Share

6, Memulai Misi

Penulis: Sandra Setiawan
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-12 10:38:16

DAN di sinilah dia sekarang.

Mengintip di balik kerindangan beringin. Ranting dan dahannya mempermudah dia menaiki pokok pohon itu. Duduk santai mengamati, dia mencari sang tuan rumah. Kerimbunan pokok beringin membuatnya aman bersembunyi. Daunnya yang lebat, ranting dan dahannya yang rapat, dan malam yang gelap membuat semuanya menjadi hitam. Dia nyaris santai duduk mengamati di salah satu dahan.

Sedang ada pesta rupanya. Aku akan menunggu sampai pesta usai.

Halaman luas di depan masih terlalu ramai. Para pelayan masih sibuk hilir mudik keluar masuk rumah sambil membawa nampan. Meja-meja pun masih terisi penuh. Suara musik masih riuh. Para tamu masih sangat bersemangat menari dan berbincang. Pesta masih jauh dari selesai.

Sambil menunggu, dia mengamati rumah besar itu.

Manusia aneh. Untuk apa memiliki rumah sebesar itu jika hanya dihuni oleh dua orang saja? Tidak cukupkah jika rumah itu dibagi tujuh? Rumah sebesar itu tentu akan merepotkan. Membersihkannya saja butuh banyak tenaga.

Aneh.

Aku tak tertarik tinggal di gedung itu. Dindingnya terlalu tebal. Menghalangi indraku berbincang dengan alam. Ah, untuk apa berpikir tinggal di sana? Aku hanya akan satu kali menginjakkan kaki di rumah itu lalu selesai.

Rumahku di desa adalah yang terbaik. Dekat dengan keluarga, dekat dengan alam.

Sambil menunggu, dia duduk bernapas tenang, berusaha menyatukan dirinya dengan alam. Terlalu tenang, bahkan seekor ular pun bisa melata santai di tubuhnya seakan tubuh itu bagian dari pohon yang menjadi rumahnya.

***

Sementara itu, tak jauh dari tempat Airlangga bersemedi, keriuhan pesta mulai mereda. Tamu-tamu terutama yang tua sudah berpamit pulang. Pelayan sudah tidak terlalu sibuk Gerakan mereka mulai santai dan mulai merapikan pesta yang sudah mendekati ujung. Alih-alih penuh makanan, meja-meja di sana sekarang penuh gelas dan piring kosong.

“Ells.”

“Ya?”

Daniella sedang duduk, mengistirahatkan sejenak tubuh lelahnya. Sedari tadi dia berjalan berkeliling menjumpai para tamu. Berdansa dan menari dengan banyak tamu. Sekarang kakinya menjerit menarik perhatiannya.

Saat itulah Robert datang menyapa.

“Kenapa kakimu?” Ells sedang meluruskan kaki dengan tangan memijat betisnya.

Dia hanya tertawa. “Lelah. Tapi aku bahagia. Tidak setiap tahun seorang gadis berulang tahun yang kesembilan belas bukan?”

Robert tertawa menanggapi. “Tentu. Ini adalah perayaan sekali seumur hidup. Dan tahun depan, kau akan merayakan pesta sekali seumur hidupmu. Ulang tahun kedua puluh.”

Diam setelah tawa kecil sekadar berbasa-basi.

“Ke mana saja kamu selama ini, Ells?” tanya Robert lagi.

Pertanyaan yang membuat kening Ells berkeryit tak mengerti.

“Aku?” Dia menunjuk dirinya senidiri. “Aku lahir di sini, dan selama itu juga aku di sini sampai sekarang.”

Robert terkekeh. Dia menertawakan dirinya sendiri.

“Kenapa kita baru bertemu?”

“Karena selama ini kau di Bukit Tinggi sementara aku di sini.”

Ganti Ells yang tertawa kecil, tawa renyah yang membuat setan-setan di tubuh Robert menggeliat semakin terjaga.

“Kenapa aku baru melihatmu? Kenapa kita baru bertemu?” tanyanya lagi yang lagi-lagi ditingkahi gelak lepas Ells.

“Tadi ayahmu berkata bahwa dia baru pindah ke sini. Apa sebelumnya kalian pernah ke sini? Apa kamu pernah meninggalkan Bukit Tinggi?”

Robert mengedikkan bahu. “Aku pernah ke tenpat-tempat lain. Ke Batavia, ke Buitenzorg, …” Dia mengedik lagi mencari jawaban lain. “Tapi baru sekarang aku ke sini.”

“Nah itulah alasannya.” Ells berkata cepat. “Kita baru bertemu karena kamu baru pertama ke sini. Aku tidak pernah ke mana-mana, maka kita tidak mungkin bertemu di tempat lain.”

Robert tertawa, menertawakan dirinya sendiri.

“Ells…” Kembali Robert membuka percakapan.

“Ya?”

“Kukira aku menyukaimu.”

Pilihan kata yang lagi-lagi membuat Ells tertawa.

“Kenapa kau tertawa?”

Apa Ells menertawakan ungkapan perasaanku? pikir Robert cemas.

“Tinggalkan yang meragukan, kejar yang kau yakini.”

Ooh…

Cantik, manis, memesona, menggairahkan, dan menantang.

Semakin lama, akan semakin panjang kata-kata untuk menggambarkan gadis ini.

“Baiklah, aku akan mengejar yang kuyakini.”

“Dan apa yang kau yakini?”

“Kau.”

Matanya menatap lapar, membuat Ells tertawa. Kali ini dia tertawa jengah. Dia tidak suka cara Robert menatapnya. Seperti singa lapar yang mengintai mangsa.

***

Tamu-tamu mulai berkurang, pelayan tak sesibuk tadi. Keramaian mulai hilang, kelelahan mulai datang. Airlangga menyudahi tapanya. Menarik napas dalam, dia menajamkan penglihatan dan pendengarannya. Semua indera dan perasanya akan dia gunakan sebaik mungkin.

Perlahan dia meniti dahan, ranting, dan sulur, sampai akhirnya dia menjejak tanah lalu mengendap masuk ke area rumah. Airlangga turun sudah melewati pagar, tak lupa dia menyiapkan sulur beringin untuk pijakannya nanti.

Pesta di halaman depan, seharusnya rumah lebih kosong. Pengurus rumah semua sibuk dikerahkan melayani tamu dan mulai mengumpulkan piring dan gelas kotor. Aku akan memeriksa keadaan rumah.

Mengendap, Airlangga bergegas menuju rumah melalui pintu belakang.

Benar.

Rumah nyaris kosong. Dia bebas bergerak masuk, berjalan ke sana kemari sekan-akan itu rumahnya sendiri. Sesekali pelayan masuk membawa wadah berisi piring dan gelas kotor, lincah, Airlangga mencari celah menyelipkan tubuh. Gerakannya yang lentur tak bersuara membuat tidak ada yang menyadari kehadiran orang lain di rumah itu.

Setelah memastikan kondisi aman, dia memasuki sebuah ruang.

Ini ruang kerja.

Terlihat meja besar dan dinding dipenuhi buku. Tidak ada ranjang. Tidak ada yang perlu dia lakukan di sini. Dia harus berpindah ruang. Membuka sedikit pintu, dia mengintip ke luar.

Aman. Mengendap, dia membuka pintu lain dan menyelinap masuk.

Ini kamar tidur tuan putri.

Ranjang besar bertiang empat dan berkelambu. Di sudut samping jendela besar, terdapat meja rias dengan pernak-pernik wanita lengkap dengan bunga-bunga segar di sudut-sudut kamar.

Hhmm…

Berpikir.

Tapi aku harus melihat ruang yang lain.

Dia kembali mengendap dan mengintip di celah pintu. Sebentar saja, tubuh lincahnya sudah berpindah ruang dengan gesit.

Ini kamar tidur Tuan van Loen.

Ranjang besar bertiang yang tertutup kelambu. Dengan meja rias yang nyaris kosong. Ruangan ini terlalu kaku. Seperti tidak bernyawa. Untuk apa mengambil sesuatu yang tidak ada? Sesuatu yang sudah mati ketika dia masih hidup yang mungkin tidak ada yang akan kehilangan ketika dia pergi.

Aku akan memetik bunga lereng Bromo, putusnya cepat.

Dia bergerak kembali ke kamar tuan putri, mencari sudut aman untuk bersembunyi. Aman tersembunyi dari pandangan orang, dan aman untuk melarikan diri. Bergeas, dia memeriksa jendela besar di sana. Sangat besar untuk dia lompati. Ini seperti pintu baginya. Dia menutup jendela besar itu, tanpa menguncinya, hanya merapatkan saja.

Semua sudah dia pikirkan. Semua sudah dia rencanakan. Walau sudah memasrahkan hidupnya di Tangan Langit, dia tetap harus menjaga nyawa satu-satunya itu.

Pasti Kakek belum ingin berjumpa denganku dalam waktu dekat ini.

Matanya cepat menyapu ruang mencari celah tertutup. Sebuah lemari kayu besar di samping ranjang dekat dengan meja rias menyisakan ruang kecil di antara dinding rumah. Lincah, dia menyelipkan tubuhnya di celah itu. Tanpa suara, dia berdiri dan bersiaga, diam menunggu waktunya datang.

Memejamkan mata, menajamkan rasa, bersemedi untuk bergabung dengan alam. Temaram ruangan tak membutakan matanya, keriuhan di luar tidak menulikan telinganya. Telinganya awas mendengarkan bunyi jarum jatuh di lantai. Kulitnya akan merasakan embusan angin dari pintu yang bergerak membuka dan menutup. Dia semakin dalam menyatukan dirinya.

Hal yang biasa dia lakukan.

Di luar, keriuhan makin menghilang. Pesta benar-benar telah usai. Napasnya makin teratur, misinya sebentar lagi akan menuju puncak. Dengan ketenangan yang luar biasa, dia terus menajamkan rasa. Detak jantungnya mengiringi harapannya yang terbang ke Langit.

***

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kala Cinta Menyapa   104, [END] Epilog 3: Harmoni Alam

    AKU terlalu sering mendengar jeritan teredam kenikmatan Ells. Bahkan dinding batu tebal ini masih menyisakan ruang untuk telinga tua ini mendengar suara itu. Apa pun yang pemuda itu lakukan pada anakku, sepertinya Ells sangat menyukainya. Sangat menikmatinya hingga terlihat di pagi hari, Ells bangun dengan wajah merona segar. Brawijaya sudah lelap, terlalu lelah bermain membuatnya langsung tidur bahkan sebelum kepalanya menyentuh bantal dengan baik. Menyisakan van Loen yang masih merapikan selimut cucunya. Dia sama sekali tidak membuang waktu! Pemuda yang energik. Van Loen tertawa dalam hati. Itu pula sebabnya dia selalu berusaha merayu Brawijaya agar mau tidur bersamanya. Hhmm…. Sebenarnya tidak perlu merayu Brawijaya. Cucunya selalu mau tidur bersamanya. Cucu selalu dekat dengan kakeknya, bukan? Apalagi jika memiliki cucu seperti Brawijaya. Van Loen tidak ingin menyia-yiakan waktunya untuk dekat dengan cucunya. Kau ingin memiliki adik, bukan

  • Kala Cinta Menyapa   103, Epilog 2: Airlangga Darma

    “Hhmm…” Airlangga memeluk Ells, membaui keringat istrinya. Menyurukkan wajahnya di lekuk leher wanitanya. Menghidu di sana. “Brawijaya sudah pergi bermain. Apa kita bisa bermain, Sayang?” “Untuk sebuah permainan yang menyenangkan, aku lebih memilih menunggu.” Ells membiarkan Airlangga menikmati lekuk lehernya. “Kau selalu saja seperti itu,” gerutu Airlangga sambil terus menikmati wanitanya. “Tidak bisakah kau membiarkan aku mengeluarkan muatanku sedikit saja?” lanjutnya sambil menggerakkan pinggul, membiarkan Ells merasai bukti gairahnya. Ells tergelak lepas, cumbuan Airlangga pun juga terlepas. “Aku tak yakin kita bisa bermain hanya sebentar, Sayang.” Airlangga ikut tergelak. “Kita berdua sama gilanya, dan sekarang sedang pesta. Tak elok jika tuan rumah tak ada. Apalagi ketika kita muncul dengan kondisi berantakan.” “Sebentar saja, Ells. Kumohon…” “Angga, jangan memohon untuk itu.” Bergerak mendorong menjauh, “Baiklah. Kau keluarlah sekarang. Aku

  • Kala Cinta Menyapa   102, Epilog 1: Brawijaya Darma

    [Lima Tahun Kemudian] . “Angga, mana Jaya?” tanya Ells ketika melihat Airlangga hanya sendirian berjalan ke arahnya. “Bermain. Apa lagi?” jawab Airlangga santai. “Siapa yang menemani?” tanya Ells lagi, cemas. Sepertinya, sesuatu yang buruk akan terjadi. Airlangga hanya mengedikkan bahu, tak acuh. Tak lama, muncul seorang anak yang berteriak kencang. “Ibuu…” Berlumur tanah dan lumpur, memakai pakaian berwarna putih—tadi putih, sekarang entahlah—berlari ke arah Ells. Melihat itu, Ells hanya mendesah pasrah sambil melirik jengkel pada suaminya. “Paling tidak, jangan berkotor-kotor seperti itu ketika sedang pesta,” gerutu Ells pada Airlangga. “Berkotor-kotor, itu pesta buat Brawijaya, Sayang. Kita sedang berpesta, lalu kau ingin mengekang anakmu? Biarkan dia juga berpesta dengan caranya.” Airlangga langsung menyambar anak berlumur lumpur itu, membiarkan pakaian putihnya ikut terkotori. Ells menarik napas panjang. Selalu,

  • Kala Cinta Menyapa   101, Ada Cinta di Rumah Pohon

    MATAHARI sore masih menerobos di sela-sela dedaunan. Hangatnya menyiapkan bumi untuk dinginnya malam. Alam begitu indah, ramah menyambut pemilik rumah. Di sanalah mereka. Berdiri, dengan kepala menengadah ke atas, dan jemari saling menggenggam erat. Rumah pohon. Rumah kecil beruang satu, tanpa sekat, tanpa perabot. Hanya ada kehangatan kasih di atas sana. Airlangga semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tak lekang matanya menatap rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu. Rumah yang dia dan Udayana buat untuk mereka menikmati hutan. “Kita sampai, Ells…” Ells menarik napas. Setelah sekian lama dia lupa bernapas, terlalu terpesona melihat keindahan di atas sana. Bergerak melepaskan genggaman tangannya, untuk memeluk tubuh Airlangga. Menyurukkan wajah di dada lelakinya. Impiannya menjadi nyata. Bersama Airlangga, di rumah ini, mengambil belati. “Kau ingin naik sekarang?” Sebelah tangannya memeluk bahu Ells, dan sebelah lagi membel

  • Kala Cinta Menyapa   100, Kilas Balik

    SEBUAH makam sederhana menjadi tujuan mereka. Airlangga berjalan mendekat dengan takzim lalu duduk berlutut di makam itu. Ells mengikuti saja gerakan Airlangga. Kakek, aku datang dengan istri dan anakku. Kemudian mereka bersimpuh berdampingan di makam Kakek. Makam sederhana yang terawat bersih dan rapi. Terima kasih Kakek selalu menemaniku. Aku sudah menemukan belahan jiwaku. Walau dengan cara yang aneh, tapi demikianlah Dewata menggariskan takdirku dengan penaNya. Aku yakin, Kakek merestui pilihanku. Daniella wanita yang luar biasa. Tak hanya cantik, Ells wanita yang setia. Walau dia sedikit berbeda dengan kita, tapi dia mencintaiku, Kek. Dan aku pun mencintainya. Kami berhasil membangun jembatan pelangi itu. Sekarang kami sisa mewarnainya, dan pelangi itu akan semakin indah. Kek, aku akan mengambil gelangku. Terima kasih sudah menjaganya selama aku pergi. Perlahan, Airlangga menggali tanah di mana dia menanam gelang itu. Tanah makam sudah

  • Kala Cinta Menyapa   99, Melihat Lebih Jelas

    SUDAH tengah hari. Matahari tepat di atas kepala. Namun udara dingin lereng Bromo seakan bisa menyamarkan terik itu. ditambah rindang pohon penuh dedaunan, menambah kesejukan rumah yang mendadak diliputi rasa haru dan bahagia. Semua berakhir indah. Tangis dan ketakutan mereka terbayar. Mereka masih bisa berkumpul di rumah sederhana ini. Ells tetap memeluk Airlangga. Tapi ada yang aneh dengan pinggang ini. Ada yang hilang. Apa?I Ells berusaha mengingat-ingat. “Angga!” Mendadak Ells mendongakkan wajah, menatap Airlangga, “Di mana belatimu?” Tersenyum samar, Airlangga teringat belatinya. “Di rumah pohon.” “Kenapa kau meninggalkan belatimu di sana?” “Lebih baik kutinggalkan untuk Dayana daripada hilang di rumahmu.” “ANGGA!!” Diam. Semua tahu apa arti belati itu bagi Airlangga. Dan semua juga mengerti makna 'belati untuk Dayana'. “Sudah, sudah…” suara Paman Tirta terdengar menentramkan. “Lebih baik kita masuk dulu. Kau baru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status