Share

6, Memulai Misi

DAN di sinilah dia sekarang.

Mengintip di balik kerindangan beringin. Ranting dan dahannya mempermudah dia menaiki pokok pohon itu. Duduk santai mengamati, dia mencari sang tuan rumah. Kerimbunan pokok beringin membuatnya aman bersembunyi. Daunnya yang lebat, ranting dan dahannya yang rapat, dan malam yang gelap membuat semuanya menjadi hitam. Dia nyaris santai duduk mengamati di salah satu dahan.

Sedang ada pesta rupanya. Aku akan menunggu sampai pesta usai.

Halaman luas di depan masih terlalu ramai. Para pelayan masih sibuk hilir mudik keluar masuk rumah sambil membawa nampan. Meja-meja pun masih terisi penuh. Suara musik masih riuh. Para tamu masih sangat bersemangat menari dan berbincang. Pesta masih jauh dari selesai.

Sambil menunggu, dia mengamati rumah besar itu.

Manusia aneh. Untuk apa memiliki rumah sebesar itu jika hanya dihuni oleh dua orang saja? Tidak cukupkah jika rumah itu dibagi tujuh? Rumah sebesar itu tentu akan merepotkan. Membersihkannya saja butuh banyak tenaga.

Aneh.

Aku tak tertarik tinggal di gedung itu. Dindingnya terlalu tebal. Menghalangi indraku berbincang dengan alam. Ah, untuk apa berpikir tinggal di sana? Aku hanya akan satu kali menginjakkan kaki di rumah itu lalu selesai.

Rumahku di desa adalah yang terbaik. Dekat dengan keluarga, dekat dengan alam.

Sambil menunggu, dia duduk bernapas tenang, berusaha menyatukan dirinya dengan alam. Terlalu tenang, bahkan seekor ular pun bisa melata santai di tubuhnya seakan tubuh itu bagian dari pohon yang menjadi rumahnya.

***

Sementara itu, tak jauh dari tempat Airlangga bersemedi, keriuhan pesta mulai mereda. Tamu-tamu terutama yang tua sudah berpamit pulang. Pelayan sudah tidak terlalu sibuk Gerakan mereka mulai santai dan mulai merapikan pesta yang sudah mendekati ujung. Alih-alih penuh makanan, meja-meja di sana sekarang penuh gelas dan piring kosong.

“Ells.”

“Ya?”

Daniella sedang duduk, mengistirahatkan sejenak tubuh lelahnya. Sedari tadi dia berjalan berkeliling menjumpai para tamu. Berdansa dan menari dengan banyak tamu. Sekarang kakinya menjerit menarik perhatiannya.

Saat itulah Robert datang menyapa.

“Kenapa kakimu?” Ells sedang meluruskan kaki dengan tangan memijat betisnya.

Dia hanya tertawa. “Lelah. Tapi aku bahagia. Tidak setiap tahun seorang gadis berulang tahun yang kesembilan belas bukan?”

Robert tertawa menanggapi. “Tentu. Ini adalah perayaan sekali seumur hidup. Dan tahun depan, kau akan merayakan pesta sekali seumur hidupmu. Ulang tahun kedua puluh.”

Diam setelah tawa kecil sekadar berbasa-basi.

“Ke mana saja kamu selama ini, Ells?” tanya Robert lagi.

Pertanyaan yang membuat kening Ells berkeryit tak mengerti.

“Aku?” Dia menunjuk dirinya senidiri. “Aku lahir di sini, dan selama itu juga aku di sini sampai sekarang.”

Robert terkekeh. Dia menertawakan dirinya sendiri.

“Kenapa kita baru bertemu?”

“Karena selama ini kau di Bukit Tinggi sementara aku di sini.”

Ganti Ells yang tertawa kecil, tawa renyah yang membuat setan-setan di tubuh Robert menggeliat semakin terjaga.

“Kenapa aku baru melihatmu? Kenapa kita baru bertemu?” tanyanya lagi yang lagi-lagi ditingkahi gelak lepas Ells.

“Tadi ayahmu berkata bahwa dia baru pindah ke sini. Apa sebelumnya kalian pernah ke sini? Apa kamu pernah meninggalkan Bukit Tinggi?”

Robert mengedikkan bahu. “Aku pernah ke tenpat-tempat lain. Ke Batavia, ke Buitenzorg, …” Dia mengedik lagi mencari jawaban lain. “Tapi baru sekarang aku ke sini.”

“Nah itulah alasannya.” Ells berkata cepat. “Kita baru bertemu karena kamu baru pertama ke sini. Aku tidak pernah ke mana-mana, maka kita tidak mungkin bertemu di tempat lain.”

Robert tertawa, menertawakan dirinya sendiri.

“Ells…” Kembali Robert membuka percakapan.

“Ya?”

“Kukira aku menyukaimu.”

Pilihan kata yang lagi-lagi membuat Ells tertawa.

“Kenapa kau tertawa?”

Apa Ells menertawakan ungkapan perasaanku? pikir Robert cemas.

“Tinggalkan yang meragukan, kejar yang kau yakini.”

Ooh…

Cantik, manis, memesona, menggairahkan, dan menantang.

Semakin lama, akan semakin panjang kata-kata untuk menggambarkan gadis ini.

“Baiklah, aku akan mengejar yang kuyakini.”

“Dan apa yang kau yakini?”

“Kau.”

Matanya menatap lapar, membuat Ells tertawa. Kali ini dia tertawa jengah. Dia tidak suka cara Robert menatapnya. Seperti singa lapar yang mengintai mangsa.

***

Tamu-tamu mulai berkurang, pelayan tak sesibuk tadi. Keramaian mulai hilang, kelelahan mulai datang. Airlangga menyudahi tapanya. Menarik napas dalam, dia menajamkan penglihatan dan pendengarannya. Semua indera dan perasanya akan dia gunakan sebaik mungkin.

Perlahan dia meniti dahan, ranting, dan sulur, sampai akhirnya dia menjejak tanah lalu mengendap masuk ke area rumah. Airlangga turun sudah melewati pagar, tak lupa dia menyiapkan sulur beringin untuk pijakannya nanti.

Pesta di halaman depan, seharusnya rumah lebih kosong. Pengurus rumah semua sibuk dikerahkan melayani tamu dan mulai mengumpulkan piring dan gelas kotor. Aku akan memeriksa keadaan rumah.

Mengendap, Airlangga bergegas menuju rumah melalui pintu belakang.

Benar.

Rumah nyaris kosong. Dia bebas bergerak masuk, berjalan ke sana kemari sekan-akan itu rumahnya sendiri. Sesekali pelayan masuk membawa wadah berisi piring dan gelas kotor, lincah, Airlangga mencari celah menyelipkan tubuh. Gerakannya yang lentur tak bersuara membuat tidak ada yang menyadari kehadiran orang lain di rumah itu.

Setelah memastikan kondisi aman, dia memasuki sebuah ruang.

Ini ruang kerja.

Terlihat meja besar dan dinding dipenuhi buku. Tidak ada ranjang. Tidak ada yang perlu dia lakukan di sini. Dia harus berpindah ruang. Membuka sedikit pintu, dia mengintip ke luar.

Aman. Mengendap, dia membuka pintu lain dan menyelinap masuk.

Ini kamar tidur tuan putri.

Ranjang besar bertiang empat dan berkelambu. Di sudut samping jendela besar, terdapat meja rias dengan pernak-pernik wanita lengkap dengan bunga-bunga segar di sudut-sudut kamar.

Hhmm…

Berpikir.

Tapi aku harus melihat ruang yang lain.

Dia kembali mengendap dan mengintip di celah pintu. Sebentar saja, tubuh lincahnya sudah berpindah ruang dengan gesit.

Ini kamar tidur Tuan van Loen.

Ranjang besar bertiang yang tertutup kelambu. Dengan meja rias yang nyaris kosong. Ruangan ini terlalu kaku. Seperti tidak bernyawa. Untuk apa mengambil sesuatu yang tidak ada? Sesuatu yang sudah mati ketika dia masih hidup yang mungkin tidak ada yang akan kehilangan ketika dia pergi.

Aku akan memetik bunga lereng Bromo, putusnya cepat.

Dia bergerak kembali ke kamar tuan putri, mencari sudut aman untuk bersembunyi. Aman tersembunyi dari pandangan orang, dan aman untuk melarikan diri. Bergeas, dia memeriksa jendela besar di sana. Sangat besar untuk dia lompati. Ini seperti pintu baginya. Dia menutup jendela besar itu, tanpa menguncinya, hanya merapatkan saja.

Semua sudah dia pikirkan. Semua sudah dia rencanakan. Walau sudah memasrahkan hidupnya di Tangan Langit, dia tetap harus menjaga nyawa satu-satunya itu.

Pasti Kakek belum ingin berjumpa denganku dalam waktu dekat ini.

Matanya cepat menyapu ruang mencari celah tertutup. Sebuah lemari kayu besar di samping ranjang dekat dengan meja rias menyisakan ruang kecil di antara dinding rumah. Lincah, dia menyelipkan tubuhnya di celah itu. Tanpa suara, dia berdiri dan bersiaga, diam menunggu waktunya datang.

Memejamkan mata, menajamkan rasa, bersemedi untuk bergabung dengan alam. Temaram ruangan tak membutakan matanya, keriuhan di luar tidak menulikan telinganya. Telinganya awas mendengarkan bunyi jarum jatuh di lantai. Kulitnya akan merasakan embusan angin dari pintu yang bergerak membuka dan menutup. Dia semakin dalam menyatukan dirinya.

Hal yang biasa dia lakukan.

Di luar, keriuhan makin menghilang. Pesta benar-benar telah usai. Napasnya makin teratur, misinya sebentar lagi akan menuju puncak. Dengan ketenangan yang luar biasa, dia terus menajamkan rasa. Detak jantungnya mengiringi harapannya yang terbang ke Langit.

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status