Share

Kala Cinta Menyapa
Kala Cinta Menyapa
Penulis: Sandra Setiawan

1, Prolog

Sabuk khatulistiwa melingkari bumi.

Nusantara menjadi kepala indahnya.

Hijau membentang di antara birunya laut.

Sang surya tak pernah lelah menyinari tanahnya.

Birunya laut dan birunya langit

melatari hijaunya bumi.

Nusa Antara,

kahyangan Dewata,

menanti sang ratu adil menjejak bumi.

***

.

[Kaki Gunung Bromo, penghujung 1831]

.

SEORANG pemuda bergerak lincah menerobos lebatnya hutan. Berselempang busur dan tempat anak panah. Seekor kancil jantan berada di gendongannya. Kancil itu tidak mengurangi kelincahannya bergerak. Berjalan, berlari, berlompatan. Sesekali kakinya melenceng dari jalur, tapi lentur tubuhnya bisa segera beradaptasi dengan gerak terpeleset kakinya. Dia bisa segera kembali berdiri tegak tanpa cela. Dia lincah seperti kancil yang digendongnya jika sang kancil sedang tidak pingsan.

Kakek pasti senang dengan hasil buruanku, bisiknya dalam hati, ini untuk tanda syukur kami pada Dewata Agung yang selalu bermurah hati pada kami semua. Kami memang harus selalu bersyukur, Mengirimkan tanda syukur pada alam yang berbaik hati memenuhi semua yang mereka butuhkan. Kakek selalu berkata itu.

Ingatan akan kakeknya membuatnya semakin bersemangat menerobos semak dan pohon yang semakin menipis. Dia mendekati tepi hutan. Batas antara hutan dan desa. Dia terus bergerak lincah. Hewan-hewan membiarkan saja dia berlari. Mereka sama-sama penghuni hutan, tidak saling mengganggu.

Jalan setapak menuju desanya sebentar lagi terlihat. Dia bergerak semakin cepat ketika tidak ada lagi perdu yang menghalangi langkahnya.

.

DOR

.

Dia membeku. Suara itu bukan suara alam. Itu suara iblis! Suara perusak kehidupan, pencabut nyawa. Mendengar suara itu, segera kesadarannya datang kembali menghampiri, dia berlari semakin cepat. Wajahnya yang tadi terhias senyum sekarang menjadi datar dan tegang. Jantungnya berderap bukan karena larinya. Ada hal buruk yang biasa datang bersamaan dengan suara iblis itu.

Berlari di sepanjang jalan setapak menuju desanya, kaki telanjangnya bergerak semakin lincah, seperti kancil yang tetap berada di gendongannya. Semakin memasuki desa, hatinya semakin berantakan manakala mendengar suara riuh warganya menangis dan menjerit panik.

Suara-suara merana menjerit itu semakin terdengar jelas. Dia bahkan sudah bisa mendengar teriakan apa yang mereka lolongkan dengan suara menyayat hati.

Tolong!

Anpun, Tuan.

Dua kata itu yang paling jelas terdengar diselingi suara-suara bunyi menghantam dan suara jerit kesakitan.

Belanda datang!

Selalu seperti itu! Mereka datang hanya merusak ketenangan.

Mengabaikan napas terengahnya, dia bergerak cepat ke tengah desa. Ada tanah lapang di sana, tepat di depan rumah kakeknya. Sang kepala desa.

Ketika dia berbelok, pemandangan di depannya membuat tubuhnya membeku.

Hampir semua warga desanya, yang notabene adalah keluarganya, duduk bersimpuh di tanah lapang. Semuanya meraung. Beberapa orang masih digelandang untuk masuk bergabung dengan yang lain.

Suara ratap pilu dari wanita, suara ketakutan dari bocah lemah, suara jerit kesakitan dari lelaki tersiksa popor senjata, suara teriakan marah manusia pemberontak. Semuanya terpampang jelas di depan mata.

Suara mereka menjadi latar yang memilukan, bergelimpangan mengelilingi satu sosok yang berdarah marah. Berusaha bertahan di tengah banjir darah. Darahnya sendiri.

Pandangan mereka bertemu. Terpaku. Kakinya seperti pasak menikam jauh ke bumi tempatnya berdiri. Dia tak mampu bergerak.

“Kakek….” Hanya suara lirih yang mampu keluar dari bibir bergetarnya.

“AIRLANGGA!” Sang sosok berdarah-darah, sang kakek, sang kepala desa, berteriak. Mengumpulkan semua tenaga yang tersisa di ujung hayatnya.

“PERGI, NAK…. PERGI…”

Pemuda itu—Airlangga—masih terpaku. Tak mampu cepat mencerna.

Seorang serdadu lokal berseragam Belanda bergerak cepat mengokang senapan, sementara si pemuda masih terus terpaku.

“BANGSATTTT…!!! JANGAN SENTUH CUCUKU, PENGKHIANATT…!!!” Dengan tangan yang penuh darah, sang kakek menarik kaki sedadu tersebut, sampai tubuhnya berguling. Merasa gerakannya terganggu, serdadu itu menghadiahi pukulan dengan popor senjata, mengenai tepat di ulu hati sang kakek.

“AARRGGHH!!!” Gerakannya semakin lemah, menahan sakit. Suara jerit, tangis, raungan, marah, semakin berkumandang. Nyanyian lara alam yang terusir kepongahan manusia.

“ANGGA … pergi … Nak….” Sang serdadu kembali bergerak. “Selamat … selamatkan … diri … mu….”

“Pergi….”

Bersamaan melihat kakeknya tersungkur, pemuda itu mendapatkan kembali kesadarannya. Berbalik, dia pergi berlari secepat kaki tegarnya bergetar bergerak mendampingi hatinya yang meluruh, kembali memasuki hutan. Rumahnya yang kedua.

Pemuda itu bernama Airlangga.

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status