/ Fantasi / Kakak iparku yang terlalu sempurna / Bab 5 - Di Antara Hujan Yang Belum Selesai

공유

Bab 5 - Di Antara Hujan Yang Belum Selesai

작가: Diky
last update 최신 업데이트: 2025-06-23 00:34:20

Pagi datang dengan langit kelabu. Hujan belum benar-benar pergi, hanya berubah jadi gerimis tipis yang menetes malu-malu di dedaunan taman belakang. Aku terbangun lebih cepat dari biasanya. Mata masih sembab sisa menangis semalaman, entah karena malu, takut, atau justru karena rasa rindu yang tidak pantas. Suara pintu kamar terbuka pelan. Aku refleks berpura-pura tidur. Langkah kaki Dimas terdengar masuk, mendekat ke ranjangku. Hatiku berdegup makin kencang. Aku bisa merasakan aroma sabun mandinya. Lembut, menenangkan, tapi juga menyesakkan.

Dia diam cukup lama di sampingku. Mungkin sedang memastikan aku tidur. Atau mungkin sedang menahan ribuan kata yang ingin dia ucapkan tapi tak boleh diucapkan.

Beberapa detik kemudian, kudengar napasnya berat, lalu langkahnya menjauh. Pintu ditutup kembali, sunyi pun kembali menelanku sendirian di bawah selimut. Setelah yakin dia tak kembali, aku membuka mata. Sisa hangatnya masih terasa di udara. Tuhan… sampai kapan aku harus begini?

Aku bangkit, mandi, lalu turun ke dapur. Dimas duduk di meja makan sambil menyesap kopi. Dia sudah rapi dengan kemeja kerja, wangi parfum maskulinnya menyebar ke seluruh ruangan. Begitu melihatku, dia sedikit tersenyum.

“Pagi. Tidur nyenyak?”

Aku mengangguk pelan. “Iya, Mas. Makasih…” Suaraku parau, entah kenapa jadi terasa asing di telingaku sendiri. Dimas berdiri, merapikan map kerja di tangannya. Dia berjalan ke arahku, berhenti hanya beberapa langkah di depanku. Matanya menatapku dalam, lama, sampai aku terpaksa menunduk, takut tenggelam dalam lautan perasaan yang tak boleh ada.

“Rani… semalam… Maaf ya. Mas terlalu dekat sama kamu.” Suaranya pelan, nyaris berbisik.

Aku mendongak cepat. Melihat dia berusaha tegar justru membuatku semakin lemah.

“Nggak apa-apa, Mas. Aku juga minta maaf. Aku janji nggak akan bikin Mas… bingung lagi.”

Dimas menarik napas panjang. Tangannya hampir terulur menyentuh pipiku, tapi dia menahannya. Ia hanya mengangguk pelan, menahan diri habis-habisan.

“Bagus. Kita harus ingat siapa kita. Siska percaya sama Mas… dan sama kamu.”

Kalimat itu menamparku lebih keras dari hujan semalaman. Siska. Kakakku. Perempuan yang selalu percaya padaku, yang menampungku saat aku tak punya apa-apa. Bagaimana aku bisa membalasnya dengan menyimpan perasaan pada suaminya?

“Mas berangkat dulu. Kalau ada apa-apa, telepon Mas ya.”

Aku hanya bisa mengangguk. Dimas berjalan menuju pintu depan, pamit tanpa menoleh lagi. Begitu suara mobilnya hilang, aku terduduk di kursi makan, menutup wajah dengan kedua tangan.

Perasaan ini salah. Aku tahu. Tapi kenapa makin disangkal, rasanya makin tumbuh liar?

Siang harinya, aku berusaha sibuk. Menyapu, mengepel lantai, merapikan rak buku Siska, sampai menata baju di lemari. Semua kulakukan agar tak sempat memikirkan Dimas.

Tapi justru di antara kesibukan itu, aku menemukan sesuatu yang membuat jantungku berhenti berdetak.

Saat sedang merapikan rak kecil di kamar Siska, aku tak sengaja menjatuhkan satu map kuning. Isinya berhamburan di lantai. Kertas-kertas itu ternyata hasil tes kesehatan, beberapa hasil lab, dan… satu lembar hasil USG. USG? Aku menatapnya lama. Tanggalnya baru dua minggu lalu. Mataku melebar saat membaca catatan dokter: “Kondisi rahim lemah. Risiko keguguran tinggi. Disarankan istirahat total dan kontrol rutin.”

Tanganku bergetar. Siska tidak pernah bilang padaku. Tidak pernah bilang pada siapa pun, bahkan Dimas? Atau… Dimas sudah tahu?

Dadaku sesak. Aku merasa seperti orang paling egois di dunia. Saat kakakku sedang berjuang mempertahankan calon anaknya, aku justru sibuk menata perasaan untuk suaminya.

Aku terduduk di lantai, memeluk map kuning itu. Air mataku jatuh tanpa bisa dicegah.

“Kak… maafin Rani… Rani jahat banget, Kak.”

Hujan di luar tiba-tiba deras lagi, seolah menertawakan aku yang terjebak di labirin perasaan kotor.

Aku tahu, detik ini juga aku harus berhenti. Apapun caranya. Aku harus menjauh dari Dimas. Meski itu berarti harus menghancurkan hatiku sendiri.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 125 - Langkah ke Dalam Kabut

    Matahari sore meredup, langit berubah jingga pucat di balik kabut tipis yang menggantung. Desa kecil itu kini bagaikan benteng cahaya—parit yang sudah dipenuhi minyak berkilauan, obor besar menyala di tiap sudut, dan api unggun besar berdiri kokoh di tengah lapangan. Namun meski persiapan tampak lengkap, tak seorang pun bisa benar-benar menyingkirkan rasa takut yang menggantung di hati mereka.Di tepi desa, Bima berdiri dengan tombak bambu di tangannya. Luka di tubuhnya sudah dibalut kain, namun masih terasa nyeri setiap kali ia bergerak. Di sampingnya, Arif, Danu, dan Joko sudah siap dengan peralatan seadanya: obor panjang, bambu runcing, serta botol kecil berisi minyak kelapa yang digantungkan di pinggang.Rani berdiri di depan Bima, wajahnya memucat sejak pagi. Ia menggenggam erat selendangnya, berusaha menahan air mata. “Bima… kau tidak harus pergi. Kita sudah bertahan semalam, mungkin kita bisa terus melakukannya.”Bima menggeleng pelan. “Ran, kabut i

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 124 - Rencana di Balik Api

    Pagi datang dengan cahaya pucat. Matahari yang biasanya bersinar hangat, kini terhalang kabut tipis yang tak kunjung hilang sejak malam. Suara ayam jantan terdengar sayup, namun desa tetap sunyi. Tak ada canda anak-anak, tak ada suara riuh orang-orang berangkat ke sawah. Semua masih tegang, seakan malam panjang itu belum benar-benar berakhir.Di balai desa, orang-orang sudah berkumpul. Obor-obor masih menyala di sekeliling ruangan, seolah api menjadi satu-satunya pelindung dari ketakutan yang masih membayangi. Bima duduk di depan bersama Arif, Danu, Joko, Rani, dan kepala desa. Luka di tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi matanya tetap tajam, penuh tekad.“Kita semua melihat apa yang terjadi semalam,” kata kepala desa membuka pertemuan. Suaranya parau karena semalaman hampir tidak tidur. “Makhluk itu tumbang, tapi kabutnya tidak pergi. Malah, kita melihat sesuatu yang lebih menakutkan: cahaya merah di dalam pusaran kabut. Apa pun itu, aku yakin itu sumber dari sem

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 123 - Bayangan Setelah Kemenangan

    Desa itu dipenuhi sorak-sorai. Orang-orang memeluk satu sama lain, ada yang berteriak lega, ada yang menangis sambil tertawa, dan ada pula yang langsung berlutut bersyukur. Anak-anak kecil yang tadi ketakutan kini berlari ke pelukan orang tua mereka. Obor-obor yang masih menyala tampak seperti bintang-bintang kecil di tengah malam, memantulkan cahaya hangat di wajah para pejuang desa.“Bima! Kau pahlawan kita!” teriak salah seorang pemuda desa sambil mengangkat obornya ke udara. Yang lain ikut bersorak, menyebut nama Bima berulang kali.Namun di tengah kegembiraan itu, Bima hanya duduk terengah di tanah, wajahnya pucat dan tubuhnya penuh luka. Rani bersimpuh di sampingnya, merawat dengan kain yang ia sobek dari selendang. “Jangan banyak bergerak, Bima. Kau kehilangan banyak tenaga.”Bima menatapnya dengan senyum tipis. “Aku baik-baik saja. Lebih penting… bagaimana dengan semua orang? Ada yang terluka parah?”Kepala desa menghampiri, wajahnya tegan

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 122 - Pertarungan dalam Kabut

    Kabut semakin tebal, menutupi hampir seluruh jalan masuk kampung. Obor-obor yang berderet di sekeliling desa bergetar ditiup angin dingin yang aneh, seakan ada kekuatan tak kasat mata yang mencoba memadamkannya.Bima berdiri paling depan bersama Arif, Danu, dan Joko. Wajah mereka pucat karena dingin, namun mata mereka menyala penuh tekad. Di belakang, warga desa menggenggam obor dan tombak bambu, berusaha menahan rasa takut.“Jangan biarkan cahaya padam!” teriak Bima lantang. “Selama api menyala, mereka tak bisa masuk!”Namun suara itu segera ditelan oleh raungan keras dari dalam kabut. Bayangan besar bergerak, tanah bergetar setiap kali langkahnya menghentak. Perlahan, sosok itu muncul—makhluk hitam setinggi pohon kelapa, matanya merah membara, mulutnya dipenuhi gigi tajam yang berkilat.Orang-orang desa berteriak ketakutan. Beberapa mundur, sebagian hampir menjatuhkan obor mereka.Arif menegakkan tubuhnya. “Bima, ini jauh lebih besar da

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 121 - Kabut yang Kembali

    Malam itu kampung sedang tenang. Obor-obor padam satu per satu, hanya cahaya bulan yang menerangi jalan setapak. Anak-anak sudah terlelap, suara jangkrik memenuhi udara, dan angin malam bertiup sejuk. Semua terasa damai… hingga tiba-tiba anjing-anjing desa menggonggong keras, menggema ke segala penjuru.Rani yang baru saja hendak memejamkan mata sontak terbangun. Ia duduk tegak, tubuhnya merinding. Dari jendela kecil rumah, ia melihat kabut tipis mulai merayap perlahan di permukaan tanah. Kabut itu berbeda—warnanya keabu-abuan, berputar seperti asap, dan bergerak melawan arah angin.“Tidak…” bisiknya, wajahnya pucat.Tak lama kemudian, terdengar teriakan dari arah sawah. “Kabut itu kembali! Kabut kembali!”Bima yang tidur di ruang sebelah segera terbangun. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, ia bergegas keluar rumah. Tatapannya langsung menangkap pemandangan yang membuat darahnya berdesir: kabut tipis menyebar dari hutan ke arah desa, menutupi

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 120 - Bayangan di balik tenang

    Beberapa hari terakhir, kampung benar-benar terasa damai. Anak-anak kembali berlarian, para petani mulai menanam bibit baru di sawah, dan ibu-ibu menggelar tikar di depan rumah sambil mengupas sayuran, bercengkerama ringan.Bima, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, mulai ikut membantu pekerjaan ringan di ladang. Rani selalu menemaninya, memastikan ia tidak memaksakan diri.“Kau belum sepenuhnya sembuh, Bima,” kata Rani sambil menatapnya khawatir. “Kalau kau terlalu memaksa, lukamu bisa terbuka lagi.”Bima tersenyum menenangkan. “Aku tidak bisa hanya duduk diam sementara orang lain bekerja. Lagi pula, udara segar sawah membuatku lebih cepat sembuh.”Rani mendesah, namun akhirnya hanya mengangguk. Ia tahu keras kepala Bima tak mudah dibantah.Sore itu, setelah pekerjaan selesai, Bima berjalan sendiri menuju tepian hutan kecil di dekat sawah. Angin sore bertiup lembut, namun ada sesuatu di udara yang membuatnya merasa waspada. Suara burun

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status