Share

Bab 2 - Suasana Aneh

Harvey terkejut. Tubuhnya seperti tersengat listrik saat dadanya yang bidang bertemu dengan tubuh bagian depan Lillian yang lembut. Posisi mereka benar - benar saling menempel, mata Harvey bertemu dengan tatapan sayu milik Lillian.

"Oh, Lili. Jangan menggodaku atau kamu akan menyesal." Harvey berbisik dengan suara serak. Ketegasannya menguap entah kemana. Permintaan Lillian untuk tidur bersama membuat pikirannya tak waras. Dulu mereka memang sering tidur bersama, tapi itu dulu sekali ketika Harvey belum menyadari kalau Lillian adalah wanita yang menarik. Saat itu mereka hanya tidur, benar - benar tidur. Tidak ada seks atau apa pun.

Belum berhasil mengumpulkan kewarasan, Lillian malah melingkarkan tangannya ke bahu Harvey, memaksa laki - laki itu mendekat. Lalu dengan cepat Lillian menyambar bibir Harvey dan menikmatinya dengan rakus.

Harvey baru tahu kalau ternyata bibir Lillian selembut ini. Aroma wine yang tersisa, membuat pikiran laki - laki itu kian melayang.

"Oh, Lili." Harvey mengerang ketika gairahnya bangun dengan sendirinya. Dia pria dewasa dan normal, tentu saja tak mudah menolak godaan wanita cantik di hadapannya. Apalagi selama ini Lillian sangat menarik baginya.

Harvey menangkup kedua pipi Lillian, memaksa wanita itu menjauh sebelum dirinya hilang kendali. Tapi terasa ada yang hilang saat ciuman itu terhenti. Harvey menelan ludah dengan susah payah saat Lillian kembali menempelkan bibirnya.

"Har... Harvey... "

Bisikan Lillian membuat bulu Harvey meremang, membangkitkan sisi primitif di dalam dirinya. Pertahanannya jebol, Harvey mulai membalas ciuman adik iparnya dengan penuh perasaan.

Mata Lillian terpejam, menikmati ciuman lembut dari Harvey, rasanya sungguh berbeda dengan saat dirinya berciuman dengan Ernest. Ada sayang yang terasa dari setiap sentuhan Harvey. Laki - laki itu memperlakukannya dengan hati - hati, membuat Lillian merasa dihargai. Dia tak ingin berhenti. Kedua tangannya meremas rambut Harvey sementara kepala mereka bergerak dari satu sisi ke sisi yang lain, bermain - main dengan lidah. Kecupan demi kecupan berlanjut dengan ciuman panas dibarengi dengan saling menyentuh hingga akhirnya sepasang kakak dan adik ipar itu terhanyut oleh sesuatu yang seharusnya dilarang oleh dunia.

Pagi harinya, Lillian disergap oleh perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. 

Awalnya Lillian ingin sekali menghilang dari muka bumi saat menyadari Harvey dan dirinya sudah melakukan kesalahan fatal. Namun di sisi lain, kecupan demi kecupan yang terasa di bahunya membuatnya merasa nyaman. Seharusnya Lillian menolak perlakuan Harvey yang seperti ini, tapi Harvey seakan tak ingin membiarkannya pergi. Saat Lillian bergerak lengan kokoh itu mengeratkan pelukannya pada tubuh yang masih polos. Lebih gilanya, posisi seperti ini justru membuatnya nyaman. Rasanya seperti pulang ke rumah.

"Tidak! Ini tidak benar!" Lillian menyingkirkan tangan Harvey dari tubuhnya dan bergegas bangkit. Gerakannya yang tiba - tiba justru membangunkan laki - laki yang sedang tidur di sampingnya.

"Good morning, Sayang." sapa Harvey dengan suara serak khas orang bangun tidur.

Lillian terjengit. Salam yang keluar dari mulut Harvey terdengar horor di telinganya. Dengan canggung, wanita itu menoleh dan memaksakan diri untuk tersenyum. "Oh, m-morning, Har." Bayang - bayang panas semalam membuatnya mati kutu. Terlebih lagi Lillian ingat kalau dirinya yang lebih dahulu mencium Harvey. Astaga! Memalukan sekali.

Harvey tersenyum dan meloncat dari tempat tidur. "Tunggu disini! Kamu mau mandi sambil berendam kan? Aku siapkan dulu airnya," ujar pria itu sambil berjalan ke kamar mandi tanpa mengenakan apa pun.

Lillian hanya terbengong - bengong karena Harvey bersikap biasa saja seolah kejadian semalam bukan sebuah kesalahan. Dia menurut saja saat Harvey membimbingnya di depan kamar mandi. Dari depan pintu kamar mandi tercium bau aromateraphy bercampur sabun yang menenangkan hati. Harvey memang paling pandai menyenangkan hatinya.

Kini Lillian merasa terjebak di kamar mandi. Dia menghela napas dalam - dalam, melangkahkan kaki ke dalam bathub dan merebahkan diri. Dia berusaha relax tapi otaknya terus bekerja keras. Bagaimana dia harus bersikap pada Harvey setelah ini?

Saat Lillian sedang berperang dengan dirinya, Harvey merapikan kamar wanita yang notabene istri adiknya. Kemudian laki - laki itu ke dapur dan membuka lemari es dan membuat sarapan sederhana untuk mereka.

Makanan siap, namun yang ditunggu tak kunjung muncul. Harvey melirik jam di dinding, hampir pukul tujuh, jam delapan Lillian harus masuk kantor. Wanita itu terkenal disiplin dan tidak suka terlambat.

"Lili, ayo cepat! Atau kamu akan terlambat ke kantor." Harvey mengetuk pintu kamar mandi Lillian.

Lillian gelagapan.

"YAAAA!" serunya dari dalam kamar mandi dan buru - buru menyelesaikan acara berendamnya.

"Aku tunggu di ruang makan." Suara Harvey terdengar lagi dari balik pintu kamar mandi.

Bau harum masakan menguar di seluruh ruangan saat Lillian keluar dari kamarnya. Perlahan Lillian menyeberangi ruangan dan melihat sosok Harvey yang tinggi menjulang sedang menghadap kompor.

"Har.... " panggilnya ragu - ragu sambil mulai mendekat. Mereka sama - sama sudah dewasa maka harus menyelesaikan masalah ini secara dewasa pula.

"Aku hanya sempat menyiapkan ini." Harvey berbalik badan dan menyodorkan piring berisi potongan buah serta dua potong sandwich.

"Harvey, kamu tak perlu repot - repot. Aku bisa makan di kantor."

"Makan! Kamu butuh energi setelah kegiatan kita semalam. Sekarang aku akan berganti pakaian lalu aku akan mengantarmu ke kantor," ucap Harvey sambil berlalu dari hadapan adik iparnya.

"Harvey!!" geram Lillian dalam hati dengan wajah merah padam. Tapi, Harvey sudah menghilang untuk berganti baju. Lilian hanya bisa mendesah dan menghibur diri dalam hati. "Sudahlah, Lili. Bukankah Harvey terbiasa bicara blak - blakan kepadamu?"

Saat Lillian sibuk dengan pikirannya sendiri, Harvey datang dengan penampilan siap bekerja. Laki - laki itu menempelkan telapak tangannya di dahi Lillian. "Apa kamu baik - baik saja?" 

Detik itu juga hatinya terasa bergetar. "Aku... " Wanita yang sudah siap berangkat bekerja itu refleks mundur satu langkah dan memaksakan diri tersenyum. "Ehm, aku baik - baik saja."

Harvey mengulum senyum saat mendapati Lillian salah tingkah. Dia meraih tangan wanita itu dan menggandengnya keluar. "Kamu terlihat tidak nyaman, Lili. Ada yang ingin aku bicarakan tapi sebaiknya kita berangkat sekarang atau kamu akan terlambat."

"Kamu mau membicarakan tentang kesalahan yang kita lakukan semalam kan?" tebak Lillian, mau tak mau mengekori Harvey.

"Ya. Dan kamu tahu? Aku tidak menyesalinya." ujarnya sambil memasangkan seatbelt untuk Lillian.

"Ha?" Lillian hanya bisa membelalakkan mata saat melihat laki - laki itu menutup pintu lalu berjalan memutar, masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Mereka sudah berselingkuh tapi Harvey sama sekali tidak terlihat canggung apalagi merasa bersalah. Ya Tuhan!

Lillian melipat kedua tangan di depan dada dan memasang wajah sebal. Harvey tertawa dan berkata, "Wajahmu jelek kalau cemberut seperti itu."

"Ayolah, Har! Berhenti menggodaku. Aku merasa sangat bersalah pada Ernest. Kita sudah mengkhianatinya. Pikirkan solusinya." protes Harvey.

"Hm, solusi?"

"YA!"

"Pilihannya sudah pasti ada dua. Mengaku atau diam saja. Terserah padamu, Lili. Aku siap menghadapi apa pun yang kamu pilih."

"Kamu gila, Har. Ernest akan menghajarku habis - habisan kalau tahu apa yang kita lakukan."

"Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, Lili. Kamu tahu itu kan?"

Lillian memutar bola matanya. Dia tak habis pikir bagaimana bisa Harvey begitu tenang. Bukankah mereka pantas dihajar?

"Tutup mulutmu, Har!" sahut Lillian sebal, memilih opsi kedua.

"Okay. Kalau itu pilihanmu. Aku harap kamu tidak lupa meminum pil-mu " tanya Harvey serius.

"Sudah!" geram Lillian. Apa sih yang Harvey tidak tahu tentang dirinya? Bahkan pria ini tahu kalau dirinya selalu menyimpan pil penunda kehamilan di lacinya sekedar berjaga - jaga kalau Ernest meminta haknya. Tapi sejujurnya Lillian lupa kapan dirinya terakhir minum pil itu, Ernest sudah lama sekali tidak menyentuhnya.

Harvey tersenyum dan mengusap kepala Lillian. "Good job, Cantik. Aku tahu kamu belum menginginkan seorang anak."

Lillian mencebik. Sebenarnya bukan karena dirinya tak ingin menimang bayi, tapi lebih karena dia ragu kalau Ernest bisa menjadi ayah yang baik untuk anak mereka. Memang suaminya itu sangat tampan dan romantis, tapi itu dulu sebelum semuanya berubah. Selain itu, Ernest juga tidak bisa mengayomi seperti Harvey yang selalu berhasil membuatnya merasa aman.

Ah, Lillian jadi merasa bersalah karena sudah membandingkan Harvey dan Ernest. Mereka dua orang yang berbeda, tentu saja karakternya berbeda. Untuk mengalihkan pikirannya dari Harvey dan Ernest, Lillian mengambil ponsel dari dalam tas. Lebih baik dirinya mengecek pekerjaan dari pada memikirkan yang tidak - tidak.

Satu per satu pesan dibukanya dan membalas bilamana diperlukan, tidak ada satu pun dari Ernest. Lillian mendengus dalam hati karena masih saja berharap pada suaminya yang tidak tahu diri. Tiba - tiba matanya menangkap sebuah notifikasi yang membuat matanya terbelalak.

"Astaga! Apa - apaan ini?" pekiknya dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status