Share

4. Perjalanan Pertama Cheril

Aku mengusap rambut Cheril, dia sedang memeluk foto Kak Afrizal yang aku sobek dari koran. Ketika melihat wajah ayahnya untuk pertama kali, bocah kecil itu langsung berbinar. Katanya tidak sabar bertemu ayah.

Sobekan koran itu didekap erat, seperti kerinduan yang terus bertumpuk melebihi diriku. Aku penasaran dengan sikap Kak Afrizal nanti, pasti dia terkejut. Atau... tidak menerima Cheril.

Senyum menghiasi wajah Cheril dalam tidurnya, pasti sedang bermimpi indah. Aku mendekap erat. Besok sebelum subuh kami akan ke Jakarta dan berpisah selama sebulan lebih.

Debaran jantung kurasakan, setelah hampir 5 tahun akhirnya aku dan Kak Afrizal akan bertemu kembali. Ingatan tentang masa lalu terbayang, kupikir kami akan menjadi pasangan. Perhatian yang dia tunjukkan, kasih sayang yang dia berikan dan segala hal yang kami lalui bersama.

Ternyata kami tidak jodoh meski perasaan ini belum pudar sedikitpun. Sekarang aku sudah memiliki suami dan tengah mengandung anak Mas Malik. Mana bisa merindukan dan mencintai pria lain. Harus lupakan dan tutup semua celah yang membuatku berdosa. Cukup dosa di masa lalu yang menjadi aib ku. Jangan ada lagi.

Sebelum pagi menjelang, Bang Anton sudah menghampiri kami dengan mobil pick up berisi muatan pisang untuk dijual ke Jakarta.

"Mas, kasihlah uang jajan. Nanti di jalan kami makan apa?"

Aku mengulurkan tangan, meminta setidaknya uang untuk jaga-jaga jika terjadi sesuatu di jalan.

"Kamu ini ngerepotin banget, masih untung aku cariin tebengan ke Jakarta. Kalau naik trevel dua orang bisa habis 600 ribu. Jangan manja, bawa bekal aja dari rumah."

"Mas, aku ini sedang hamil. Gimana kalau terjadi sesuatu dan nggak bawa uang?"

"Yaudah kalau gitu nggak usah pergi, gitu aja kok repot."

Mas Malik menampik tanganku, berlalu ke ruang tengah dan menyalakan televisi.

Cheril melihat kami dari balik tembok, sesekali mengintip. Mungkin takut kalau kami tidak jadi ke Jakarta dan bertemu ayahnya. Pada akhirnya aku hanya membawa uang dua puluh ribu sisa belanja. Juga bekal dari rumah, nasi dan lauk seadanya.

Dari awal aku bilang ke Bang Anton bahwa aku tidak bisa memberikan uang bensin, bersyukur beliau sangat pengertian.

"Aku tahu gimana suamimu, sudah paham pelitnya kayak apa. Sudahlah, aku ikhlas nolong Cheril biar ketemu ayahnya. Ayo naik."

"Makasih banyak, Bang."

Aku segera menaikkan Cheril ke mobil pick up. Melalui jalan raya lintas Sumatra, meninggalkan kota Bandar Lampung menuju pelabuhan Bakauheni yang terletak di Lampung Selatan.

Ini adalah perjalan pertama Cheril, dia terlihat gembira melihat pemandangan gunung yang menjulang. Sempat tertidur selama satu jam di jalan dan terbangun ketika sudah sampai pelabuhan.

Aku mengusap perutku yang agak nyeri, ibu hamil perjalanan jauh seperti ini sembari menjaga Cheril lumayan sulit. Tapi aku pun senang menikmati suasana baru dan berhenti sejenak dari kepenatan rumah.

"Itu apa, Bu?" tanyanya.

"Itu kapal, nanti kita naik ke sana."

"Wah, bagus ya Bu."

Aku mengusap rambutnya, kunciran karet kulepaskan. Membiarkan rambutnya terurai. Wajahnya penuh senyum dan semangat.

Sesekali aku melirik Bang Anton, beliau adalah sepupu Mas Malik. Tidak seperti Mas Malik, Bang Anton jauh lebih pengertian dan peka. Padahal beliau perokok tapi sepanjang perjalanan tidak menyalakan asap rokok karena ada kami.

Mobil sampai di pelabuhan Bakauheni, menunggu antrian masuk ke dalam kapal. Berjejer dengan mobil lainnya.

"Bu, nanti kalau udah ketemu Ayah. Ayah nyuapin Elil kayak itu nggak?" tanya Cheril sembari menunjuk ke mobil samping.

Mobil Fortuner mewah yang kacanya dibuka, menampakkan pengemudi yang sedang menyuapi balita seumuran Cheril dipangku seorang wanita.

Tangan Cheril menempel kaca, melihat dengan antusias keluarga lengkap dan harmonis di dalam mobil.

"Cheril kan bisa makan sendiri, jangan manja sama ayah. Jangan ngerepotin ayah dan jangan nakal."

"Kalau Elil nakal nanti ayah nggak suka Elil dan ninggalin Elil lagi ya, Bu?"

Aku bingung kenapa setiap pertanyaan Cheril terasa menyayat hati. Mulutku terasa kelu untuk menjawabnya.

"Nggak ada orang yang suka sama anak nakal," celetuk Bang Anton.

Cheril menoleh ke Bang Anton, pria itu fokus mengegas mobil pelan dan menunggu giliran masuk kapal. Tinggal tiga mobil lagi di depan kami.

"Elil nggak bakal nakal kok, nanti Elil baik nggak buat Ayah lepot. Elil kan nggak mau ditinggal lagi."

"Iya, Cheril anak baik. Ibu percaya. Nanti baik-baik ya sama Ayah."

Aku mengusap rambutnya dengan lembut, bocah itu menoleh ke belakang dan mengangguk. Setuju dengan perintahku.

Mobil yang kami naiki masuk ke dalam kapal, jantungku semakin berdebar. Sebentar lagi bertemu Kak Afrizal setelah 5 tahun berlalu. Perasaan yang seharusnya tidak boleh ada. Aku sudah punya suami, bisa jadi Kak Afrizal juga sudah punya pacar. Semoga pacar Kak Afrizal mau menerima Cheril.

Sesampainya di kapal, kami turun. Tidak masuk ke ruang istirahat karena harus membayar 15 ribu perorang. Alhasil hanya bisa duduk di emperan. Sementara Mas Anton ke tempat karaoke bersama temannya.

Aku membuka bekal, makan bersama Cheril dengan lahab. Meskipun hanya nasi putih dan tempe goreng, Cheril terlihat senang.

"Kenyang nggak?" tanyaku.

Cheril mengangguk.

"Mau minum, Bu."

Aku segera mengambil aqua besar yang aku isi dari rumah, memberikan ke Cheril. Dia menyibak rambut yang menghalanginya. Ingin aku ikat rambutnya itu, tapi tidak memiliki ikat rambut bagus dan hanya karet gelang. Tidak enak nanti dilihat Kak Afrizal.

Tapi pada akhirnya aku mengikat rambut Cheril, kasihan kalau dia merasa tidak nyaman seperti itu.

"Kalau udah selesai sini senderan di tembok."

Cheril bergeser, menurut seperti yang aku bilang. Segera tanganku membereskan bekal kami. Masih sisa untuk dua kali makan.

"Bagus ya, Bu?" Tanya Cheril sembari menunjuk lautan.

"Iya, bagus."

Perjalanan kapal selama dua jam, aku menahan kantuk dengan susah payah. Sementara Cheril tertidur dengan meletakkan kepalanya di pahaku. Tubuh kecil itu tertidur di lantai dingin beralaskan koran yang aku bawa dari rumah. Jika menyewa karpet harganya mahal, aku tidak punya uang.

Pengumuman bahwa kapal sudah sampai merak terdengar, aku segera membangunkan Cheril dan kami menuju ke parkiran. Di sana sudah ditunggu Bang Anton, menyuruh kami segera naik.

"Hana cepet dikit," suruhnya.

"Iya, Bang."

Aku segera menaikkan Cheril, mesin mobil sudah dinyalakan. Kami turun dari kapal dan melaju menuju Jakarta.

Berangkat subuh dan sampai di Jakarta sore hari, aku segera meminta diantar ke gedung WterSun Group. Takut kalau Kak Afrizal sudah pulang, aku tidak tahu di mana rumahnya.

"Tunggu bentar ya Bang."

"Iya, Cepat."

Aku menggandeng Cheril menuju gedung WterSun Group, tapi tidak menemukan Kak Afrizal dan malah diarahkan ke mushola. Katanya sedang solat di sana. Sudah kuduga bahwa Kak Afrizal masih jadi orang baik, dia pasti bisa menjadi ayah yang baik untuk Cheril.

Dengan berjalan kaki aku dan Cheril mencari mushola yang dimaksud. Mataku melihat Mas Afrizal sedang mengobrol dengan seorang perempuan berhijab. Sangat cantik dan elegan. Apakah itu pacarnya?

"Itu Ayah, Bu!" Cheril menarik tanganku.

Dia langsung bisa mengenali ayahnya padahal belum pernah bertemu. Kami berjalan cepat menuju ke arah mereka.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mbak Lina
nangis terus bacanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status