Suasana ruang sidang hari itu lebih tegang dari biasanya. Semua orang yang hadir seolah sudah mengetahui bahwa agenda utama kali ini adalah mendengarkan bukti dari saksi Yudha. Para wartawan sudah menyiapkan kamera, pena, dan bahkan siaran langsung melalui ponsel mereka.
Hakim membuka persidangan dengan suara tenang tapi tegas,“Sidang perkara pencemaran nama baik terhadap Bu Rani, pemilik usaha Sambal Arsya, kembali dibuka. Hari ini, kita akan mendengarkan serta memeriksa bukti elektronik yang diserahkan saksi Yudha pada sidang sebelumnya. Panitera, silakan persiapkan.”Aku duduk dengan jantung berdegup kencang. Bagas di sampingku tampak tenang, meski matanya penuh kewaspadaan. Arga yang duduk di kursi pengunjung melambai kecil, seolah ingin memberiku kekuatan.Seorang petugas menghubungkan flashdisk ke layar proyektor di ruang sidang. Semua mata tertuju pada layar putih yang berdiri di depan.“Baik,” kata hakim, “silakan diputarkan.”Hari itu, ruang sidang penuh sesak. Lebih ramai dibandingkan sidang-sidang sebelumnya. Para wartawan duduk rapat di barisan depan, kamera televisi dan ponsel berjajar, siap merekam setiap detik. Pendukung UMKM kembali memenuhi halaman pengadilan, meneriakkan yel-yel, meski aparat berusaha menjaga ketertiban.Aku duduk di kursi tergugat dengan jantung berdetak cepat. Di sampingku, Bagas tampak tenang, seolah yakin dengan hasilnya. Arga duduk tidak jauh dari kami, menatap penuh semangat, sesekali tersenyum memberi dukungan.Hakim memasuki ruangan. Semua orang berdiri. Setelah mengetukkan palu, ia membuka persidangan dengan suara mantap.“Sidang perkara pencemaran nama baik atas nama Ibu Rani, pemilik usaha Sambal Arsya, kembali dibuka. Hari ini, majelis hakim akan membacakan putusan berdasarkan bukti dan fakta yang telah terungkap di persidangan.”Aku menelan ludah, tanganku gemetar di pangkuan. Bagas menepuk pelan punggung tanganku, memberi isyarat agar
Suasana ruang sidang hari itu lebih tegang dari biasanya. Semua orang yang hadir seolah sudah mengetahui bahwa agenda utama kali ini adalah mendengarkan bukti dari saksi Yudha. Para wartawan sudah menyiapkan kamera, pena, dan bahkan siaran langsung melalui ponsel mereka.Hakim membuka persidangan dengan suara tenang tapi tegas,“Sidang perkara pencemaran nama baik terhadap Bu Rani, pemilik usaha Sambal Arsya, kembali dibuka. Hari ini, kita akan mendengarkan serta memeriksa bukti elektronik yang diserahkan saksi Yudha pada sidang sebelumnya. Panitera, silakan persiapkan.”Aku duduk dengan jantung berdegup kencang. Bagas di sampingku tampak tenang, meski matanya penuh kewaspadaan. Arga yang duduk di kursi pengunjung melambai kecil, seolah ingin memberiku kekuatan.Seorang petugas menghubungkan flashdisk ke layar proyektor di ruang sidang. Semua mata tertuju pada layar putih yang berdiri di depan.“Baik,” kata hakim, “silakan diputarkan.”
Sidang kedua dimulai dengan suasana yang jauh lebih panas dibandingkan sebelumnya. Ruang sidang penuh sesak, bukan hanya dengan para jurnalis dan pihak keluarga, tetapi juga beberapa perwakilan komunitas UMKM yang diizinkan masuk. Sementara di luar, teriakan dukungan dari massa pendukung masih bergema.Hakim membuka sidang dengan suara tegas.“Sidang perkara pencemaran nama baik terhadap produk Sambal Arsya kembali dibuka. Hari ini akan kita dengar saksi-saksi dari kedua belah pihak. Semoga semua pihak tetap menjaga ketertiban.”Aku duduk di kursi terdakwa dengan Bagas di sampingku. Tanganku gemetar, tapi bukan lagi karena takut. Kali ini lebih kepada rasa penasaran: siapa saksi yang akan dihadirkan pihak lawan?Pengacara lawan berdiri, lalu dengan percaya diri berkata,“Yang Mulia, kami menghadirkan saksi ahli yang akan membuktikan bahwa produk milik tergugat berpotensi membahayakan kesehatan.”Seorang pria bersetelan jas putih, mengaku s
Sejak sidang pertama, namaku tiba-tiba ramai dibicarakan. Aku yang awalnya hanya seorang ibu rumah tangga yang merintis usaha sambal kecil-kecilan, kini mendadak menjadi sorotan media.Pagi itu, ketika aku membuka ponsel, notifikasi membanjiri layar. Ada puluhan pesan WhatsApp dari teman lama, tetangga, bahkan orang yang tidak kukenal sebelumnya. Grup-grup media sosial ramai membicarakan tentang kasusku. Hashtag #DukungSambalArsya bahkan mulai muncul di Twitter dan Instagram.Arga yang duduk di sebelahku sambil menyeruput kopi, membaca salah satu artikel berita daring.“Ran, kamu harus lihat ini. Media menulis: Kasus Sambal Arsya Jadi Simbol Perlawanan UMKM Terhadap Konglomerat.”Aku menatapnya dengan campuran heran dan haru. “Masih sulit aku percaya semua ini terjadi. Dari dapur kecil, sekarang sampai ke headline berita nasional.”Arga tersenyum hangat. “Karena perjuanganmu nyata. Orang-orang bisa merasakan itu. Kamu bukan sekadar berbisnis,
Hari itu, udara di ruko terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena hujan, melainkan karena kabar yang kudengar dari pengacara muda kami, Bagas.“Bu Rani,” ucapnya dengan nada hati-hati, “saya sudah menelusuri laporan dan jejak dokumen. Dari sumber internal, ada indikasi kuat bahwa laporan itu tidak murni dari masyarakat. Ada pihak tertentu yang mendanai dan mengatur.”Aku menelan ludah. “Siapa, Mas? Siapa yang tega melakukan ini?”Bagas menatapku dalam-dalam, lalu menurunkan suaranya. “Kemungkinan besar pesaing besar yang beberapa waktu lalu sempat menghubungi Ibu untuk kerja sama. Ingat nama PT Surya Rasa?”Jantungku serasa berhenti berdetak. Ya, aku ingat betul. Perusahaan besar itu pernah datang dengan tawaran “kerja sama akuisisi”. Mereka ingin membeli merek Sambal Arsya, dengan alasan memperluas pasar. Tapi aku menolak, karena hatiku yakin bahwa usaha ini harus tetap dalam kendali kami sendiri.“Jadi… mereka dendam karena aku me
Hari-hari setelah acara open kitchen day terasa penuh semangat. Pesanan Sambal Arsya kembali naik, pelanggan lama semakin loyal, bahkan ada beberapa toko oleh-oleh di luar kota yang mulai tertarik menjalin kerja sama.Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.Suatu siang, ketika aku baru saja selesai memantau produksi, datang dua orang berseragam resmi ke ruko. Mereka memperkenalkan diri sebagai petugas dari dinas kesehatan.“Apakah benar ini usaha Sambal Arsya?” salah satu dari mereka bertanya dingin.Aku mengangguk. “Iya, betul. Ada yang bisa saya bantu, Pak?”Mereka langsung menunjukkan surat perintah inspeksi.“Kami mendapat laporan bahwa produk ini tidak memiliki izin edar yang lengkap dan diduga melanggar standar kebersihan. Kami perlu melakukan pemeriksaan.”Aku tercekat. Laporan? Dari siapa lagi kalau bukan dari pesaing yang iri.Pemeriksaan berlangsung tegang. Mereka memeriksa dapur, gudang, bahkan bertanya