Share

5. Luka Yang Ditaburi Garam

“ALIA!”

Alia tersentak kaget saat suara Bu Linda menelusup telinganya.

"Iya, Bu. Ada apa?” tanya Alia segera berdiri, menoleh ke arah Linda yang wajahnya sudah merah padam. Dia baru menyadari sejak tadi duduk melamun di waktu jam dinas.

“Melamun dari tadi! Apa yang kamu pikirkan?!” tanya Bu Linda sinis. “Cuci muka dulu sana!” perintah Bu Linda.

Alia segera meminta maaf dan keluar menuju toilet. Astaga. Baru pertama kali ini pikiran Alia selalu tertuju pada Fahmi. Ini sangat menggangu pekerjaannya, membuat Alia tak fokus sama sekali.

Wanita itu menatap wajahnya di pantulan cermin wastafel. Ditambah lagi semalam menunggu Fahmi pulang hingga larut malam, sehingga jam tidurnya berkurang. Kepala Alia pening, tiba-tiba Alia mencoba menghubungi Fahmi.

Panggilan pertama sama sekali tidak diangkat, dan panggilan kedua barulah ada jawaban dari Fahmi.

Hallo, Mas,” sapa Alia. “Aku ganggu enggak?”

“Iya, La. Ada apa?”

Hening sesaat. “Nanti malam mau aku masakin apa?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja terucap dari bibir Alia. “Mas pulang jam berapa? Biar nanti Aku masakin,” imbuhnya.

“Terserah kamu saja. Mungkin aku pulang jam tujuh.”

Bukan itu jawaban yang Alia harapkan. Huh. Alia sudah cukup bingung memasak makanan apa agar di makan oleh Fahmi, pagi tadi masakannya sama sekali tidak di makan.

“Aku masakin ayam asam manis, tumis kangkung, dan ayam geprek sambal matah, ya.”

“Iya.”

Tut. Sambungan terputus. Alia menghela napas. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin menjadi istri yang baik bagi Fahmi, namun perlakuan yang didapatkan tidak mengenakan hati. Alia kembali menghampiri Linda.

“Ada yang bisa aku bantu, Bu?” tanya Alia.

“Kamu ambil buku keperawatan neonatus dan anak di perpustakaan rumah sakit. Minggu depan ada kegiatan pelatihan atau bisa disebut workshop. Kamu bawa bukunya ke ruang Perinatologi, ya.”

Alia mengangguk mengerti. Dia segera berjalan ke perpustakaan rumah sakit. Setelah sampai di sana, Alia mengambil beberapa buku, dan salah satu buku berada di rak paling atas. Alia berkali-kali mencoba mengambil dengan cara berjinjit, tapi tangannya tak sampai.

“Perlu bantuan?” tawar suara laki-laki yang sangat Alia kenal.

Siapa lagi kalau bukan Abian. Dokter umum yang menangani pasien di bangsal. Tangan besar lelaki itu sudah mengambil buku di rak tinggi itu sebelum Alia menjawab.

“Terima kasih.”

Alia tersenyum kaku. Beberapa hari ini memang Alia terus menghindari Abian, sejak mendengar pengakuan yang tak terduga darinya, bahwa dokter itu menyukai Alia sudah cukup lama. Alia tentu saja merasa shock, dan tak percaya.

“Sama-sama,” balas Abian. “Disuruh Bu Linda, ya?”

“Iya. Aku duluan, ya,” pamit Alia.

Buru-buru Alia melangkahkan kaki, dia ingin segera pergi dari sana.

“La, tunggu!”

Abian mengejar langkah Alia.

Langkah Alia berhenti. Matanya memejam beberapa detik, dan membatin pertanyaan, “Ada apa lagi, sih?”

Alia memutarkan badannya. “Ya, Abian? Ada apa?” tanya Alia merasa canggung.

“Aku bantu bawa bukunya, kebetulan jalan kita searah,” jawabnya.

Alia menggeleng. “Eh, e-en-enggak usah,” tolak Alia terbata-bata. Sejujurnya Alia merasa tidak enak hati dengan Abian. Alia tahu, mencintai dalam diam itu sangat menyakitkan. Naasnya pertanyaan cinta Abian datang terlambat, sebab Alia sudah menjadi milik orang lain.

“Jangan menolak!” tegas Abian. “Aku niatnya baik lho, La.” Tanpa persetujuan dari Alia, Abian mengambil alih setumpuk buku dari tangan Alia. “Biar aku saja yang bawa.”

“Jangan semuanya.”

Alia pasrah dibantu oleh Abian.

“Siap, boss!

Alia melihat ekspresi Abian. Sangat tulus dan apa adanya. Wanita itu berpikir, apakah Abian sama sekali tidak kecewa? Apakah Abian mempunyai niat untuk mendekati Alia, menjadi orang ketiga, dan merebut Alia dari Fahmi?

Astaga Alia jangan berpikir buruk pada Abian.

Mereka berjalan beriringan sambil memegang buku masing-masing. Selama perjalanan tidak ada pembicaraan, Alia sibuk melihat keadaan sekitar yang dilewati, sedangkan Abian hanya menatap lurus. Alia dikuasai rasa canggung ditambah takut memulai pembicaraan.

“Bagaimana suasana keluarga kamu?”

Dheg!

Alia cukup terkejut dengan pertanyaan itu.

“Maksudnya?”

“Hubungan dengan suamimu. Apakah kalian baik-baik saja?”

Pertanyaan apa itu?

Ah, rasanya Alia ingin menjerit meluapkan apa yang selama ini dirasakan. Baik-baik saja? Tidak! Alia sudah cukup muak. Pengakuan dari Fahmi. Fakta teramat jelas bahwa suaminya telah berselingkuh.

"Tentu saja, kami baik-baik saja,” bohong Alia, karena nyatanya hubungan mereka tidak berjalan dengan mulus.

“Kamu bahagia?” tanya Abian lagi.

Lagi-lagi pertanyaan itu membuat Alia terkejut. Hatinya seperti simbol luka yang ditaburi garam. Bahagia? Tidak lagi. Memangnya ada wanita yang bahagia ketika sang suami mengakui pernah berselingkuh?

“Bahagia kok.”

“Bohong!” tuding Abian.

Alia melirik ke arah Abian. “A-aku berkata apa adanya, Abian,” jawab Alia dengan nada bergetar.

Tiba-tiba Abian menghentikan langkahnya, Alia sama-sama berhenti. Abian menatap Alia secara intens.

“Jangan menipuku. Aku tau, akhir-akhir ini kamu banyak melamun dan pasti ada sesuatu yang terjadi,” terka Abian.

Alia sudah tak kuat mendengarkan perkataan dari Abian, tangannya terulur mengambil alih buku yang Adian pegang. Lagi pula ruang Perinatologi beberapa langkah lagi sampai.

Thanks, ya. Udah bantuin membawa buku,” ujar Alia.

Alia terburu-buru pergi tanpa menunggu balasan dari Abian.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yung
jngn bertahan dengan luka yg pahmi toreh alia berteman dengan abian dulu untuk memancing kesetiaan pahmi kita lihat reaksi pahmi kayak apa,lanjut pepet abian dulu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status