Sabuk khatulistiwa melingkari bumi.
Nusantara menjadi kepala indahnya.
Hijau membentang di antara birunya laut.
Sang surya tak pernah lelah menyinari tanahnya.
Birunya laut dan birunya langit
melatari hijaunya bumi.
Nusa Antara,
kahyangan Dewata,
menanti sang ratu adil menjejak bumi.
***
.
[Kaki Gunung Bromo, penghujung 1831]
.
SEORANG pemuda bergerak lincah menerobos lebatnya hutan. Berselempang busur dan tempat anak panah. Seekor kancil jantan berada di gendongannya. Kancil itu tidak mengurangi kelincahannya bergerak. Berjalan, berlari, berlompatan. Sesekali kakinya melenceng dari jalur, tapi lentur tubuhnya bisa segera beradaptasi dengan gerak terpeleset kakinya. Dia bisa segera kembali berdiri tegak tanpa cela. Dia lincah seperti kancil yang digendongnya jika sang kancil sedang tidak pingsan.
Kakek pasti senang dengan hasil buruanku, bisiknya dalam hati, ini untuk tanda syukur kami pada Dewata Agung yang selalu bermurah hati pada kami semua. Kami memang harus selalu bersyukur, Mengirimkan tanda syukur pada alam yang berbaik hati memenuhi semua yang mereka butuhkan. Kakek selalu berkata itu.
Ingatan akan kakeknya membuatnya semakin bersemangat menerobos semak dan pohon yang semakin menipis. Dia mendekati tepi hutan. Batas antara hutan dan desa. Dia terus bergerak lincah. Hewan-hewan membiarkan saja dia berlari. Mereka sama-sama penghuni hutan, tidak saling mengganggu.
Jalan setapak menuju desanya sebentar lagi terlihat. Dia bergerak semakin cepat ketika tidak ada lagi perdu yang menghalangi langkahnya.
.
DOR
.
Dia membeku. Suara itu bukan suara alam. Itu suara iblis! Suara perusak kehidupan, pencabut nyawa. Mendengar suara itu, segera kesadarannya datang kembali menghampiri, dia berlari semakin cepat. Wajahnya yang tadi terhias senyum sekarang menjadi datar dan tegang. Jantungnya berderap bukan karena larinya. Ada hal buruk yang biasa datang bersamaan dengan suara iblis itu.
Berlari di sepanjang jalan setapak menuju desanya, kaki telanjangnya bergerak semakin lincah, seperti kancil yang tetap berada di gendongannya. Semakin memasuki desa, hatinya semakin berantakan manakala mendengar suara riuh warganya menangis dan menjerit panik.
Suara-suara merana menjerit itu semakin terdengar jelas. Dia bahkan sudah bisa mendengar teriakan apa yang mereka lolongkan dengan suara menyayat hati.
Tolong!
Anpun, Tuan.
Dua kata itu yang paling jelas terdengar diselingi suara-suara bunyi menghantam dan suara jerit kesakitan.
Belanda datang!
Selalu seperti itu! Mereka datang hanya merusak ketenangan.
Mengabaikan napas terengahnya, dia bergerak cepat ke tengah desa. Ada tanah lapang di sana, tepat di depan rumah kakeknya. Sang kepala desa.
Ketika dia berbelok, pemandangan di depannya membuat tubuhnya membeku.
Hampir semua warga desanya, yang notabene adalah keluarganya, duduk bersimpuh di tanah lapang. Semuanya meraung. Beberapa orang masih digelandang untuk masuk bergabung dengan yang lain.
Suara ratap pilu dari wanita, suara ketakutan dari bocah lemah, suara jerit kesakitan dari lelaki tersiksa popor senjata, suara teriakan marah manusia pemberontak. Semuanya terpampang jelas di depan mata.
Suara mereka menjadi latar yang memilukan, bergelimpangan mengelilingi satu sosok yang berdarah marah. Berusaha bertahan di tengah banjir darah. Darahnya sendiri.
Pandangan mereka bertemu. Terpaku. Kakinya seperti pasak menikam jauh ke bumi tempatnya berdiri. Dia tak mampu bergerak.
“Kakek….” Hanya suara lirih yang mampu keluar dari bibir bergetarnya.
“AIRLANGGA!” Sang sosok berdarah-darah, sang kakek, sang kepala desa, berteriak. Mengumpulkan semua tenaga yang tersisa di ujung hayatnya.
“PERGI, NAK…. PERGI…”
Pemuda itu—Airlangga—masih terpaku. Tak mampu cepat mencerna.
Seorang serdadu lokal berseragam Belanda bergerak cepat mengokang senapan, sementara si pemuda masih terus terpaku.
“BANGSATTTT…!!! JANGAN SENTUH CUCUKU, PENGKHIANATT…!!!” Dengan tangan yang penuh darah, sang kakek menarik kaki sedadu tersebut, sampai tubuhnya berguling. Merasa gerakannya terganggu, serdadu itu menghadiahi pukulan dengan popor senjata, mengenai tepat di ulu hati sang kakek.
“AARRGGHH!!!” Gerakannya semakin lemah, menahan sakit. Suara jerit, tangis, raungan, marah, semakin berkumandang. Nyanyian lara alam yang terusir kepongahan manusia.
“ANGGA … pergi … Nak….” Sang serdadu kembali bergerak. “Selamat … selamatkan … diri … mu….”
“Pergi….”
Bersamaan melihat kakeknya tersungkur, pemuda itu mendapatkan kembali kesadarannya. Berbalik, dia pergi berlari secepat kaki tegarnya bergetar bergerak mendampingi hatinya yang meluruh, kembali memasuki hutan. Rumahnya yang kedua.
Pemuda itu bernama Airlangga.
***
Bersambung
“PAPA, apa aku sudah terlihat cantik?”Seorang gadis, memakai gaun berwarna putih bersih yang menjuntai sampai terseret di lantai muncul sambil bergerak lincah, menyelinap melewati pintu kayu besar menghampiri seseorang yang dipanggil papa.Frederick van Loen—sang ayah—yang sedang menatap ladang melalui jendela besar dari ruang kerja begitu mendengar suara yang sangat dia kenal, langsung berbalik untuk menjumpai putrinya tersayang. Anak semata wayangnya. Gadis itu berbalik, memutar tubuhnya untuk memamerkan gaun indahnya.“Kau selalu cantik, Daniella.” Van Loen berjalan mendekati gadis itu, tangannya terentang untuk memeluk Ells, putrinya. “Apa pun yang kau pakai, kau selalu cantik.” Dia masih memandang lekat wajah anaknya.Dia sangat mirip dengan ibunya. Sangat-sangat mirip. Atau aku terlalu merindukan ibunya hingga semua yang berhubungan dengan dia terlihat mirip di mataku? Tapi dia memang secantik ibunya.“Papa, apa yang Papa pikirkan?” Mereka sangat dekat, Ells pasti langsung meli
MATAHARI mulai lelah. Bulatnya merosot semakin jauh ke barat bumi. Seorang wanita muda sangat cantik berjalan sambil membimbing bocah lelaki kecil menyusuri jalan setapak di tepi hutan. Jelas dia ibu si bocah itu. Lelaki kecil yang tampan dan sehat. Langkah si bocah belum kokoh menjejak bumi. Dia selalu berpegangan pada tangan ibunya agar tidak tersaruk jatuh. Namun kelincahannya membuat si ibu harus mempercepat langkahnya. Tak ada keluh terdengar dari bibir si ibu. Wanita cantik itu malah selalu tertawa melihat polah anaknya. Gelak si bocah pun begitu lepas meningkahi suara angin sore. Gelak yang membuat si ibu tersenyum lebar, senyum yang semakin memperlihatkan kecantikan alaminya. Anak itu begitu lincah. Si ibu cukup kerepotan mengimbangi gerak lincahnya. Dia berusaha untuk selalu memegang tangan bocah itu sementara sebelah tangannya yang lain membawa keranjang berisi daun-daun tanaman obat yang dia petik dari dalam hutan.“Ibu… Aku haus.”“Kalau kau selalu berlari, kau akan
TANAH itu masih merah, tapi kelopak bunga yang menutupi tanah itu mulai layu. Rindang pepohonan membuat tempat itu begitu teduh, tenang, tapi sekaligus juga mistis. Ini adalah tempat yang menjadi penanda batas dua dunia. Tempat kenangan akan yang terkasih berkumpul.Ketenangan dan kedamaian di tempat itu tidak bisa hadir di hati seorang pemuda. Pemuda yang terlihat sangat berduka meski tetap tanpa airmata. Wajahnya yang muram jelas menggambarkan dukanya. Matahari yang berhasil menyelinap dari sela-sela dedaunan tidak bisa menghadirkan kehangatan di hatinya. Semua terasa beku. Dingin. Mencekam. Setengah mati dia menahan sedih. Mungkin dia berhasil tapi jiwa yang terluka menyisakan marah yang sulit hilang. Marah yang berbuah dendam. Dendam yang akan tergenapkan jika sudah tuntas.Airlangga duduk bersimpuh di makam itu. Makam kakeknya. Sebuah makam yang baru, diapit dua makam lama.Makam ayah dan ibunya.Langkahnya belum lagi kokoh menjejak bumi ketika ayahnya memilih mati berkalang tana
DIA tahu, seluruh penduduk desa adalah keluarganya, yang akan selalu melindungi sesamanya. Namun, dia tetap berhati-hati. Negeri ini juga memelihara begitu banyak pengkhianat. Berjalan dan memutar, ada satu urusan lagi yang harus dia selesaikan. Hari memang masih gelap, tapi kehidupan tentu sudah ada di balik pintu-pintu rumah. Dia berusaha berjalan biasa saja. Sampai di suatu jendela, dia mengetuk pelan daunnya. Tak lama, jendela itu terbuka mengantarkan sesosok pemuda lain yang tidak kalah gagah dari Airlangga.Mengetahui Airlangga berdiri di luar, gesit, dia melompati ambang jendela. Tak lama keduanya sudah berlari menuju tujuan yang sama.Di tepi hutan, mereka semakin gesit dan leluasa menyelinap di antara perdu dan pohon. Sampai di bawah pohon angsana, Airlangga yang memimpin di depan menghentikan langkahnya.“Dayana.” Dia tentu tidak bisa melihat dengan jelas sosok yang dia panggil. Matahari masih sangat jauh di timur bumi sementara bulan sudah nyaris tenggelam di cakrawala bara
DAN di sinilah dia sekarang. Mengintip di balik kerindangan beringin. Ranting dan dahannya mempermudah dia menaiki pokok pohon itu. Duduk santai mengamati, dia mencari sang tuan rumah. Kerimbunan pokok beringin membuatnya aman bersembunyi. Daunnya yang lebat, ranting dan dahannya yang rapat, dan malam yang gelap membuat semuanya menjadi hitam. Dia nyaris santai duduk mengamati di salah satu dahan. Sedang ada pesta rupanya. Aku akan menunggu sampai pesta usai. Halaman luas di depan masih terlalu ramai. Para pelayan masih sibuk hilir mudik keluar masuk rumah sambil membawa nampan. Meja-meja pun masih terisi penuh. Suara musik masih riuh. Para tamu masih sangat bersemangat menari dan berbincang. Pesta masih jauh dari selesai. Sambil menunggu, dia mengamati rumah besar itu. Manusia aneh. Untuk apa memiliki rumah sebesar itu jika hanya dihuni oleh dua orang saja? Tidak cukupkah jika rumah itu dibagi tujuh? Rumah sebesar itu tentu akan merepotkan. Membersihkannya saja butuh banyak ten
PESTA telah usai, menyisakan kekacauan yang luar biasa di halaman rumah itu. Meja dan kursi bertebaran tidak teratur. Isinya pun berhamburan tidak teratur. Bunga-bunga lepas dari wadahnya. Berjumput-jumput rumput terangkat dari tanah. Sampah jangan ditanya. Tamu telah kembali ke rumah masing-masing. Membiarkan pengurus rumah kelimpungan mengurus sisa pesta. Karena apa pun yang sekarang terjadi, besok pagi semua harus terlihat normal seperti tidak pernah ada pesta semalam. Setelah mengantar tamu terakhir—William dan anaknya—meninggalkan rumah, Van Loen melangkah gontai memasuki rumah. Tubuh tua dan tulang rentanya tak sanggup lagi untuk mengawasi urusan kebersihan. Biarlah. Esok pagi semua pasti sudah kembali bersih. Jika tidak? Itu tidak akan terjadi. Karena kepala rumah tangganya sudah tahu apa yang harus dia lakukan jika ingin tetap bekerja di sana. Ells, sang gadis yang berulang tahun, walau lelah, tapi masih ada sedikit sisa tenaga untuk bersenandung. Senandung riang dengan tub
AIRLANGGA leluasa berlari di hutan. Dia tidak butuh matahari untuk mencapai tujuannya. Pokok tanaman dan semak menjadi penunjuk arah. Ditambah bulan dan bintang utara yang terang bersinar, dia tidak kesulitan menggendong tawanannya. Seberapa pun kuatnya gadis itu berontak, semua tiada arti ketika Airlangga sudah di dalam hutan. Dia tidak perlu mengendap, tidak perlu menjaga suara. Tubuhnya yang kuat sudah terbiasa mengangkat beban berat, membuat bobot di bahunya terasa ringan tak mengganggu gerakannya. Semakin jauh memasuki hutan, semakin jauh meninggalkan rumah. Ells tidak tinggal diam. Dia terus bergerak, berontak dari kungkungan lengan penawannya. Sampai akhirnya dia sadar, dan rasa lelah semakin kuat menderanya, dia berhenti berontak. Memilih diam dan pasrah terjungkal di bahu penculiknya. “Diam memang selalu lebih baik.” Aku diam, tapi aku akan meninggalkan jejak. Tapi bagaimana caranya jika tangannya terikat? Seperti mendengar suara batin Ells, mendadak Airlangga menurunkan
SENTUHAN kasar di sepanjang kaki menyusul lengannya membangunkan tidur lelapnya. Ap—?? Siap—?? “PAPAAAAA….” Ells kembali berteriak. Penculiknya meraba seluruh tubuhnya! Ells sangat ketakutan. “Diamlah.” Airlangga terus meraba tubuh Ells. “Aku hanya membalurkan sesuatu untuk mengusir nyamuk.” Hah? Ells ingat, tadi sebelum lelap memang denging nyamuk mengganggunya. Tapi lelah membuat dia tak sadar gangguan yang biasanya membuatnya berteriak kencang jika di rumah. Rumah. Ells sangat merindukan rumahnya. Ini belum lagi satu hari dia pergi. Malam pun belum mereka lewati. “Sini! Biar aku saja!” Segera diambilnya sesuatu dari tangan penculiknya. “Kenapa kau tidak menyuruhku melakukannya sendiri?” Ells menggerutu. Orang ini ingin mengambil kesempatan! “Karena aku tidak yakin kau mau memegang itu.” “Kenapa?” “Bukan kenapa. Tapi apa.” “Apa?” Ells mengulang pertanyaannya sambil membalur tubuhnya dengan apa pun itu. “Kotoran ayam hutan.” “AARRGGHHH…!!!” Suara marah Ells berbaur d