawa pelan.Lillian terkesiap dan merasa sungkan karena Ernest ternyata merasakan kecanggungan sikapnya."Hehe, sorry aku tidak bermaksud sepert
"Apa Tuan sudah tau kalau Nyonya akan pergi menemui desainer baju Nona Amara?" tanya Anna sekali lagi untuk memastikan. Masalahnya, setiap pagi Harvey meneleponnya hanya untuk memastikan kegiatan Lillian dan Anna tadi hanya melapor kalau Lillian akan pergi siang nanti menemui Marcia."Aku sudah mengiriminya pesan Kok. Tadi pagi, aku telepon tapi dia tidak mengangkatnya. Sepertinya aku kesiangan. Kemarin aku janji mau telepon dia sebelum jam tujuh. Aku menelepon dia pukul tujuh tepat."Amara sedang menelepin seseorang. Lillian tidak ambil pusing dan kembali menikmati sarapannya. Sup jagung buatan Anna tiada duanya. "Enak banget supnya," pujinya sambil mengacungkan jempol, puas dengan masakan Anna.Tapi ekspresi Anna tidak begitu senang, dia terlihat khawatir. Ada perasaan tak enak untuk melepas majikannya pergi berdua saja hari ini."Nyonya, saya pernah dengar kalau orang hamil tidak boleh banyak keluyuran. Apalagi kalau sudah mendekati hari H. Sebaiknya di rumah saja, biar tuan yang