Share

7, Setelah Pesta Usai

PESTA telah usai, menyisakan kekacauan yang luar biasa di halaman rumah itu. Meja dan kursi bertebaran tidak teratur. Isinya pun berhamburan tidak teratur. Bunga-bunga lepas dari wadahnya. Berjumput-jumput rumput terangkat dari tanah. Sampah jangan ditanya.

Tamu telah kembali ke rumah masing-masing. Membiarkan pengurus rumah kelimpungan mengurus sisa pesta. Karena apa pun yang sekarang terjadi, besok pagi semua harus terlihat normal seperti tidak pernah ada pesta semalam.

Setelah mengantar tamu terakhir—William dan anaknya—meninggalkan rumah, Van Loen melangkah gontai memasuki rumah. Tubuh tua dan tulang rentanya tak sanggup lagi untuk mengawasi urusan kebersihan. Biarlah. Esok pagi semua pasti sudah kembali bersih. Jika tidak? Itu tidak akan terjadi. Karena kepala rumah tangganya sudah tahu apa yang harus dia lakukan jika ingin tetap bekerja di sana.

Ells, sang gadis yang berulang tahun, walau lelah, tapi masih ada sedikit sisa tenaga untuk bersenandung. Senandung riang dengan tubuh lincah mengikuti nada.

Ayahnya tersenyum bahagia. Dia bersedia melakukan apa pun untuk melihat putrinya berbahagia Apa pun.

“Selamat malam, Ells. Mimpi indah.” Papanya mengecup pipi Ells sebelum menutup pintu peraduannya.

“Malam, Papa. Mimpi indah, mimpikan aku.” Jawaban yang membuat van Loen tersenyum.

***

Sambil terus bersenandung, Ells memasuki kamarnya. Suara ceklik pintu menghentikan tapa Airlangga. Semua unsur di tubuhnya bersedia. Mengantisipasi segala kemungkinan.

Ells terus bersenandung, dia berputar-putar menari di tengah kamar sambil memainkan gaunnya. Berdiri di kaca besar setinggi tubuhnya, usia sembilan belas seperti menjadi puncak kecantikannya. Dan apa tadi ucapan ayahnya? Mencari pendamping? Kekasih? Suami?

Mengingat itu, tubuhnya melunglai. Bergerak beberapa langkah, dia menjatuhkan bokongnya ke ranjang. Memang sudah waktunya dia mencari pasangan, tapi jika itu berarti meninggalkan rumah ini, meninggalkan ayahnya, itu terasa sangat berat. Siapa yang menemani ayahnya? Andai ayahnya mau menikah lagi tentu dia lebih tenang meninggalkan rumah.

Namun, apa wanita pilihan ayahnya bisa mengerti dirinya? Wanita sebangsanya sangat mungkin akan menguasai segalanya, sangat berpotensi menjadi seperti ibu tiri Cinderella. Sementara mengambil wanita lokal bisa berarti … yah, dia hanya kasta rendah. Kelas ketiga yang berarti kelas terendah. Menjadikan wanita itu hanya sedikit lebih berharga dari pelayan di rumahnya. Sedikit lebih berharga karena dinikahi papanya. Tidak lebih.

Ells menarik napas, mendadak tubuhnya terasa sangat lelah.

Dan siapa yang akan menjadi pendampingnya? Ayahnya seorang petinggi di sini. Cukup sebuah kode, rekan dan teman akan menyodorkan anaknya untuk bersiap melamar Ells. Tentu tak sulit baginya memilih salah satu di antara yang akan ditawarkan ayahnya. Namun siapa yang harus dia pilih? Sementara hatinya tidak bergetar sama sekali. Termasuk pada Robert yang jelas sejak awal berharap lebih. Ayahnya pasti akan sangat senang jika dia memilih Robert. Oh, kedua ayah itu. Namun, sungguh, sepanjang malam ini, tidak ada getar terasa untuk Robert atau untuk lelaki lain.

Dia berusaha mengingat-ingat pemuda lain di pesta tadi. Semuanya terasa hambar. Mereka memang memuji kecantikannya, tapi bukan itu yang Ells mau. Dia mau lelaki yang … yang …

Ah! Sudahlah.

Besok saja dia pikirkan soal itu. Sekarang sudah terlalu malam, masih ada hari esok untuk berpikir. Memutuskan seperti itu, Ells mengembuskan napas lalu bersiap tidur. Namun tentu dia harus membersihkan tubuh terlebih dahulu. Tidak mungkin tidur dengan pakaian pesta dan pernak-perniknya seperti ini. Meski lelah, dia berjalan ke arah meja rias. Pesta telah usai, saatnya melepas gaun indahnya.

Kembali, sambil bersenandung—sudah melupakan urusan mencari pesangan—dia melepas kalungnya. Meletakkan kalung itu di meja. Menyusul gelangnya. Berkumpul bersama di meja. Lalu anting kanannya.

Dan ketika tangannya bergerak untuk melepas anting kirinya, tatapannya terpaku pada sosok diam seperti patung yang berdiri di belakangnya. Sosok itu tiba-tiba ada di sana, hadir tanpa suara, tak terlihat, tak tersadari.

Terkejut membuatnya beku. Bibirnya berhenti bersenandung. Tubuhnya menegang. Matanya mendelik sempurna dengan bibir membuka. Sejenak seperti kehilangan akal. Seperti lupa ada di mana.

Tatapan mereka bertemu di cermin.

Hantukah?

Dia tak sanggup berpikir. Walau tak percaya hantu, tapi matanya ingin melihat ke bawah, meyakinkan bayangan di cermin menapak atau tidak. Tapi matanya terpaku tak berkedip pada mata segelap malam itu.

Perlahan, si bayangan di cermin meletakkan telunjuk di bibirnya. Menyuruhnya diam. Ells makin terpaku, lupa bersuara. Tanpa sadar, dia mengikuti perintah itu.

Bagus!

Noni Belanda ini begitu terkejutnya sampai tak bersuara. Rencana pertamanya berjalan mulus.

Perlahan, Airlangga melangkah maju. Tubuhnya masih terus bersiaga.

Tapi, ketika mata Ells melihat kilau belati di tangan Airlangga, kesadaran Ells mendadak bangun dari tidur lelapnya.

Lelahnya membuatnya lengah, tapi kilau belati seperti kokok ayam jantan di pagi hari. Membangunkan semua sel di tubuhnya.

Sebelum Ells sempat berteriak, Airlangga langsung membekap mulut Ells. Hanya matanya yang berkedip, berteriak ketakutan.

Dengan sigap Airlangga mengambil destar yang sudah dia siapkan. Dia menyisipkan destar itu di antara bibir Ells, yang sekarang sudah menjadi tawanannya.

Ells tidak bisa bersuara. Suaranya teredam destar. Sekarang dia mengambil destar lain untuk mengikat tangan tawanannya di belakang. Tangannya lincah bergerak mengikat.

Ells—dengan mulut dan tangan terikat—diam tak berkutik. Hanya melihat saja ketika Airlangga memutus tali gaun yang terikat menjadi pita di punggungnya.

Dengan tangan kirinya, Airlangga mendekap tubuh Ells di bagian leher. Tangan itu menggenggam pita gaun Ells. Lalu, perlahan, tangan kanannya—yang memegang belati—bergerak mendekat ke leher Ells. Membuat Ells bergerak semakin gelisah. Berusaha berontak dalam kungkungan tangan kekar Airlangga.

Semakin dekat ke leher Ells, semakin kuat gerakan gelisah Ells untuk membebaskan diri.

Sret.

Belati itu menggores kulit. Lengan Airlangga sendiri. Darah mengalir, kecil. Hanya menetes.

“Jangan khawatir. Aku belum bermaksud melukaimu. Akan tiba masanya aku mengoyak tubuhmu dengan pedangku.” Suaranya dalam dan rendah, berbisik tepat di telinga Ells. Dia dapat merasakan getar suara yang keluar dari bibir penjahat itu. Hangat napasnya pun terasa di belakang telinganya. Membuat tubuhnya meremang. Malam mendadak bertambah dingin.

Ketakutan.

Ells merasa tulangnya sudah pergi meninggalkan dirinya, kabur ketakutan. Meninggalkan dia hanya berlapis kulit.

Lemah ketakutan.

Airlangga membersihkan darahnya dengan pita dari gaun Ells. Lalu, dia menarik sebuah pisau dari balik punggungnya. Pisau yang dia temukan di dapur rumah itu.

Tangannya lincah menancapkan pisau di meja rias. Pita yang bernoda darah—darahnya—tertancap bersama pisau di meja kayu. Siapapun yang masuk ke kamar ini pasti melihat pisau penanda ini.

Dia sudah menyiapkan mata panah untuk ini. Tapi pisau dapur ini lebih baik.

Aku membutuhkan semua senjata yang kupunya. Tak mungkin kutinggalkan belatiku untuk pesan seperti ini.

Belati ini warisan orangtuanya. Belati yang sama yang merengut nyawa kedua orangtuanya.

“Ucapkan selamat tinggal pada kemewahan.” Airlangga kembali berbisik di telinga Ells.

Dan tanpa sempat menunggu Ells mencerna kalimatnya, Airlangga sudah mengangkat tubuh Ells. Membuatnya bergantung di bahunya. Dengan mulut dan tangan terikat, Ells terjuntai pasrah. Kepalanya bergantung di punggung Airlangga, sementara Airlangga menjaga tubuh Ells tetap stabil di bahunya dengan memegang pahanya.

Dengan posisi seperti itulah Airlangga meloncat keluar melalui jendela. Berlari mengendap seperti tikus pohon, dia berhasil mencapai sulur beringin yang sudah dia siapkan. Dengan kaki lincahnya, dia merayap naik. Sedikit kesulitan dengan tawanan yang semakin kuat memberontak, tapi akhirnya Airlangga berhasil mencapai dahan beringin tempatnya tadi mengintai. Dan dari situ, dia meluncur dengan indah. Turun menjejak tanah, melewati batas pagar, lolos dari pengawasan penjaga rumah.

Pesta meriah tuan putri membuat rencananya berjalan mulus. Semua orang kelelahan, tak sadar, bintang rumah itu sudah berpindah.

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status