Bulan melempar segepok uang di hadapan Langit.
“Aku mau menyewamu menjadi kekasihku malam ini.”Langit mendongakkan kepalanya, menghembuskan nafasnya kesal. Dia merasa terhina dengan perlakuan Bulan padanya.“Kamu bisa nggak, sih, menghargai orang lain, jangan mentang-mentang aku menyewakan jasa kekasih pura-pura, kamu bisa bersikap semaumu. Aku nggak mau!”“Aku sudah menghargaimu, lihat uang di depanmu. Jadi ini kurang? Berapa lagi yang kamu minta dariku!”Bulan masih saja bersikap arogan, bukannya membujuk Langit agar mau menerima tawarannya, dia malah makin menyulut emosi Langit. Langit hendak beranjak dari duduknya. Namun Bulan menarik lengannya.“Mau ke mana, jadi pacarku semalam saja.”“Enggak! Jangan gila, Bulan.”“Dari dulu aku memang gila, Langit.”Langit berjalan meninggalkan Bulan yang tampak kesal, tapi, Bulan tak bisa begitu saja membiarkan lelaki itu pergi saat ini. Dia butuh Langit untuk membantunya menolak perjodohan konyol yang di lakukan orang tuanya. Bulan mengambil uang miliknya dan mengejar Langit yang berjalan menuju mobilnya.“Langit tunggu!”Langit menulikan telinganya, acuh tak acuh, masuk ke dalam mobilnya. Bulan yang menggantungkan nasibnya pada lelaki itu tentu saja tak mau kehilangan kesempatan. Tak peduli Langit yang kesal dengannya, tak peduli langit runtuh dan menimpanya, dia harus bisa berhasil membujuk Langit. Dengan tak tahu malu Bulan masuk ke dalam mobil Langit dan duduk di sebelahnya.“Turun!”“Enggak! Please, Langit aku butuh bantuanmu, malam ini saja. Aku tahu kamu biasa melakukannya.”Bulan menatap Langit dengan tatapan memohon. Sayangnya itu masih saja tak berhasil membuat luluh Langit.“Haruskah aku menendang mu keluar dari mobilku!’“Aku perempuan lho, kamu laki-laki, bukan? Yakin mau menendang ku keluar? Ayolah, bantu aku Langit. Malam ini saja, promise,” bujuk Bulan dengan mengangkat kedua jarinya tanda dia tak akan mengingkari kata-katanya.Langit menghela nafas, selama ini dia tak mau menerima job dari temannya sendiri, sebab tak mau melibatkan perasaan. Bagaimanapun juga dia manusia biasa, dia tak mau jatuh cinta pada salah satu pelanggannya.“Bukankah kamu tahu aturan yang sudah aku tetapkan. Aku tidak mau, kamu cari orang lain saja!”“Enggak! Aku maunya kamu, berapa pun aku akan membayarmu, please, malam ini saja,” rengeknya sembari mengedip-ngedipkan kedua matanya, menampilkan wajah paling menyedihkan yang dia bisa.Dalam hati, Bulan berdoa pada semesta, dramanya berhasil kali ini.“Aku akan membayarmu dua kali lipat, tolong aku, langit, hidup dan matiku ada di tanganmu.”Masih dengan dramanya, Bulan berpura-pura mengusap air mata yang tak menetes sedikit pun.“Akhiri dramamu, baiklah aku akan membantumu, hanya malam ini, aku nggak mau terlibat denganmu.”Bagai mendapat durian runtuh, senyum yang tadi menghilang kini tampak merekah, mengembang sempurna dengan lesung pipi di kedua pipinya.“Ok, malam ini saja, aku janji. Aku tahu kamu takut jatuh cinta padaku, iya, kan?”“Tutup mulutmu! Atau aku akan berubah pikiran dan membatalkan kesepakatan kita!”Bulan menutup mulutnya, mengatupkan jari telunjuk dan ibu jarinya, menariknya dari kiri ke kanan.Mobil mulai melaju menuju ke rumah Bulan. Sepanjang perjalanan mereka berdua saling terdiam, Bulan sibuk dengan pikirannya sendiri, begitu juga dengan Langit yang sedikit menyesal menerima permintaan bodoh Bulan padanya. Dia sudah melanggar aturan yang sudah dia tetapkan sendiri.Tak butuh waktu lama, mobil yang mereka tumpangi kini sudah berada di halaman rumah milik orang tua Bulan.Sejujurnya ada perasaan bersalah yang mendera Langit, sebab dia mengenal orang tua Bulan. Entah dosa apa yang sudah dia lakukan di masa lalu, dia takut menjadi durhaka. Tiba-tiba saja dia membayangkan Malin Kundang yang dikutuk oleh ibunya. Namun, dengan cepat Langit segera menepiskannya saat Bulan memanggil namanya dan menyuruhnya turun.“Langit, ayo turun! Jangan coba-coba mundur dari apa yang sudah kita sepakati!”“Sial!” umpat Langit kesal.Maju kena mundur pun kena. Posisinya benar-benar tak menguntungkan. Langit turun dari mobil dan mengekori langkah Bulan masuk ke dalam rumahnya.Mama Bulan menyambut keduanya, mempersilahkan Langit duduk bersama mereka di meja makan.“Sejak kapan kalian berpacaran?”“Sejak hari ini, Tante,” ucap Langit keceplosan.Bulan menginjak kaki Langit yang berada di bawah meja.Rasa sakit yang dirasakannya membuatnya tersadar kalau jawaban yang barusan dia berikan membuat mama Bulan menatapnya tajam.“Langit bercanda, Ma.”Langit cengengesan, dia meralat ucapannya dengan cepat, tak mau Mama Bulan curiga padanya.“Sudah cukup lama, Tante, terakhir saya kemari waktu itu.”Mama Bulan mengangguk-angguk, seolah mencoba mempercayai kalimat yang barusan terlontar dari mulut Langit“Kalau begitu, besok kalian menikah!”“Apa!” seru mereka berdua berbarengan.Bak petir yang menggelegar di malam bulan purnama, kalimat itu membuat keduanya saling menatap satu sama lain. Langit tercekat, dia berusaha meminta penjelasan pada Bulan lewat tatapannya. Bukankah Bulan mengatakan hanya semalam saja, tapi, kenapa malah jadi menikah?Bulan berusaha menguasai keterkejutannya, dia tak mau mamanya curiga.“Ma, tapi kami masih muda, banyak hal yang masih ingin kami lakukan, bukankah begitu Langit?”“Hem.. iya, Tante, rasanya terlalu cepat kalau kami harus menikah saat ini. Di saat kami berdua sedang sibuk-sibuknya mengejar karier.”Mama Bulan menatap keduanya saling bergantian, dia curiga pada putrinya, bisa saja Bulan yang cerdik itu membohonginya agar tidak menikah dengan lelaki pilihannya.Langit yang merasa terintimidasi pun menarik-narik rok yang dikenakan Bulan. Bulan sendiri yang masih syok dengan perintah mamanya menepis tangan Langit dengan kasar. Dia sendiri kesal, tadinya dia pikir, dengan membawa Langit ke rumah dan mengenalkannya sebagai kekasihnya semuanya akan berakhir dengan mudah. Perjodohan yang akan dilakukan orang tuanya pun batal, sebab dia sudah punya kekasih. Namun, pada kenyataannya ekspektasinya tak seindah realita. Dia malah masuk ke dalam jurang yang lebih dalam dengan membawa Langit datang ke rumahnya.“Ma, bukankah Mama sudah mengatakan pada Bulan, kalau Bulan membawa kekasih datang kemari, memperkenalkannya pada Mama, maka perjodohan yang akan kalian lakukan otomatis batal. Tapi kenapa Mama tetap memintaku menikah.”“Kalau memang Langit sungguh-sungguh kekasihmu, seharusnya kamu tak menolak menikah dengannya.”Skak mat, Bulan lupa memperhitungkannya, mamanya memang tak mudah untuk dibohongi. Bulan dan Langit saling memandang, sementara mama Bulan tersenyum tipis menatap mereka berdua yang tak bisa menyembunyikan kebingungannya.“Ma, kami butuh waktu untuk membicarakannya, beri kami waktu lagi untuk memikirkannya,” bujuk Bulan pada mamanya.Bulan berharap dengan meminta kelonggaran waktu, lambat laun mamanya akan lupa dengan keinginannya.“Mama, kan, tahu, menikah itu nggak gampang, Bulan nggak bisa masak, nggak bisa bersih-bersih. Mama sendiri yang mengatakan pada Bulan, jadi perempuan selain bisa cari duit, harus pintar di dapur dan di kasur.”“Nggak usah banyak alasan Bulan. Menikahlah dengan Langit. Mama setuju kalau kamu menikah dengan Langit. Langit, besok bawa orang tuamu kemari, Mama ingin bertemu dengan mereka.”“Ma!”Langit mendengarkan suara di seberang sana. Namun, tak butuh waktu lama, dia mengakhiri panggilan dari Baby.“Tumben?”Langit cengengesan, dia tak mau kehilangan momen bersama istrinya. Biar saja Baby marah dengannya. Kali ini dia tak mau menyesal lagi. Di saat dia sudah tahu pasti perasaan istrinya. Di tambah lagi Bulan datang jauh-jauh ke Korea hanya untuk memintanya tetap menjadi suaminya. Suaminya sebenarnya, bukan suami yang hanya tertulis di atas kertas.“Aku ingin waktu berhenti sejenak. Menikmati apa yang terjadi hari ini. Even itu hanya sebuah ekspektasi yang tidak mungkin terjadi.”“Ini bukan ekspektasi, Langit. Aku ada di depanmu. Kamu bahkan bisa menyentuhku, melakukan apa saja yng kamu inginkan dariku.”Langit tertawa dia memeluk istrinya lagi, menidurkannya kembali di sisnya sembari menaikkan selimut hingga menutupi kedua tubuh mereka berdua. Langit tak bisa tidur meski langit masih menggelap. Matahari seakan enggan menampakkan wajahnya, matahari tak ingin menggangg
Kini Bulan sudah duduk di dalam pesawat yang sebentar lagi take off. Dia meremas kedua telapak tangannya yang sedikit berkeringat. Meskipun ini bukan pertama kalinya dia pergi ke Korea, tapi entah kenapa perasaannya menjadi gugup. Dia memiliki banyak ketakutan tersendiri. Takut misinya akan gagal kali ini dan pulang dalam keadaan terluka. Walaupun sudah membulatkan tekadnya tetap saja dia hanyalah manusia biasa.Perjalanan tujuh jam dua puluh delapan menit akhirnya berhasil dia lewati tanpa kendala apapun. Pesawat mendarat dengan sempurna. Bulan keluar dari imigrasi dan langsung menuju hotel yang sudah dia booking sebelumnya.“Seoul, im in love,” gumannya sembari menuju taksi yang akan mengantarkannya ke tempat dia akan beristirahat.Sampai di hotel dan check ini, Bulan mengirimkan pesan pada suaminya. Waktu seolah berputar terlalu lambat. Hamir sepuluh menit berlau dan suaminya masih belum membaca pesan yang dikirimkannya. Entah apa yang sedang dia lakukan sekarang. Mungkinkah sua
Bulan ingin sekali pergi menjenguk mertuanya, dia sendiri masih bingung kenapa Ibu Langit bisa sampai masuk ICU.Bulan ingin bertanya pada Langit tapi dia berusaha menahan jarinya untuk tak mengirimkan pesan pada suaminya.“Nanti malam sepulang kerja bagaimana?”Bulan bertanya pada Mine, sebab dia yang tahu di mana ibu mertuanya di rawat. Lagi pula selama Langit pergi dia selalu kesepian di rumah. Rumahnya kosong. Mamanya belum pulang dari Jepang, sedangkan Mine sekarang sudah memiliki kekasih yang tiap malam selalu datang ke apartemennya.“Boleh, tapi aku tak bisa menemanimu lama-lama. Aku ada janji kencan malam ini.”Bulan melemparkan map ke arah sahabatnya. Mine tertawa, dia berhasil menghindar dan menangkap map milik Bulan lalu meletakkannya kembali ke atas meja.“Aku kembali dulu ke ruanganku, nanti aku kemari, aku ada janji dengan klien. Oiya, kalau aku jadi kamu aku akan menyusul suamimu dan membawanya pulang bersamamu. Cinta itu tak memandang gender, mau siapa pun yang m
“Good morning. Semangat, Bulan, dunia masih berputar meski tak ada Langit di sisimu. Ada langit lain yang selalu mengayomi kamu.”“Sial.”Bulan mengumpat kesal.Mine terkekeh, dia bukannya menghibur Bulan yang sedang patah hati, tapi malah menggodanya terus-menerus.“Kenapa tak membalas pesan darinya?”Bulan menghela nafas, dia teringat terakhir kali melihat Langit saat senja di tepi pantai. Dia sadar betul bahwa Langit memiliki perasaan yang sama dengannya, tapi kenapa lelaki itu mau menerima begitu saja permintaan Baby padanya. Berapa banyak uang yang Baby bakar untuknya?“Malas, untuk apa dia berbasa-basi nggak jelas, padahal dia sedang sibuk menyuapi dan meninabobokan bayinya.”Mine tak mampu menahan tawanya, dia tertawa terbahak-bahak. Di saat kesal begitu, amarah Bulan malah membuatnya tertawa terpingkal. Bulan mendesah melihat sahabatnya cukup terlihat puas dan bahagia dengan kalimatnya barusan.“Bagus, lanjutkan saja kebahagiaanmu menertawai penderitaanku. Kamu mema
Selesai makan, mereka berdua berbincang santai setelah sejak tadi berada pada kecanggungan yang hakiki. Setelah beberapa menit berlalu, Langit membuka suara kembali. “Ayo, aku akan mengajakmu ke suatu tempat.” “Ke mana?” “Nanti kamu juga akan tahu.” Mereka berdua bangkit dari duduknya dan melangkah keluar. Menggunakan mobil Langit keduanya kini sudah berada di kemacetan yang cukup panjang. Bulan menghela nafas, dia memandang keluar jendela, menatap masa depannya yang masih tampak buram. Sesekali Langit melirik istrinya yang beberapa kali terlihat menghela nafas. Seolah sedang berusaha melepaskan beban hidup yang cukup berat yang sedang dipikulnya. “Ada yang kamu pikirkan?” tanya Langit memecah keheningan di antara mereka. Bulan menggeleng pelan. Tepat di lampu merah mereka berhenti, Langit menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya. Selama beberapa tahun terakhir, dia mengagumi perempuan itu. Dan pada akhirnya dia bisa dipersatukan oleh keadaan. Perempuan keras k
Setelah malam itu entah kenapa keduanya menjaga jarak, bahkan sudah beberapa malam langit memilih tidur di sofa meski tersiksa. sementara bulan tidur sendirian di ranjang dengan kebisuannya.Walau keduanya sama-sama tak nyaman, tak ada satu pun dari mereka yang mengubah keadaan. Langit apatis dan Bulan yang egois membuat keadaan semakin sulit.Tepat di hari yang sudah ditunggu Langit. Hari ini adalah hari kepergiannya ke Korea bersama Baby. Mungkin semuanya memang harus berjalan seperti yang takdir inginkan. Sekuat apapun Langit menunjukkan perasaannya, si keras kepala itu masih saja tak peka.“Aku pergi hari ini,” pamit Langit pada istrinya yang masih mengenakan bathrobe miliknya seraya memencet tombol remote bergantian.Ada sesak merundung dadanya tapi dia berusaha keras mengalihkannya.“Aku tak perlu mengantarkan kamu ke bandara, kan?”Langit menggeleng pelan, dia duduk menyandarkan punggungnya pada sofa yang didudukinya. Memandang ke arah istrinya yang baru saja selesai