LOGINLangkah kaki Sutra mendadak limbung saat menelusuri koridor rumah sakit. Tidak pernah berharap jika pada akhirnya perjalanan hidupnya dengan Zatulini akan berubah seperti saat ini. Saat dirinya tahu jika seorang dokter mengatakan padanya kalau dirinya diberi obat agar amnesia yang diderita semakin berlarut, wanita itu masih dapat menerima. Dia berpikir jika Zatulini melakukan semua itu karena tidak ingin kehilangan dirinya. Namun, beberapa menit lalu, wanita paruh baya itu seperti tengah membuka topeng yang selama bertahun-tahun tertutup rapat. Beberapa saat kemudian, tangis itu pecah di keheningan lorong panjang. Sutra terduduk di atas lantai dengan bersandar, sebelah tangannya menekan area dadanya yang terasa begitu sesak dan menghimpit. Kenapa kenyataan itu sebegitu menyakitkan? Jauh dalam lubuk hatinya, dia tetap berharap jika Zatulini adalah sosok peri pelindung serta penyelamat hidupnya. Tak ingin berlama-lama menangis meratapi kepiluan, Sutra segera beranjak, lalu
“Andai ibunya masih ada, mungkin aku yang akan menghabisi nyawanya, Bi.” Kata-kata Kama penuh dengan penekanan. Seolah ingin memberitahu Zatulini jika dirinya bisa berbuat lebih jahat daripada dirinya. Zatulini tersenyum hambar. “Bagaimana keadaanmu? Kenapa wajahmu mendadak pucat?” Zatulini menggeleng cepat. “T-tidak, Tuan. Aku baik-baik saja,” jawabnya sedikit terbata. “Kau tidak ingin bertemu dengan kedua cucu kembarmu? Mereka begitu lucu.” Zatulini mengangguk. “Sangat ingin sekali, tapi … dokter mengatakan jika aku harus istirahat seminggu lagi di sini.” Kama mengangguk sebagai isyarat paham. “Aku menunggumu agar cepat pulih. Sutra sangat merindukanmu.” Zatulini berusaha memberanikan diri untuk menatap kedua netra Kama. Seolah di sana ada sesuatu yang tersimpan. Sebuah kemarah yang mungkin akan segera meledak. Zatulini dapat merasakan hal itu. Namun, wanita itu berkeyakinan jika kemarahan yang tengah dipendam oleh putra satu-satunya keluarga Deodola tersebut bukan
Kama melangkah ke arah kamar Zatulini tepat di pukul sepuluh malam. Kali ini, dia sengaja datang tanpa didampingi oleh Sutra. Pintu kamar terbuka sedikit, dia pu mengintip dari ujung pintu. Dilihatnya Zatulini sedang tertidur pulas. Kama melangkah masuk. “Bibi, kau tidur?” Sapanya basa basi di tengah tidurnya Zatulini. Zatulini segera membuka mata, mengerjap sedikit karena kaget. “Tu-Tuan Muda. Kau ke sini tengah malam begini?” Kama mengangguk dengan senyum smirknya. “Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?” Kama merangsek kursi untuk segera ia duduki. Lalu, pria itu tampak bersedekap dada. Zatulini bingung, karena sebelum ini Kama tidak pernah bersikap seperti saat ini. Sikapnya kali ini susah untuk dihartikan. Sehingga membuat wanita paruh baya itu canggung. Zatulini mengangguk. “S-sudah lumayan baik dari pada sebelumnya.” “Bagus. Kuharap kau segera pulih agar bisa secepatnya pulang dan aku bisa bertanya banyak hal dengan leluasa terhadap dirimu.” Mendengar per
“Katakan padanya jika saat ini kau sedang tidak enak badan! Cepat!” titah Kama berbisik di cuping telinga Selena sambil terus menjambak rambutnya. Hingga wanita itu tampak mendongak. “Aku sedang sakit, Bu. Nanti akan kuhubungi kau lagi,” katanya lirih. “Selena, kau sakit? Sakit apa?” tanya Zatulini. Suaranya terdengar sedikit panik. Klik. Kama memutus panggilan begitu saja. Pria itu yakin, jika saat ini wanita paruh baya yang ternyata lebih dari ular berbisa jtu sedang bingung memikirkan Selena. “Jadi … kau tahu tentang keluarga Sutra?” tanya Kama dengan nada dingin. Selena menggeleng. Demi Tuhan, gadis itu memang tidak tahu menahu siapa keluarga Sutra. Hanya saja Zatulini pernah bercerita padanya jika wanita paruh baya itu sedang berupaya mengalihkan harta warisan kedua orang tua Sutra kepadanya. Usut-punya usut, katanya Sutra datang dari golongan berada. “Aku tidak tahu, ibu hanya bercerita kalau harta waris Sutra banyak dan dia berusaha mengalihkan harta itu kepadaku. Tap
Kama menatap Zatulini dengan tatapan yang susah untuk dihartikan, membuat mantan pelayan di kediaman keluarga Deodola tersebut tampak salah tingkah. “Tuan Muda, kau mengunjungiku?” tanyanya bingung. Kama mengulas senyum samar sambil mengangguk. “Tuan Muda yang selalu menjagamu sejak kau koma, Bu,” timpal Sutra sambil menangkup wajah Zatulini. “Sebaiknya kau istirahat saja dulu. Kata dokter, kau tidak boleh terlalu banyak bergerak dan banyak berfikir dulu. Karena keadaanmu belum sepenuhnya stabil,” sambung Sutra. Setelah mengunjungi Zatulini, Kama dan Sutra berjalan beriringan di koridor rumah sakit. Hening. Hanya terdengar derap langkah sepatu mereka yang saling berkejaran. “Kenapa kau tidak jujur pada Zatulini jika kau memiliki anak dariku?” Tiba-tiba Kama bersuara tanpa menoleh sedikit pun ke arah Sutra yang berjalan di sampingnya. Sutra mengulas senyum tanpa sepengetahuan Kama. “Apa kau masih menginginkan pengakuan itu?” Tiba-tiba langkahnya terhenti. “Apa maksud
“Sebentar saja. Kita sudah lama tidak melakukannya. Paling juga baru masuk, sudah keluar.” rayu Kama. Rayuan itu menelusup masuk, meremangkan bulu-bulu tubuh Sutra. Namun, baru saja permainan panas itu hendak menuju puncak. Tiba-tiba telepon Sutra berdering. Sontak wanita itu tersadar lalu mendorong tubuh Kama hingga pria itu sedikit terpental. “Rumah sakit?” Kedua alisnya tampak mengerut saat membaca nama yang tertera di layar ponsel. “Hallo.” “Nyonya Sutra, ibu Anda sudah sadar dari komanya.” Sutra mendadak meraih rok yang sempat terjatuh di atas lantai. “Ada apa?” tanya Kama penasaran. “Ikut denganku!” Sutra segera meraih pergelangan tangan Kama saat selesai memakai rok pensil. Kama yang bahkan tidak mengenakan celana itu tampak bingung. “Hei, sebentar. Kita belum menuntaskan permainan. Sudah diujung.” Pria itu kembali menarik pinggang Sutra. Namun, wanita itu segera melepas pelukan Kama. “Tidak ada waktu untuk bermain-main, Tuan. Bukankah kau ingin mencari bukti agar b







