Beranda / Rumah Tangga / Kami Tanpa Kamu / 4. Perjalanan Pertama Cheril

Share

4. Perjalanan Pertama Cheril

Penulis: Ka Umay
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-20 14:20:33

Aku mengusap rambut Cheril, dia sedang memeluk foto Kak Afrizal yang aku sobek dari koran. Ketika melihat wajah ayahnya untuk pertama kali, bocah kecil itu langsung berbinar. Katanya tidak sabar bertemu ayah.

Sobekan koran itu didekap erat, seperti kerinduan yang terus bertumpuk melebihi diriku. Aku penasaran dengan sikap Kak Afrizal nanti, pasti dia terkejut. Atau... tidak menerima Cheril.

Senyum menghiasi wajah Cheril dalam tidurnya, pasti sedang bermimpi indah. Aku mendekap erat. Besok sebelum subuh kami akan ke Jakarta dan berpisah selama sebulan lebih.

Debaran jantung kurasakan, setelah hampir 5 tahun akhirnya aku dan Kak Afrizal akan bertemu kembali. Ingatan tentang masa lalu terbayang, kupikir kami akan menjadi pasangan. Perhatian yang dia tunjukkan, kasih sayang yang dia berikan dan segala hal yang kami lalui bersama.

Ternyata kami tidak jodoh meski perasaan ini belum pudar sedikitpun. Sekarang aku sudah memiliki suami dan tengah mengandung anak Mas Malik. Mana bisa merindukan dan mencintai pria lain. Harus lupakan dan tutup semua celah yang membuatku berdosa. Cukup dosa di masa lalu yang menjadi aib ku. Jangan ada lagi.

Sebelum pagi menjelang, Bang Anton sudah menghampiri kami dengan mobil pick up berisi muatan pisang untuk dijual ke Jakarta.

"Mas, kasihlah uang jajan. Nanti di jalan kami makan apa?"

Aku mengulurkan tangan, meminta setidaknya uang untuk jaga-jaga jika terjadi sesuatu di jalan.

"Kamu ini ngerepotin banget, masih untung aku cariin tebengan ke Jakarta. Kalau naik trevel dua orang bisa habis 600 ribu. Jangan manja, bawa bekal aja dari rumah."

"Mas, aku ini sedang hamil. Gimana kalau terjadi sesuatu dan nggak bawa uang?"

"Yaudah kalau gitu nggak usah pergi, gitu aja kok repot."

Mas Malik menampik tanganku, berlalu ke ruang tengah dan menyalakan televisi.

Cheril melihat kami dari balik tembok, sesekali mengintip. Mungkin takut kalau kami tidak jadi ke Jakarta dan bertemu ayahnya. Pada akhirnya aku hanya membawa uang dua puluh ribu sisa belanja. Juga bekal dari rumah, nasi dan lauk seadanya.

Dari awal aku bilang ke Bang Anton bahwa aku tidak bisa memberikan uang bensin, bersyukur beliau sangat pengertian.

"Aku tahu gimana suamimu, sudah paham pelitnya kayak apa. Sudahlah, aku ikhlas nolong Cheril biar ketemu ayahnya. Ayo naik."

"Makasih banyak, Bang."

Aku segera menaikkan Cheril ke mobil pick up. Melalui jalan raya lintas Sumatra, meninggalkan kota Bandar Lampung menuju pelabuhan Bakauheni yang terletak di Lampung Selatan.

Ini adalah perjalan pertama Cheril, dia terlihat gembira melihat pemandangan gunung yang menjulang. Sempat tertidur selama satu jam di jalan dan terbangun ketika sudah sampai pelabuhan.

Aku mengusap perutku yang agak nyeri, ibu hamil perjalanan jauh seperti ini sembari menjaga Cheril lumayan sulit. Tapi aku pun senang menikmati suasana baru dan berhenti sejenak dari kepenatan rumah.

"Itu apa, Bu?" tanyanya.

"Itu kapal, nanti kita naik ke sana."

"Wah, bagus ya Bu."

Aku mengusap rambutnya, kunciran karet kulepaskan. Membiarkan rambutnya terurai. Wajahnya penuh senyum dan semangat.

Sesekali aku melirik Bang Anton, beliau adalah sepupu Mas Malik. Tidak seperti Mas Malik, Bang Anton jauh lebih pengertian dan peka. Padahal beliau perokok tapi sepanjang perjalanan tidak menyalakan asap rokok karena ada kami.

Mobil sampai di pelabuhan Bakauheni, menunggu antrian masuk ke dalam kapal. Berjejer dengan mobil lainnya.

"Bu, nanti kalau udah ketemu Ayah. Ayah nyuapin Elil kayak itu nggak?" tanya Cheril sembari menunjuk ke mobil samping.

Mobil Fortuner mewah yang kacanya dibuka, menampakkan pengemudi yang sedang menyuapi balita seumuran Cheril dipangku seorang wanita.

Tangan Cheril menempel kaca, melihat dengan antusias keluarga lengkap dan harmonis di dalam mobil.

"Cheril kan bisa makan sendiri, jangan manja sama ayah. Jangan ngerepotin ayah dan jangan nakal."

"Kalau Elil nakal nanti ayah nggak suka Elil dan ninggalin Elil lagi ya, Bu?"

Aku bingung kenapa setiap pertanyaan Cheril terasa menyayat hati. Mulutku terasa kelu untuk menjawabnya.

"Nggak ada orang yang suka sama anak nakal," celetuk Bang Anton.

Cheril menoleh ke Bang Anton, pria itu fokus mengegas mobil pelan dan menunggu giliran masuk kapal. Tinggal tiga mobil lagi di depan kami.

"Elil nggak bakal nakal kok, nanti Elil baik nggak buat Ayah lepot. Elil kan nggak mau ditinggal lagi."

"Iya, Cheril anak baik. Ibu percaya. Nanti baik-baik ya sama Ayah."

Aku mengusap rambutnya dengan lembut, bocah itu menoleh ke belakang dan mengangguk. Setuju dengan perintahku.

Mobil yang kami naiki masuk ke dalam kapal, jantungku semakin berdebar. Sebentar lagi bertemu Kak Afrizal setelah 5 tahun berlalu. Perasaan yang seharusnya tidak boleh ada. Aku sudah punya suami, bisa jadi Kak Afrizal juga sudah punya pacar. Semoga pacar Kak Afrizal mau menerima Cheril.

Sesampainya di kapal, kami turun. Tidak masuk ke ruang istirahat karena harus membayar 15 ribu perorang. Alhasil hanya bisa duduk di emperan. Sementara Mas Anton ke tempat karaoke bersama temannya.

Aku membuka bekal, makan bersama Cheril dengan lahab. Meskipun hanya nasi putih dan tempe goreng, Cheril terlihat senang.

"Kenyang nggak?" tanyaku.

Cheril mengangguk.

"Mau minum, Bu."

Aku segera mengambil aqua besar yang aku isi dari rumah, memberikan ke Cheril. Dia menyibak rambut yang menghalanginya. Ingin aku ikat rambutnya itu, tapi tidak memiliki ikat rambut bagus dan hanya karet gelang. Tidak enak nanti dilihat Kak Afrizal.

Tapi pada akhirnya aku mengikat rambut Cheril, kasihan kalau dia merasa tidak nyaman seperti itu.

"Kalau udah selesai sini senderan di tembok."

Cheril bergeser, menurut seperti yang aku bilang. Segera tanganku membereskan bekal kami. Masih sisa untuk dua kali makan.

"Bagus ya, Bu?" Tanya Cheril sembari menunjuk lautan.

"Iya, bagus."

Perjalanan kapal selama dua jam, aku menahan kantuk dengan susah payah. Sementara Cheril tertidur dengan meletakkan kepalanya di pahaku. Tubuh kecil itu tertidur di lantai dingin beralaskan koran yang aku bawa dari rumah. Jika menyewa karpet harganya mahal, aku tidak punya uang.

Pengumuman bahwa kapal sudah sampai merak terdengar, aku segera membangunkan Cheril dan kami menuju ke parkiran. Di sana sudah ditunggu Bang Anton, menyuruh kami segera naik.

"Hana cepet dikit," suruhnya.

"Iya, Bang."

Aku segera menaikkan Cheril, mesin mobil sudah dinyalakan. Kami turun dari kapal dan melaju menuju Jakarta.

Berangkat subuh dan sampai di Jakarta sore hari, aku segera meminta diantar ke gedung WterSun Group. Takut kalau Kak Afrizal sudah pulang, aku tidak tahu di mana rumahnya.

"Tunggu bentar ya Bang."

"Iya, Cepat."

Aku menggandeng Cheril menuju gedung WterSun Group, tapi tidak menemukan Kak Afrizal dan malah diarahkan ke mushola. Katanya sedang solat di sana. Sudah kuduga bahwa Kak Afrizal masih jadi orang baik, dia pasti bisa menjadi ayah yang baik untuk Cheril.

Dengan berjalan kaki aku dan Cheril mencari mushola yang dimaksud. Mataku melihat Mas Afrizal sedang mengobrol dengan seorang perempuan berhijab. Sangat cantik dan elegan. Apakah itu pacarnya?

"Itu Ayah, Bu!" Cheril menarik tanganku.

Dia langsung bisa mengenali ayahnya padahal belum pernah bertemu. Kami berjalan cepat menuju ke arah mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mbak Lina
nangis terus bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kami Tanpa Kamu    105. Tamat

    Wajah pria di hadapanku banyak berubah, tak ada sorot arogan seperti dulu. Tatapan merendahkan pun menghilang ntah ke mana. Aku ingat pakaian yang dia kenakan hari ini, dipakai untuk menikahiku 9 tahun yang lalu. Warnanya sudah sedikit memudar. "Tolong jangan libatkan Ramaniya, aku akan menerima segala kemarahanmu," ujar Mas Malik. Aku melihat betapa Mas Malik menyayangi Ramaniya, dari dulu memang ia peduli dengan anaknya. Selalu semangat setiap USG. Mas Malik membenciku, tapi tidak dengan Ramaniya. Dia memperlakukan Ramaniya selayaknya anak yang sangat berharga. "Aku akan membawa Ramaniya ke lantai atas, di sana ada Husna." Kak Afrizal mengangkat Ramaniya ke dalam gendongan, membawa anak itu menjauh dari kami. Aku tak menyangka sedikitpun Kak Afrizal mengkhianatiku seperti ini. Padahal berulang kali aku bilang tidak akan memberitahu Ramaniya tentang Mas Malik. Ternyata di belakang, Kak Afrizal malah berkomplot dengan Mas Malik, tatapanku tajam melihat Kak Afrizal naik tangga. "J

  • Kami Tanpa Kamu    104. Kenyataan Ramaniya

    Mata Ramaniya melihat tangga, menunggu Rizal yang tak kunjung kembali. Matanya beralih ke pesanan Rizal yang sudah mulai dingin."Ayahku ke mana ya, kok lama banget?" tanya Ramaniya, terlihat gelisah karena ayahnya tak kunjung kembali. "Mungkin dia lagi ngomongin kerjaan, nanti juga balik." "Ayah nggak pernah ninggalin Niya lama kayak gini." Anak itu terlihat khawatir.Dari kecil Rizal memperlakukan Ramaniya dengan baik, tentu menerima orang baru sebagai ayah adalah hal yang sulit. Dulu, Cheril juga sangat ingin diperlakukan baik olehnya. Tapi tak pernah sekalipun ia berbaik hati menerima Cheril. Saat Cheril bertemu ayah kandungnya, ia langsung lengket karena sebelumnya tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah. Jauh berbeda dengan Ramaniya yang sejak kecil dilimpahi kasih sayang seorang ayah yang luar biasa seperti Rizal. "Mas Malik?" Mendengar panggilan itu Malik langsung menoleh, ada Hana yang menatapnya terkejut. Sementara Hana tak menyangka bertemu Malik di sini, ia h

  • Kami Tanpa Kamu    103. Bando Nia

    Mereka berjalan beriringan menuju restoran Husna yang terletak tak jauh dari sana, ingin rasanya digandeng oleh Ramaniya sama seperti Rizal. Tapi apa daya, sekarang yang Ramaniya tahu Rizal ayahnya, bukan dia. Malik menjadi sangat serakah saat bertemu Ramaniya, padahal dia tahu bahwa ia tidak boleh minta lebih. Rizal mengizinkannya bertemu Ramaniya saja, seharusnya dia sudah bersyukur. Sesampainya di sana, mereka segera memesan. Ramaniya terlihat santai tanpa curiga apapun, tertawa bersama Rizal ketika mengingat adiknya suka ayam goreng dan berniat membawakan untuk oleh-oleh. "Dek Harzan juga suka yang ada kriuknya," kata Ramaniya. "Siapa Harzan?" tanya Malik. Rizal segera menjawab, "anak ketigaku. Adiknya Cheril dan Ramaniya." Ah, ternyata Rizal dan Hana sudah punya anak lagi. Dari cara Rizal memperkenalkan, sepertinya tidak membedakan antara Ramaniya dan kedua anak kandungnya. Namun tetap saja, dia ingin Ramaniya diakui anak olehnya. Menyebut Ramaniya sebagai putrinya adalah

  • Kami Tanpa Kamu    102. Bertemu Nia

    Hari kamis Malik pergi ke kantor damkar, bertemu teman lama. Ia menggunakan koneksi dan predikat jasa untuk kembali ke tim. "Usiaku memang nggak semuda dulu, tapi aku masih sangat kuat, wali kota saja mengakui kemampuanku. Jadi tolong pertimbangan aku kembali ke tim." Kepala kantor yang dulu satu tim dengannya itu terlihat berpikir. Melihat dari kaki sampai kepala Malik, badan Malik tinggi besar, cocok jadi pemadam kebakaran, hanya saja usianya yang jadi masalah. "Kami memang membutuhkan orang, biar kami diskusikan dulu." "Aku tunggu kabar baiknya," kata Malik bersemangat."Iya, sudah lama nggak ketemu kita ngobrol di dalam."Malik mengangguk, dia berjalan melewati mobil pemadam kebakaran, dulu dia sangat bersemangat ketika menyelamatkan orang, dia peduli dengan orang lain dan sangat ramah. Ntah apa yang membuatnya menjadi jahat, mungkin karena keinginannya punya anak tidak terwujud, lalu Ratih sering marah-marah, ibu terus menuntut uang belanja lebih dan beberapa faktor lainnya.

  • Kami Tanpa Kamu    101. Rumah Malik

    Rumah yang dulu diisi dengan keceriaan sudah lama ditinggalkan, rumput ilalang memenuhi halaman, atapnya sudah banyak yang bocor, catnya dimakan usia, gerbangnya berkarat. Malik melangkahkan kaki ke teras, sangat kotor. Dulu dia memakai sepatu di sini, Cheril akan berlari mendekat. Anak itu menggelayut ingin digendong, tapi ia malah mendorongnya menjauh sembari mengucapkan kalimat kasar. Delapan tahun, waktu yang sangat lama untuknya, tapi bagi Hana dan Cheril mungkin baru kemarin, luka yang ia torehkan pada keduanya tidak mudah dihapus oleh waktu. "Seharusnya dulu aku memperlakukan kalian dengan baik," gumam Malik. Dia melangkah masuk, membuka pintu. Tikus berkeliaran disertai kecoa. Pasti butuh waktu lama untuk memperbaiki semua ini. Belum lagi rumah Tara dan Ihsan yang juga menjadi tanggung jawabnya. Setelah menemui Ramaniya, Malik berniat membawa ibu dan Zila, keluarganya kembali ke Bandar Lampung. Tapi sebelum itu ia harus memiliki pekerjaan dan membereskan rumah ini dulu. T

  • Kami Tanpa Kamu    100. Nazir

    Setelah menikah dengan Kak Afrizal, kehidupanku berubah drastis, aku menjadi ibu sosialita, berkumpul dengan istri teman kantornya Kak Afrizal, arisan bersama wali murid teman sekolahnya Cheril dan aku juga kuliah online hingga memiliki pengetahuan yang sama seperti mereka. Aku tidak pernah lagi kesusahan uang dan dipermalukan seperti saat di Lampung, aku juga tidak pernah berhubungan dengan keluarga Bibi lagi. Hingga, sekarang ada Nazir di depanku, sepupu ku, anaknya Bibi yang bekerja di Jakarta dan aku abaikan selama beberapa tahun ini. "Kalau punya suami kaya, seharusnya kamu bisa bantu aku naik pangkat. Bukannya menikmati semua kemewahan sendirian, kamu sangat tidak tahu tidak tahu terima kasih." Nazir menyeringai, aku memutar bola mata jengah. Memangnya satpam bisa naik pangkat menjadi apa? Polisi? Heran. Terlebih dia juga tidak bekerja di WterSun Group. Lebih heran lagi dia bisa menemukan keberadaanku, ternyata dia pindah bekerja tak jauh dari restoran milik Husna. Aku tida

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status