Share

6. Dokter Itu Mencintai Alia

 “Aku nggak nyangka ternyata wanita yang aku tabrak di airport itu Misella.” Erza geleng-geleng kepala mengingat kejadian satu bulan lalu, dirinya menasehati wanita yang sibuk bermain ponsel sambil berjalan, pantas saja wajah wanita itu tak asing bagi Erza. “Bukankah dia dulu pernah menjadi calon istrimu, Mi?” 

Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Erza. Fahmi mengerti, sebab kejadian gagalnya pernikahan Fahmi dan Misella, Erza sedang berada di luar negeri karena ada urusan yang mendadak. 

“Panjang ceritanya, Za.” 

Erza menepuk pundak Fahmi. “Lain kali bisa bercerita, nggak harus sekarang juga. Aku ini sahabatmu. Jadi kalau ada apa-apa datanglah kepadaku, aku akan menjadi pendengar baik.”

Fahmi tersenyum lebar. “Thanks, bro!”

Keduanya sedang berada di  kantin untuk makan siang. Fahmi menatap bekal makan siang dari sang istrinya, sama sekali tidak di makan, hanya ditatap kosong. Rasa bersalah mulai memuncak dalam diri Fahmi sejak hubungan bertambah dekat dengan Misella, Fahmi jarang sekali makan di rumah, sekedar untuk mencicipi masakan dari Alia juga tak pernah. 

“Kenapa cuma diliatin aja?” 

“Nggak napsu makan!” 

Erza yang melihat Fahmi kehilangan selera makan menarik bekal. “Buat aku aja kalau gitu, daripada nggak di makan, kan,” tuturnya, namun tangan Erza segera ditepis oleh Fahmi. “Kenapa?” tanya Erza polos.

“Enak aja dimakan sama kamu,” balas Fahmi sembari menarik kotak berisi makanan.

“Lho, katanya tadi nggak napsu makan.”

Fahmi hanya menatap sebentar muka Erza lalu memakan bekal makanan dari Alia. Rasa masakan dari Alia memang enak di lidah Fahmi, sudah lama Fahmi tak memakan masakan dari Alia.

***

Setelah dinas pagi ini, Alia ingin segera pulang saja. Alia tidak lupa dengan janjinya, memasak makan malam untuk Fahmi. Sebelum pulang ke rumah, Alia berniat membeli sayuran di supermarket. Saat di lorong rumah sakit, Alia berharap tidak akan bertemu dengan Abian.

Ya. Semoga saja.

“Lia!”

Saat diperjalanan Alia mendengar suara lelaki yang memanggilnya. Oh, God! Sudah Alia duga pemilik suara itu adalah Abian. Doa yang diucapkan sejak tadi sia-sia, harapan tidak terkabulkan, sebab lelaki itu sepersekian detik menghentikan langkah kaki Alia. Alia menoleh ke sumber suara. Abian melambaikan tangan dan menghampiri Alia.

“Hai,“ sapa Alia dengan kaku.

“Sudah mau pulang?” tanya Abian basa-basi setelah berdiri dihadapan Alia.

Alia mengangguk pelan. “Iya. Ada apa, Abian?” Alia bertanya balik.

Abian menggaruk tengkuknya. “Nggak ada apa-apa sih,“ sahutnya. “Mau pulang kan? Pulang bareng, yuk! Lagian jalan kita searah,” ajak Abian.

Alia melongo mendengar ajakan dari Abian. Pulang bersama? Ah, sial! Padahal Alia sudah berusaha untuk menghindari Abian, tetapi lelaki itu selalu menunjukkan hidungnya dan menampakkan diri di depan Alia.

Bisa tidak? Satu hari saja, Abian tidak menyapa Alia.

“Lia, kok kamu aneh?” Kening Abian berkerut. “

“Aduh ... gimana, ya.” Alia mengigit bibir bawah.

“Nggak suka kalau ada aku?”

Alia meremas seragam dinas karena bingung harus menjawab apa. “Bu-bukan begitu,” balas Alia terbata-bata. Situasi ini membuatnya canggung, bingung, dan Alia tidak tahu harus menjawab apa. “Aku harus pulang cepat! Aku duluan,” pamit Alia. Kepala Alia menunduk dan ingin pergi dari sana secepatnya.

Grep! Tangan besar itu meraih tangan Alia. Alia terkejut bukan main. Mereka berdua sama-sama saling bertatapan.

Lelaki yang masih memakai jas putih dokter itu menyadari dirinya telah lancang menyentuh tangan Alia. “Maaf ... maaf.” Abian melepaskan tangan Alia. “Kamu beberapa hari ini berusaha menghindari, ‘kan?” tanya Abian dengan menaikan satu alisnya bertanda keheranan dan kebingungan. “Why?”

Alia tentu saja agak kesal pada Abian karena telah berani menyentuh Alia di tempat umum, untung saja lorong rumah sakit ini agak sepi, tidak banyak orang yang berlalu lalang.

“Aku tidak menghindari kamu,” bohong Alia.

“Lantas? Kenapa kamu berbeda dari biasanya.” Abian meminta penjelasan lebih lanjut.

“Maksudnya?” Alia berpura-pura tak paham.

Abian mengangkat kedua pundaknya. “Seperti bukan Alia yang aku kenal,” jawab Abian. ”Oh, ya. Biar aku antar pulangnya, ya,” tawar Abian.

“Tidak perlu,“ tolak Alia.

“Jalan kita satu arah.”

Alia menggeleng. “Aku bawa mobil sendiri. Lagipula kamu juga membawa mobil.”

“Masalah itu bisa aku pikirkan,” ujar Abian dengan enteng.

“Maaf, Abian. Aku tidak bisa pulang bersamamu,” tegas Alia  “Aku harus pulang sekarang,” kilah Alia.

Abian pasrah dan membiarkan Alia pergi tanpa menjawab pertanyaan lebih dahulu. Abian merasa sikap Alia berubah dratis semenjak dirinya mengutarakan perasaan cinta dalam diam.

Apa ada yang salah dengan penyataan cintanya?

Lagipula itu hanya sekedar pernyataan cinta saja agar perasaan Abian lega dan Abian tidak mengharapkan sesuatu dari Alia. Ya, Abian tahu, Alia sudah menjadi milik orang lain. Tak sepantasnya merebut Alia dari Fahmi.

Tetapi di sini lain, Abian tidak menyadari perlakuannya kepada Alia membuat Alia sangat tidak nyaman.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yung
gk papa cuma berteman sama abian untuk memancing perasaan pahmi pada mu alia,untuk apa pertahan kan pahmi dia tiap hari selingkuh dngn cinta lama nya kalau aku mah ogah!!!!!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status