“Ya iyalah satu cangkir, masa iya satu ember ...” gumam Nayara sambil cepat-cepat pergi sebelum Elkan mendengarnya. Setelah minum kopi, Nayara menumpang mobil Elkan yang memutuskan untuk mengemudi sendiri tanpa sopir. Mobil itu melaju kencang ke arah kantor tempat Andika bekerja. “Kalau boleh tahu tindakan apa yang akan Bapak ambil kalau sudah sampai di sana nanti?” Nayara tidak tahan jika tidak bertanya. “Tentu saja saya akan menindak tegas laporan keuangan yang tidak jelas itu.” “Tapi apakah Anda bisa memberikan mereka bukti kalau Bapak punya wewenang, sekalipun itu atas permintaan orang yang menyuruh Anda?” “Kamu lihat saja nanti, kamu tinggal memberikan poin-poin pendukung supaya mata mereka terbuka.” Nayara menelan saliva, sensasi akan membuat keributan di kantor orang lain ini membuatnya ketar-ketir. Terlebih lagi kantor yang dia tuju adalah kantor di mana mantan suaminya bekerja mencari nafkah. Demi alasan apa pun, Nayara enggan sekali untuk bersinggungan lagi de
“Tapi aku pegawai di kantor ini!” Andika mengacak rambutnya, mulai frustrasi. “Aku tahu, sudah ya? Aku juga nggak paham kenapa Elkan datang ke sini mau bertemu bosku.” “Kok kamu panik, Yang?” Andika tidak menjawab. Kenapa masalahnya jadi melebar begini? Mana Elkan ikut-ikutan muncul .... “Yang!” gertak Lika tidak sabar. “Apa sih, aku lagi pusing! Tolong pesankan kopi untuk semua orang yang ada di ruang rapat, Yang!” “Apa? Aku? Ih, ogah banget!” Andika hanya mampu menghela napas, setelah itu dia segera pergi dari hadapan Lika. “Ih, nyebelin banget sih! Aku kan juga pegawai penting di sini, Naya yang bukan siapa-siapa saja bisa masuk—argh!” Lika mengentakkan kakinya, lalu pergi untuk memanggil OB. “Pak Mantyo, ngapain Bapak di sini?” bisik Andika begitu dia melihat rekannya berlagak sibuk di ruangan rapat yang sudah bersih dan rapi. “Anda kan kepala pegawai, tidak ada hubungannya sama keuangan.” Alih-alih menanggapi pertanyaan Andika, Mantyo malah memberikan isyar
“Kamu kenapa, Yang?” “Ruang rapat sudah kosong belum?” “Aku nggak tahu, masih tutup rapat dari tadi.” Andika menarik napas panjang, wajahnya terlihat tertekan. “Kenapa sih? Kok bisa Elkan sampai datang ke sini?” “Aku juga nggak tahu, mana mantan istri aku juga ikut-ikutan datang ke sini lagi ....” “Itu dia yang nggak habis aku pikir, sok penting banget dia datang-datang ke kantor kita. Apa jangan-jangan dia punya niat jahat?” Andika menatap Lika dengan bingung. “Niat jahat apa, Yang?” “Iya siapa tahu lihat jahat buat menghancurkan nama baik perusahaan, mau membalas dendam sama kamu karena nggak terima sama perceraian kalian?” tebak Lika sok tahu. “Bisa jadi kan, Yang? Aku sering kok lihat di tayangan berita televisi, mantan istri yang menyimpan dendam karena nggak terima diceraikan ....” “Itu sih Kamu kebanyakan nonton sinetron sama berita kriminal,” celetuk Andika. “Lho siapa tahu, kan? Aku lihat sendiri gimana judesnya mantan istri kamu itu sama kita, tapi belakan
Sampai jam kerja berakhir, Elkan belum juga kembali ke kantor. Namun, Nayara merasa tidak memiliki kewajiban untuk menunggu kedatangan atasannya itu sehingga dia memilih untuk pulang bersama rekan-rekannya. “Heh Nay, sini kamu!” Suara Andika terdengar membahana di tengah riuhnya para pegawai yang memenuhi halaman. Nayara terlonjak kaget karena suara teriakan Andika. “Mau apa lagi dia datang ke sini?” tanya Kalisa heran. “Kamu samperin nggak, Nay?” “Itu tadi dia manggil nama aku, kan? Jangan-jangan dia mau ngajak ribut sama aku, Lis!” Sebelum Kalisa menjawab, Andika sudah keburu datang mendekat. “Mau ngapain kamu?” tanya Nayara dengan wajah waspada. “Mau ngapain? Tentu saja mau bikin perhitungan sama kamu!” “Aku nggak ada urusan apa-apa ya sama kamu ....” “Alah, mulut kamu ember!” gertak Andika, suaranya sukses mengalihkan perhatian para pegawai yang lewat di dekat mereka. “Sudah, jangan diladeni!” bisik Kalisa sembari menarik tangan Nayara supaya lanjut berjalan.
“Kamu saya pecat!” Wajah Andika yang sudah pucat mendadak jadi semakin pucat ketika mendengar vonis sang bos. “Tapi, Pak ... saya tidak melakukan kejahatan yang ....” “Mengambil pungutan liar, kamu pikir bukan kejahatan, hah?” Andika menundukkan wajahnya. “Tapi ... saya tidak korupsi, Pak ...” Bobi menatap murka ke arah Andika. “Saya juga sudah lama bekerja di kantor ini, setidaknya saya sedikit berjasa ... Tolonglah Pak, jangan pecat saya ....” Bobi mengembuskan napas panjang. “Kamu beruntung, Pak Alvi masih mempertimbangkan status kekerabatan kalian.” Andika menarik napas lega. “... tapi jabatan kamu akan diturunkan.” “Apa, Pak? Diturunkan?” “Ya, kamu tidak lagi jadi sekretaris saya mulai minggu depan.” Andika menggeleng lemah. Turun jabatan, kira-kira dia akan berganti jabatan menjadi apa? “Sisa hari ini bisa kamu pakai untuk membereskan barang-barang kamu. Minggu depan, kamu ganti seragam ....” “Pakai seragam, Pak?” sela Andika buru-buru. “Jadi offic
“Aku harus bertemu Pak Mantyo, ada hal penting nih!” Andika buru-buru pergi meninggalkan Lika sebelum kekasihnya itu tahu apa yang terjadi. *** “Aman, Nay.” “Yakin si mantan rese itu nggak lagi nungguin aku?” Kalisa menyipitkan matanya sampai tinggal segaris. “Nggak ada kok, aman. Penampakan mantan kamu dijamin musnah, Nay.” “Syukurlah,” sahut Nayara lega, dia dan Kalisa memang sejak tadi memantau gedung kantor mereka dari warung depan sembari menikmati segelas teh hangat dan pisang goreng. “Aku heran, kenapa ya Andika sampai marah-marah kayak orang gila?” Kalisa bertanya-tanya sembari berjalan menuju kantor. “Kamu sudah berbuat salah apa sih sama dia?” Nayara menggeleng cepat-cepat. “Sejak bercerai itu, aku sama Andika sudah nggak ada urusan apa-apa lagi, Lis. Kecuali ....” Kalisa menunggu kelanjutan ucapan Nayara dengan ekspresi tidak sabar. “Kecuali apa?” “Kecuali soal nafkah yang minta dibalikin.” “Sudah kamu kasih?” “Enggak, ya kali aku kembalikan nafkah y
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Raras menggendong bayi Slavia yang tertidur pulas dengan sangat hati-hati sementara Ardan yang mengantar mereka menggunakan mobilnya. Beberapa tahun kemudian ....Slavia yang sadar betul akan kesibukannya, berusaha melakukan apa saja untuk menunjang pendidikan putri semata wayangnya yang bernama Lunara. Dia tidak ingin menelantarkan putrinya selama dia bekerja, karena itu Slavia memasukkannya ke sekolah penuh waktu.Ardan kadang-kadang membantu dengan menjemput Lunara di sekolah jika Slavia belum bisa meninggalkan pekerjaannya.“Dan, sori akhir-akhir ini aku harus merepotkan kamu.” Slavia buru-buru menyambutnya saat Ardan menurunkan lunara dari mobil. “Aku harus mengikuti beberapa seminar penting ...”“Aku ngerti kok, Vi.” Ardan menganggukkan kepalanya seraya mengusap puncak kepala Lunara.“Aku sangat berterima kasih,” kata Slavia sungguh-sungguh dengan wajah lelah. “Lun, ayo bilang apa sama Om Ardan?”“Makasih Om,” ucap Lunara sambil mendongak men
Lunara sudah masuk ke dalam taksi dan Slavia masih berbincang sebentar dengan Ardan yang berdiri menunggu mereka."Bukan hak aku buat memberi tahu anak itu segalanya," komentar Ardan. "Justru aku yang salut sama kamu, karena kamu bisa mendidik Luna tanpa perlu mengenalkan kebencian terhadap ayah yang meninggalkannya."Slavia menganggukkan kepalanya."Aku cuma mau Luna jadi anak baik," ujar slavia. "Saat aku nggak bisa menghadirkan sosok ayah untuknya, maka aku juga nggak mau menghadirkan sedikitpun kebencian di hati Luna."Ardan tersenyum mendengarnya."Pulanglah, kamu kelihatan capek." Dia berkata sambil membuka pintu taksinya agar Slavia segera masuk.Begitu taksi yang membawa Lunara dan slavia berlalu, Ardan berbalik untuk kembali ke dalam kantor yang dirintis olehnya bersama Raras dan Slavia."Kamu perhatian sekali ya, sama via dan anaknya?" komentar raras yang sudah berdiri di depan pintu ruangannya saat Ardan lewat. "Aku lihat semua perlakuan kamu dari ruanganku tadi."Ardan men