LOGINMalam ini adalah kali ke lima bagi Sutra bertugas untuk mengantarkan makanan ke apartemen Kama.
Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati gadis itu. Entah apa. Yang jelas, ia pergi ke apartemen tanpa diantar oleh Hans. Pria itu sedang sakit, sehingga membuat Sutra mau tidak mau harus naik taksi.
Seperti biasa, sesampainya di apartemen, gadis itu memencet bel selama dua kali, itu sebagai tanda jika dirinyalah yang datang.
Kama membuka pintu, aroma menyengat menusuk hidung Sutra. Tampak seperti aroma alkohol. Namun, gadis itu segera menepis perasaan yang tiba-tiba sedikit merasa takut.
“Tuan, makananmu sudah datang,” ujarnya sambil memperlihatkan rantang di tangannya, tak lupa Sutra memoles senyum di kedua sudut bibirnya.
Kama menatap Sutra dengan tatapan mata kabur. Dapat Sutra tebak, jika malam ini pria penuh dengan misteri itu sedang dalam keadaan mabuk. Itu dia tahu dari aroma ruangan yang menyengat, ditambah lagi Sutra melihat beberapa botol anggur yang hampir tandas isinya.
“Tuan, kau mabuk?”
Kama tidak merespon, pria itu berjalan terhuyung-huyung di belakang Sutra.
“Akan kubuatkan minum agar tubuhmu hangat, setelah itu kau harus makan malam. Maaf, jika sedikit terlambat. Hans sedang sakit, jadi aku kesini harus menunggu taksi,” terang Sutra. Gadis itu tidak merasa takut. Karena selama beberapa hari menjadi pelayan Kama, pria itu selalu bersikap baik padanya.
Namun, baru saja Sutra hendak melangkah ke arah kompor. Tiba-tiba Kama menarik lengannya, hingga gadis itu jatuh dalam pelukan Kama.
“T-Tuan, kau kenapa?” tanya Sutra terbata. Kali ini ada sedikit rasa takut dalam dadanya.
Sesekali pria itu mencoba untuk membuka matanya lebar-lebar agar pandangannya tidak kabur. “Sutra.”
Sutra merasa hembusan napas Kama yang panas di telinganya. Wajahnya merah, aroma alkohol mendominan. “Tuan, kau mabuk.”
“Bantu aku, Sutra,” katanya dengan suara yang begitu parau.
Jujur saja, gadis itu sedikit bingung dengan kata-kata sang majikan. Dalam dekapan Kama, Sutra mencoba untuk mencari jawaban lewat wajah pria malang itu. Ya, untuk kali ini Sutra menganggap jika Kama adalah pria malang. Sebab, banyak sesuatu yang membuat hati gadis itu tersentuh.
Perlahan, Sutra mencoba untuk mengurai pelukan Kama, tapi pria itu semakin erat memeluknya.
“Aku butuh bantuanmu saat ini,” katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar. “Tubuhku panas. Aku butuh sesuatu dari dalam dirimu.”
“Tuan, kau bicara apa? Aku akan membuatkanmu sup pereda pengar agar kau segera sadar dari mabukmu.”
Tanpa aba-aba, pria itu mencium bibir Sutra. Tentu saja gadis itu kaget dibuatnya. Sutra mencoba untuk berontak. Namun, siapa sangka? Meskipun dalam keadaan mabuk, Kama masih bisa mengendalikan tubuh Sutra.
Pria itu kemudian menindih tubuhnya, terus bermain dengan ciuman panasnya. “Balas ciumanku!” ujarnya memerintah.
Bukannya membalas ciuman panas sang majikan, Sutra malah terisak pilu. Pikirannya bingung, takut, jika sesuatu yang tak diinginkan akan terjadi malam ini.
Tidak mendapat respon yang baik, tentu tidak membuat Kama berubah pikiran. Ia membawa tubuh Sutra ke atas kasur, kemudian satu tangannya mengunci kedua tangan Sutra ke atas. Pria itu menindih tubuh sang pelayan ke atas kasur. “Aku akan bertanggung jawab dengan apa yang telah kulakukan mlam ini padamu. Jadi … bantu aku.”
Sutra menggeleng, tatapannya memohon pada Kama. Namun, pria itu sudah gelap mata. Satu tangannya menyingkap rok span yang dipakai oleh Sutra. Lalu menyentuh perutnya yang datar, memainkan pusar sebelum kelima jarinya meraba dada gadis itu.
Sutra tak bisa menahan kungkungannya yang mencengkram bahunya.
Ia mendesah seraya memejamkan mulutnya rapat rapat.
Tidak. Ini harus berhenti. Sadar Sutra!
Kama mendengar samar. Pria itu bahkan tak peduli dengan tangisan sang pelayan. Bagaimanapun juga, dia harus mendapat pelepasan malam ini. Siapa suruh Sutra datang di waktu yang tidak tepat?
“T-Tuan, kumohon, jangan lakukan apa pun terhadap saya? Saya hanya ingin tetap bekerja, Tuan!” rengek Sutra sambil terus berusaha keluar dari kungkungan panas Kama.
Kama mencium ceruk lehernya— menarik jemari Sutra menuntun ke bawah. “Pegang.”
Kama tersenyum miring. Rupanya gadis yang berada di bawah kungkungannya memang betul-betul gadis polos saat gadis itu mengerang saat menyentuhnya.
Namun, yang membuat Kama ingin meminta bantuan pada Sutra bukan karena gadis itu polos, tapi hatinya seperti sedang merasakan sesuatu yang pernah hilang dan saat ini sedang ia dapatkan kembali.
“Kau pernah melakukan itu?”
Apa? Kenapa bahasa pria itu susah ditebak oleh Sutra?
“Sudah kuduga, kau bahkan belum pernah berhubungan.”
Sutra terbelalak.
“Tugasmu saat ini, bagaimana caranya agar aku bisa melakukan pelepasan.Terserah, kau mau mengeluarkannya dengan cara apa, Sutra.”
“T-tapi T-Tuan, saya tidak mengerti. Saya tidak berpengalaman dengan hal semacam itu.”
Kama mengurai kungkungannya, pria itu kemudian duduk di bibir ranjang, sebelah tangannya memegang tangan Sutra. “Kau bisa melakukan dengan ini,” ujar Kama serak. Jari telunjuknya menyentuh bibir mungil milik Sutra.
Tuhan, pekerjaan macam apa ini? Kenapa gadis itu terjebak dalam lingkaran hasrat sang majikan? Haruskan dia melakukannya?
Kama mengerjap-ngerjapkan kedua matanya saat pukul sepuluh pagi. Dia menggeliatkan tubuhnya, dan betapa terkejutnya dia saat mendapati dirinya tengah tertidur di atas lantai beralaskan karpet dengan memakai selimut tebal. Pria itu kemudian duduk, melihat betapa berantakannya setiap sudut ruangan. Sejurus kemudian ujung matanya melirik selimut yang menumpuk di sampingnya. Bergerak. Seketika itu juga, Kama menyibak selimut tebal berwarna putih tersebut. Seorang gadis cantik masih terlelap tidur. Posisinya miring hingga memperlihatkan punggungnya yang sempat ia raba saat Sutra belum pergi dari apartemennya semalam. Bekas luka itu?Kama memukul-mukul kepalanya sendiri dengan pelan, seolah ingin menyingkirkan rasa pusing yang masih mendera. Namun, kedua matanya menangkap sesuatu di atas nakas. Buket bunga lily berwarna putih dengan secumput bunga dandelion berwarna kuning keemasan. Seketika dadanya berdebar. “Kau sudah bangun, Tuan?” Sutra segera bergerak dud
Pagi menjelang, Sutra telah menyiapkan beberapa menu makanan di atas meja. Meskipun dirinya setiap hari mengantar makan untuk Kama. Namun, tidak berarti di dalam kulkas tidak ada bahan apa-apa. Semua lengkap. Bahkan … dapat dipastikan kulkas yang berada di kediaman Sutra sebelumnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan isi lemari pendingain milik Kama. Di atas meja bundar tersebut telah berjejer beberapa menu, ada puding tahu, jianbing, dan susu kedelai. Kama berjalan dengan rasa malas. Saat melihat sang pelayan tengah menata piring serta garpu, pikirannya kembali ingat pada rekaman cctv. Ada sesuatu yang bergetar dalam dadanya, hingga tanpa sadar pria itu menekan bagian tersebut. “Tuan, sarapannya sudah siap. Saya akan pergi ke toko rajut seperti yang Tuan katakan semalam. Oh, ya. Saya harus membeli apa ke toko itu?”Kama menyeret kursi, meletakkan bokongnya dengan perlahan. Napasnya terkesan berat, tapi dia diam tak menjawab kata-kata Sutr
Sutra berusaha memundurkan langkahnya hingga dia menabrak pintu kamarnya sendiri. Kama mengikuti setiap langkahnya. Dengan menukikkan sebelah bibir, tatapan penuh amarah, bibir pria itu tampak sedikit bergetar. Sutra menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “M-maaf, Tuan. Saya tidak sengaja. Tolong jangan lakukan hal itu lagi ….”Kama tiba-tiba menghentikan langkahnya saat mendengar kata-kata terakhir Sutra. “Melakukan apa? Memangnya sebelum ini aku melakukan apa padamu, hmm?”Sutra terperanjat. Apa jangan-jangan pria yang hanya mengenakan kaos oblong tipis di hadapannya itu tidak mengingat kejadian malam lalu?Kama memegang bibirnya sendiri yang ada bekas luka gigitan. “Kau yang melakukan ini?” dengan sedikit mencondongkan kepalanya, Kama memperlihatkan bibirnya pada Sutra. “Katakan padaku!”Sutra mendorong. “T-tidak. Mana mungkin saya berani menggigit bibir Tuan!”Sutra hendak melangkah menjauh, tapi tiba-tiba pergelangan tang
Saat ini Sutra tengah berdiri di depan pintu apartemen Kama. Dadanya bergetar, tangan kanannya bergerak lamban, antara ingin memencet kode pin atau memilih untuk memencet bel. Satu yang dia takutkan, gadis itu takut jika Kama kembali mabuk. Bagaimana ini? Hingga beberapa menit dia menatap daun pintu itu, sampai akhirnya pintu terbuka dengan sendirinya sebelum sempat ia sentuh. Sutra terperanjat, kedua bola matanya terbelalak. Langkahnya sedikit bergeser ke belakang. “Kenapa kau melamun di depan pintu? Kenapa tidak kau pencet pinnya?” Kama menyapa Sutra dengan pertanyaan datar, bersedekap dada tanpa mengenakan baju. Sial! Dapat Sutra rasakan, udara yang menyapa dari balik pintu apartemen Kama bukanlah aroma alkohol, melainkan parfum beraroma maskulin yang selalu bisa mendamaikan hatinya. “M-maaf, Tuan.” Kama tak menjawab, pria itu melangkah masuk di iringi oleh Sutra. “Mau makan sekarang?” Sutra menata rantang berisi makanan. Kama mengangguk. “Aku kelaparan,” katanya.
"Kenapa tidak ke sini? Apa kemarin malam ada masalah?” Tak ada jawaban, hanya terdengar desah suara yang berat dari Sutra. “Aku tidak mau tahu, nanti malam, kau yang harus mengantar makan untukku. Jika tidak, tidak usah ada yang mengantar makanan ke sini.” Kama kemudian mematikan panggilannya. Pria itu berjalan menuju meja makan. Bukan untuk mencicipi masakan yang telah diantar oleh Lily, akan tetapi Kama memilih untuk menyulut sebatang rokok, mencoba menikmati aroma nikotin sambil mengedar pandangannya ke luar jendela apartemen. Sejenak, pikirannya melambung pada kejadian semalam. Lamat-lamat ia mengingat sesuatu. Kama menyentuh bibirnya. Ada bekas luka di ujung bibir itu. Tak ingin bergelung dengan pikiran yang belum tentu kebenarannya. Kama mematikan puntung rokok lalu menaruhnya di atas asbak. Kemudian pria itu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini, tak ada acara makan siang. Cukup mengkonsumsi sup pereda pengar yang dibuat oleh Sutra pagi tadi sebelum gadis
“Kau ke mana saja, Sutra. Nyonya Amira mencarimu dari semalam. Beliau menelpon Tuan Muda tapi tidak diangkat. Jangan katakan kalian sedang—“ Lily menatap wajah Sutra penuh telisik. Sutra menggeleng. “Lily, semalam aku tidak bisa pulang karena Tuan Muda sudah tidur. Aku ingin ke luar dari apartemennya tidak bisa. Karena aku tidak tahu kode pin apartemen Tuan. Mau membangunkannya, tiak berani. Kau jangan berpikir macam-macam.”“Yasudah, sekarang lebih baik kau temui Nyonya di taman belakang. Sepertinya dia marah padamu.”Sutra mengangguk. “Aku akan menemuinya. Tolong kau sampaikan pada ibu, aku sudah pulang.”“Dari mana saja kau, Sutra? Kenapa semalam tidak langsung pulang?” Wajah Amira menegang. “Apa kau menginap di rumah temanmu?” telisiknya kemudian. “Kama tidak bisa kuhubungi. Kata Lini kau tidak membawa ponsel. Ke mana sebenarnya kau semalam?”Sutra mendekat, kepalanya tertunduk takzim. “Mohon maaf, Nyonya. Semalam saya—“ Sutra menggantung kalimatnya. Gadis itu mencoba untuk menc







