Share

Bab 6 kamu datang, Mas!

"Apa tidak ada cara lain Dok? Kasihan dia msih sangat kecil!" jawab Tia dengan berlinangan air mata. Tia enggak tega jika harus menyiksa anaknya.

"Tidak ada Bu! Ya, sudah saya berikan waktu untuk Ibu berfikir sejenak baik buruknya, tapi jangan lama-lama karena kami tidak tahu seberapa lama Dek Raffa akan bertahan,"tegas dokter Ryan

"Ba-baiklah Dok saya setuju," dengan sangat terpaksa Tia menyetujuinya

"Kalau begitu silahkan tanda tangani surat persetujuan pemasangan alat ventilator!"

Tia pun menandatangani surat tersebut.

"Maafin Ibu ya Nak, Ibu terpaksa biar Raffa cepat sembuh." Tia memeluk tubuh anaknya seakan-akan anak itu akan pergi jauh darinya.

Lagi-lagi Tia harus mendengar jeritan kesakitan sang anak saat pemasangan alat ventilator tersebut, Raffa sudah dibius total tapi tubuhnya masih tetap bisa merasakan sakitnya alat itu. Bisa dibayangkan bagaimana jika tidak dibius.

Setelah pemasangan alat tersebut, Raffa dibawa keruang kaca yang tertutup tirai rapat. Tidak ada celah sedikitpun untuk melihat keadaan didalam. Di pintu ruang tertulis PICU. Ya, disinilah tubuh Raffa dirawat.

Tia duduk sendirian didepan ruang PICU, dia menunduk sambil memainkan jari tangannya pikirannya melayang entah kemana dan tes ..., air matanya jatuh menetes ditangannya.

Kali ini Tia benar-benar merasa kesepian, kalau biasanya dia bisa tidur dengan memeluk tubuh anaknya tpi sekarang tidak, bahkan untuk bertemu pun ada waktunya.

"Assalamualaikum Bu, disana ada ruang tunggu buat orang tua yang anaknya dirawat di ruang PICU," ucap seorang Ibu yang tiba-tiba duduk di samping Tia.

"Wa'alaikumsalam ... Iya Bu maksih sudah memberi tahu saya,"

"Oh ya, kenalin saya Ibu Ani!" Ibu ani mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.

"Saya Tia, Bu!" Tia menerima uluran tangan dri ibu Ani.

"Yuk, kita ngobrol disana saja bawa semua barang-barang mu." Ajak ibu Ani seraya berdiri.

Tia pun mengikuti ajakan ibu Ani

" Kalau boleh tau, kenapa ibu Ani berada disini?" Tanya Tia.

"Anak saya juga dirawat diruang PICU. Anak saya jatuh dari sepeda, kepalanya terbentur sehingga ada pendarahan di otaknya. Tiga hari yang lalu baru selesai operasi tapi kondisinya menurun sekarang dia koma, Bu," tutur bu Ani merasa sedih mengingat kondisi anaknya.

"Kalau anak ibu Tia kenapa kok dirawat di ruang PICU?"

"Anak saya pneumonia Bu, dia sesak nafas makanya dirawat disana,"

Jadilah mereka bertukar cerita dan pengalaman hidup selama anak mereka dirumah sakit.

Berbincang-bincang dengan bu Ani sedikit mengurangi beban di hati Tia.

Dia tidak lagi menangisi sang anak sekarang lebih fokus dan mendoakan agar sang anak cepat sembuh.

"Boleh saja kita sedih, tapi jangan berlarut-larut. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak akan membuat anak kita sembuh tapi malah memperburuk keadaan karena sang anak bisa merasakan apa yang dirasakan Ibunya. Apalagi anak Ibu masih ASI ikatan batinnya sangat kuat, apa Ibu gak kasihan? Dia sudah berjuang untuk hidup malah terbebani karena ibunya menangis terus!" begitu pesan dari ibu Ani yang membuat hati Tia seperti disentil dan merasa bersalah pada anaknya.

Sejak saat itu Tia berjanji pada dirinya akan lebih kuat.

Setiap 2jam sekali Tia mengirim ASInya buat sang anak. Kini dia lebih bersemangat membaca Al-Qur'an dan bersholawat berharap anaknya mendapatkan syafaat dari sang Rosul.

Dari kejauhan samar-samar Tia melihat sosok yang dia kenal. Sosok yang sudah sebulan belakangan dia temui.

"Dokter... Kenapa Dokter ada disini?"

Ya, dokter Danu laki-laki yang sudah merawat Raffa di rumah sakit sebelumnya.

"Selamat siang Bu!" Ucap dokter Danu sambil mengulurkan tangan kanannya mengajak salaman.

Tia yang masih dalam mode kebingungan jadi gelagapan.

"Eh ... i-iya Dok selamat siang! Dokter kenapa bisa berada disini?" Tanya Tia lagi.

"Saya juga bertugas di rumah sakit ini Bu, itulah sebabnya mengapa saya merekomendasikan agar Dek Raffa dirujuk ke rumah sakit ini, supaya saya bisa memantau perkembangan Dek Raffa secara langsung," ujar dokter Danu

"Terimakasih banyak Dok, Dokter sudah banyak membantu anak saya!"

" Itu sudah tugas saya sebagai seorang Dokter Bu, Ibu gak perlu berterimakasih. Kalau begitu saya permisi dulu ya Bu,saya mau ngecek keadaan Dek Raffa hari ini!" pamitnya

Tia kembali duduk didepan ruang PICU, dia berusaha mengintip dari sela-sela gorden, tapi sama sekali tidak dapat melihat keadaan didalam. ia sudah tidak sabar ingin tau kondisi anaknya didalam.

Tak berapa lama Dokter Danu pun keluar dari ruangan itu dengan terburu-buru Tia berdiri.

"Bagaimana keadaan anak saya Dok?"

"Belum ada perkembangan, Bu! Ibu berdo'a saja semoga Dek Raffa segera menunjukan perkembangan yang baik,"

"Amiinnn ...."

"Kapan saya boleh melihat anak saya, Dok?

"Ibu boleh kok melihat anak Ibu. Tinggal pencet bel ini saja tapi di waktu-waktu tertentu nanti bisa Ibu tanyakan ke Mbak perawatnya,"

"Baik Dok,"

"Kalau begitu saya permisi dulu ya, Bu!"

"Iya, terimakasih banyak Dok!"

Dengan semangat empat lima Tia memencet bel yang terpasang di pintu ruang PICU.

Krettt! Suara pintu dibuka dari dalam.

"Ya Bu, ada yang bisa kami bantu?" Tanya mbak perawat.

"Mbak apa saya bisa melihat anak saya sekarang?"

"Anak Ibu namanya siapa?"

" Raffa Syaputra mbak umur enam bulan,"

"Oh sudah bisa Bu, silahkan masuk tapi cuci tangan dulu terus pake baju yang sudah kami sediakan disana, ya! Oh ya, Bu sendalnya juga dilepas, ya!" perintahnya

"Baik mbak," jawab Tia

"Sudah siap Bu?"

"Sudah mbak!"

"Kalau begitu ayo saya antar ke bed nya Dek Raffa!"

Setelah sampai di bednya Raffa, betapa terkejutnya Tia melihat keadaan putranya. Posisi mata terpejam di lubang hidung sebelah kanan terpasang selang makan. Di mulutnya terpasang selang yang lumayan besar sehingga hampir menutupi rongga mulutnya yang kecil. Di dadanya ada empat kabel tertempel yang Tia tidak tahu itu fungsinya apa? Ditangan kanannya ada selang infus. Di jari telunjuknya terdapat jepitan seperti jepitan jemuran. Tubuh kecil itu seakan-akan tertutupi dengan alat-alat medis. Disebelah tempat tidurnya ada monitor yang beberapa detik sekali mengeluarkan suara tit ... tit ... tit ....

Perlahan Tia mendekat kearah tubuh kecil yang tergeletak tidak berdaya itu. Disentuhnya tangan mungil anaknya.

"Assalamualaikum ... Sayang ini Ibu! Ibu datang Nak, berjuanglah sayang do'a Ibu selalu menyertaimu."

Sebisa mungkin Tia menahan air matanya agar tidak jatuh.

"Nak, Ibu kangen! Ibu kangen senyum tawamu! Ibu kangen tingkah lucu mu! Ibu mohon ... cepat lah pulih biar alat-alat ini bisa dilepas, kita bisa sama-sama lagi. Hiks ...." Akhirnya bendungan itu jebol juga secepat mungkin Tia menutup mulutnya dengan tangan, dia tidak mau anaknya mendengar tangisannya.

Karena tidak bisa menahan tangisnya Tia memutuskan keluar dari ruang PICU.

"Dek, Ibu keluar dulu ya ... Cepat sehat Ibu ada diluar nungguin Dedek!"

Tia pun berdiri dan berjalan dengan langkah gontai kearah pintu. Saat tangannya menyentuh gagang pintu dia berbalik melihat kearah sang anak. Tia menghirup nafas dalam-dalam untuk meredakan rasa sesak dalam dadanya.

Ceklekk! Tia membuka pintu dan melangkah keluar. Dia memilih duduk didepan ruang PICU sambil menundukkan kepalanya.

"Tia .... "

Merasa ada yang memanggilnya Tia pun mendongakkan kepalanya.

"Kamu datang ,mas?"

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status