LOGIN“Sutra, bagaimana pekerjaan pertamamu? Tuan Kama memperlakukanmu dengan baik, kan?”
Zatulini menatap putrinya dengan cemas.Sutra tersenyum kecil. “Ini hari pertamaku, Bu. Sejauh ini, beliau biasa saja.”
“Dia tidak mengganggumu?”
“Mengganggu?” Sutra mengernyit. “Sepertinya tidak, Bu. Lagipula, Tuan Kama tampak sibuk. Aku cuma pelayan.”
“Syukurlah. Tapi kau tetap harus berhati-hati dengannya, Nak.”
“Memangnya kenapa? Aku sempat tanya pada Hans, tapi dia malah diam. Sebenarnya ada apa dengan Tuan Kama?”
Zatulini menarik napas panjang. Banyak gosip beredar tentang Kama—anak tunggal keluarga Deodola itu dikenal sebagai pria bermasalah. Media bahkan menulis bahwa ia suka berganti pasangan dan kerap terlibat skandal. Awalnya Zatulini tidak percaya, tapi setelah beberapa kali mendengar pertengkaran keras antara Kama dan ibunya, keyakinannya mulai goyah.
“Kau harus berhati-hati, Sutra. Dia bukan pria baik-baik,” ujarnya pelan.
Sutra tertawa kecil. “Bu, aku cuma pelayan. Kalau pun Tuan Kama seperti yang orang bilang, rasanya mustahil dia akan tertarik padaku.”
“Sutra, kecilkan suaramu. Kalau ada yang dengar, kau bisa dilaporkan ke Nyonya Amira.”
Sutra menunduk. “Maaf, Bu. Aku cuma heran saja.”
Zatulini mengelus pundaknya lembut. “Ibu cuma takut satu-satunya anak ibu ini terluka. Itu saja.”
Belum sempat Sutra menjawab, seorang pelayan lain datang tergesa. “Sutra, Tuan Kama barusan menelepon. Kau disuruh kembali ke apartemen.”
Sutra menautkan alis. “Sekarang? Untuk apa? Tadi beliau tidak bilang apa-apa.”
“Jangan banyak tanya. Katanya penting,” jawab perempuan itu singkat.
Sutra mengangguk. “Baiklah, Bu. Aku pergi dulu.”
“Hati-hati, Nak. Jangan sampai terjadi apa-apa,” pesan Zatulini lembut.
**
“Sebetulnya siapa yang menyuruhmu datang ke sini? Perempuan itu?”
Pertanyaan itu membuat Sutra termenung saat ia masih berada di pintu unit.
“Maksud Tuan? Bukannya tuan menyuruh saya kemari?”
“Sudah kuduga,” gumamnya dingin. “Perempuan itu selalu tahu cara mencampuri urusan orang.”
Sutra terpaku. Ia tidak salah dengar, kan? Perempuan itu—ibunya sendiri. Tapi bagaimana mungkin seorang anak berbicara seperti itu?
“Maaf, Tuan, kalau tidak ada yang perlu saya kerjakan lagi, saya pamit—”
“Kau sudah makan?” potong Kama.
Sutra menggeleng. “Belum, Tuan. Tapi saya bisa makan setelah pulang.”
“Duduk. Makan di sini. Aku tidak suka makan sendirian.”
“Tuan, saya—”
“Duduk, Sutra.”
Nada suaranya tenang, tapi mengandung perintah. Sutra akhirnya menuruti. Mereka makan dalam diam, hanya suara sendok beradu dengan piring. Dari dekat, Sutra melihat sesuatu di wajah pria itu—bukan keangkuhan, tapi kesepian.
“Tuan, makanlah pelan-pelan,” ujarnya hati-hati.
Kama menatapnya sejenak. “Kau pikir aku tidak punya hati? Aku tidak akan makan sendiri sementara orang lain kelaparan.”
Sutra menunduk. “Maaf, Tuan.”
“Aku tidak suka wanita banyak bicara. Turuti saja apa yang aku katakan.”
Beberapa menit berlalu. Hening yang aneh menyelimuti mereka. Setelah semuanya selesai, Sutra berdiri. “Kalau tidak ada yang perlu saya bantu lagi, saya pamit pulang.”
Kama tidak langsung menjawab. Ia menatap meja, lalu berkata pelan, “Sutra, kemarilah.”
Sutra mendekat dengan ragu. Kama merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kunci dengan gantungan berbentuk bulan sabit.
“Ini,” katanya. “Aku percaya padamu.”
“Maksud Tuan?”
“Buka lemari di kamar utamaku. Di bagian bawah ada kotak hitam dengan gembok. Gunakan kunci ini untuk membukanya. Bawa isinya ke sini besok pagi.”
Sutra menatap kunci itu, bingung. “Kotak hitam? Untuk apa, Tuan?”
Tatapan Kama mengeras. “Kalau kamu ingin tetap bekerja di sini, jangan banyak bertanya. Dan jangan sampai perempuan itu tahu.”
“Perempuan itu? Maksud Tuan … Nyonya Amira?”
“Kamu terlalu banyak bertanya.” Kama tersenyum tipis, tapi matanya dingin. “Ya. Jangan biarkan jalang itu tahu apa pun.”
Sutra membeku. Ia yakin tidak salah dengar. Jalang.
Untuk kedua kalinya, Kama menyebut ibu kandungnya sendiri begitu saja—tanpa ragu, tanpa emosi.
Beberapa menit kemudian, mereka kembali makan ringan. Tak lama, Kama tiba-tiba tersedak. Ia batuk keras hingga matanya berair.
“Tuan—” Sutra panik.
“Ambilkan obat.”
“Obat, Tuan. Obatnya di mana?”
Kama menunjuk ke arah kamar. “Nakas… kiri…” katanya terputus.
Sutra segera berlari ke kamar utama. Aroma parfum maskulin langsung menyeruak—dingin, bersih, menenangkan. Ia menemukan botol obat di atas nakas. Tapi saat hendak mengambilnya, matanya menangkap laci bawah yang sedikit terbuka. Ada celah kecil menampilkan sudut kotak bening di dalamnya.
Logikanya berkata jangan, tapi rasa penasaran lebih kuat. Ia berjongkok, mendorong laci itu sedikit.
Di dalamnya ada kotak bening berisi benda-benda kecil terbungkus rapi—kemasan tipis berlogo yang berbentuk seperti permen. Namun stoknya banyak. Terlalu banyak.
Darahnya berhenti mengalir sesaat. Jantungnya berdetak cepat. Ia buru-buru menutup laci hingga terdengar bunyi gesek kayu.
“Obat,” ia berbisik pada diri sendiri, berusaha fokus. Ia mengambil botol, kembali ke ruang makan. Kama masih batuk. Sutra menuangkan air, memberinya obat. Pria itu menelannya perlahan, lalu mengangguk singkat.
“Terima kasih,” katanya pelan.
“Sama-sama, Tuan.”
Sutra membereskan meja, berusaha mengalihkan pikiran dari apa yang baru ia lihat. Tapi bayangan kotak itu terus muncul—kemasan rapi, teratur, terlalu pribadi untuk sekadar milik orang biasa. Untuk siapa? Seberapa sering? Kenapa disimpan di sana?
“Kalau tidak ada yang Tuan perlukan lagi, saya pamit,” katanya, berusaha menstabilkan suaranya.
“Besok datang pagi,” jawab Kama datar. “Jangan terlambat.”
Sutra mengangguk, cepat-cepat melangkah ke pintu. Tangannya masih gemetar saat menekan tombol lift. Mobil meluncur keluar dari basement. Lampu-lampu kota musim gugur terlihat seperti garis-garis kuning yang diseret angin. Sutra menatap keluar jendela, berusaha menata napas. Tapi kepalanya justru menayangkan ulang apa yang dilihatnya tadi bahwa serenceng kotak bening, kemasan bertuliskan ‘pengaman’ berada di laci sisi tempat tidur. Ia memalingkan wajah, seolah bisa mengusir gambar itu dari ingatan.
“Ada apa denganmu, Sutra?” Hans melirik dari spion. “Ac nya dingin?”
Sutra hanya menggeleng kecil.
Mereka melewati lampu merah yang berganti hijau. Sutra menatap kaca mengusir sisa gerimis. Ia memeriksa ponsel—tidak ada pesan dari Nyonya Amira. Lega yang aneh sekaligus bersalah muncul.
Dalam diam, Sutra mencoba berlogika. Persediaan pribadi—apa pun namanya—bisa saja milik siapa pun. Bisa untuk jaga-jaga, bisa untuk tamu, bisa juga … Ia menutup mata, menolak kemungkinan-kemungkinan yang melompat dengan sendirinya.
Lalu ingatan lain melayang pada foto di dekat kotak kayu tadi, nama “Dinara Deodola” terukir di belakang bingkai, anak kecil yang tersenyum dalam pelukan wanita itu. Apa hubungannya semua ini? Kenapa setiap pintu yang ia buka, selalu mengarah ke lorong yang lebih gelap?
“Hans,” katanya tiba-tiba, mengejutkan dirinya sendiri. “Kalau orang kaya … biasanya menyimpan banyak barang pribadi di kamar, ya?”
Hans tertawa pendek. “Semua orang menyimpan banyak hal di kamar, bukan soal kaya atau tidak. Pertanyaannya, apa barangnya, dan buat apa.”
Sutra terdiam. “Kalau ada yang disembunyikan?”
“Kalau disembunyikan, berarti tidak ingin dibagikan,” jawab Hans datar. “Saran saya, jangan pernah penasaran.”
“Apalagi menyangkut Tuan Muda. Kalau bisa jangan pernah terlibat sekalipun sedikit, Sutra.”
Kama mengerjap-ngerjapkan kedua matanya saat pukul sepuluh pagi. Dia menggeliatkan tubuhnya, dan betapa terkejutnya dia saat mendapati dirinya tengah tertidur di atas lantai beralaskan karpet dengan memakai selimut tebal. Pria itu kemudian duduk, melihat betapa berantakannya setiap sudut ruangan. Sejurus kemudian ujung matanya melirik selimut yang menumpuk di sampingnya. Bergerak. Seketika itu juga, Kama menyibak selimut tebal berwarna putih tersebut. Seorang gadis cantik masih terlelap tidur. Posisinya miring hingga memperlihatkan punggungnya yang sempat ia raba saat Sutra belum pergi dari apartemennya semalam. Bekas luka itu?Kama memukul-mukul kepalanya sendiri dengan pelan, seolah ingin menyingkirkan rasa pusing yang masih mendera. Namun, kedua matanya menangkap sesuatu di atas nakas. Buket bunga lily berwarna putih dengan secumput bunga dandelion berwarna kuning keemasan. Seketika dadanya berdebar. “Kau sudah bangun, Tuan?” Sutra segera bergerak dud
Pagi menjelang, Sutra telah menyiapkan beberapa menu makanan di atas meja. Meskipun dirinya setiap hari mengantar makan untuk Kama. Namun, tidak berarti di dalam kulkas tidak ada bahan apa-apa. Semua lengkap. Bahkan … dapat dipastikan kulkas yang berada di kediaman Sutra sebelumnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan isi lemari pendingain milik Kama. Di atas meja bundar tersebut telah berjejer beberapa menu, ada puding tahu, jianbing, dan susu kedelai. Kama berjalan dengan rasa malas. Saat melihat sang pelayan tengah menata piring serta garpu, pikirannya kembali ingat pada rekaman cctv. Ada sesuatu yang bergetar dalam dadanya, hingga tanpa sadar pria itu menekan bagian tersebut. “Tuan, sarapannya sudah siap. Saya akan pergi ke toko rajut seperti yang Tuan katakan semalam. Oh, ya. Saya harus membeli apa ke toko itu?”Kama menyeret kursi, meletakkan bokongnya dengan perlahan. Napasnya terkesan berat, tapi dia diam tak menjawab kata-kata Sutr
Sutra berusaha memundurkan langkahnya hingga dia menabrak pintu kamarnya sendiri. Kama mengikuti setiap langkahnya. Dengan menukikkan sebelah bibir, tatapan penuh amarah, bibir pria itu tampak sedikit bergetar. Sutra menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “M-maaf, Tuan. Saya tidak sengaja. Tolong jangan lakukan hal itu lagi ….”Kama tiba-tiba menghentikan langkahnya saat mendengar kata-kata terakhir Sutra. “Melakukan apa? Memangnya sebelum ini aku melakukan apa padamu, hmm?”Sutra terperanjat. Apa jangan-jangan pria yang hanya mengenakan kaos oblong tipis di hadapannya itu tidak mengingat kejadian malam lalu?Kama memegang bibirnya sendiri yang ada bekas luka gigitan. “Kau yang melakukan ini?” dengan sedikit mencondongkan kepalanya, Kama memperlihatkan bibirnya pada Sutra. “Katakan padaku!”Sutra mendorong. “T-tidak. Mana mungkin saya berani menggigit bibir Tuan!”Sutra hendak melangkah menjauh, tapi tiba-tiba pergelangan tang
Saat ini Sutra tengah berdiri di depan pintu apartemen Kama. Dadanya bergetar, tangan kanannya bergerak lamban, antara ingin memencet kode pin atau memilih untuk memencet bel. Satu yang dia takutkan, gadis itu takut jika Kama kembali mabuk. Bagaimana ini? Hingga beberapa menit dia menatap daun pintu itu, sampai akhirnya pintu terbuka dengan sendirinya sebelum sempat ia sentuh. Sutra terperanjat, kedua bola matanya terbelalak. Langkahnya sedikit bergeser ke belakang. “Kenapa kau melamun di depan pintu? Kenapa tidak kau pencet pinnya?” Kama menyapa Sutra dengan pertanyaan datar, bersedekap dada tanpa mengenakan baju. Sial! Dapat Sutra rasakan, udara yang menyapa dari balik pintu apartemen Kama bukanlah aroma alkohol, melainkan parfum beraroma maskulin yang selalu bisa mendamaikan hatinya. “M-maaf, Tuan.” Kama tak menjawab, pria itu melangkah masuk di iringi oleh Sutra. “Mau makan sekarang?” Sutra menata rantang berisi makanan. Kama mengangguk. “Aku kelaparan,” katanya.
"Kenapa tidak ke sini? Apa kemarin malam ada masalah?” Tak ada jawaban, hanya terdengar desah suara yang berat dari Sutra. “Aku tidak mau tahu, nanti malam, kau yang harus mengantar makan untukku. Jika tidak, tidak usah ada yang mengantar makanan ke sini.” Kama kemudian mematikan panggilannya. Pria itu berjalan menuju meja makan. Bukan untuk mencicipi masakan yang telah diantar oleh Lily, akan tetapi Kama memilih untuk menyulut sebatang rokok, mencoba menikmati aroma nikotin sambil mengedar pandangannya ke luar jendela apartemen. Sejenak, pikirannya melambung pada kejadian semalam. Lamat-lamat ia mengingat sesuatu. Kama menyentuh bibirnya. Ada bekas luka di ujung bibir itu. Tak ingin bergelung dengan pikiran yang belum tentu kebenarannya. Kama mematikan puntung rokok lalu menaruhnya di atas asbak. Kemudian pria itu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini, tak ada acara makan siang. Cukup mengkonsumsi sup pereda pengar yang dibuat oleh Sutra pagi tadi sebelum gadis
“Kau ke mana saja, Sutra. Nyonya Amira mencarimu dari semalam. Beliau menelpon Tuan Muda tapi tidak diangkat. Jangan katakan kalian sedang—“ Lily menatap wajah Sutra penuh telisik. Sutra menggeleng. “Lily, semalam aku tidak bisa pulang karena Tuan Muda sudah tidur. Aku ingin ke luar dari apartemennya tidak bisa. Karena aku tidak tahu kode pin apartemen Tuan. Mau membangunkannya, tiak berani. Kau jangan berpikir macam-macam.”“Yasudah, sekarang lebih baik kau temui Nyonya di taman belakang. Sepertinya dia marah padamu.”Sutra mengangguk. “Aku akan menemuinya. Tolong kau sampaikan pada ibu, aku sudah pulang.”“Dari mana saja kau, Sutra? Kenapa semalam tidak langsung pulang?” Wajah Amira menegang. “Apa kau menginap di rumah temanmu?” telisiknya kemudian. “Kama tidak bisa kuhubungi. Kata Lini kau tidak membawa ponsel. Ke mana sebenarnya kau semalam?”Sutra mendekat, kepalanya tertunduk takzim. “Mohon maaf, Nyonya. Semalam saya—“ Sutra menggantung kalimatnya. Gadis itu mencoba untuk menc







