“Kita pulang beneran? Atau kamu mau pergi ke mana?” tanya Mine pada sahabatnya yang memilih melempar pandangannya keluar jendela, menikmati indahnya lampu kota yang tampak berkelap-kelip layaknya hatinya yang kadang padam dan kadang terang. “Honestly aku belum ingin pulang, Mine, ini masih terlalu dini untuk pulang,” jawab Bulan melirik pergelangan tangannya. Ide cemerlang mendadak menghampirinya. “Aku sedang butuh pelampiasan. temani aku kulineran, aku mau street food, sekaligus kita bisa mencari udara segar.” “Hilih, mencari udara segar, memang yang kamu hirup sekarang kurang segar? Kalau kurang segar pergilah ke kutub utara.” Bulan tertawa mendengar ocehan sahabatnya yang tergolong sarkas padanya. Bulan membuka kaca jendela dan mulai membiarkan angin menampar wajahnya. Berharap itu bisa meredakan riuh isi kepalanya. Perlahan Bulan mulai memejamkan matanya. Lalu membuka matanya kembali saat wajah Langit terlintas di pikirannya. Dia menatap lurus ke depan pada jalanan yang cuku
Malam kian larut kini keduanya sudah berada di atas ranjang empuk milik Bulan. Mumpung keduanya lagi akur, Langit tak mau menyia-nyiakan kesempatan begitu saja. “Mau pillow talk?” Bulan mengangguk, toh dia juga masih belum ingin memejamkan mata. Rasanya dia belum cukup lelah walaupun sudah melakukan banyak kegiatan hari ini. “Apa kamu senang hari ini?” “Hm, tentu saja.” “Apa karena Bintang bersamamu?” Bulan mendesah, dia pikir Langit mengatakan pillow talk tentang sesuatu yang manis dan sedikit romantis. Nyatanya tema yang diangkat tidak jauh-jauh dari pemicu perdebatan mereka. “Bisa ngobrolin yang lain, mungkin tentang betapa lucunya kamu saat tak bisa memakan escargot atau yang lainnya. Hm, seperti obrolan yang sedikit ringan.” Langit tertawa, dia memang baru pertama kalinya makan escargot dan ternyata cukup enak. Dia ingat betul saat tadi hendak memakannya, escargot itu meluncur bebas dan jatuh. Namun selalu ada hikmah di setiap kejadian. Bulan membantunya melepaskan daging
Pagi ini udara terasa lebih lembap dari biasanya, jalanan basah sisa guyuran hujan semalam masih menyisa di beberapa sudut halaman rumah. Langit pagi yang masih menampakkan mendung membuat Langit dan Bulan enggan beranjak dari tempat tidurnya. Suara panggilan yang sudah beberapa hari tak mereka dengar, kini menyapa telinga mereka berdua.“Langit, Bulan, bangun. Kalian bisa terlambat!”Bulan terkejut begitu pula dengan Langit. Sejak kapan mertuanya memasang speaker yang memekakkan telinga mereka berdua.“Sepertinya ketenangan kita mulai terusik lagi,” keluh Bulan seraya menurunkan kedua kakinya ke lantai.Dia turun dari ranjang dan segera menuju kamar mandi. Keduanya harus bersiap-siap sebelum warning dari mamanya membuatnya menggila.Tubuh Bulan meremang saat dia tak sengaja ditangkap oleh suaminya ketika hampir jatuh terpeleset.“Terima kasih.”Langit mengangguk, mereka turun ke lantai bawah di mana mamanya yang sudah hilang beberapa hari, kini sudah menunggu di meja makan.
Bintang tersenyum tipis, melihat apa yang dilakukan Bulan, dia sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Bulan selanjutnya. Dia bukannya tak tahu kalimat penolakan yang sebelumnya dikatakan Bulan padanya, hanya saja dia memilih denial. Faktanya dia sudah terlanjur jatuh cinta pada gadis itu. Sejak awal Bintang sudah tahu jika dia dijodohkan dengan Bulan. Bintang cukup senang, sayangnya seperti menonton drama di televisi, dia tak menyangka jika akan berakhir dengan plot twist.“Sebelumnya aku minta maaf padamu. Aku tak bisa menjanjikan apa pun, tapi saat ini aku hanya bisa mengatakan bahwa aku hanya menganggapmu sebagai teman di luar pekerjaan. Bagaimanapun juga kamu tahu kalau aku sudah menikah, meski pernikahan itu bisa berakhir kapan saja saat kami menyudahinya.”Bulan tak mau memberi harapan semu pada Bintang, kali ini dia harus tegas seperti biasanya. Sudah saatnya dia mengatakan yang sebenarnya pada Bintang meski itu cukup menyakitkan. Selain itu, dia juga tidak bisa menahan p
Perempuan keras kepala itu tetap tak menuruti suaminya. Walau Langit sudah melontarkan kalimat panjang kali lebar dengan menjual nama mama mertuanya, tetap saja Bulan tak luluh sedikit pun.Langit marah, dia tak peduli lagi tentang keberadaan mereka, mengambil sendok lalu mencengkeram kedua pipi Bulan. Memaksa gadis itu membuka mulutnya lebar.“Sakit, Langit.”“Kalau kamu kesakitan, seharusnya sejak tadi kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Sesekali buanglah egomu. Tempatkan dominan pada tempatnya, saat seperti ini seharusnya kamu tahu alasanku bersikap dominan padamu. Pikirkan kalau kamu sakit, berapa banyak orang yang akan menanggung akibatnya!”Bulan geming, dia mengunyah makanan yang berhasil masuk ke mulutnya. Satu-satunya cara menghindari perdebatan dengan Langit hanya menurut. Dia tak mau ocehan Langit membuat sakit kepalanya semakin parah.Beberapa kali suapan Bulan menolak. Langit tak memaksanya seperti tadi, setidaknya istrinya sudah mau mengisi perutnya walau hanya b
Selesai dengan drama ganti baju, ternyata ada drama lain yang membuat kepala Langit berdenyut. Bulan ingin pergi ke kamar mandi, sementara tenaganya tak mampu menopang tubuhnya sendiri. “Aku mau ke toilet, Langit.” “Memang harus sekarang? Nggak bisa ditunda? Jangan menyiksaku, Bulan.” “Siapa yang mau menyiksamu, aku ingin ke toilet, bukan ingin menyiksamu. Cepatlah, gendong aku ke sana.” Langit bersungut-sungut kesal, tapi dia tak punya pilihan lain. Langit tahu rasanya menahan keinginan ke toilet, itu sungguh menyakitkan dan membuatnya sakit perut beberapa hari hingga harus memeriksakan diri. Dokter mengatakan itu membahayakan sebab bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Langit menggendong istrinya dan mendudukkannya di toilet seraya memegangi selang infus. “Langit bantu aku menurunkannya.” “Menurunkan apa?” “Celana, Langit. Kalau tak menurunkannya bagaimana aku bisa mengeluarkannya? Kamu mau aku mengompol dan membuat pekerjaanmu semakin bertambah banyak.” Langit
“Sudahlah.”Bulan tak melanjutkan kalimatnya. Langit mengerutkan keningnya. Kalimat menggantung yang terucap dari bibir Bulan membuatnya ingin tahu apa yang sebenarnya ingin dikatakan Bulan padanya.Langit memeluk Bulan, menyentuh kening Bulan dan mengusapnya dengan lembut. Langit terbiasa menidurkan keponakannya seperti itu.“Langit.”“Hem, ada apa? Tidurlah, atau kamu mau aku menepuk-nepuk pantatmu dulu agar kamu bisa tidur seperti yang biasa aku lakukan pada keponakanku?”Bulan berdecih, dia tak mampu membayangkan kalau itu terjadi padanya. Rasanya nggak lucu perempuan dewasa sepertinya harus tidur dengan cara seperti itu.Langit tertawa melihat Bulan yang menampilkan wajah kesal dengan bibirnya yang mengerucut. Langit menjawil hidung istrinya.“Pejamkan matamu sekarang.”Rasa kantuk bercampur kelelahan yang datang menyerang mereka berdua membuat keduanya cepat tertidur. Bulan yang awalnya tak bisa tidur pun kini terlihat begitu pulas. Dia merasa nyaman berada di pelukan La
Pelan-pelan Langit menutup pintu kamar, dia menebak kalau Bintang yang datang ke sana, tapi setelah di sampai di ruang tamu ternyata tebakannya salah.Mine duduk di sana dengan raut wajah khawatir.“Apa aku mengganggu kalian?”Langit menggelengkan kepalanya dan duduk berhadapan dengan Mine.“Mau minum? Atau mau sarapan sekalian?” tawar Langit pada Mine yang terlihat meremas kedua telapak tangannya.Mine menggeleng, disituasi yang menurutnya cukup membuatnya tegang, dia sama sekali tak berselera untuk makan. Setelah menerima telepon dari Bintang, Mine bergegas datang ke rumah Bulan.“Kamu mau menemuinya?”Mine mengangguk.“Aku, mau tapi dengan satu syarat.”“Apa itu?”“Aku tak ingin mengganggu kalian berdua. Saat ini yang lebih dia butuhkan adalah kamu.”Langit mengajak Mine menemui Bulan yang masih tertidur akibat obat yang dikonsumsinya.Mine tak mampu membendung lelehan bening yang menetes di pipinya. Melihat keadaan Bulan yang terpasang infus di tangannya membuatnya ing