Home / Romansa / Kala Cinta Menyapa / 7, Setelah Pesta Usai

Share

7, Setelah Pesta Usai

last update Last Updated: 2022-07-13 10:26:51

PESTA telah usai, menyisakan kekacauan yang luar biasa di halaman rumah itu. Meja dan kursi bertebaran tidak teratur. Isinya pun berhamburan tidak teratur. Bunga-bunga lepas dari wadahnya. Berjumput-jumput rumput terangkat dari tanah. Sampah jangan ditanya.

Tamu telah kembali ke rumah masing-masing. Membiarkan pengurus rumah kelimpungan mengurus sisa pesta. Karena apa pun yang sekarang terjadi, besok pagi semua harus terlihat normal seperti tidak pernah ada pesta semalam.

Setelah mengantar tamu terakhir—William dan anaknya—meninggalkan rumah, Van Loen melangkah gontai memasuki rumah. Tubuh tua dan tulang rentanya tak sanggup lagi untuk mengawasi urusan kebersihan. Biarlah. Esok pagi semua pasti sudah kembali bersih. Jika tidak? Itu tidak akan terjadi. Karena kepala rumah tangganya sudah tahu apa yang harus dia lakukan jika ingin tetap bekerja di sana.

Ells, sang gadis yang berulang tahun, walau lelah, tapi masih ada sedikit sisa tenaga untuk bersenandung. Senandung riang dengan tubuh lincah mengikuti nada.

Ayahnya tersenyum bahagia. Dia bersedia melakukan apa pun untuk melihat putrinya berbahagia Apa pun.

“Selamat malam, Ells. Mimpi indah.” Papanya mengecup pipi Ells sebelum menutup pintu peraduannya.

“Malam, Papa. Mimpi indah, mimpikan aku.” Jawaban yang membuat van Loen tersenyum.

***

Sambil terus bersenandung, Ells memasuki kamarnya. Suara ceklik pintu menghentikan tapa Airlangga. Semua unsur di tubuhnya bersedia. Mengantisipasi segala kemungkinan.

Ells terus bersenandung, dia berputar-putar menari di tengah kamar sambil memainkan gaunnya. Berdiri di kaca besar setinggi tubuhnya, usia sembilan belas seperti menjadi puncak kecantikannya. Dan apa tadi ucapan ayahnya? Mencari pendamping? Kekasih? Suami?

Mengingat itu, tubuhnya melunglai. Bergerak beberapa langkah, dia menjatuhkan bokongnya ke ranjang. Memang sudah waktunya dia mencari pasangan, tapi jika itu berarti meninggalkan rumah ini, meninggalkan ayahnya, itu terasa sangat berat. Siapa yang menemani ayahnya? Andai ayahnya mau menikah lagi tentu dia lebih tenang meninggalkan rumah.

Namun, apa wanita pilihan ayahnya bisa mengerti dirinya? Wanita sebangsanya sangat mungkin akan menguasai segalanya, sangat berpotensi menjadi seperti ibu tiri Cinderella. Sementara mengambil wanita lokal bisa berarti … yah, dia hanya kasta rendah. Kelas ketiga yang berarti kelas terendah. Menjadikan wanita itu hanya sedikit lebih berharga dari pelayan di rumahnya. Sedikit lebih berharga karena dinikahi papanya. Tidak lebih.

Ells menarik napas, mendadak tubuhnya terasa sangat lelah.

Dan siapa yang akan menjadi pendampingnya? Ayahnya seorang petinggi di sini. Cukup sebuah kode, rekan dan teman akan menyodorkan anaknya untuk bersiap melamar Ells. Tentu tak sulit baginya memilih salah satu di antara yang akan ditawarkan ayahnya. Namun siapa yang harus dia pilih? Sementara hatinya tidak bergetar sama sekali. Termasuk pada Robert yang jelas sejak awal berharap lebih. Ayahnya pasti akan sangat senang jika dia memilih Robert. Oh, kedua ayah itu. Namun, sungguh, sepanjang malam ini, tidak ada getar terasa untuk Robert atau untuk lelaki lain.

Dia berusaha mengingat-ingat pemuda lain di pesta tadi. Semuanya terasa hambar. Mereka memang memuji kecantikannya, tapi bukan itu yang Ells mau. Dia mau lelaki yang … yang …

Ah! Sudahlah.

Besok saja dia pikirkan soal itu. Sekarang sudah terlalu malam, masih ada hari esok untuk berpikir. Memutuskan seperti itu, Ells mengembuskan napas lalu bersiap tidur. Namun tentu dia harus membersihkan tubuh terlebih dahulu. Tidak mungkin tidur dengan pakaian pesta dan pernak-perniknya seperti ini. Meski lelah, dia berjalan ke arah meja rias. Pesta telah usai, saatnya melepas gaun indahnya.

Kembali, sambil bersenandung—sudah melupakan urusan mencari pesangan—dia melepas kalungnya. Meletakkan kalung itu di meja. Menyusul gelangnya. Berkumpul bersama di meja. Lalu anting kanannya.

Dan ketika tangannya bergerak untuk melepas anting kirinya, tatapannya terpaku pada sosok diam seperti patung yang berdiri di belakangnya. Sosok itu tiba-tiba ada di sana, hadir tanpa suara, tak terlihat, tak tersadari.

Terkejut membuatnya beku. Bibirnya berhenti bersenandung. Tubuhnya menegang. Matanya mendelik sempurna dengan bibir membuka. Sejenak seperti kehilangan akal. Seperti lupa ada di mana.

Tatapan mereka bertemu di cermin.

Hantukah?

Dia tak sanggup berpikir. Walau tak percaya hantu, tapi matanya ingin melihat ke bawah, meyakinkan bayangan di cermin menapak atau tidak. Tapi matanya terpaku tak berkedip pada mata segelap malam itu.

Perlahan, si bayangan di cermin meletakkan telunjuk di bibirnya. Menyuruhnya diam. Ells makin terpaku, lupa bersuara. Tanpa sadar, dia mengikuti perintah itu.

Bagus!

Noni Belanda ini begitu terkejutnya sampai tak bersuara. Rencana pertamanya berjalan mulus.

Perlahan, Airlangga melangkah maju. Tubuhnya masih terus bersiaga.

Tapi, ketika mata Ells melihat kilau belati di tangan Airlangga, kesadaran Ells mendadak bangun dari tidur lelapnya.

Lelahnya membuatnya lengah, tapi kilau belati seperti kokok ayam jantan di pagi hari. Membangunkan semua sel di tubuhnya.

Sebelum Ells sempat berteriak, Airlangga langsung membekap mulut Ells. Hanya matanya yang berkedip, berteriak ketakutan.

Dengan sigap Airlangga mengambil destar yang sudah dia siapkan. Dia menyisipkan destar itu di antara bibir Ells, yang sekarang sudah menjadi tawanannya.

Ells tidak bisa bersuara. Suaranya teredam destar. Sekarang dia mengambil destar lain untuk mengikat tangan tawanannya di belakang. Tangannya lincah bergerak mengikat.

Ells—dengan mulut dan tangan terikat—diam tak berkutik. Hanya melihat saja ketika Airlangga memutus tali gaun yang terikat menjadi pita di punggungnya.

Dengan tangan kirinya, Airlangga mendekap tubuh Ells di bagian leher. Tangan itu menggenggam pita gaun Ells. Lalu, perlahan, tangan kanannya—yang memegang belati—bergerak mendekat ke leher Ells. Membuat Ells bergerak semakin gelisah. Berusaha berontak dalam kungkungan tangan kekar Airlangga.

Semakin dekat ke leher Ells, semakin kuat gerakan gelisah Ells untuk membebaskan diri.

Sret.

Belati itu menggores kulit. Lengan Airlangga sendiri. Darah mengalir, kecil. Hanya menetes.

“Jangan khawatir. Aku belum bermaksud melukaimu. Akan tiba masanya aku mengoyak tubuhmu dengan pedangku.” Suaranya dalam dan rendah, berbisik tepat di telinga Ells. Dia dapat merasakan getar suara yang keluar dari bibir penjahat itu. Hangat napasnya pun terasa di belakang telinganya. Membuat tubuhnya meremang. Malam mendadak bertambah dingin.

Ketakutan.

Ells merasa tulangnya sudah pergi meninggalkan dirinya, kabur ketakutan. Meninggalkan dia hanya berlapis kulit.

Lemah ketakutan.

Airlangga membersihkan darahnya dengan pita dari gaun Ells. Lalu, dia menarik sebuah pisau dari balik punggungnya. Pisau yang dia temukan di dapur rumah itu.

Tangannya lincah menancapkan pisau di meja rias. Pita yang bernoda darah—darahnya—tertancap bersama pisau di meja kayu. Siapapun yang masuk ke kamar ini pasti melihat pisau penanda ini.

Dia sudah menyiapkan mata panah untuk ini. Tapi pisau dapur ini lebih baik.

Aku membutuhkan semua senjata yang kupunya. Tak mungkin kutinggalkan belatiku untuk pesan seperti ini.

Belati ini warisan orangtuanya. Belati yang sama yang merengut nyawa kedua orangtuanya.

“Ucapkan selamat tinggal pada kemewahan.” Airlangga kembali berbisik di telinga Ells.

Dan tanpa sempat menunggu Ells mencerna kalimatnya, Airlangga sudah mengangkat tubuh Ells. Membuatnya bergantung di bahunya. Dengan mulut dan tangan terikat, Ells terjuntai pasrah. Kepalanya bergantung di punggung Airlangga, sementara Airlangga menjaga tubuh Ells tetap stabil di bahunya dengan memegang pahanya.

Dengan posisi seperti itulah Airlangga meloncat keluar melalui jendela. Berlari mengendap seperti tikus pohon, dia berhasil mencapai sulur beringin yang sudah dia siapkan. Dengan kaki lincahnya, dia merayap naik. Sedikit kesulitan dengan tawanan yang semakin kuat memberontak, tapi akhirnya Airlangga berhasil mencapai dahan beringin tempatnya tadi mengintai. Dan dari situ, dia meluncur dengan indah. Turun menjejak tanah, melewati batas pagar, lolos dari pengawasan penjaga rumah.

Pesta meriah tuan putri membuat rencananya berjalan mulus. Semua orang kelelahan, tak sadar, bintang rumah itu sudah berpindah.

***

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kala Cinta Menyapa   104, [END] Epilog 3: Harmoni Alam

    AKU terlalu sering mendengar jeritan teredam kenikmatan Ells. Bahkan dinding batu tebal ini masih menyisakan ruang untuk telinga tua ini mendengar suara itu. Apa pun yang pemuda itu lakukan pada anakku, sepertinya Ells sangat menyukainya. Sangat menikmatinya hingga terlihat di pagi hari, Ells bangun dengan wajah merona segar. Brawijaya sudah lelap, terlalu lelah bermain membuatnya langsung tidur bahkan sebelum kepalanya menyentuh bantal dengan baik. Menyisakan van Loen yang masih merapikan selimut cucunya. Dia sama sekali tidak membuang waktu! Pemuda yang energik. Van Loen tertawa dalam hati. Itu pula sebabnya dia selalu berusaha merayu Brawijaya agar mau tidur bersamanya. Hhmm…. Sebenarnya tidak perlu merayu Brawijaya. Cucunya selalu mau tidur bersamanya. Cucu selalu dekat dengan kakeknya, bukan? Apalagi jika memiliki cucu seperti Brawijaya. Van Loen tidak ingin menyia-yiakan waktunya untuk dekat dengan cucunya. Kau ingin memiliki adik, bukan

  • Kala Cinta Menyapa   103, Epilog 2: Airlangga Darma

    “Hhmm…” Airlangga memeluk Ells, membaui keringat istrinya. Menyurukkan wajahnya di lekuk leher wanitanya. Menghidu di sana. “Brawijaya sudah pergi bermain. Apa kita bisa bermain, Sayang?” “Untuk sebuah permainan yang menyenangkan, aku lebih memilih menunggu.” Ells membiarkan Airlangga menikmati lekuk lehernya. “Kau selalu saja seperti itu,” gerutu Airlangga sambil terus menikmati wanitanya. “Tidak bisakah kau membiarkan aku mengeluarkan muatanku sedikit saja?” lanjutnya sambil menggerakkan pinggul, membiarkan Ells merasai bukti gairahnya. Ells tergelak lepas, cumbuan Airlangga pun juga terlepas. “Aku tak yakin kita bisa bermain hanya sebentar, Sayang.” Airlangga ikut tergelak. “Kita berdua sama gilanya, dan sekarang sedang pesta. Tak elok jika tuan rumah tak ada. Apalagi ketika kita muncul dengan kondisi berantakan.” “Sebentar saja, Ells. Kumohon…” “Angga, jangan memohon untuk itu.” Bergerak mendorong menjauh, “Baiklah. Kau keluarlah sekarang. Aku

  • Kala Cinta Menyapa   102, Epilog 1: Brawijaya Darma

    [Lima Tahun Kemudian] . “Angga, mana Jaya?” tanya Ells ketika melihat Airlangga hanya sendirian berjalan ke arahnya. “Bermain. Apa lagi?” jawab Airlangga santai. “Siapa yang menemani?” tanya Ells lagi, cemas. Sepertinya, sesuatu yang buruk akan terjadi. Airlangga hanya mengedikkan bahu, tak acuh. Tak lama, muncul seorang anak yang berteriak kencang. “Ibuu…” Berlumur tanah dan lumpur, memakai pakaian berwarna putih—tadi putih, sekarang entahlah—berlari ke arah Ells. Melihat itu, Ells hanya mendesah pasrah sambil melirik jengkel pada suaminya. “Paling tidak, jangan berkotor-kotor seperti itu ketika sedang pesta,” gerutu Ells pada Airlangga. “Berkotor-kotor, itu pesta buat Brawijaya, Sayang. Kita sedang berpesta, lalu kau ingin mengekang anakmu? Biarkan dia juga berpesta dengan caranya.” Airlangga langsung menyambar anak berlumur lumpur itu, membiarkan pakaian putihnya ikut terkotori. Ells menarik napas panjang. Selalu,

  • Kala Cinta Menyapa   101, Ada Cinta di Rumah Pohon

    MATAHARI sore masih menerobos di sela-sela dedaunan. Hangatnya menyiapkan bumi untuk dinginnya malam. Alam begitu indah, ramah menyambut pemilik rumah. Di sanalah mereka. Berdiri, dengan kepala menengadah ke atas, dan jemari saling menggenggam erat. Rumah pohon. Rumah kecil beruang satu, tanpa sekat, tanpa perabot. Hanya ada kehangatan kasih di atas sana. Airlangga semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tak lekang matanya menatap rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu. Rumah yang dia dan Udayana buat untuk mereka menikmati hutan. “Kita sampai, Ells…” Ells menarik napas. Setelah sekian lama dia lupa bernapas, terlalu terpesona melihat keindahan di atas sana. Bergerak melepaskan genggaman tangannya, untuk memeluk tubuh Airlangga. Menyurukkan wajah di dada lelakinya. Impiannya menjadi nyata. Bersama Airlangga, di rumah ini, mengambil belati. “Kau ingin naik sekarang?” Sebelah tangannya memeluk bahu Ells, dan sebelah lagi membel

  • Kala Cinta Menyapa   100, Kilas Balik

    SEBUAH makam sederhana menjadi tujuan mereka. Airlangga berjalan mendekat dengan takzim lalu duduk berlutut di makam itu. Ells mengikuti saja gerakan Airlangga. Kakek, aku datang dengan istri dan anakku. Kemudian mereka bersimpuh berdampingan di makam Kakek. Makam sederhana yang terawat bersih dan rapi. Terima kasih Kakek selalu menemaniku. Aku sudah menemukan belahan jiwaku. Walau dengan cara yang aneh, tapi demikianlah Dewata menggariskan takdirku dengan penaNya. Aku yakin, Kakek merestui pilihanku. Daniella wanita yang luar biasa. Tak hanya cantik, Ells wanita yang setia. Walau dia sedikit berbeda dengan kita, tapi dia mencintaiku, Kek. Dan aku pun mencintainya. Kami berhasil membangun jembatan pelangi itu. Sekarang kami sisa mewarnainya, dan pelangi itu akan semakin indah. Kek, aku akan mengambil gelangku. Terima kasih sudah menjaganya selama aku pergi. Perlahan, Airlangga menggali tanah di mana dia menanam gelang itu. Tanah makam sudah

  • Kala Cinta Menyapa   99, Melihat Lebih Jelas

    SUDAH tengah hari. Matahari tepat di atas kepala. Namun udara dingin lereng Bromo seakan bisa menyamarkan terik itu. ditambah rindang pohon penuh dedaunan, menambah kesejukan rumah yang mendadak diliputi rasa haru dan bahagia. Semua berakhir indah. Tangis dan ketakutan mereka terbayar. Mereka masih bisa berkumpul di rumah sederhana ini. Ells tetap memeluk Airlangga. Tapi ada yang aneh dengan pinggang ini. Ada yang hilang. Apa?I Ells berusaha mengingat-ingat. “Angga!” Mendadak Ells mendongakkan wajah, menatap Airlangga, “Di mana belatimu?” Tersenyum samar, Airlangga teringat belatinya. “Di rumah pohon.” “Kenapa kau meninggalkan belatimu di sana?” “Lebih baik kutinggalkan untuk Dayana daripada hilang di rumahmu.” “ANGGA!!” Diam. Semua tahu apa arti belati itu bagi Airlangga. Dan semua juga mengerti makna 'belati untuk Dayana'. “Sudah, sudah…” suara Paman Tirta terdengar menentramkan. “Lebih baik kita masuk dulu. Kau baru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status