Share

8, Penculikan

AIRLANGGA leluasa berlari di hutan. Dia tidak butuh matahari untuk mencapai tujuannya. Pokok tanaman dan semak menjadi penunjuk arah. Ditambah bulan dan bintang utara yang terang bersinar, dia tidak kesulitan menggendong tawanannya. Seberapa pun kuatnya gadis itu berontak, semua tiada arti ketika Airlangga sudah di dalam hutan. Dia tidak perlu mengendap, tidak perlu menjaga suara. Tubuhnya yang kuat sudah terbiasa mengangkat beban berat, membuat bobot di bahunya terasa ringan tak mengganggu gerakannya.

Semakin jauh memasuki hutan, semakin jauh meninggalkan rumah.

Ells tidak tinggal diam. Dia terus bergerak, berontak dari kungkungan lengan penawannya. Sampai akhirnya dia sadar, dan rasa lelah semakin kuat menderanya, dia berhenti berontak. Memilih diam dan pasrah terjungkal di bahu penculiknya.

“Diam memang selalu lebih baik.”

Aku diam, tapi aku akan meninggalkan jejak. Tapi bagaimana caranya jika tangannya terikat?

Seperti mendengar suara batin Ells, mendadak Airlangga menurunkan Ells dari pundaknya. Sekian lama hidup terbalik, Ells tidak bisa langsung berdiri seimbang. Dia terhuyung limbung. Kepalanya berputar, tubuhnya lemah seperti tanpa aliran darah. Dengan sigap Airlangga menahan tubuh tawanannya agar tak jatuh berdebam.

Ells bersandar pasrah di dada keras penculiknya. Berusaha memanggil kembali keseimbangannya. Gelap yang melingkupinya membuatnya makin limbung. Ini gelap malam atau gelap yang lain, dia tidak tahu.

Dan ketika tubuhnya mulai seimbang, Airlangga melepas ikatan di mulutnya.

“PAPAAAAAAAAAA…!!!”

Spontan Airlangga menutup telinganya.

Ugh…

Semua wanita sama. Mampu melumpuhkan makhluk lain dengan suaranya. Bagaimana berisiknya jika bibirnya yang lain juga berteriak? Kenapa wanita suka sekali berteriak?

“Berteriaklah. Kau hanya akan membangunkan semua penjaga hutan,” ujar Airlangga santai.

Ells, yang sudah bersiap untuk kembali berteriak dengan membuka lebar mulutnya, langsung mengurungkan niatnya. Dia memang tidak percaya hantu, tapi bagaimana jika hewan buas yang terbangun mendengar teriakannya? Dia tak siap jika tubuhnya terkoyak cakar macan tutul. Belati penculiknya saja sudah mampu membuat lututnya lemas. Dia pasti berteriak seperti tadi jika penculiknya tidak mengikat mulutnya.

Tersenyum mendengar ancamannya berhasil, Airlangga berkata, “Diam memang selalu lebih baik.”

Kali ini kau benar, Penculik!

Lalu Airlangga menyentak tubuh Ells, membuat Ells kembali menjerit kecil. Terkejut ketika mendadak penculiknya membalik tubuhnya.

“Aku hanya akan melepas ikatan tanganmu.”

“Ooh….”

Baguslah. Dengan tangan yang bebas, aku bisa lebih mudah meninggalkan jejak.

Tapi ternyata Airlangga tetap mengikat tangannya. Kedua tangannya sekarang diikat di depan dengan seutas sulur tanaman yang dia ambil sembarang. Dan dia menghela tangan yang terikat itu.

Aku seperti sapi! geram Ells.

“Kita di dalam hutan. Jangan berpikir untuk melarikan diri dariku. Kau lari, kau justru lebih cepat mati.

“Aku lebih memilih mati!” raung Ells, marah.

“Terserah. Tapi aku tak akan suka mati dengan cara itu.” Airlangga tetap menghela Ells, menariknya agar maju mengikuti langkahnya.

“Cara apa?” Ells bertanya. Tak tahu karena penasaran atau karena takut.

“Melihat mata pembunuhmu.” Airlangga berbalik menghadap sanderanya. “Melihat pembunuhmu mencabik-cabik tubuhmu—“ Matanya tajam menatap tawanannya, seakan dia sedang bersiap melakukan apa yang dia katakan. “Memakan bagian tubuhmu sedikit demi sedikit—“ Airlangga menurunkan nada suaranya. Mata Ells terbelalak, nyaris keluar dari rongganya.

“Memakan kakimu dulu, lalu mencabik perutmu. Lalu mengambil igamu, untuk dijadikan sup. Terakhir—“

“CUKUP!” Ells tak sanggup lagi mendengarnya. Airlangga hanya tersenyum simpul. Dan menarik sulur pengikat Ells lebih keras. Membuat Ells semakin tersiksa.

Mereka berjalan semakin jauh ke tengah hutan.

Dalam jeda waktu tertentu, Ells meninggalkan jejaknya. Jepit rambutnya. Pita gaunnya. Bahkan beberapa kali dia berhasil merobek gaunnya. Dia berpikir untuk melepas sepatunya sebagai jejak, tapi tentu dia akan semakin menderita. Berjalan di hutan tak bersepatu. Membayangkannya saja sudah membuat kakinya berdarah-darah. Dia meraba cincinnya, itu cincin pertunangan mendiang ibunya. Cincin itu sudah sejak empat tahun lalu melingkar di jari manisnya. Dia pun berat melepas cincin itu hanya sebagai penanda.

“Hey! Aku haus!” Ells lelah dan haus. Dia sudah tidak tahu, berapa lama sudah mereka berjalan.

Tanpa menoleh, Airlangga menjawab, “Di depan ada mata air kecil. Kita akan beristirahat di sana.”

Huh.

***

Airlangga menepati janjinya. Mereka beristirahat di … Ells tidak tahu apa namanya. Seperti lereng kecil, lereng agak berbatu yang ditumbuhi pakis. Dari sela sebuah batu, mengalir lemah air dari dalamnya. Airlangga memetik sehelai daun, agak lebar, lalu membentuk daun itu menjadi seperti pincuk. Dan dengan pincuk itu, dia menampung air yang menetes dari sela batu. Air itu lebih tepat jika disebut merembes.

“Ini. Minumlah….” Airlangga menyerahkan pincuk berisi air pada Ells.

“Ini?” Mata Ells terbelalak, tak percaya.

“Tadi katamu kau haus? Minumlah.” Airlangga tetap menyodorkan pincuk-nya.

“Air ini kotor. Aku tak mau meminumnya. Belum dimasak. Nanti aku sakit perut.” Dia memalingkan wajah kasar dengan dagu terangkat tinggi.

Jawaban yang membuat Airlangga memasang tampang bodoh. Lalu, ketika Ells mengedikkan dagun, seperti berkata, 'aku benar kan?', mendadak Airlangga terbahak.

Tertawa keras sekali.

Kali ini kau yang akan membangunkan penghuni hutan, Bodoh! gerutu Ells.

“Kenapa kau tertawa? Kau ingin membangunkan penghuni hutan?”

“Sakit perut?” Airlangga masih berjuang menghentikan tawa. “Kalau begitu, kau akan sekarat kehausan, lalu mati tercabik raja hutan.”

Kenapa? Ells bertanya dalam diam. Hanya ekspresi wajahnya yang bertanya. Dagunya masih terlalu tinggi, menunjukkan kelas dirinya. Congkak di mata penculiknya.

“Kita tak akan memasak air di hutan, Nona. Tidak ada dapur di sini.” Akhirnya Airlangga memilih meminum air itu—yang tinggal tersisa sedikit—lalu kembali menampung rembesan itu. “Biasakan itu.” Dia meminum airnya lagi, memberi contoh pada Ells, lalu kembali menampung air. “Bahkan mungkin kita akan memakan daging mentah.” Menyerahkan kembali pincuk pada Ells. “Seperti harimau.”

Ells membeku.

“Apa?” Ells sulit membayangkan menu seperti itu.

Airlangga tetap menyodorkan pincuk, tak terpengaruh dengan ekspresi Ells, dia justru menikmatinya. Gelapnya hutan hanya menyisakan sedikit kilau di mata mereka. Cahaya bintang dan bulan terlalu redup untuk sampai ke dasar hutan. Tapi Airlangga bisa menebak bagaimana wajah tawanannya.

“Ya. Biasakanlah.” Kembali mengisi pincuk-nya. “Dan sekarang minumlah. Karena belum tentu kita menemukan sumber air yang lain. Jika kau haus kau harus meminum darahmu sendiri. Atau air senimu. Terserah.” Mendorong paksa pincuk ke arah Ells. “Dan jangan khawatir, kalau kau sakit perut, kau bebas membuang hajatmu di sini. Di mana saja. Seperti hewan lain.”

Dengan geram Ells mengambil pincuk itu dan meminum airmya.

Hhmm … ternyata airnya sangat segar. Dingin.

Lelahnya membuat segarnya air menutupi dinginnya malam. Dia meminum air mentah itu dengan lahap.

Dia menyodorkan pincuk kembali kepada penculiknya.

“Lagi,” ujarnya.

Membuat Airlangga mendengus menahan tawa, dan mengisi kembali pincuk itu.

Ells kembali meminumnya dengan lahap.

Selepas mengusir dahaganya, dan merasa perutnya baik-baik saja, Ells mulai memperhatikan sekelilingnya.

Gelap.

Sepi.

Eh, tidak sepi.

Suara alam riuh di sekitarnya. Makhluk nokturnal tentu masih beraktivitas. Gesekan daun tertiup angin mengeluarkan lirih. Belum suara-suara yang lain.

Termasuk dengkur halus penculiknya.

Hah? Dia tidur? Dia sudah tiduuur…???

Bersandar di pohon yang menaungi mereka, di sanalah dia tertidur. Hanya berjarak selangkah darinya. Ells memperhatikan sosok tidur itu.

Gelap.

Tak jelas.

Tapi kalau dia tidur, berarti aku bisa pergi.

Ya benar!

Lebih mendekatkan wajahnya ke sosok tidur itu, Ells ingin menegaskan dirinya sendiri.

“Tidurlah.”

Ells langsung melonjak ke belakang ketika sosok itu bersuara.

Ugh.

Ells membanting tubuhnya bersandar di pohon.

Auch…

Sakit.

Ini pohon, bukan ranjangnya. Lelah membuatnya jatuh tertidur.

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status