"Hah?!" Aku cukup terkejut dengan perkataan Rini.
Apa dia bilang? Kenapa dia bisa tahu?
Aku langsung mengedarkan pandangan. Jangan sampai Mas Reno dan Mamanya itu tau. Ah, tapi kalau Rini tau, mereka juga pasti tau.
"Gak perlu khawatir," kata Rini menatap mataku, dia seolah tau apa yang sedang aku khawatirkan.
"Aku gak ngerti apa yang kamu bicarain," kataku sambil beranjak. Setidaknya jangan sampai aku mengatakan sesuatu yang bisa membocorkan rahasia kami.
"Mbak gak perlu takut gitu." Dia menahan lenganku. Membuat langkahku terhenti.
Apa, sih, mau dia?
Apa dia mau menguras hartaku lagi agar menutup mulutnya itu? Sungguh, aku paling malas dengan manusia semacam Rini.
"Duduk lagi, Mbak. Atau aku telepon Kak Reno."
Baiklah. Aku kembali duduk di kursi.
"Dari mana kamu dapat fotonya?" tanya Kafka penasaran. Dia tidak terlalu terkejut, tapi kelihatan sekali sedang penasaran."Dari mana dapatnya gak perlu ditanya. Pasti kalian penasaran sama pria ini, kan?"Kami mengangguk. Menatap Rini."Oke. Jangan curigain aku dulu. Karena seperti yang aku bilang ke Mbak Nina. Aku ada di pihak kalian. Jadi, tenang aja.""Semenjak kapan?" tanya Kafka penasaran."Sejak aku disuruh bekerja di tempat ini. Mbak Nina tau aku hamil, yaudah. Aku udha di pihak Mbak Nina saat itu. Aku herusaha bantu tanpa diketahui oleh Mama dan Kak Reno. Tapi ternyata sulit." Dia tertawa, seolah sedang mentertawakan kehidupannya sendiri."Oke. Percaya. Jadi, menurut kamu siapa pria itu?"Rini mengangkat bahu. "Yang pasti bukan Kak Reno atau Mama. Hanya saja, kalau ada keterlibatan mereka, aku gak tau sama sekali."Benar dugaan kami. Itu bukan Mas Reno.
"Kafka juga gak tau, sih. Kalau dia ngaku baru tau."Aku menepuk dahi, menatap Kafka frustasi. Anak ini benar-benar membuat emosiku sedikit naik turun.Jasad bayiku sudah dibawa menuju ke tempat autopsi berlangsung. Kami menunggu saja di sini, hendak ikut, tapi kata Fajar tidak perlu."Masa agak boleh ikut?" tanya Kafka tidak terima."Bisa saja." Fajar menatapku sambil menghela napas."Oke. Kita ke rumah sakit. Sambil menunggu hasil autopsi."Akhirnya. Aku menganggukkan kepala. Kami masuk ke dalam mobil."Jadi, pria misterius itu bukan Mas Reno? Terus siapa? Pokoknya kita harus selidiki dia juga.""Kan kita emang lagi selidikin dia, Mbak. Awalnya kita kira si Reno itu, tapi kayaknya bukan. Mukanya gak meyakinkan."Aku menghela napas pelan, memperbaiki posisi duduk. Sedikit kesal, siapa sebenarnya pria misterius itu?"Coba Mbak tanya si Rini itu.
"Itu benar-benar hasil yang mengejutkan, sih. Gak nyangka, tapi sesuai banget." Aku menatap Kafka dan Bang Tirta bergantian."Benar dugaan kita. Memang ada unsur kesengajaan. Entah pil apa itu." Bang Tirta terlihat marah-marah.Sementara kedua pengacara itu diam saja. Aku mengembuskan napas berkali-kali, berusaha menenangkan diri sendiri."Pria misterius itu. Siapa pun dia, kita harus mencarinya."Aku menganggukkan kepala. Dia harus dihukum berat, meskipun aku belum tahu siapa pria misterius itu sebenarnya.Kami sampai di halaman depan rumah sakit. Aku menyalami kedua pengacara itu. "Makasih sekali lagi untuk waktunya, Pak. Kami bakalan bingung bagaimana caranya membalas budi untuk Bapak.""Ah, gak masalah itu, Bu.""Iya. Kami ikhlas. Apalagi ini misi yang besar, membela untuk bayi yang dicurangi. Tentu saja kami rela, Nin." Fajar tersenyum padaku.Ah, dia sangat bai
"Hah?! Serius?" tanyaku dengan nada gemetar.Mbak Lina meninggal? Aku menelan ludah berkali-kali. Masih kurang percaya dengan perkataan suaminya Mbak Lina."Iya, serius. Saya juga kaget banget. Maaf baru bisa ngabarin. Sebenarnya udah satu jam yang lalu, tapi memang belum dikuburin. Mau diautopsi.""Yaudah. Nina ke sana sekarang. Makasih infonya, Bang."Aku mematikan telepon, menoleh ke Bang Tirta dan Kafka yang menatapku."Kenapa?" tanya Bang Tirta penasaran. Aku mengusap wajah, menggigit bibir. Masih belum percaya. Astaga, ini seperti tidak mungkin terjadi."Mbak Lina meninggal."Dalam hitungan detik, pasti mereka akan berteriak.Satu.Dua.Ti—
Bang Toba melirik Mama, Papa, juga, Rini. Sepertinya, dia hanya ingin beberapa orang yang mendengar.Memang benar, tidak seharusnya semua tau. Rini menganggukkan kepala, dia tau apa yang harus dia lakukan."Om, Tante. Kita ke depan, yuk."Rini mengajak Mama dan Papaku untuk ke ruang tamu yang ramai saja.Ketika Mama menoleh padaku, aku menganggukkan kepala. Membuat Mama akhirnya mengikuti langkah Rini."Apa rahasianya, Bang?""Ehm, bisa gak di sini?" tanya Kafka memutus pembicaraan kami.Mendengar itu, aku langsung mengedarkan pandangan, menangkap sosok pria misterius yang berdiri di dekat jendela.Ah, baiklah. Aku paham kalau Kafka mengajak di tempat lain."Boleh. Di kamar saya dan Lina aja. Ke
"Nyarinya di mana? Apa yang disembunyiin sama Mbak Lina?" tanya Bang Tirta sambil menatap ke sekeliling kamar.Entah kenapa, kamar ini terlihat berantakan sekali. Aku menggelengkan kepala melihatnya. Agak sedikit ragu untuk masuk ke dalam."Ayo, masuk Mbak. Gak bakalan ketemu kalau diam aja di luar.""Sopan gak masuk ke dalam?" tanyaku pelan.Terdengar tawa Kafka. Rini juga ikut mentertawakanku. Menyebalkan sekali."Masuk aja. Yang nyuruh Mbak Lina, kan?"Akhirnya, aku melangkah masuk. Menatap sekitar. Waktunya kami mencari rahasia yang disimpan oleh Mbak Lina dan ingin dia sampaikan sebelum meninggal. Sayangnya, dia sudah meninggal sekarang.Aku mengusap kening, membuka lemari. Sebenarnya, ada di dalam lemari, tapi mereka juga membantu mencari di tempat lain."Gimana? Ketemu?" tanya Bang Tirta setelah beberapa menit kami berpencar untuk mencari semuanya. Aku menggel
"Serius ini?" tanyaku sambil mengambil kartu yang diletakkan di atas meja.Kafka menganggukkan kepala. Dia tersenyum puas.Ternyata, selain hanya dapat babak belur, Kafka juga berhasil mendapatkan sesuatu. Aku menjentikkan jemari, mengambil kartua nama itu.Rian. Ada nomor ponselnya, juga ada alamatnya.Aku terdiam melihat namanya.Ah, benar dugaanku. Orang yang sama dengan yang tadi. Aku menatap Kafka yang menganggukkan kepala."Keren banget." Aku mengacungkan jempol ke dia."Kapan kita mau kesana?" tanya Rini pelan. Dia seperrinya tidak sabaran lagi."Hargai yang lagi berduka dulu. Nanti saja. Sekarang, kita fokus sama Bang Toba. Kayaknya dia terpukul banget."Kafka beranjak. Aku diam sejenak, menyenderkan punggung. Menghela napas pelan. 
"Bermain pintar apa, Mas?""Eh?" Dia langsung menoleh. Wajahnya terkejut, buru-buru menutup telepon."K—kamu kok bisa ada di sini, Nina?" tanyanya sambil mengusap wajah."Kenapa memangnya?" Aku menantangnya. Apakah ini ada hubungannya dengan si Rian itu? Dan apakah ada hunungannya dengan kematian Raja?"Tidak usah berpikir macam-macam. Ayo ke ruang tamu. Kenapa juga bisa sampai ada di sini." Dia mendumal.Aku diam sejenak. Kemudian menganggukkan kepala. Sebenarnya, aku harus bisa menjebak Mas Reno agar aku tau yang sebenarnya.Bagaimana caranya? Ah, aku juga tidak tahu bagaimana caranya."Mau ngapain kesini?" tanya Mas Reno sambil duduk di sofa sebelah Mamanya."Main aja." Aku menjawab pendek."Bagaimana surat perceraian. Sudah kamu urus? Aku saja ya