“Saya ke luar dulu, Bu, Bude, Nita.”
“Iya, Mbak.” Hanya Nita yang menjawab. Ibu mertuaku masih larut dalam isaknya. Beliau tak mengatakan apa-apa. Mungkin, masih terpukul dengan kejadian yang menimpa anak kebanggaannya itu. Lagi-lagi, aku hanya bisa beristighfar dalam dalam hati. Bahkan dalam keadaan begini pun, Ibu masih menunjukkan rasa tidak sukanya padaku.
Kami semua membisu, larut dalam pikiran masing-mengejutkan. Bagaimana tidak terkejut? Ternyata, Satya hanya dipercaya menempati rumah yang diakui sebagai miliknya itu. Sekarang, tidak ada yang tahu di mana keberadaan pemuda yang juga mengaku memiliki bisnis properti itu. Nomor Hanum diblokir oleh Satya, begitu juga semua anggota keluarga Hanum yang menyimpan nomornya. “Mas, udah tanya sama ketua RT setempat?” Semua mata beralih menatapku. “Maaf, biasanya kan, ketua RT atau RW, punya data penduduk. Mungkin, dari situ, kita tahu dari mana Satya berasal.” Mas Faisal dan Dika saling pandang, lalu menggeleng bersamaan. “Ya ampun, saking bingungnya, kita nggak kepikiran begitu,”
“Dek, kata Ibu, kamu seharian tadi nggak ke rumah Ibu?” tanya Mas Faisal saat aku sedang membereskan pakaian yang belum disetrika. Rupanya Ibu mertua sudah mengadu pada anak lelakinya. Aku menoleh ke arah Mas Faisal. “ Kalo aku nggak ke rumah Ibu, terus yang nyiapin makanan buat sarapan sama makan siapa? Yang bantu Hanum ke kamar mandi tadi pagi, siapa? Hantu?” Tadi pagi, aku memang sempat pura-pura tidak mendengar panggilan dari Hanum. Tetapi, setelah dipikir-pikir, aku tidak tega membiarkan Hanum ke kamar mandi sendiri. Takutnya anak manja itu malah buang air di kamar yang pastinya akan membuatku semakin repot.
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 15 Sebenarnya, aku malas mengikuti ajakan Mas Faisal untuk menemui Satya. Selain malas bertemu dengan Ibu, permintaan Satya juga menurutku sangat tidak masuk akal. Yang lebih mencengangkan, ternyata Satya tidak datang sendirian. Ia datang bersama seorang wanita yang diperkenalkan sebagai istrinya. Tentu saja, pengakuan Satya membuat kami semua terkejut. Tetapi, yang membuatku lebih terkejut lagi, adalah reaksi Hanum yang terlihat biasa-biasa saja. “Apa, kamu sudah tahu kalo Satya punya istri, Num?” tanya Mas Faisal. Hanum mengangguk ragu-ragu. Jawaban Hanum membuatku terkejut. Begitu juga Nita dan Hana. Kami bertiga saling pandang lalu menggeleng tak percaya. “Dari pertama kenal, Hanum udah tahu kalo saya ini punya istri, kok.” Lagi-lagi, penuturan Satya membuat kami ternganga tak percaya. Sed
Sekarang, di sinilah kami. Di ruang tengah rumahku. Zaenal, Dika, Hana, dan Nita, akan menginap di rumah Ibu. Tetapi, mereka semua memilih berkumpul di sini. Selain melepas kangen, mereka juga membahas masalah rencana pernikahan Hanum. Hanum tetap bersikeras menggelar resepsi, dan yang membuat kami tak habis pikir, Ibu mendukung keinginan putri bungsunya itu. “Nit, coba pelan-pelan, kamu ajak ngomong Hanum dan Ibu. Mungkin, kalo kamu yang ngomong, mereka bakal dengerin,” pinta Zaenal. “Iya, Mbak. Coba Mbak Nita yang ngasih tau ke mereka. Saya udah nyerah, ah. Ibu sama Hanum sama-sama keras kepala. Kalo maunya gitu, ya, harus gi
Hujan deras mengguyur bumi sejak siang, dan belum ada tanda-tanda akan reda. Padahal, sudah dua jam berlalu. Untungnya, butiran air membawa rahmat itu, turun setelah jam istirahat anak sekolah usai. Jadi, barang daganganku habis terjual tanpa sisa.“Dek, kamu nggak ada niat nyari karyawan, gitu?” tanya Mas Faisal sambil membetulkan letak selimut di tubuh Arkan.“Pengen, sih, Mas. Apalagi, sekarang makin banyak yang minta delivery. Agak keteteran juga, Mas. Aku sampai menyetop orderan di atas jam satu siang. Padahal, sayang ya, Mas. Takutnya, mereka kecewa dan cari penjual lain. kemarin, aku lihat di alun-alun ada yang jualan kayak aku juga.”“Maaf, ya, Dek. Uang tabungan yang mau dipakai beli sepeda motor buatmu, malah terpakai b
Ketukan di pintu kamar memaksaku bangun dari tempat tidur. Terdengar suara Wak Acih dan Mas Faisal memanggil namaku. Kubuka pintu perlahan. Tampak mereka berdua berdiri di ambang pintu dengan raut wajah khawatir. Sejak bertengkar dengan Ibu, aku memang memilih diam di kamar. “Ada apa, Wak? Mas?” Mas Faisal dan Wak Acih saling pandang. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Wak Acih. Seingatku, Wak Acih adalah salah satu kerabat Ibu yang selalu bersikap baik padaku. Entah karena kami jarang bertemu atau memang aslinya baik. Tetapi, memang sejak dulu, wanita yang suka mengunyah daun sirih itu selalu ramah padaku.
Kami Bukan Benalu, Bu. Bab 19 “Sebenernya, Ibu maunya apa?” tanya Mas Faisal dengan suara serak. Ibu mengangkat dagu seperti yang biasa ia lakukan saat marah. “Nggak mau apa-apa. Emang dasar istrimu aja yang cengeng dan senengn ngadu! Nggak diapa-apain nangis. Mungkin dia seneng, ada Mbak Acih dan Mbak Darmi yang selalu belain dia. Jadi, sengaja ambil kesempatan buat jatuhin ibu. Biar Ibu kelihatan jahat!” “Ningsih! Stop! Nggak usah diterusin! Tanpa Arum mengadu pun, kami sudah tahu apa yang terjadi. Kami lebih paham sifat kamu!” bentak Wak Darmi. “Bawa ibumu pulang, Fais!” Mas Faisal pun membujuk Ibu agar mau ke luar dari rumah ini. Ibu tampak menepis tangan anak sulungnya itu, saat akan dibimbing menuju pintu. “Lepasin! Ibu bisa sendiri! Urus saja istrimu yang tukang ngadu itu!” Ibu per
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 20Setibanya di klinik, Arkan langsung ditangani oleh dokter yang sedang bertugas. Untungnya, klinik sedang tidak ramai. Jadi Arkan langsung mendapat pertolongan. Menurut dokter, luka Arkan tidak terlalu dalam, dan mendapat tiga jahitan. Akan tetapi, masalah belum selesai, aku bingung bagaimana harus membayar tagihan klinik. Karena panik, aku sampai lupa tidak membawa dompet. “Kenapa, Mbak?” tanya Rizki yang ternyata menunggu di teras klinik. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Anu, Ki, saya lupa nggak bawa dompet sama HP. Mm, maaf, bisa minta tolong sekali lagi nggak?”