Home / Rumah Tangga / Kamu Menidurinya? / 7. Menunggu Pulang

Share

7. Menunggu Pulang

Author: Lusia
last update Last Updated: 2022-03-29 18:28:26

Satu jam Alia habiskan untuk berbelanja, dia dengan bersemangat mendorong troli belanja di Supermarket, belanja kebutuhan sehari-hari dan tidak lupa membeli keperluan untuk dimasak malam ini juga. Setelah puas belanja, Alia menyibukkan diri di dapur. Semua bahan yang tadi dibeli sudah tersedia di atas meja.

Sebelum menikah dan setelah menjadi pengantin baru, Alia memang tak pandai memasak, namun dia berusaha mengikuti kelas memasak. Alia malu pada Fahmi, masa sang suami lebih pandai memasak ketimbang sang istri? Jadi Alia tak mau kalah dari Fahmi. Alia ingin lebih pandai memasak, walaupun tangan sering terkena cipratan minyak panas.

Semua makanan sudah terhidang dan tertata rapih di atas meja makan. Makanan sudah siap untuk dimakan. Alia melihat ke arah jam dinding, tak terasa sudah pukul setengah tujuh malam. Tiga puluh menit lagi Fahmi pulang, Alia tidak sabar masakannya akan dinikmati oleh Fahmi. Alia bergegas naik tangga untuk melakukan ritual mandi.

Lima belas menit berlalu, Alia mengambil ponsel untuk menghubungi Fahmi. Dia mencoba memanggil panggilan, tapi panggilan tidak terjawab. Akhirnya Alia mencoba mengirimkan pesan.

Pesan dari Alia untuk Fahmi: Mas, aku sudah selesai masak, nih. Sebentar lagi pulang, ‘kan? Takutnya makanan keburu dingin.

Ting! Bunyi pesan masuk di ponsel Alia. Hanya butuh waktu tiga menit menunggu balasan pesan dari Fahmi.

Balasan Fahmi; Iya, La. Sebentar lagi pulang.

Alia memekik girang membaca balasan pesan itu. Jari jemari sudah gatal untuk segera membalas: Aku tunggu, Mas.

“Yey. Akhirnya Mas Fahmi pulang lebih awal dan mencoba mencicipi masakan dariku,“ batin Alia dengan perasaan gembira.

Wanita itu segera bersiap-siap untuk menyambut suaminya pulang. Sembari menunggu Fahmi pulang, Alia duduk di ruang tengah, dan sibuk membaca novel yang beberapa hari lalu dia beli.

Saking asiknya membaca novel hingga tidak sadar waktu tiga puluh menit telah berlalu. Jam setengah delapan dan Fahmi belum pulang. Bukankah Fahmi berkata akan pulang jam tujuh?

Alia mendadak tidak tenang. Tangannya meraih ponsel di meja lalu menghubungi Fahmi, tetapi panggilan tidak terjawab.

***

Alia terbangun dari tidur saat mendengar bunyi pintu terbuka pelan, dia tanpa sadari tertidur di meja belajar. “Mas ....” Suara Alia khas orang bangun tidur, nyawa belum sepenuhnya terkumpul. Matanya menyipit silau, berusaha untuk berdiri. Namun hendak mendekati Fahmi, tubuhnya hampir terhuyung,dan terjatuh. Untung saja Fahmi dengan sigap menahan tubuh Alia agar tidak terjatuh. 

Kepala Alia pusing dan pandangan buram. “Mas, kamu baru pulang?” tanya Alia dengan tangan memegang kepala.

“Iya, aku baru sampai,” jawab Fahmi. “Jika kamu lelah dan mengantuk, jangan menungguku. Tidurlah lebih dahulu.” Fahmi membantu Alia duduk di tepi ranjang. 

“Aku hanya ketiduran di meja belajar sambil membaca novel,” elak Alia. Nyatanya, dia menunggu Fahmi pulang hingga tertidur. 

“Lain kali, jangan menungguku lagi, ya.”

Alia mengangguk saja. Dia yakin, kejadian ini akan terulang lagi. “Mas sudah makan?” tanya Alia memandang Fahmi. “Kalau mau makan, aku panaskan dulu masakannya.”

“Tidak perlu, La. Aku sudah makan di rumah sakit,” tolak Fahmi.

Alia menggigit bibirnya kecewa. “Oh gitu, sudah makan, ya.” Alia berusaha untuk bersikap biasa saja, walaupun harus menelan rasa kekecewaan. 

“Iya, tadi sekalian makan malam sama Erza.”

Alia menarik sudut bibir, tersenyum pahit. Antara percaya atau tidak Fahmi makan malam bersama Erza. Apakah Fahmi telah melupakan janjinya? Apakah Fahmi lupa dirinya telah memasak untuknya? Sudah berapa kali Fahmi tak makan masakan buatannya? Rasanya ingin tertawa saja, menertawakan diri Alia sendiri. Alia sudah berusaha keras, ikut kelas memasak dan belajar masak. Setiap hari membuat makanan untuk suaminya, namun seperti tidak dihargai sama sekali.

Sakit tapi tidak berdarah.

“Mas mau mandi?”

Fahmi tak menjawab, hanya berdiri menaruh tas kerjanya. Alia membantu Fahmi melepaskan Jas yang masih melekat di badannya, Alia membantu melepaskan sepatu, dan kaos kaki, serta meletakkan sepatu di tempat semestinya.

“Aku buatkan air panas dulu, ya, untuk kamu mandi,” kata Alia lagi, walaupun pertanyaan tadi tidak dijawab oleh Fahmi.

”Hmm.”

Alia segera memasak air hangat untuk suaminya, dia sempat mengelus dadanya. Sikap cuek Fahmi terhadapnya membuat Alia harus menguatkan dirinya sendiri.

“Berbuat baiklah ketika suami memperlakukan dengan cuek dan dingin. Tidak boleh cengeng, Al,” batin Alia.

Alia tidak akan membiarkan air mata menetes hanya karena Fahmi bersikap dingin padanya. 

Lima menit kemudian air sudah mendidih, Alia menyuruh Fahmi untuk secepatnya mandi dan dia akan menyiapkan pakaian ganti. Alia berjalan ke arah lemari besar, mengambil pakaian untuk Fahmi.

Tiba-tiba Alia tidak bisa menahan tubuhnya, kakinya melemas seketika, tubuhnya merosot duduk di depan lemari.

“Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku berpisah dengan Mas Fahmi saja?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
knp gak ingatkan suami klw dia akan segera plg dan sdh dimasakkan. itulah perlunya komunikasi 2 arah, utk saling mengingatkan bila ada yg salah shg gak kebablasan. truus, minta suami menenin alia makan, biar ada timbul rasa bersalah.
goodnovel comment avatar
Fahmi
Hidupku harus realistis
goodnovel comment avatar
Ris Nadeak Laoly
hidup itu hrs realistis klo yg di sayang ngelunjak tak perlu di tangisi toh hidup terus berlanjut jd perjalanan msh jauh tak usah di pertahankan lepaskan sj utk itu tak perlu bertahan dgn suami yg tak lg mjd panutan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kamu Menidurinya?   140. —THE END — S 2

    Para tamu bertanya-tanya termasuk Misella ikut terheran. Sontak Abian dan Alia menutup mulut tak percaya. Dikejutkan dengan kehadiran kedua orang tua Abian yang tiba-tiba datang bergabung di acara tersebut. Tak disangka-sangka mendapat surprise dari keluarga Abian. Ayah Mario, Ibu Caroline, Kak Amber dan juga Xylia si gadis kecil bule dengan rambut pirangnya."Sepertinya mereka dari keluarga terpandang," batin Misella menebak.Amber melambaikan tangan pada Abian dengan semangat sekali dan senyum lebarnya. Keluarga Abian pun semakin mendekat. Hati Alia terenyuh dengan kedatangan mereka. Alia pikir, keluarga Abian sangat mustahil untuk menginjak kaki di Jakarta. Sebab mereka lebih menyukai berada di Bali ketimbang di Jakarta, seperti pertama kali Abian memperkenalkan Alia pada keluarganya di Bali. "Siapa mereka?" ucap Papa Alia kebingungan."Mereka Keluarga saya, Pa. Ibu, ayah, dan kakakku dari Amerika," jawab Abian cepat. "Saya kira tidak akan datang."Tiffany melongo, begitu juga den

  • Kamu Menidurinya?   139. Sembilan Bulan Kemudian — S 2

    Sembilan bulan kemudian .... Setelah kejadian mengerikan di Belleza, rencana Robert berhasil total dan kematian Fahmi tidak membuat orang menaruh kecurigaan. Itulah gelapnya tinggal di hunian modern itu. Siapapun yang mempunyai uang, dia akan berkuasa. Pada dasarnya uang segalanya, termasuk uang membuat orang lain tutup mulut.Di hunian elit, Belleza unit 002 milik keluarga Robert.Keluarga Robert hidup jauh lebih bahagia daripada tahun kemarin. Kini Kayla sudah bisa berbicara walaupun belum amat jelas. Tingkah lucu dan nada bicara cadel Kayla sangat menghibur mereka. Apalagi Kayla cukup tanggap, pasti tumbuh besar menjadi anak pintar. "Kayla sayang ...!" Tiffany berteriak, melambaikan tangannya dengan senyum lebarnya. Saking kangennya dengan cucunya. "Nenek datang!"Kayla baru turun dari tangga dituntun oleh Misella. Misella langsung berkata, "Hayo, siapa yang datang itu, Kay?" nunjuknya ke arah pintu.Awalnya Kayla sempat bingung, tapi langsung sadar. Tubuh mungil itu berlari untuk

  • Kamu Menidurinya?   138. Menjadi Pembunuh — S 2

    Deg."APA KATAMU?!" Robert sangat terkejut. Berdiri dengan sorot mata tidak percaya. "Putriku tidak mungkin melakukan itu!"Bella terkaget-kaget. Tiffany yang baru sadar dari pingsan, syok kembali. Membekap mulutnya tidak menyangka. "T-tidak! Putriku bukan anak pembunuh!" Geleng-geleng kepala. "Pasti ada kesalahpahaman. Iya, kan?!""Maaf ... Saya melihat dengan kepala saya sendiri! Bahwa Putri Anda yang mendorong Fahmi!" tegas pengawal itu meyakinkan. "Harus ke atas sekarang kalau tidak percaya."Mereka langsung berlari-lari naik tangga menuju kamar Kayla. Mulut mereka terbuka lebar saat melihat jendela kaca telah hancur. Mata masing-masing menangkap punggung Misella, berdiri di antara serpihan kaca berserakan di lantai. Tidak ada yang memperdulikan betapa cantiknya warna kembang api di menyala-nyala.Robert membalikkan badan Misella. "Apa yang sebenarnya terjadi?!" tanya Robert butuh penjelasan. "Kenapa begitu berantakan di sini?!" tambah Robert.Kesadaran Misella kembali saat kedat

  • Kamu Menidurinya?   137. Terjatuh dari Penthouse — S 2

    "T-tapi Tuan ...." "Tidak ada tapi tapi!" Robert masih punya secuil rasa kasihan setelah melihat Fahmi begitu mengenaskan. "Beri waktu dua menit dan awasi dia jangan sampai menyentuh sedikitpun cucu saya! Kalau cucu saya sedang tidur, jangan sampai lelaki itu membangunkan!""Baik Tuan." Body guard menurut, mereka pun menghampiri Fahmi. "Hei! Ayo jalan!" perintahnya karena Fahmi hanya diam tak bergerak. "Cepat jalan! Sebelum Tuan Robert berubah pikiran!"Fahmi pun berjalan pincang naik ke arah tangga dikawal ketat. Meninggalkan Robert di bawah bersama putri pertama. Bella dengan penuh amarah menghampiri Robert yang melamun dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celana."Papa!" teriak Bella. "Papa yang benar saja membiarkan lelaki bajingan itu menemui Kayla?! Di atas juga ada Sella!" Marah Bella, geleng-geleng kepala kenapa Papanya berbuat demikian.Robert menatap putri pertamanya. "Sudah. Kamu jangan marah begitu," tanggap Robert

  • Kamu Menidurinya?   136. Menghajar habis-habisan — S 2

    Robert kembali ke apartemen karena baru selesai menyelesaikan beberapa pekerjaan mendadak di hari tersebut. Awalnya Robert ingin menikmati waktu malam tahun baru bersama sang istrinya, alhasil gagal. Saat pulang lelaki tua geram setelah mendapatkan pesan dari putrinya. "Dia datang sendirian?" tanya Robert pada dua body guard itu.Salah satu body guard menjawab, "Sepertinya sendiri, Tuan. Saya mendapat notif panggilan banyak sekali dari putri dan istri Anda.""Kenapa dia ada di sini?" Napas Robert terdengar berat. Sangat heran sekali. "Apa tidak punya harga diri?" sinisnya mengingat wajah Fahmi yang begitu memuakkan."Mungkin dia lapar," tebak body guard setengah bercanda."Dia lapar pada hari ini?" Satu alis Robert naik."Kan Tuan yang membuatnya miskin tak punya apa-apa. Jadi, dia berusaha mendatangi keluarga Tuan agar mendapat belas kasih," jelas body guard itu."Ah, iya. Kalau begitu kita harus cepat!"Dua b

  • Kamu Menidurinya?   135. Dendam. Benci. Marah. — S 2

    Jantung Misella terasa dihantam batu. Selama ini tidak pernah mengizinkan Fahmi melihat wajah putrinya. Batinnya pedih mendengar permintaan Fahmi, Misella merasa menjadi Ibu yang jahat. Sorot mata Fahmi hampir membuat pertahanan Misella goyah, rasa kasihan segera ditepis jauh-jauh.“Dia hanya mantan suami yang tidak tahu diri!” batinnya memperingatkan."Jangan mimpi. Jangankan Sella sebagai ibu! Aku saja tak akan membiarkanmu bertemu Kayla," sinis Bella. "Pergilah dari sini!" Bella menarik paksa tangan Misella, cepat-cepat memencet sandi pintu.Misella menoleh ke belakang, terperangah Fahmi semakin mendekat. Hah?! secepat itu? "Kak! Ayo cepat!" Menarik-narik dress Bella dengan panik."Sabar dong, Sel. Tangan Kakak jadi tremor ini," balasnya bersamaan bunyi pintu apartemen terbuka.Keduanya bergerak cepat masuk ke dalam saat pintu akan tertutup sempurna, tangan Fahmi menerobos pintu tak peduli akan terjepit. Misella dan Bella langsung mendorong sekuat tenaga agar pintu tertutup."Hanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status