“Aku nggak nyangka ternyata wanita yang aku tabrak di airport itu Misella.” Erza geleng-geleng kepala mengingat kejadian satu bulan lalu, dirinya menasehati wanita yang sibuk bermain ponsel sambil berjalan, pantas saja wajah wanita itu tak asing bagi Erza. “Bukankah dia dulu pernah menjadi calon istrimu, Mi?”
Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Erza. Fahmi mengerti, sebab kejadian gagalnya pernikahan Fahmi dan Misella, Erza sedang berada di luar negeri karena ada urusan yang mendadak.
“Panjang ceritanya, Za.”
Erza menepuk pundak Fahmi. “Lain kali bisa bercerita, nggak harus sekarang juga. Aku ini sahabatmu. Jadi kalau ada apa-apa datanglah kepadaku, aku akan menjadi pendengar baik.”
Fahmi tersenyum lebar. “Thanks, bro!”
Keduanya sedang berada di kantin untuk makan siang. Fahmi menatap bekal makan siang dari sang istrinya, sama sekali tidak di makan, hanya ditatap kosong. Rasa bersalah mulai memuncak dalam diri Fahmi sejak hubungan bertambah dekat dengan Misella, Fahmi jarang sekali makan di rumah, sekedar untuk mencicipi masakan dari Alia juga tak pernah.
“Kenapa cuma diliatin aja?”
“Nggak napsu makan!”
Erza yang melihat Fahmi kehilangan selera makan menarik bekal. “Buat aku aja kalau gitu, daripada nggak di makan, kan,” tuturnya, namun tangan Erza segera ditepis oleh Fahmi. “Kenapa?” tanya Erza polos.
“Enak aja dimakan sama kamu,” balas Fahmi sembari menarik kotak berisi makanan.
“Lho, katanya tadi nggak napsu makan.”
Fahmi hanya menatap sebentar muka Erza lalu memakan bekal makanan dari Alia. Rasa masakan dari Alia memang enak di lidah Fahmi, sudah lama Fahmi tak memakan masakan dari Alia.
***
Setelah dinas pagi ini, Alia ingin segera pulang saja. Alia tidak lupa dengan janjinya, memasak makan malam untuk Fahmi. Sebelum pulang ke rumah, Alia berniat membeli sayuran di supermarket. Saat di lorong rumah sakit, Alia berharap tidak akan bertemu dengan Abian.
Ya. Semoga saja.
“Lia!”
Saat diperjalanan Alia mendengar suara lelaki yang memanggilnya. Oh, God! Sudah Alia duga pemilik suara itu adalah Abian. Doa yang diucapkan sejak tadi sia-sia, harapan tidak terkabulkan, sebab lelaki itu sepersekian detik menghentikan langkah kaki Alia. Alia menoleh ke sumber suara. Abian melambaikan tangan dan menghampiri Alia.
“Hai,“ sapa Alia dengan kaku.
“Sudah mau pulang?” tanya Abian basa-basi setelah berdiri dihadapan Alia.
Alia mengangguk pelan. “Iya. Ada apa, Abian?” Alia bertanya balik.
Abian menggaruk tengkuknya. “Nggak ada apa-apa sih,“ sahutnya. “Mau pulang kan? Pulang bareng, yuk! Lagian jalan kita searah,” ajak Abian.
Alia melongo mendengar ajakan dari Abian. Pulang bersama? Ah, sial! Padahal Alia sudah berusaha untuk menghindari Abian, tetapi lelaki itu selalu menunjukkan hidungnya dan menampakkan diri di depan Alia.
Bisa tidak? Satu hari saja, Abian tidak menyapa Alia.
“Lia, kok kamu aneh?” Kening Abian berkerut. “
“Aduh ... gimana, ya.” Alia mengigit bibir bawah.
“Nggak suka kalau ada aku?”
Alia meremas seragam dinas karena bingung harus menjawab apa. “Bu-bukan begitu,” balas Alia terbata-bata. Situasi ini membuatnya canggung, bingung, dan Alia tidak tahu harus menjawab apa. “Aku harus pulang cepat! Aku duluan,” pamit Alia. Kepala Alia menunduk dan ingin pergi dari sana secepatnya.
Grep! Tangan besar itu meraih tangan Alia. Alia terkejut bukan main. Mereka berdua sama-sama saling bertatapan.
Lelaki yang masih memakai jas putih dokter itu menyadari dirinya telah lancang menyentuh tangan Alia. “Maaf ... maaf.” Abian melepaskan tangan Alia. “Kamu beberapa hari ini berusaha menghindari, ‘kan?” tanya Abian dengan menaikan satu alisnya bertanda keheranan dan kebingungan. “Why?”
Alia tentu saja agak kesal pada Abian karena telah berani menyentuh Alia di tempat umum, untung saja lorong rumah sakit ini agak sepi, tidak banyak orang yang berlalu lalang.
“Aku tidak menghindari kamu,” bohong Alia.
“Lantas? Kenapa kamu berbeda dari biasanya.” Abian meminta penjelasan lebih lanjut.
“Maksudnya?” Alia berpura-pura tak paham.
Abian mengangkat kedua pundaknya. “Seperti bukan Alia yang aku kenal,” jawab Abian. ”Oh, ya. Biar aku antar pulangnya, ya,” tawar Abian.
“Tidak perlu,“ tolak Alia.
“Jalan kita satu arah.”
Alia menggeleng. “Aku bawa mobil sendiri. Lagipula kamu juga membawa mobil.”
“Masalah itu bisa aku pikirkan,” ujar Abian dengan enteng.
“Maaf, Abian. Aku tidak bisa pulang bersamamu,” tegas Alia “Aku harus pulang sekarang,” kilah Alia.
Abian pasrah dan membiarkan Alia pergi tanpa menjawab pertanyaan lebih dahulu. Abian merasa sikap Alia berubah dratis semenjak dirinya mengutarakan perasaan cinta dalam diam.
Apa ada yang salah dengan penyataan cintanya?
Lagipula itu hanya sekedar pernyataan cinta saja agar perasaan Abian lega dan Abian tidak mengharapkan sesuatu dari Alia. Ya, Abian tahu, Alia sudah menjadi milik orang lain. Tak sepantasnya merebut Alia dari Fahmi.
Tetapi di sini lain, Abian tidak menyadari perlakuannya kepada Alia membuat Alia sangat tidak nyaman.
Para tamu bertanya-tanya termasuk Misella ikut terheran. Sontak Abian dan Alia menutup mulut tak percaya. Dikejutkan dengan kehadiran kedua orang tua Abian yang tiba-tiba datang bergabung di acara tersebut. Tak disangka-sangka mendapat surprise dari keluarga Abian. Ayah Mario, Ibu Caroline, Kak Amber dan juga Xylia si gadis kecil bule dengan rambut pirangnya."Sepertinya mereka dari keluarga terpandang," batin Misella menebak.Amber melambaikan tangan pada Abian dengan semangat sekali dan senyum lebarnya. Keluarga Abian pun semakin mendekat. Hati Alia terenyuh dengan kedatangan mereka. Alia pikir, keluarga Abian sangat mustahil untuk menginjak kaki di Jakarta. Sebab mereka lebih menyukai berada di Bali ketimbang di Jakarta, seperti pertama kali Abian memperkenalkan Alia pada keluarganya di Bali. "Siapa mereka?" ucap Papa Alia kebingungan."Mereka Keluarga saya, Pa. Ibu, ayah, dan kakakku dari Amerika," jawab Abian cepat. "Saya kira tidak akan datang."Tiffany melongo, begitu juga den
Sembilan bulan kemudian .... Setelah kejadian mengerikan di Belleza, rencana Robert berhasil total dan kematian Fahmi tidak membuat orang menaruh kecurigaan. Itulah gelapnya tinggal di hunian modern itu. Siapapun yang mempunyai uang, dia akan berkuasa. Pada dasarnya uang segalanya, termasuk uang membuat orang lain tutup mulut.Di hunian elit, Belleza unit 002 milik keluarga Robert.Keluarga Robert hidup jauh lebih bahagia daripada tahun kemarin. Kini Kayla sudah bisa berbicara walaupun belum amat jelas. Tingkah lucu dan nada bicara cadel Kayla sangat menghibur mereka. Apalagi Kayla cukup tanggap, pasti tumbuh besar menjadi anak pintar. "Kayla sayang ...!" Tiffany berteriak, melambaikan tangannya dengan senyum lebarnya. Saking kangennya dengan cucunya. "Nenek datang!"Kayla baru turun dari tangga dituntun oleh Misella. Misella langsung berkata, "Hayo, siapa yang datang itu, Kay?" nunjuknya ke arah pintu.Awalnya Kayla sempat bingung, tapi langsung sadar. Tubuh mungil itu berlari untuk
Deg."APA KATAMU?!" Robert sangat terkejut. Berdiri dengan sorot mata tidak percaya. "Putriku tidak mungkin melakukan itu!"Bella terkaget-kaget. Tiffany yang baru sadar dari pingsan, syok kembali. Membekap mulutnya tidak menyangka. "T-tidak! Putriku bukan anak pembunuh!" Geleng-geleng kepala. "Pasti ada kesalahpahaman. Iya, kan?!""Maaf ... Saya melihat dengan kepala saya sendiri! Bahwa Putri Anda yang mendorong Fahmi!" tegas pengawal itu meyakinkan. "Harus ke atas sekarang kalau tidak percaya."Mereka langsung berlari-lari naik tangga menuju kamar Kayla. Mulut mereka terbuka lebar saat melihat jendela kaca telah hancur. Mata masing-masing menangkap punggung Misella, berdiri di antara serpihan kaca berserakan di lantai. Tidak ada yang memperdulikan betapa cantiknya warna kembang api di menyala-nyala.Robert membalikkan badan Misella. "Apa yang sebenarnya terjadi?!" tanya Robert butuh penjelasan. "Kenapa begitu berantakan di sini?!" tambah Robert.Kesadaran Misella kembali saat kedat
"T-tapi Tuan ...." "Tidak ada tapi tapi!" Robert masih punya secuil rasa kasihan setelah melihat Fahmi begitu mengenaskan. "Beri waktu dua menit dan awasi dia jangan sampai menyentuh sedikitpun cucu saya! Kalau cucu saya sedang tidur, jangan sampai lelaki itu membangunkan!""Baik Tuan." Body guard menurut, mereka pun menghampiri Fahmi. "Hei! Ayo jalan!" perintahnya karena Fahmi hanya diam tak bergerak. "Cepat jalan! Sebelum Tuan Robert berubah pikiran!"Fahmi pun berjalan pincang naik ke arah tangga dikawal ketat. Meninggalkan Robert di bawah bersama putri pertama. Bella dengan penuh amarah menghampiri Robert yang melamun dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celana."Papa!" teriak Bella. "Papa yang benar saja membiarkan lelaki bajingan itu menemui Kayla?! Di atas juga ada Sella!" Marah Bella, geleng-geleng kepala kenapa Papanya berbuat demikian.Robert menatap putri pertamanya. "Sudah. Kamu jangan marah begitu," tanggap Robert
Robert kembali ke apartemen karena baru selesai menyelesaikan beberapa pekerjaan mendadak di hari tersebut. Awalnya Robert ingin menikmati waktu malam tahun baru bersama sang istrinya, alhasil gagal. Saat pulang lelaki tua geram setelah mendapatkan pesan dari putrinya. "Dia datang sendirian?" tanya Robert pada dua body guard itu.Salah satu body guard menjawab, "Sepertinya sendiri, Tuan. Saya mendapat notif panggilan banyak sekali dari putri dan istri Anda.""Kenapa dia ada di sini?" Napas Robert terdengar berat. Sangat heran sekali. "Apa tidak punya harga diri?" sinisnya mengingat wajah Fahmi yang begitu memuakkan."Mungkin dia lapar," tebak body guard setengah bercanda."Dia lapar pada hari ini?" Satu alis Robert naik."Kan Tuan yang membuatnya miskin tak punya apa-apa. Jadi, dia berusaha mendatangi keluarga Tuan agar mendapat belas kasih," jelas body guard itu."Ah, iya. Kalau begitu kita harus cepat!"Dua b
Jantung Misella terasa dihantam batu. Selama ini tidak pernah mengizinkan Fahmi melihat wajah putrinya. Batinnya pedih mendengar permintaan Fahmi, Misella merasa menjadi Ibu yang jahat. Sorot mata Fahmi hampir membuat pertahanan Misella goyah, rasa kasihan segera ditepis jauh-jauh.“Dia hanya mantan suami yang tidak tahu diri!” batinnya memperingatkan."Jangan mimpi. Jangankan Sella sebagai ibu! Aku saja tak akan membiarkanmu bertemu Kayla," sinis Bella. "Pergilah dari sini!" Bella menarik paksa tangan Misella, cepat-cepat memencet sandi pintu.Misella menoleh ke belakang, terperangah Fahmi semakin mendekat. Hah?! secepat itu? "Kak! Ayo cepat!" Menarik-narik dress Bella dengan panik."Sabar dong, Sel. Tangan Kakak jadi tremor ini," balasnya bersamaan bunyi pintu apartemen terbuka.Keduanya bergerak cepat masuk ke dalam saat pintu akan tertutup sempurna, tangan Fahmi menerobos pintu tak peduli akan terjepit. Misella dan Bella langsung mendorong sekuat tenaga agar pintu tertutup."Hanya