Berlari ketempat dimana orang tua Edwin dan orang tua Piona bertemu. Mereka bercengkrama dengan serius diruang keluarga rumah itu. Piona tertatih-tatih dengan kaki telanjangnya menuju ruangan itu. Ketika piona tiba mereka sejenak hening dan menyembunyikan segala barang-barang seperti figura dan brosur entah apa yang mereka lakukan.
Kenapa rasanya ada rahasia di ruangan ini, kali ini apalagi yang direncanakan? Pikiranku sedang tidak terkontrol dengan pertunangan yang mendadak ini, melihat mereka hening membuatku ingin berteriak dan cukup marah.
"Tante,om,ma,pah bisakah memberikan aku sedikit bocoran apa yang mau direncanakan? Rasanya paru-paru ku sesak dan jantungku hampir copot karena pertunangan yang tidak masuk akal ini?!"
Piona menghela nafas panjang dengan emosi yang tertatahan
"Gini piona tante sama om dan orang tua kamu emang punya rencana " Jelas tante Marta.
Tiba-tiba dari belakang muncul edwin yang setengah berlari
"Tunggu! aku juga harus tahu, ada rencana apa lagi ini?"
Aku mengerti sekarang, anak ini ternyata tidak terlibat dengan rencana pertunangan dadakan ini
Edwin melirik ke wajah Piona
"Gini nak Edwin, tante dan om dan juga orang tua kamu punya rencana sebenarnya ini sudah di rencanakan sejak kalian kecil dan--" Mama Piona bingung menjelaskan bagaimana takut akan menjadi salah paham lagi.
"Begini pada intinya, kami ingin menikahkan kalian berdua. Selain untuk bisnis keluarga dan menyelamatkan aset keluarga Piona, sebenarnya pernikahan ini kami rencanakan sejak kalian kecil" tante marta menjelaskan dengan hati-hati tapi spontan.
"Apa?MENIKAH!" Piona dan Edwin bersamaan berteriak dan saling bertatapan satu sama lain.
"Ma, Pah, batalkan rencana pernikahan ini ya? Aku dan edwin tidak saling mencintai Tolonglah ma!" Piona meringkuk dikaki orang tuanya memohon pernikahan ini dibatalkan
Begitu juga edwin
" Ma, pah, sudah jangan berbuat sembarangan lagi, ini bukan main-main pah ma. Tidak ada cinta dan ini demi bisnis apakah mama dan papa tega mengorbankan anaknya jadi seperti ini? " Rengek Edwin bersujud di depan mamanya
"Jika yang kalian khawatirkan adalah Cinta dalam sebuah pernikahan hari ini mama, papa, tante ratna dan om dodi punya rencana B,"Mata tante marta memberi isyarat kepada mama piona
Dengan sigap mencengkeram lengan anak- anak mereka dan mereka di masukkan dalam satu kamar lalu di kunci dari luar.
"Lohh, maa, kok dikunci ? buka ma pintunya!" Piona berteriak sambil menggedor nggedor pintu.
"Apa-apaan ini ma, pah, tolong jangan bercanda, maksud kalian apa?" Edwin ikut menggedor pintu
"Bagaimanapun caranya kalian tetap harus menikah, kami sepakat membuat kalian jatuh cinta. tidurlah dikamar yang sama,pikirkanlah baik-baik. dalam waktu tiga hari kami akan mempersiapkan pernikahan kalian. Aku harap besok pagi kalian sudah menyerah dan berkata untuk menyetujui pernikahan ini"
" Tante marta,mama Piona nggak mau ma!" Piona menangis.
"Sepertinya orang tua kita sudah kehilangan akal mereka" Edwin terduduk bersandar di pintu bersama piona
"Kenapa sih kamu nggak memberontak?kamu bisa kan mencongkel pintu ini ?kenapa kamu diam saja "
Piona memaki dan terus memaki edwin sambil terisak dan menangis
Edwin tidak tega melihat piona menangis, tangannya spontan membelai rambut panjang piona yang sedang menangis itu. Entah jarak mereka yang jauh berubah menjadi dekat ketika bahu edwin tiba-tiba bersiaga di samping Piona, tangan edwin meletakkan kepala piona kebahunya perlahan dan membelainya perlahan
Bahu edwin?dia bisa melakukan kelembutan seperti ini ?dia membelaiku? Apa yang dipelajarinya di amerika? banyak pertanyaan tersimpan di benak piona
Debaran jantung ini tidak bisa tertahan lagi semakin kencang dan membuat ku berhenti menangis dan tersisa sesenggukan yang membuat dada semakin sesak, aku mulai terhanyut bersandar di bahunya serasa luruh begitu saja.
Kenapa aku melakukannya ? Oh Tuhan apa yang terjadi padaku, tangisnya sudah berhenti apa yang harus kulakukan ?Gumam edwin gelisah dan terus memikirkan sesuatu.
Suasana berubah menjadi canggung,tangisan itu berhenti tapi mereka sedekat itu. Aliran darah terasa mengalir dan semakin menghangat melalui pori-pori kulit mereka. Sejenak mereka lupa dengan apa yang sedang terjadi dan lupa bagaimana dulu mereka bermusuhan. Piona mengangkat kepalanya dari bahu edwin dan duduk bersebelahan dengan edwin, suasana semakin canggung. Dengan polos mereka berdua menoleh kearah yang bersamaan dan mata mereka bertemu lagi. Tidak ada yang terpikir saat itu suasana menjadi hening, tatapan mata itu begitu dalam dan mengisyaratkan sesuatu kemudian Jarak pandang mata itu semakin dekat, adrenalin mulai mengunci tiap energi untuk berkata - kata, mata mereka seperti magnet yang berbicara.
Liar pikiranku sekarang, tidak, aku...tidak aku tidak bisa menahanya pandangan edwin berubah kebibir warna pink yang berada tepat didepannya. Bibir itu terasa memanggil hasrat nya untuk menyentuh dan menikmatinya sejenak.berulang kali edwin selalu menahan gejolak yang ada di dadanya saat ini.
Kenapa tubuhku kaku dan tidak bergerak aku terus menatap mata edwin tanpa ada rasa ragu, ada apa ini? Tidak kenapa tidak bisa menahan jarak oh Tuhan tidak, piona mencoba mengendalikan pikirannya dan tubuhnya.
Edwin mendekatkan bibirnya ke bibir piona,mata piona terbelalak ketika akhirnya bibir itu menyentuh dan melumat bibirnya perlahan dan perlahan, kemudian mata piona mulai tertutup sedikit demi sedikit dan tangan Edwin meraih bagian telinga dan pipi piona. Piona pun terhanyut, tanpa sadar tangannya mulai melingkar di leher Edwin dan mereka menikmatinya sangat lama.
Sampai akhirnya bibir Edwin berhenti dan mereka membuka mata. Jarak pandang ini masih terlalu dekat, mereka menarik diri mereka masing-masing. Suasana semakin canggung karena perasaan tidak menentu dan detak jantung yang tidak beraturan itu.
Mereka duduk terdiam dengan jarak yang cukup jauh. Tanpa kata dan hanya merenungkan apa yang sedang terjadi.
"Maaf" edwin mencairkan suasana.
Kenapa maaf yang terpikirkan olehku?
"E-e untuk apa? " Piona bertanya seolah tidak mengetahui masalah apa yang terjadi saat ini. Bodoh kenapa aku bertanya?bukanya sudah jelas? piona menggerutu dalam hatinya.
"Maaf karena aku pernah berbuat jahat padamu dan membullymu hingga mungkin kamu membenciku sampai detik ini," Edwin meluapkan segala yang ada dipikiranya dan akhirnya hal manis inilah yang keluar. Sepertinya aku malah membahas masa lalu, Edwin, Edwin.
Aneh tapi nyata, pria bengis itu bisa mengucapkan maaf padaku, gumam piona dalam hati
"Lupakan! mungkin sudah waktunya kita melupakan hal itu," Piona spontan mengucapkan kata-kata ini.
Apa yang terjadi piona, kamu luluh? Kamu memaafkannya? Oh tidak kamu berkata dengan cukup sopan, Piona tidak berhenti menggerutu dalam hatinya.
Sudah pukul 12.00 mereka akhirnya lelah dan ingin beristirahat. Mereka menatap kesekeliling pikiran mereka berlarian kemana-mana.
Tidak piona hanya ada satu ranjang, apa yang harus kulakukan? Jangan! piona mencoba menghentikan pikiran nakalnya
Tidak ada sofa, sepertinya dia takut melihat hanya ada satu ranjang saja, Edwin bingung sendiri mencoba berfikir dengan jernih.
"Maaf ternyata tidak ada sofa, mungkin aku akan tidur di lantai saja masih ada selimut tambahan dilemari,"
Edwin berinisiatif mencoba mencairkan kecanggungan ini.
"E-e, baiklah, aku akan kekamar mandi sebentar," Piona masuk kekamar mandi yang ada dikamar itu.
Edwin sudah merapikan tempat tidurnya dilantai dan membersihkan ranjang yang akan dipakai Piona.
Edwin mulai berbaring, mendengar Piona selesai dari kamar mandi. Edwin pura-pura tidur, ternyata dia gampang tertidur juga, kata Piona dalam hati.
Dengan spontan Piona menaikkan selimut Edwin agar menutupi tubuhnya itu dan berharap Edwin tidak masuk angin karena tidur di lantai.
Piona berbaring di ranjang dan masih terjaga melihat langit- langit.
Kenapa masih saja tidak bisa tidur? Piona menarik selimutnya lagi, piona diam-diam memperhatikan edwin dari atas ranjangnya.
Kenapa terasa berbeda waktu itu dengan saat ini ? Dia memang tampan? Tapi melihat sikapnya saat itu membuatku muak, hanya saja sekarang terasa lebih dewasa dan dia manis saat tidur', Piona tersenyum kecil
Apa yang kamu pikirkan Piona? hatinya gusar dan mulai menggigit selimutnya.
Ciuman tadi juga ciuman pertama ku, Kenapa dia yang mendapatkanya? Piona mengernyitkan dahi dan melirik lagi ke Edwin lalu menutup mukanya dengan tangan dengan perasaan malu.
Edwin yang hanya pura-pura tertidur sadar dirinya diperhatikan sejak tadi. Ada senyum tersungging kecil di bibirnya. Edwin semakin membayangkan ciuman tadi dan wajahnya mulai memerah. Kali ini Edwin tidak tahan untuk pura-pura tertidur lagi.
"Hahahahha," Edwin terduduk dan tertawa membelakangi Piona.
Piona terkejut dan melihat kearah Edwin yang sedang terkikih geli tanpa alasan.
"Maaf Piona sepertinya aku tidak tahan lagi berpura-pura tidur. Kenapa kamu mencuri pandang menatap wajahku ? Apa kamu mulai sadar aku tampan?" masih tertawa kecil dan dia mulai tertawa jahil sambil membelakangi Piona.
"Apa an sih, nggak!! siapa juga yang ngeliatin kamu, PD banget sih kamu!" muka Piona memerah dan membalikkan tubuhnya kearah yang lain.
"Hati-hati nanti kamu bisa jatuh cinta sama aku, lo?" Edwin mulai menggodanya.
Piona terdiam mendengar perkataan itu dan tidak menjawab sama sekali.
Edwin kembali terbaring dan menatap punggung Piona dari bawah ranjangu
Mungkin aku tidak akan menyesal menerima pertunangan dan pernikahan ini, Edwin tersenyum kecil dan berkata dalam hatinya. Sambil menarik selimutnya dan bersiap untuk tidur.
Piona masih mencoba untuk tidur, tapi pikirannya kemana- mana. Piona menoleh ke arah edwin lagi.Melihatnya sudah tidur pulas.
Dia bisa-bisanya tertidur lelap, apa dia tidak berfikir jawaban apa yang harus dipersiapkan ketika tante Marta dan mamaku tanya? sudahlah, aku tidur saja ! Dasar pria aneh, Piona akhirnya tertidur.
Baru awal udah main kiss kiss aja, baru awal masih ada yang bikin seru dan keringat dingin eits jangan lupa tinggalkan komentar dan bintangnya yah buat author biar lebih semangat!
Perasaan tidak menentu mulai menyelimuti pikiran Edwin, bagaimana tidak, seorang yang ada di telepon adalah saudara kembarnya. Banyak hal yang belum diceritakan ke Piona, walaupun papa Edwin sudah tahu semuanya, karena perasaan orang tua tidak bisa di bohongi. Mereka tahu perbedaan antara Edwin dan saudara kembarnya itu. Secepat kilat Edwin melajukan mobilnya untuk sampai di perusahaan, setelah membuka pintu ruangan kantornya. Dia mendudukkan dirinya di sofa yang ada di ruangannya itu, dia berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya memutuskan untuk menelpon saudara kembarnya itu. “Kring, Kring, Kring.” Suara handphone berdering, saudara kembar Edwin sudah otomatis menerima panggilan dari Edwin yang merupakan adik kembarnya itu. “Lama sekali kamu menjawab pesanku?” suara yang tidak asing menyapa di telinga Edwin. “Aku harus menjauh dari istriku dulu, baru aku bisa menghubungimu.” Jawab Edwin sambil membetulkan posisi duduknya. “Salah sendiri ka
Setelah pertengkaran kecil yang terjadi di meja makan, mereka mulai menyelesaikan makan malam itu dengan lahap. Hari itu Papa dan Mama Piona tidak menginap di rumah Edwin dan Piona. Mereka memutuskan untuk pulang karena ada kepentingan yang harus mereka selesaikan. "Sayang, besok nenek akan kesini lagi ya, baik-baik dirumah sama mama dan papa," mama Piona memegang kedua pipi cucu kembar itu. Mereka berdua tersenyum memandang neneknya. "Kalian ini memang sangat menggemaskan," komentar mama Piona. "Win, Piona, papa sama mama pulang dulu ya. Buat kamu Edwin hati-hati dijalan saat keberangkatanmu ke Eropa!" jelas papa Piona. "Makasih pah, pasti!papa sama mama juga hati-hati dijalan!" ucap Edwin sambil bersalaman dan memberi hormat kepada mertuanya itu. Mama dan papa Piona juga berpamitan juga dengan papa Edwin. Akhirnya mereka keluar dan masuk ke dalam mobil. Mobil mereka sudah keluar dari gerbang, Piona yang masih kesal dengan Edw
Piona yang ikut berteriak langsung loncat dan menutupi suaminya dari pandangan mamanya yang berdiri masih terbelalak melihat kejadian yang tidak terduga ini. "Mama, kenapa nggak ketuk pintu dulu?" Piona yang sudah berdiri di depan Edwin menghalangi pandangan mamanya ke arah sana. "Apa kalian terbiasa teledor?Kenapa pintunya tidak di kunci?Aku kira tidak ada Edwin, kalau yang masuk Wibi dan Wiska gimana?" selagi mama Piona ngomel panjang Lebar, Edwin mengambil handuk yang terjatuh lalu kembali memakainya lagi. "Ma-maaf ma," Edwin tiba-tiba menyahut. "Iya, ma maaf!" Piona ikut memohon. "Ya udah, mama sama papa tunggu dibawah!" Mama Piona menutup pintu dengan segera. Kali ini mama Piona memang sangat terkejut dia juga mengelus dadanya dan ingin menghilangkan pemandangan milik menantunya itu di dalam kepalanya. Mataku benar-benar ternodai saat ini, Oh Tuhan! mama Piona langsung turun ke bawah. Piona memandang Edwin dan mem
“Nggak dong, sayang. Lagian ini sudah jam pulang kantor, biarkan saja!Yuk, aku kangen kedua anak kita,” Piona langsung menggeret lengan Edwin untuk pergi meninggalkan perusahaan saat itu juga. Edwin langsung berjalan bersama dengan istrinya itu,”Kamu memang istriku yang sangat hebat, sayang. Kamu mulai bisa seperti mama,” komentar Edwin yang membukakan pintu mobil untuknya. Piona masuk ke mobil dan disusul Edwin yang bersiap menyetir mobilnya, “Aku harus menjalankan amanat mama dengan baik, dia sudah mempercayakan perusahaan ini padaku, aku nggak mungkin kan akan menelantarkannya dan membuat perusahaan ini menurun?” “Aku terlalu bangga sama istriku yang satu ini, pinter ngurus rumah, ngurus anak, ngurus perusahaan, kamu memang nggak ada duanya sayang. Eh tadi kamu bilang kangen kedua anak kita, la kamu nggak kangen aku?” Puji Edwin membuat pipi Piona sedikit memerah dan sedikit ingin tertawa karena suaminya itu. “Jangan berlebihan!Nanti aku ngga
Nafas yang terus memburu membuat Dina dan Gandi sedikit terengah-engah sejenak mengambil nafas, menarik ciuman itu sebentar sambil saling memandang dengan begitu intens, Gandi membetulkan sehelai rambut Dina yang menutupi wajahnya, lalu menyingkirkan rambutnya ke belakang telinganya, “Bolehkah aku melakukannya sekarang?” Gandi masih memandang istrinya itu dengan intens. Dina mengangguk pelan sambil memandang suaminya yang benar-benar membuatnya terbuai saat itu juga, Gandi menyentuh bibir itu lagi. Memagutnya pelan membuat Dina menggeliat, suara desahan mulai nyaring terdengar, ketika dengan liar Gandi membuka kancing baju atas Dina dan memainkan jarinya disana. Gandi melepaskan kaosnya, kembali membuai istrinya itu dengan sentuhan yang beralih ke lehernya, Dina tak kuasa menahan desahan yang membuatnya sedikit meronta, Gandi mulai menelusuri tubuh Dina hingga ke area yang paling sensitif, perlahan segalanya terlepas dari tubuh mereka masing-masing, Gandi menar
Edwin dan Piona sama-sama masuk ke dalam kamar Wibi dan Wiska, mereka menangis sudah bersiap dengan tangan menengadah untuk minta di gendong.“Mama, hiks”“Papa, hiks”Piona dan Edwin tersenyum melihat anak mereka yang begitu manja,“Anak mama udah bangun, sini sayangku!” Piona berhasil menggendong Wiska.“Sini sama papa, Wibi ganteng , haus ya?” Edwin berhasil menggendong Wibi.Piona dengan cekatan membuatkan susu di dekat box mereka sembari menggendong Wiska, setelah di gendong anak kembar itu berhenti menangis, menunggu susu di dalam botol yang di buatkan oleh Piona jadi.“Dua botol sudah jadi,” Piona mengumumkan membuat anak mereka sudah siap untuk berbaring di pangkuan papa dan mamanya.Piona menyerahkan satu botol kepada Edwin, lalu dia mengambil sebotol lagi untuk di berikan kepada Wiska.Dikamar itu mereka menunggu susu yang di berikan habis di minum anak kembar mereka.“Sayang, anak kita semakin lahap saa
Perasaan tidak menentu mulai menyelimuti pikiran Edwin, bagaimana tidak, seorang yang ada di telepon adalah saudara kembarnya. Banyak hal yang belum diceritakan ke Piona, walaupun papa Edwin sudah tahu semuanya, karena perasaan orang tua tidak bisa di bohongi. Mereka tahu perbedaan antara Edwin dan saudara kembarnya itu. Secepat kilat Edwin melajukan mobilnya untuk sampai di perusahaan, setelah membuka pintu ruangan kantornya. Dia mendudukkan dirinya di sofa yang ada di ruangannya itu, dia berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya memutuskan untuk menelpon saudara kembarnya itu. “Kring, Kring, Kring.” Suara handphone berdering, saudara kembar Edwin sudah otomatis menerima panggilan dari Edwin yang merupakan adik kembarnya itu. “Lama sekali kamu menjawab pesanku?” suara yang tidak asing menyapa di telinga Edwin. “Aku harus menjauh dari istriku dulu, baru aku bisa menghubungimu.” Jawab Edwin sambil membetulkan posisi duduknya. “Salah sendiri ka
Pernikahan itu selesai, lelah dirasakan sepasang pengantin baru yang duduk di sofa masih di Gedung Serbaguna itu. Tamu undangan satu persatu sudah pulang, tinggal mereka berdua, kru acara dan sahabat mereka yaitu Edwin dan Piona.“Capek, ya?” tanya Piona yang mengambilkan minum untuk Dina dan Gandi.“Iya, capek banget. Makasih ya, beb.” Tanpa menunggu Dina langsung meneguk minuman itu sampai habis.“Makasih Piona, ternyata perjuangan ya buat nikah aja. Belum juga malam pertama kok engos-engosan gini, yah?” Gandi ikut meneguk minuman itu sampai habis.“Lihat!Baru kaya gini aja udah ngeluh, apalagi entar udah punya anak. Masih mau ngeluh juga?”Edwin yang menidurkan Wibi dipelukannya mulai berkomentar melihat Gandi.Setelah keduanya menghabiskan minuman di gelas itu, bersamaan langsung memberikannya kepada Piona.“Enggak deh Win, nggak jadi ngeluh deh. “ ucap Gandi yang masih merebahkan tubuhnya di sofa.Edwin mengambil sebuah voucher di
Dina dan Gandi bermain bersama Wibi dan Wiska di taman depan rumah mereka, Gandi mengayun-ayunkan Wibi dan Dina menggendong Wiska untuk melihat ikan di kolam dekat taman. Gandi menggendong Wibi lalu mendekati Dina.“Kamu nggak mau, punya anak seperti mereka?” tanya Gandi.“Siapa yang bakal nolak punya anak selucu ini?” Dina tersenyum melirik Gandi di sebelahnya seraya memberikan kode.Aku tahu kamu mikir apa, Gan? Pikir Dina yang mencoba serius menatap Wiska yang tersenyum melihatny sejak tadi.“Ya, udah. Nikahnya dipercepat, gimana sayang?” Gandi terlihat bahagia sambil memainkan tangan Wibi untuk mencolek hidung Wiska.Dina menoleh ke arah Gandi, “Mau nggak ya?” Dina mencoba menggoda Gandi.“Ih, pake mikir segala sih. Tinggal bilang iya aja kok susah!” Gandi terlihat geram dan sangat tidak sabar.“Iya, iya deh. Yuk Nikah! Segitu ngebetnya pingin nikah sama aku?” Dina menyenggol lengan Gandi dengan lengannya.“Emang k