Share

2, Daniella Elizabeth van Loen

“PAPA, apa aku sudah terlihat cantik?”

Seorang gadis, memakai gaun berwarna putih bersih yang menjuntai sampai terseret di lantai muncul sambil bergerak lincah, menyelinap melewati pintu kayu besar menghampiri seseorang yang dipanggil papa.

Frederick van Loen—sang ayah—yang sedang menatap ladang melalui jendela besar dari ruang kerja begitu mendengar suara yang sangat dia kenal, langsung berbalik untuk menjumpai putrinya tersayang. Anak semata wayangnya. Gadis itu berbalik, memutar tubuhnya untuk memamerkan gaun indahnya.

“Kau selalu cantik, Daniella.” Van Loen berjalan mendekati gadis itu, tangannya terentang untuk memeluk Ells, putrinya. “Apa pun yang kau pakai, kau selalu cantik.” Dia masih memandang lekat wajah anaknya.

Dia sangat mirip dengan ibunya. Sangat-sangat mirip. Atau aku terlalu merindukan ibunya hingga semua yang berhubungan dengan dia terlihat mirip di mataku? Tapi dia memang secantik ibunya.

“Papa, apa yang Papa pikirkan?” Mereka sangat dekat, Ells pasti langsung melihat perubahan cepat dan mencolok ekspresi papanya.

“Kau sangat mirip ibumu, Ells.” Merasa tidak ada yang perlu disembunyikan, ayahnya tersenyum berkata jujur sambil masih membayangkan mendiang istrinya.

“Ah, Papa….” Suara ceria itu mendesah resah. Hilang matahari menjadi mendung.

Daniella Elizabeth van Loen, Ells, dia tidak sempat menikmati kasih bunda. Ibunya bertukar nyawa ketika melahirkan Ells. Meninggalkan bayi merah hanya bersama ayahnya. Di tanah yang baru, tanah yang jauh dari tanah leluhur.

Daniella tumbuh menjadi gadis yang cantik. Udara dan angin lereng Gunung Bromo tidak menghilangkan kehangatannya. Dia menjadi matahari di lereng itu. Semua orang mencintainya.

Terlebih ayahnya.

Walaupun Ells tidak sempat merasakan cinta bunda, tapi cinta ayahnya selalu dia rasakan melimpah ruah. Beredar bersama aliran darahnya, menjadi selimut hangatnya. Ells tidak pernah kekurangan cinta. Ells menjadi pusat dunia. Semua tercurah untuknya. Van Loen seperti ingin membayar ketiadaan ibu dengan berkali lipat mencintai anaknya.

“Papa mencintai kalian berdua.”

Ells semakin erat memeluk papanya. Dia tahu, betapa besar cinta papanya pada mendiang mamanya. Papanya memilih untuk terus sendiri berkawan sepi, memilih tak menikah atau mengambil wanita lokal untuk menghangatkan ranjang dinginnya. Dia tidak ingin perhatiannya terbagi antara anak dan istri. Dia tidak mau istrinya cemburu pada anaknya. Dan masih banyak alasan lain yang terkesan mengada-ada tapi itulah yang terjadi. Van Loen tetap sendiri sampai Ells menjadi gadis dewasa.

“Sudahlah … ayo kita keluar. Tamu-tamu sebentar lagi datang.” Tersenyum, van Loen berusaha mengembalikan sinar matahari anaknya. Tak rela mendung mengganggu hari bahagia ini.

“Ayo ….” Ells bersemangat kembali. Berjalan bergandengan tangan, dia menggoyang tangannya maju mundur. Tentu tangan ayahnya ikut bergerak. Dia berjalan seperti kijang kecil lepas dari kandangnya. Melompat-lompat seperti ada per lentur di kakinya. Van Loen tersenyum bahagia setiap melihat Ells seperti itu.

***

Persiapan pesta telah rampung. Meja-meja pun sudah penuh berisi makanan. Kursi sudah di susun. Bunga segar beraneka jenis dan warna dirangkai indah, menambah keindahan pesta dan membuat sekitarnya harum. Mereka berdiri di teras, menatap ke halaman depan, para pengurus rumah tangga sibuk dengan persiapan akhir. Ini pesta ulang tahun Ells yang ke-19.

“Ells, nanti banyak teman Papa yang datang. Mereka mengajak keluarganya. Termasuk anak lelakinya,” ujar van Loen tiba-tiba dengan tetap menatap pusat pesta.

“Lalu?”

Tentu saja mereka datang, yang mengundang adalah Meneer van Loen. Tuan tanah sekaligus pejabat tinggi Hinda Belanda di lereng Bromo.

“Pilihlah salah satu dari pemuda itu,” perintah van Loen.

“Untuk apa?” Keningnya sampai berkerut mendengar ucapan ayahnya.

“Untuk menjadi suamimu.” Ayahnya menoleh untuk melihat wajah Ells.

“Ah, Papa….” Tiba-tiba suaranya menjadi sedih.

“Ells, kamu sudah sembilan belas tahun. Sudah waktunya berumah tangga.”

“Ells hanya mau bersama Papa.” Merajuk. Dia bergelayut di lengan van Loen.

“Ells, ada saatnya kau harus pergi. Tak mungkin selamanya kita bersama seperti ini.” Papanya menjelaskan lingkaran kehidupan. Ada datang ada pergi. Ada perjumpaan dan ada perpisahan.

“Siapapun pemuda beruntung itu, kalau kau mencintainya, Papa akan merestuimu, Anakku.”

“Ells tak mau pergi, Papa.” Dia memeluk kembali papanya. Erat. Seakan mereka akan dipisahkan sekarang.

“Sudahlah, Ells. Nanti kau akan mengerti. Ketika pemuda itu datang, kau akan tahu, seperti apa rasanya jatuh cinta.”

Ells masih bersama dengan wajah masamnya.

“Tersenyumlah, Cantik. Mana mungkin gadis yang berulang tahun menjumpai para tamu dengan wajah terlipat seperti ini.”

“Ah, Papa….”

“Senyumlah. Untuk Papa.” Van Loen merengkuh bahu anaknya. Mengguncangnya lembut, menyibak halimun yang tadi sempat menutupi sinarnya.

Mana mungkin aku terus merajuk jika Papa seperti ini.

Tak lama, senyum manisnya mulai merekah, mengembalikan cerahnya matahari di lereng Bromo.

***

Pesta yang meriah. Tamu-tamu berdatangan masuk seperti makanan yang mengalir masuk dari belakang. Para pelayan dengan nampan berisi makanan dan minuman sibuk mondar-mandir di antara tamu-tamu yang sibuk berpesta. Van Loen sebagai tuan rumah sibuk menyambut tamu-tamunya. Termasuk Ells yang sejak tamu pertama datang selalu berusaha menemani. Dia berkeliling menyapa dan berbincang ramah.

“William…” sambut van Loen ketika matanya menangkap sosok yang berjalan ke arahnya. William der Passe. Tangannya terentang menyambut tamunya. “Apa kabar, Sobat?” Matanya menyala dan memeluk hangat William.

“Tentu kabar baik.” Sambutan hangat itu tentu berbalas hal yang sama. Van Loen berjalan mengarahkan tamunya ke pusat pesta. Di sana bincang mereka berlanjut terutama ketika ada beberapa tamu lain bergabung.

“Mana gadis yang sedang berulang tahun, Fred?” William der Vasse bertanya setelah cukup lama mereka berbincang santai.

“Ah, ya.” Van Loen seperti teringat tujuan diadakannya pesta. “Sebentar.” Matanya mencari-cari di kerumunan para tamu. Segera, setelah matanya melihat sosok yang sudah sangat dikenalnya, dia berteriak memanggil.

“Ells!” Yang dipanggil—sedang bersenda-gurau dengan temannya—segera menoleh begitu suara yang sangat akrab terdengar memanggilnya. Ayahnya melambai, mengajaknya mendekat. Dia kembali berjalan, lebih tepatnya, berlari kecil sambil melompat-lompat.

“Ya, Papa?” Wajahnya memerah sisa gelak yang masih terlihat jelas.

“Kenalkan, William der Vasse.” Ayahnya menyambutnya dengan senyum dan langsung mengarahkan Ells berjabat dengan tamunya. “Teman Papa waktu di Holland.”

“Hallo, Om Will.” Ramah, dia menjabat sahabat lama papanya.

“Lepas dari pendidikan, Papa ke sini, sedangkan William ke Bukit Tinggi.” Ayahnya menjelaskan lebih lengkap.

“Om Will dari Bukit Tinggi?” Ells terpana. Itu jauh sekali. Sangat jauh untuk menghadiri pesta ulang tahun seorang gadis.

Berdua mereka tergelak.

“Tahun lalu Om dipindahkan ke Malang. Jadi sekarang Om bisa menghadiri pesta bidadari Bromo.”

“Oh, kukira Om datang dari Bukit Tinggi khusus untuk menghadiri pestaku. Aku sudah sangat tersanjung untuk itu.”

“Jadi karena Om dari Malang, kau tidak tersanjung?”

Berdua, mereka kembali terbahak.

“Tidak. Aku tetap tersanjung, walau tidak sebesar jika Om datang khusus dari Bukit Tinggi.”

Mereka semakin tertawa lepas. “Sudahlah, Will. Jangan kau dengarkan ocehan Ells. Anak ini senang jika berhasil membuat pria tua seperti kita patah hati.”

Mereka tertawa bersama, dan bertiga melanjutkan pembicaraan santai keseharian mereka. Tak sadar, jika sepasang mata hijau dari pria tinggi semampai menatap ke arah mereka. Tatapannya tajam, tak lekang memandang gadis manis yang tergelak lepas.

Cantik, manis, dan memesona.

Pemuda itu berjalan perlahan, tujuannya jelas: ketiga orang itu. Berjalan lurus menyibak keramaian undangan, dia menepuk pundak der Vasse.

“Papa….” Der Vasse, yang ternyata ayahnya, segera tersadar, bahwa dia datang ke sini bersama dengan anaknya.

“Oh, Fred, Ells. Kenalkan, ini anak bungsuku. Robert der Vasse.”

“Hallo, Om Fred.” Dia menjabat tangan van Loen. Lalu beralih menjabat Ells.

“Hai, Gadis yang Berulang Tahun.” Tangannya tak mau melepas tangan mungil dalam genggamannya. “Selamat ulang tahun.” Tetap menggenggam tangan itu.

“Sepertinya, tidak lama lagi, aku harus berkunjung ke rumahmu, Fred. Khusus untuk meminta anak gadismu.” Suara der Vasse mengembalikan Robert kembali ke pesta. Membuat kedua ayah terbahak. Namun tidak dengan Ells.

Wajahnya merona. Dia menarik lepas tangannya. Memaksa dengan menarik agak keras. Robert masih mau merasai kelembutan tangan mungil itu.

Begitu tangannya bebas, Ells langsung berbalik, pergi menanggung malu, kembali ke teman-temannya.

Kepergian Ells tidak mampu mengalihkan pandangan Robert dari gadis itu.

Cantik, manis, memesona, dan menggairahkan.

***

Pesta terus berlanjut. Makanan tak putus mengalir dari dapur. Musik terdengar mengalahkan suara malam dari alam. Tapi alam pun seakan enggan bersuara di dekat sana. Burung hantu mencari pohon lain untuk berkukuk. Menari dan dansa-dansi menjadi hiburan segenap mereka. Arak, tuak, dan berbagai minuman berasal dari tanah asli mereka membanjiri pesta. Melenakan semua undangan.

Tak sadar, sepasang mata elang menatap tajam menembus kegelapan malam.

Duduk di dahan beringin tua, terhalangi kerindangannya, mata marah itu menatap nyalang ke arah keramaian pesta.

Tersudut di pojok luar berbatas pagar, tak ada seorang pun yang sadar akan kehadiran tamu tak diundang.

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status