로그인“Apa maksudmu?” tanya Kama bingung. “Jika Selena putrimu, lantas … siapa Sutra? Kenapa kau tadi juga mengatakan padaku jika kau tidak mengenal Selena?”Zatulini tidak lantas menjawab. Wanita paruh baya itu merasa jika dirinya telah begitu banyak bicara, dan tidak seharusnya dia mengatakan siapa Selena kepada Kama. Menurutnya, itu terlalu tergesa. Namun, segalanya sudah terjadi. Kini, dia harus mencari alasan agar Kama percaya jika Sutra bukanlah wanita baik-baik. “Tadi aku takut untuk berkata jujur oadamu. Tapi, bukankah kau sudah berjanji padaku jika kau akan menikahi Selena? Jadi … kurasa tidak ada yang perlu lagi aku sembunyikan darimu, Tuan. Mengenai siapa Sutra, dia bukan siapa-siapa. Hanya anak dari seorang Pelacur yang lahir tanpa seorang ayah. Sama persis seperti kedua anaknya saat ini.” Wajahnya tampak mengejek saat menyebut jika bayi Nala dan Nathan tidak memiliki seorang ayah. Sungguh, Kama terlihat seperti sedang menahan kemarahan yang berlebihan. Napasanya seketika me
Satu minggu berselang, Zatulini sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dengan wajah yanh masih tampak pucat, wanita itu keluar dari dalam taksi. Sejurus kemudian, tatapannya tertuju pada seseorang di seberang jalan. Itu adalah Kama, pria itu kemudian berjalan ke arah Zatulini berdiri. “Bagaimana kabarmu, Bibi?” tanyanya dengan mengulas senyum. “Tuan Muda, kenapa kau ada di sini.” “Tentu saja, karena aku ingin mengunjungimu.” “Ayo, mari kita ke rumah.” Zatulini kemudian merentangkqn tangannya untuk mengaja Kama berjalan menuju rumah. “Sutra pergi dari rumah,” ujar Zatulini tiba-tiba saat mereka sampai di ambang pintu. “Kenapa?” “Entahlah. Anak itu memang susah diatur.”Seketika Kama menyunggingkan senyum samar. “Tuan, kau mau minum apa?” tawar Zatulini. “Tidak perlu. Aku ke sini untuk menanyakan sesuatu terhadap dirimu.”“Sesuatu? Tentang apa?”“Kau pernah menunjukkan sebuah berkas padaku, tapi tidak jadi. Sekadang aku ingin tahu apa isi dalam berkas itu.”“Berka
Langkah kaki Sutra mendadak limbung saat menelusuri koridor rumah sakit. Tidak pernah berharap jika pada akhirnya perjalanan hidupnya dengan Zatulini akan berubah seperti saat ini. Saat dirinya tahu jika seorang dokter mengatakan padanya kalau dirinya diberi obat agar amnesia yang diderita semakin berlarut, wanita itu masih dapat menerima. Dia berpikir jika Zatulini melakukan semua itu karena tidak ingin kehilangan dirinya. Namun, beberapa menit lalu, wanita paruh baya itu seperti tengah membuka topeng yang selama bertahun-tahun tertutup rapat. Beberapa saat kemudian, tangis itu pecah di keheningan lorong panjang. Sutra terduduk di atas lantai dengan bersandar, sebelah tangannya menekan area dadanya yang terasa begitu sesak dan menghimpit. Kenapa kenyataan itu sebegitu menyakitkan? Jauh dalam lubuk hatinya, dia tetap berharap jika Zatulini adalah sosok peri pelindung serta penyelamat hidupnya. Tak ingin berlama-lama menangis meratapi kepiluan, Sutra segera beranjak, lalu
“Andai ibunya masih ada, mungkin aku yang akan menghabisi nyawanya, Bi.” Kata-kata Kama penuh dengan penekanan. Seolah ingin memberitahu Zatulini jika dirinya bisa berbuat lebih jahat daripada dirinya. Zatulini tersenyum hambar. “Bagaimana keadaanmu? Kenapa wajahmu mendadak pucat?” Zatulini menggeleng cepat. “T-tidak, Tuan. Aku baik-baik saja,” jawabnya sedikit terbata. “Kau tidak ingin bertemu dengan kedua cucu kembarmu? Mereka begitu lucu.” Zatulini mengangguk. “Sangat ingin sekali, tapi … dokter mengatakan jika aku harus istirahat seminggu lagi di sini.” Kama mengangguk sebagai isyarat paham. “Aku menunggumu agar cepat pulih. Sutra sangat merindukanmu.” Zatulini berusaha memberanikan diri untuk menatap kedua netra Kama. Seolah di sana ada sesuatu yang tersimpan. Sebuah kemarah yang mungkin akan segera meledak. Zatulini dapat merasakan hal itu. Namun, wanita itu berkeyakinan jika kemarahan yang tengah dipendam oleh putra satu-satunya keluarga Deodola tersebut bukan
Kama melangkah ke arah kamar Zatulini tepat di pukul sepuluh malam. Kali ini, dia sengaja datang tanpa didampingi oleh Sutra. Pintu kamar terbuka sedikit, dia pu mengintip dari ujung pintu. Dilihatnya Zatulini sedang tertidur pulas. Kama melangkah masuk. “Bibi, kau tidur?” Sapanya basa basi di tengah tidurnya Zatulini. Zatulini segera membuka mata, mengerjap sedikit karena kaget. “Tu-Tuan Muda. Kau ke sini tengah malam begini?” Kama mengangguk dengan senyum smirknya. “Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?” Kama merangsek kursi untuk segera ia duduki. Lalu, pria itu tampak bersedekap dada. Zatulini bingung, karena sebelum ini Kama tidak pernah bersikap seperti saat ini. Sikapnya kali ini susah untuk dihartikan. Sehingga membuat wanita paruh baya itu canggung. Zatulini mengangguk. “S-sudah lumayan baik dari pada sebelumnya.” “Bagus. Kuharap kau segera pulih agar bisa secepatnya pulang dan aku bisa bertanya banyak hal dengan leluasa terhadap dirimu.” Mendengar per
“Katakan padanya jika saat ini kau sedang tidak enak badan! Cepat!” titah Kama berbisik di cuping telinga Selena sambil terus menjambak rambutnya. Hingga wanita itu tampak mendongak. “Aku sedang sakit, Bu. Nanti akan kuhubungi kau lagi,” katanya lirih. “Selena, kau sakit? Sakit apa?” tanya Zatulini. Suaranya terdengar sedikit panik. Klik. Kama memutus panggilan begitu saja. Pria itu yakin, jika saat ini wanita paruh baya yang ternyata lebih dari ular berbisa jtu sedang bingung memikirkan Selena. “Jadi … kau tahu tentang keluarga Sutra?” tanya Kama dengan nada dingin. Selena menggeleng. Demi Tuhan, gadis itu memang tidak tahu menahu siapa keluarga Sutra. Hanya saja Zatulini pernah bercerita padanya jika wanita paruh baya itu sedang berupaya mengalihkan harta warisan kedua orang tua Sutra kepadanya. Usut-punya usut, katanya Sutra datang dari golongan berada. “Aku tidak tahu, ibu hanya bercerita kalau harta waris Sutra banyak dan dia berusaha mengalihkan harta itu kepadaku. Tap







