HARI masih pagi ketika Tirta duduk gelisah di depan rumah. Sudah beberapa hari tidak ada kabar dari kemenakannya. Balai-balai tempatnya duduk berderak-derak setiap kali dia bergerak kasar dan gelisah. Berkali-kali kepalanua menoleh ke arah hutan. Dia yakin, kemenakannya itu akan memulai aksinya dari sana. Dari mana lagi? Hutan adalah nyawanya. Dia akan mati jika jauh dari hutan. Dia mengenali hutan itu seperti hutan itu mengenali dirinya dan memberikan semua yang dia butuhkan. Airlangga, kemenakannya tersayang. Anak tunggal kakaknya yang sudah tidak ada. Hanya tersisa Airlangga dari trahnya. Dan sekarang, ayahnya pun sudah tidak ada. Siapa yang akan meneruskan tugasnya setelah dia tiada? Hanya ada Rindang, anak gadisnya yang Airlangga tolak. Mengingat itu, dia semakin masygul. Suara langkah kaki memang tidak mengganggu gelisahnya, tapi suara langkah itu membuatnya berhenti melamun. Tak lama, suara itu sampai di sampingnya. Rindang datang membawa penganan pagi yang sederhana. Hanya
“TOLONG jaga Kanda Angga untuk kami.” Ucapan itu yang mengantarnya pergi ke tujuannya semula sebelum singgah di rumah Airlangga. Menunduk, sepanjang jalan setapak menuju hutan dia tidak bisa berhenti memikirkan sahabatnya. Di tepi hutan, dia tetap berjalan nyaris tanpa nyawa. Sampai sebuah jejak menyentaknya. Jejak itu terlalu kasar. Jejak yang masih baru. Rumput bekas terinjak masih segar. Jejak ini baru berusia beberapa jam. Dia langsung mengamati lebih serius lagi. Dua pasang kaki. Sepasang yang besar dan sepasang yang kecil dan beralas kaki. Jejak yang kecil terseret-seret. Dia yakin jejak kaki yang besar adalah kaki sahabatnya. Terlalu jelas. Airlangga meninggalkan banyak jejak yang mudah terbaca. Apa maksud sahabatnya itu? Dia makin waspada dan mempercepat pencariannya. Dia terus mengikuti tjejak itu sambil berpikir keras menebak arah pikiran sahabatnya. Kali ini Airlangga sangat tertutup. Dia tidak mengatakan apa pun tentang rencananya. Udayana terus mencari tahu rencana Airl
BINGGO!!! Anjing itu pasti bisa membaui majikannya. Topan segera mencari anjing itu. Meninggalkan majikannya berdiri lemah di tiang ranjang. Tak lama, Topan dan Binggo datang. Topan meletakkan secarik kain berdarah di hidung Binggo. Dia juga memberikan bantal putri majikannya untuk Binggo cium. Hidung golden retriever seperti Binggo mungkin tidak sebaik penciuman herder. Tapi Topan yakin, hidung Binggo jauh lebih berguna daripada hidungnya. “Cari Ells, Binggo.” Van Loen berkata lemah. “Guk.” Binggo melesat dengan hidung nyaris menyentuh tanah. Dia berputar-putar di depan dan di dalam rumah sebelum akhirnya mengarah ke belakang rumah. Ke sudut pagar. Menggonggong ke arah atas. Ke arah pohon beringin. Di sana dia terus berputar-putar sambil sesekali menggonggong. *** “Non Ells diculik, kemungkinan dibawa masuk ke hutan,” lapor Topan pada van Loen sebagai hasil kerja Binggo. Meski sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, menden
DI tengah hutan, mereka melanjutkan perjalanan menerobos hutan. Kali ini, Airlangga tidak mengikat tangan Ells. Dia pun jarang menoleh ke belakang. Toh dia bisa melihat aku dengan jelas. Itu salah satu alasan yang membuatnya semalam mengikat tawanannya seperti sapi. Alasan lain tentu menjaga agar gadis itu tidak nekad melarikan diri. Dia mungkin akan mudah menemukan gadis itu tadi gadis itu bisa mengacak-acak jejak yang dia buat. Jika itu terjadi, semua mudah terbongkar. Saat ini, cukup telinganya saja yang bekerja. Dari gesekan daun dan ranting yang terterabas kasar, dari langkah kaki terseret dan bunyi daun dan ranting kering terinjak, termasuk dari dengus napas memburu kasar. Semua suara-suara itu lebih dari cukup untuk memberitahu bahwa tawanannya tetap berjalan di belakangnya meski terus menggerutu. Melihat sungai di depannya, Ells tahu, lagi-lagi dia harus menyebrangi sungai. Ini entah sungai yang keberapa yang dia seberangi. Yang membuatnya jengkel ad
VAN LOEN turun tangan langsung. Tentu saja. Ells putrinya. Dia tentu tidak akan tinggal diam sampai putrinya itu ditemukan. Tubuh tuanya mungkin protes, tapi cinta seorang ayah menjadi bahan bakar dia bergerak. Setelah menghubungi petugas, dia tidak tinggal diam. Dia ikut mencari. Membiarkan petugas mencari bukti dan Topan mengacak-acak hutan, dia mencari di tempat lain. Derap langkah kaki kuda memacu di hari yang cerah. Derapnya membuat kepulan debu membumbung membuat mata perih dan napas sesak. Ini desa ketiga yang akan dia datangi. Tubuh tuanya semakin ribut berteriak apalagi setelah semalam berpesta. Namun bayangan Ells membuat tenaganya seperti terisi ulang dengan sendirinya. Meski tersendat, tenaga itu masih bisa membuatnya tetap berada di atas punggung kuda. Memasuki jalan desa, dia memperlambat laju tunggangannya. Di setiap desa yang dia datangi, ketika dia masuk, warga langsung mengambil sikap siaga. Mereka langsung berusaha menjauh, tak ingin mencari ribut.
WILLIAM der Passe terhenyak mendengar berita yang baru saja pelayannya sampaikan. Pelayan itu berdiri bersiaga selangkah di depan meja der Passe yang masih tercenung. Daniella Elizabeth van Loen hilang diculik semalam. Tepat setelah pesta usai. Saat itu dia dan anak lelakinya menjadi tamu teakhir yang meninggalkan pesta. “Panggil Robert segera,” perintahnya cepat. “Katakan penting tapi jangan beritahu soal penculikan itu.” “Baik, Tuan.” Pelayan itu segera berbalik pergi. Tak lama suara derit pintu tanpa ketukan mengalihkan perhatian der Passe. “Ada apa?” tanya Robert. “Ells diculik. Semalam.” “Apa?” Robert tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya. “Kita tamu terakhir yang pulang dan tidak ada apa pun yang mencurigakan terjadi di sana. Seandainya ada yang mencurigakan, anak buahku pasti langsung memberi info padaku.” “Itu tidak penting sekarang.” “Siapa pelakunya, Papa?” Der Passe berdecak lalu mendengus. “Jika pelaku sudah dik
BULAN mulai naik. Bersiap berganti tugas dengan matahari. Meski hari hanya ditemani bulan tapi Airlangga tidak menghentikan langkahnya. Dia tetap berjalan walau dunia sangat redup. Seperti tidak ada yang mengejarnya, dia berusaha mengikuti kecepatan Ells melangkah. Dia tahu, gadis itu sudah sangat payah melangkah. Makin lama langkahnya makin pelan, dengus napasnya makin terdengar jelas. Berkali-kali dia harus berhenti menunggu gadis itu bersandar di batang pohon mengatur napas. Tak terhitung kali dia mendengar suara benda jatuh diikuti suara mengaduh berlanjut suara gerutu di belakangnya yang terkadang diikuti suara jerit histeris. Semua Airlangga anggap normal. Maka dia hanya akan menunggu sesaat sampai tawanannya berdiri lalu kembali mengekor dan menggerutu panjang. Untuk berjaga dan mengawasi tawanannya, dia berjalan beberapa langkah di depan gadis itu tanpa mengikatnya lagi. Bahkan dia jarang menoleh, tapi mendekati akhir perjalanan, dia menjadi lebih sering menol
ELLS menggeliat bangun. Kali ini dia langsung sadar di mana dia berada. Hanya mampu menarik napas panjang, dia sangat merindukan rumahnya. Dan terutama papanya. Membayangkan bagaimana panik papanya, dia kembali terisak. Duduk memeluk lutut dia menyembunyikan wajah di antara tungkainya dan terisak di sana. Merutuki nasib menjadi tawanan. Tersiksa lahir dan batin. Berdoa semoga penderitaan ini segera berakhir. Tuhan, bebaskan aku. Kumohon. Aku akan melakukan apa pun sebagai balasannya. Tolong kirimkan aku penyelamat. Jika dia wanita, akan kuangkat sebagai saudara. Jika dia pria, aku bersedia menikah dengannya. Sambil terisak, Ells kembali berada di negeri dongeng. Dia tetap terisak ketika penculiknya datang membawa makan pagi. Dari bentuknya, sepertinya itu seekor ayam. “Makanlah.” Airlangga meletakkan hasil buruannya. “Air minum ada di wadah itu.” Matanya menatap ke wadah yang terbuat dari kulit buah yang sudah dikeruk isinya dan dikeringkan kulitnya. T