Nampan di tanganku jatuh ke lantai, menimbulkan suara keras hingga membuat Ibu mertua berteriak. Pandanganku masih terpaku ke layar televisi. Kak Afrizal sedang menjadi bintang tamu di sebuah acara televisi sebagai perwakilan WterSun Group.
Orang yang sampai detik ini masih ada di hati meski aku sudah memiliki suami, walaupun rasa kecewe menggunung tetap tidak tidak mengurangi rasa cinta untuknya. Dia adalah satu-satunya orang yang memperlakukan diriku dengan baik.Plak!Mas Malik memukul belakang kepalaku hingga aku terhuyung ke depan. Hampir jatuh jika saja tidak meraih meja."Kamu ini tidak dengar ibu teriak?"Aku jongkok dan menaruh lututku di lantai untuk mengambil nampan, susah payah berdiri dengan kehamilan yang semakin berat."Maaf, Mas.""Dasar istri nggak guna," dengusnya sembari berlalu.Cheril berlari ke arahku setelah Mas Malik pergi, di tangan kecilnya ada kain lap. Selama ini Cheril tidak boleh bermain, setiap hari harus bantu beres-beres. Jika tidak maka kami tidak boleh makan.Meski tahu bahwa keluarga ini seperti iblis, kejam kepada kami. Masih saja aku sedikit berharap semua akan berubah setelah bayi ini lahir. Jika keadaan tidak membaik setelah bayi ini lahir maka aku memilih pergi."Ibu nggak papa?""Nggak papa, Sayang."Wajah kurang terawat, pipinya kotor, rambutnya hanya dikucir asal menggunakan karet gelang bekas ikat kangkung. Padahal ayahnya adalah orang sukses, pasti bisa memberikan Cheril kehidupan yang lebih baik.Aku ke dapur, membereskan meja setelah ibu selesai makan. Lalu mengambil nasi untuk Cheril makan beserta lauknya, ada sisaan ceker ayam. Meski begitu mata Cheril terlihat berbinar, karena biasanya kalau masak ayam tak tersisa sedikitpun dan hanya makan kuahnya."Ayo sini makan.""He.em," jawab bocah itu sembari menyingkirkan anak rambut yang menghalanginya ke samping.Dia duduk di kursi, makan malam dengan lahap. Gigi kecil itu mencari daging di antara tulang ceker. Begitupun dia terlihat bahagia hingga membuatku tersenyum.Andai Kak Afrizal tahu punya anak, apakah dia akan membelikan Cheril daging hingga tidak kurus kering seperti ini?"Bu, kata Cila lebalan banyak jajan. Nanti Elil boleh makan jajan lebalan kan, Bu?"Zila adalah anak Mbak Tara, ponakan Mas Malik. Umurnya baru 5 tahun. Sudah masuk TK. Sering dititipkan di sini. Walaupun mereka hampir seumuran, ibu mertua melarang Zila bermain dengan Cheril. Katanya Cheril anak haram nanti ketularan sial."Cheril ingin makan apa?""Elil ingin makan permen lolipop," jawabnya.Ini pertama kalinya dia menginginkan sesuatu, bulan puasa tinggal beberapa seminggu lagi. Dia harus menunggu lebaran untuk sebuah permen. Hatiku miris.Mungkin aku sulit membelikan permen lollipop, tapi ketika berkunjung ke rumah tetangga untuk silaturahmi. Pasti ada permen. Aku pun mengangguk sembari tersenyum, pasti bisa memberikan Cheril permen lollipop."Cheril pasti bisa makan permen lollipop saat lebaran nanti."Tangan kecil itu belepotan, masih mencari daging padahal ceker itu tinggal tulang. Terus menjilati seperti tidak ingin berhenti. Kaki kecilnya bergoyang.Aku sudah selesai memasukkan nasi ke rice cooker, mengambil sedikit dan ditaruh di piring. Makan bersama Cheril dengan nasi dan sayur lodeh. Mengambil kuah ayam yang seharusnya dibuang. Masih aku sisakan sedikit siapa tahu nanti malam lapar. Bisa dimakan pakai nasi."Bu, kata Cila. Neneknya yang di Metlo lebalan nanti Dateng ke lumah. Olang-olang yang pelgi jauh lebalan nanti pulang. Kalau Ayah Elil dateng juga nggak, Bu?"Pertanyaan polos itu membuat hatiku terasa terkoyak, ayahnya saja tidak tahu bahwa dia ada. Bagaimana mungkin Cheril masih menunggu kedatangan Kak Afrizal?"Bu, Ayah Elil nanti pulang nggak?"Selama ini Mas Malik tidak mau dipanggil Ayah oleh Cheril, apalagi Ibu mertua selalu bilang bahwa Ayah Cheril kabur dan tidak peduli pada kami.Cheril paham bahwa Mas Malik bukanlah ayahnya, dia masih menunggu kedatangan ayah kandungnya. Sering juga bertanya ayahnya orang yang seperti apa? Kenapa Cheril tidak pernah bertemu? Ayah di mana? Apa ayah tidak sayang Cheril?Semua pertanyaan itu selalu aku jawab dengan kebohongan, tidak tega mengatakan bahwa ayahnya pergi setelah memperkosa ibunya. Tidak peduli lagi dengan ibunya bahkan tidak tahu bahwa dia telah lahir."Cheril ingin ketemu ayah?"Kepala kecil itu mengangguk dengan pasti, antusias dengan pertanyaanku. Mungkin aku harus mencoba menghubungi Kak Afrizal. Mempertemukan ayah dan anak. Sekarang aku sudah tahu keberadaan Kak Afrizal, aku percaya dia orang baik. Pasti tidak akan menelantarkan anaknya."Cheril mau nggak tinggal sama Ayah? Nanti kalau dedek di perut Ibu sudah lahir, Ibu akan jemput Cheril."Anak itu diam, matanya menunjukkan keraguan. Lebaran tahun ini aku ingin Cheril bisa merasakan kebersamaan dengan ayahnya. Tidak seperti diriku yang selalu sendirian.Kemungkinan besar bayiku akan lahir sebelum lebaran, semoga lebaran tahun ini Mas Malik dan Ibu mertua akan memperlakukan aku dengan baik, lalu bisa mengambil Cheril kembali dalam keadaan keluarga yang tidak seperti sekarang."Ibu janji jemput Elil, 'kan?""Tentu, Ibu nggak akan ninggalin Cheril. Bulan puasa ini Cheril sama Ayah ya? Katanya Cheril kangen ayah.""Elil ingin ketemu Ayah dan makan makanan enak di hali lebalan."Bocah itu mengangguk, bisa aku tebak bahwa dia sangat merindukan ayahnya. Setiap melihat Zila digendong ayahnya, wajah Cheril selalu sedih. Dia iri. Ingin digendong dan dicintai ayahnya juga.Malam harinya aku bicara dengan Mas Malik, menyinggung soal baju lebaran tahun kemarin, Cheril tidak dibelikan dan memakai pakaian lusuh sampai orang-orang menghakimi. Saat itu Mas Malik sangat malu dan marah besar."Kalau lebaran ini Cheril sama ayahnya, Mas nggak perlu repot-repot ngeluarin uang buat Cheril.""Emang ayahnya di mana?""Di Jakarta, kerja di sana.""Kerja apa? Ah, nggak usah kasih tahu sudah bisa aku tebak pasti jadi pesuruh. OB? Kuli bangunan? Atau pemulung?"Aku tidak boleh mengatakan pekerjaan Kak Afrizal, takut Mas Malik memoroti atau memanfaatkan Cheril demi keuntungan dirinya."Memangnya kenapa kalau Ayahnya Cheril cuma OB? Itu kan halal."Mas Malik mengibaskan tangan, berjalan ke lemari. Mengganti baju. Tidak peduli dengan kalimat sok bijakku."Hari rabu Bang Anton ke Jakarta. Kamu sama anak itu bisa nebeng. Awas kalau kamu macem-macem di Jakarta.""Makasih, Mas. Aku kemasi barang-barang Cheril dari sekarang.""Kemasi semua barangnya, tidak balik lagi juga nggak masalah. Dasar anak haram."Perkataannya sangat menyakitkan, hatiku tersayat setiap mendengar Cheril dikatai anak haram. Padahal Mas Malik dan Ibu mertua hampir setiap hari mengatakan hal itu. Aku tetap tidak terbiasa.Aku segera memasukkan baju-baju Cheril ke tas ransel, hanya baju lusuh bekas Zila. Itu pun sudah aku pilihkan baju yang kelihatan masih bagus.Semoga ramadhan tahun ini Cheril bisa bahagia bersama ayahnya.Aku mengusap rambut Cheril, dia sedang memeluk foto Kak Afrizal yang aku sobek dari koran. Ketika melihat wajah ayahnya untuk pertama kali, bocah kecil itu langsung berbinar. Katanya tidak sabar bertemu ayah. Sobekan koran itu didekap erat, seperti kerinduan yang terus bertumpuk melebihi diriku. Aku penasaran dengan sikap Kak Afrizal nanti, pasti dia terkejut. Atau... tidak menerima Cheril.Senyum menghiasi wajah Cheril dalam tidurnya, pasti sedang bermimpi indah. Aku mendekap erat. Besok sebelum subuh kami akan ke Jakarta dan berpisah selama sebulan lebih. Debaran jantung kurasakan, setelah hampir 5 tahun akhirnya aku dan Kak Afrizal akan bertemu kembali. Ingatan tentang masa lalu terbayang, kupikir kami akan menjadi pasangan. Perhatian yang dia tunjukkan, kasih sayang yang dia berikan dan segala hal yang kami lalui bersama. Ternyata kami tidak jodoh meski perasaan ini belum pudar sedikitpun. Sekarang aku sudah memiliki suami dan tengah mengandung anak Mas Malik. Mana bisa merindu
Pintu lift terbuka, Rizal dan karyawan lain keluar menuju lobby. Gedung WterSun Group sangat tinggi dan luas, megah dari depan. Suatu kebanggaan bisa menjadi bagian dari WterSun Group. Dulu, Rizal ingin menjadi karyawan karena harus menjaga Yuno seperti janjinya. Tak disangka sekarang dia sangat bangga memiliki tanda pengenal karyawan WterSun Group yang tercantel di leher. Fotonya terpajang dengan senyum merekah, foto yang tidak dia ganti sejak berumur 22 tahun. Dari mulai karyawan magang, lalu menjadi karyawan tetap, setelah Yuno lulus S2 dan menjadi direktur di bagian WterSun food. Afrizal langsung menjadi sekretaris pribadi. Satu tahun kemudian Yuno menjadi presiden direktur, jabatannya pun ikut naik. Selalu di samping Yuno dan mengatasi semua masalah bersama. Terkadang juga menjadi juru bicara mewakili Yuno. "Husna, ngapain ke sini?" Gumamnya. Di ujung sana, dia melihat istri Yuno. Orang yang dia hormati setelah Yuno. Beberapa waktu lalu terjadi kecelakaan hingga mengakibatkan
Langit sore menampilkan awan jingga, angin mengalir ringan menerpa rambut Hana ketika berbalik pergi meninggalkan dirinya. Wanita yang masih ada di dalam hati itu akan pergi kepada suaminya, tidak akan pergi bisa dia gapai sekalipun mencoba bersudut minta maaf. "Lebaran nanti aku cuma pingin bakar ayam bareng kakak. Trus main kembang api." Ungkapnya dulu, lebaran pertama yang mereka lalui. Rizal mengusap pucuk kepala Hana dengan lebut, mencondongkan tubuhnya menyeimbangkan wajah mereka. Lalu tersenyum."Aku akan membelikan kamu baju lebaran.""Nggak usahlah, Kak. Mending uangnya disimpen atau nggak buat beli makanan.""Itu udah aku siapin, pokoknya aku ingin membelikan baju lebaran buat kamu. Hijab yang cantik dan mukena.""Mukena kayak seperangkat alat shalat aja. Hahaha."Kalimat yang disangka candaan oleh Hana itu ternyata Rizal sungguh memberikan seperangkat alat shalat. Suatu hari nanti dia ingin menghalalkan Hana menjadi istri. Itu yang ada di pikiran Rizal.Lebaran yang merek
Hembusan angin menerpa wajahku, desirannya lembut dan ringan. Rasa dingin menyerang dari samping, aku merekatkan jaket. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Setelah muatan pisang diturunkan dan mendapat bayaran, kami pulang ke Lampung. Lampu Jakarta menyala terang seolah aktifitas terus berjalan meskipun tengah malam. Ingatanku terus tertuju pada kejadian tadi sore, Kak Afrizal tidak mengenaliku. Mungkin, dia memang sudah melupakan aku. Dada ini terasa nyeri, hampir 5 tahun berlalu sejak terakhir bertemu. Dia juga sudah sukses, pasti banyak wanita yang mendekati. Jadi untuk apa mengingat orang sepertiku? Tentu saja dia lupa. Bodohnya aku berharap dia masih ingat kenangan kita. "Cheril sudah ketemu Ayahnya, Han?" "Udah, Bang.""Apa ayahnya nerima dia?"Aku tidak tahu apakah Kak Afrizal akan menerima Cheril atau tidak, kalau pria itu belum berubah maka Cheril akan tetap diperlukan dengan baik. Jika tidak... bagaimana? "Aku cuma bisa berdoa, semoga ayahnya nerima Cheril setidak
Kapal sudah di depan mata, tanpa Cheril di sisiku rasanya sangat hening dan kosong. Padahal, dulu aku tidak menginginkan anak itu ada di dunia. Menyalahkan Tuhan, kenapa aku malah diberi anak yang tidak diinginkan?Akibat hamil dan tidak ingin menggugurkan kandungan, aku keluar dari kampus. Sepenuhnya bekerja untuk tabungan melahirkan. Paman dan bibi marah habis-habisan, menamparku dengan keras. Mengataiku pelacur dan anak tidak berguna. Aku menanggung semuanya tanpa menyebutkan nama Kak Afrizal sedikitpun. Percuma, kalau tahu diperkosa pun tidak ada guna. Malah menjadi aib bayiku. "Kamu istirahat saja di dalam, biar Abang yang bayarin." Bang Anton orang yang pengertian, tahu aku sangat lelah dengan kehamilan besar. Menyuruh istirahat di dalam dengan nyaman. Ada karpet dengan bantal di sana meski berbayar. "Nggak papa, Bang. Aku di luar saja." Padahal hanya 15 ribu, sebenarnya uangku masih utuh 20 ribu. Niatnya untuk membelikan Bang Anton rokok. Aku sudah menumpang tanpa membelik
Wajah balita itu tampak berbinar melihat makanan yang Rizal hidangkan. Duduk di kursi meja makan dengan kaki yang terus bergerak. Senyuman merekah setiap Rizal membuka bungkusan dan menaruh di piring. Sendok dan garpu sudah berada di tangan Cheril, cuci tangan pun juga sudah. Perutnya yang lapar semakin berselera karena mencium aroma enak dari daging. Sesekali Cheril melirik ayahnya, orang yang sangat dia rindukan. Ia jadi ingat rasa iri setiap melihat Zila digendong ayahnya. "Kamu itu aib keluarga, dasar anak haram." Ucap Ayah Zila saat menggendong Zila menuju motor. Sampai sekarang Cheril tidak tahu apa arti kata anak haram. Semua anggota keluarga Malik menjuluki dirinya anak haram dan pembawa sial. "Cila, anak halam itu apa? Nenek, om Alik, ibumu cama ayahmu ilang Elil anak halam." Cheril bertanya sembari mengelap meja, sebisanya asal tidak berdebu kata ibu. Sementara Zila mainan boneka Barbie sembari duduk di sofa. "Anak halam itu nggak punya ayah, nggak pelnah digendong Ay
Jarum jam terus berdetak, sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Cheril sudah tidak kuat makan lagi. Buah anggur itu disingkirkan, tinggal separuh. "Elil kenyang, Yah.""Kalau kenyang ya sudah, jangan dimakan lagi. Tunggu setengah jam habis itu mandi." TV dinyalakan, di putar channel Donal bebek. Cheril menonton TV dengan antusias, duduk si sofa yang empuk dengan lampu menyala terang. Sementara itu Rizal pergi ke ruang kerja, mengecek email dari Yuno hasil dari rapat di Singapura. Harus segera diproses. Dari pintu yang tidak ditutup, Cheril berdiri. Tidak berani meminta meski sudah hampir jam sembilan malam. Dia mengantuk, ingin tidur. Tapi badannya lengket dan belum mandi."Yah...." Anak itu memanggil dengan lirih.Rizal menoleh ke jam dinding, tidak sadar sudah malam. Terbiasa hidup sendiri dia lupa bahwa sekarang ada Cheril yang harus diurus. "Ya ampun, lupa." Berkas yang berserakan di meja ditinggal, dia beranjak menghampiri bocah yang matanya sudah mengantuk tersebut.
Rapat berjalan normal, tidak ada yang aneh. Rizal mencatat hal penting selama rapat. Proyek pembangunan apartemen di daerah Bekasi, Yuno jelaskan dengan rinci. Lalu melimpahkan tugas ke beberapa orang mumpuni yang bisa menjalankan dengan baik. Hari itu semua berjalan lancar, mereka istirahat untuk shalat jumat. Berkali-kali Rizal melihat ke ponselnya. Penyelidikan tentang Hana dan Cheril belum juga ada hasil. Katanya, Dimas sedang berusaha. Minimal hari senin besok datanya akan lengkap. Setelah shalat jumat, Rizal berjalan beriringan dengan Yuno menuju kantor. Di belakang dan depan ada beberapa pengawal, penjagaan Presdir WterSun Group sangatlah ketat. "Kudenger ibumu minta dijenguk?" tanya Yuno, dia mengancingkan kemejanya. Langit cerah dengan awan putih, udara panas menyengat mereka rasakan ketika sedang berjalan. Menambah volume keringat membasahi kemeja."Aku tidak akan datang. Membiayai rumah sakit dan menjamin hidupnya itu sudah cukup."Seorang ibu yang meninggalkannya ketik