Rintik hujan yang turun pagi ini, membuat siapa saja enggan memulai aktifitas. Cuaca akhir-akhir ini memang sering hujan. Fara yang sudah siap akan mengantar Reza sekolah, dikejutkan oleh sebuah ketukan. Namun belum sempat ia beranjak, Dika muncul dari depan menggandeng Nuri.
"Rita nitipin Nuri sama kamu, biar berangkat bareng sama Reza," ujar Dika.
Tak perlu Fara tanyakan alasan mengapa Nuri bersamanya. Sudah tentu karena Rita yang mengutamakan karir ketimbang anak, atau karena Andre yang enggan bangun pagi dan masih bergelung di bawah selimut.
Dika yang hari ini libur, baru mengetahui sifat adik dan iparnya. "Biar ayah aja, Bu, yang nganterin anak-anak," tawar Dika melihat cucian yang masih menggunung di dalam kamar mandi.
"Beneran, Yah?" tanya Fara dengan wajah sumringah. Jikalau ia tidak mengantarkan anak dan juga keponakannya sekolah, maka ia akan lebih cepat menyelesaikan setumpuk pekerjaan rumah tangganya.
"Iya, Bu, sekali-sekali," ujar Dika seraya menyunggingkan senyum, kemudian berlalu pergi menggunakan motornya.
Selepas kepergian Dika, Fara gegas menuju ke kamar untuk berganti baju. Belum selesai Fara berganti baju, terdengar suara pintu dibuka. Cepat-cepat Fara keluar kamar untuk melihat siapa yang bertamu. Alangkah terkejutnya Fara saat mengetahui Andre sudah duduk lesehan sambil menonton TV.
Andre mendongak, sama halnya dengan Fara. Lelaki itu pun terkejut saat melihat Fara kini berada di hadapannya. "Loh, kok, Kak Fara gak nganterin anak-anak?" tanya Andre cepat menguasai diri.
"Bang Dika yang nganterin. Kamu, kok, langsung masuk aja, gak ketuk pintu dulu?" cecar Fara merasa sangat jengkel.
"Aku kira Bang Dika yang ada di rumah, soalnya semalam dia bilang hari ini libur, makanya Andre langsung masuk. Maaf, ya, Kak!" Andre berkilah.
Fara yang merasa kurang nyaman, karena hanya memakai kaos dan celana pendek, ia kemudian segera kembali masuk ke dalam kamar. Fara mengganti baju dan menyuguhkan segelas kopi untuk Andre. 'Biarlah Andre nungguin Bang Dika sendirian,' pikir Fara.
Saat matahari mulai meninggi, Dika pulang bersama anak-anak. Ia kaget saat melihat kini Andre tengah berada di rumah kontrakannya. "Ngapain Bro, di sini?" tanya Dika menepuk bahu Andre.
"Nungguin Bang Dika," sahut Andre yang masih asyik menonton TV. Dika kemudian berlalu ke kamar untuk berganti baju dan kembali dengan pakaian santainya.
"Gak pulang dulu, gantiin baju Nuri?" tanya Dika heran melihat Andre masih diam di tempatnya, dengan Nuri yang berada di pangkuannya.
"Bentar lagi, Bang, nanggung, nih!" sahut Andre tanpa menoleh ke arah Dika.
Dika hanya menggelengkan kepala melihat tingkah laku adik iparnya. Setelah acara kesukaannya selesai, barulah Andre mengajak Nuri pulang. Setibanya di rumah, Andre tiba-tiba teringat dengan Fara yang tadi hanya menggunakan celana pendek. Andre pun akhirnya mengirimi Fara pesan.
Satu menit, lima menit, sepuluh menit, hingga sudah satu jam, pesan Andre tak kunjung Fara balas. Tak menyerah, Andre terus saja mengirimi Fara pesan di aplikasi hijau berlogo telepon.
"Bu, itu HP-nya bunyi terus dari tadi," kata Dika yang sedang menonton TV bersama Reza.
Fara yang sedang mencuci pakaian tak begitu mengindahkan HP-nya yang ia dengar berbunyi terus-menerus. "Biarin aja, Yah," sahut Fara dari kamar mandi. Kontrakan tiga petak ini hanya memiliki satu lajur pintu di sebelah kiri, sehingga jika seseorang berbicara cukup keras, pasti akan terdengar hingga ke belakang.
Selesai urusan mencuci, Fara segera mengangkat ember berisi pakaian, lalu menjemurnya di depan rumah, lebih tepatnya di depan jendela rumahnya.
Saat tengah menjemur pakaian, Andre mengambil kesempatan untuk mengambil foto iparnya. Ia mengarahkan ponsel ke Fara, dan dengan sengaja memotretnya dari arah samping. Tentu saja Fara tidak tahu karena Andre melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.
"Kak Fara," seru Andre ketika Fara hendak masuk setelah selesai menjemur pakaian.
Fara menoleh. "Iya, ada apa, Ndre?" tanya Fara mencoba ramah karena ada Dika.
"Bang Dika lagi ngapain, Kak?" tanyanya lagi sambil memperhatikan betis Fara yang jenjang.
"Lagi nonton TV sama Reza, kenapa Ndre?" tanya Fara yang sebenarnya merasa tak nyaman dan ingin segera masuk.
"Aku mau minta anter sama Bang Dika, boleh?" Andre balik bertanya.
"Aku panggilin, ya," ujar Fara berlalu sambil membawa ember bekas jemuran yang telah kosong. Tak lama, Dika keluar menghampiri Andre.
"Kenapa, Bro?" tanya Dika menutup pintu, karena ternyata Reza tertidur saat menonton TV.
"Anterin, yuk, Bang?" ajak Andre.
"Ke mana?" tanya Dika.
"Nyari ikan hias," sahut Andre lagi. Dika yang kebetulan hobi dengan ikan hias, segera menyetujui ajakan Andre.
"Bang, Nuri gimana? Saya lupa, dia lagi tidur," ucap Andre beralasan.
"Yah, gimana, sih!" gerutu Dika. "Ya udah, ngopi aja di rumah," usul Dika yang langsung disetujui Andre.
Mereka berdua beriringan masuk ke rumah Dika, setelah sebelumnya Reza dipindahkan ke dalam kamar oleh Fara. Wanita itu tak habis fikir, kenapa Andre jadi sering ke rumahnya.
HP Fara berdering. Ia segera mengambil HP-nya yang tergeletak di atas kasur. Kedua bola mata wanita itu membelalak ketika mendapati begitu banyak pesan yang dikirim untuknya. Terlebih lagi, kebanyakan pesan itu berasal dari Andre. Sedangkan Andre sendiri masih berada di rumahnya, mengobrol dengan Dika.
"Pesan-pesan gak penting!" sungut Fara melempar HP-nya sembarang. Daripada memikirkan pesan dari Andre yang un-faedah, Fara memilih untuk tidur siang bersama Reza. Namun bukan Andre namanya, jika ia tak memiliki cara untuk dapat bertemu dengan Fara.
"Bang, izin ke kamar mandi, ya, kebelet!" pamit Andre beralasan.
"Iya, gih!" ujar Dika tanpa curiga.
Saat melintasi kamar, Andre tertegun melihat Fara yang sedang tidur. Wajahnya begitu cantik meski tanpa polesan makeup. Apalagi lekukan tubuhnya yang bak gitar spanyol, tak akan ada yang mengira jika Fara adalah seorang Ibu beranak satu.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Andre meraih ponsel di saku celananya, lalu kembali memotret Fara. Saat terdengar suara, Dika berdehem, buru-buru Andre memasukkan HP-nya ke saku celana dan bergegas ke kamar mandi. Andre takut jika ia kepergok oleh Dika.
"Lama banget, Bro?" tanya Dika begitu Andre kembali. "Ngayal dulu, ya?" seloroh Dika.
Andre gelagapan, ia tak menyangka Dika akan berbicara seperti itu. "Pulang dulu, Bang, takut Nuri bangun," pamit Andre tergesa.
Dika heran melihat tingkah Andre, tapi ia membiarkannya pulang. Dika menutup pintu dan mematikan TV, hendak tidur siang bersama anak dan istrinya. Begitu masuk ke kamar, Dika melihat pemandangan yang membuat jakun para pria naik turun.
"Bu … Bu … bangun," Dika mengguncang tubuh Fara.
Fara menggeliat dan membuka matanya. "Kenapa, Yah?" tanya Fara dengan suara parau.
"Ibu tidur pake baju ini?" tanya Dika balik dengan tatapan tajam.
Fara melihat bajunya yang hanya berupa tanktop berwarna peach dan celana selutut. "Emang kenapa, sih, Yah?" gerutu Fara.
"Tadi Andre ke kamar mandi, Ayah gak tahu kalo Ibu lagi tidur. Pasti dia merhatiin kamu, Bu, makanya lama di kamar mandinya!" seru Dika yang berhasil membuat Fara tercengang.
"Ibu udah pikirin mateng-mateng, Yah. Ibu juga udah telepon orang rumah, 'kan ada Raisa yang bisa bantuin jaga Arif," tutur Fara meyakinkan suaminya. "Jadi gimana, Yah, boleh engga?" tanya Fara meminta kepastian."Kapan interview-nya? Kalo jadi 'kan kita harus pulang kampung dulu buat anterin Arif, Bu," ujar Dika akhirnya setelah cukup lama terdiam.Fara menatap Arif yang sedang tidur pulas, dielusnya pucuk kepala sang anak, kemudian dicium pipinya yang sudah tak chuby lagi. Ada rasa kasihan yang menghinggapi hatinya. Tapi jika ia tak 'tega', maka kehidupan mereka tidak akan berkembang, begitu menurut Fara. Ia membuang nafas kasar, mencoba melepaskan sesuatu yang menghimpit dadanya."Kapan Ayah bisa anter? Kalo bisa sih, secepatnya," ujar Fara berfikir lagi. "Rita cuma bilang, sesiapnya aku aja, baru ke kantor, gitu," imbuhnya.Dika mengerutkan kening tanda sedang berfikir. "Lusa, bisa kayaknya, Bu." Lalu meminum kopi yang sudah disediakan oleh Fara sejak
Mata Fara mengisyaratkan supaya Raisa membuka pintu. Dengan malas, Raisa beranjak, dan membuka pintu."Kak Dika?" ucap Raisa.Dika yang datang dengan pakaian casual-nya terlihat menenteng sebuah kantong plastik bertuliskan nama salah satu gerai ayam goreng terkemuka yang berlogo orang tua memakai kaca mata dan berdasi pita.Raisa kaget karena yang mengetuk pintu kontrakan adalah Dika. Untungnya Raisa bisa dengan cepat mengendalikan dirinya. "Eh, Kak Dika. Masuk, Kak," ujar Risa mempersilakan kakak iparnya masuk.Setelah masuk, Dika langsung disambut oleh Reza. Apalagi setelah ia melihat ayahnya membawa ayam yang ingin ia makan."Horeee, Ayah bawain ayam. Tante gak usah minta!" ketus Reza sambil menatap Raisa. Ia terkekeh melihat tingkah laku keponakannya.Sebetulnya, Raisa sudah tahu jika Dika akan datang, tapi ia tak menyangka Dika akan datang secepat ini. Itulah sebabnya ia menolak saat Reza mengajaknya pergi keluar. Raisa melirik Fa
"Asiik, beneran ya, Yah?" sahut Reza kegirangan, yang sukses membuat Fara dan Raisa berpandangan, tak percaya atas apa yang mereka dengar.Ketika sambungan telepon terputus, Raisa langsung menoleh kearah Fara. "Beneran, Kak, Kak Dika bakal kesini?" tanya Raisa.Fara mengangkat bahu tanda tak tahu. "Liat aja nanti," celetuknya.Menjelang malam, hawa panas yang sedari siang setia menemani, masih saja terasa. Meskipun baling-baling kipas sudah berputar kencang, tetap saja tak bisa mengusir rasa panas yang menyerang tubuh."Tiap hari panas kayak gini, ya, Sa?" tanya Fara sambil mencepol rambutnya kemudian meraih kipas tangan yang tergeletak di dekat TV."Ya ... gitu deh, Kak!" sahut Raisa menyuapkan cemilan ke mulutnya.Fara terus saja mengibaskan kipas ke wajahnya. "Masih mending di Jakarta ya, berarti," ungkap Fara."Wajarlah, Kak, disini 'kan daerah industri, banyak pabrik, jadi suhunya ya diatas rata-rata," jelas Raisa dengan mulut ya
Sampai suatu hari, Fara diminta datang ke Jakarta, untuk dikenalkan pada keluarga Dika. Fara pun mengutarakan permintaan Dika kepada orang tuanya. Namun Bu Anis, ibu Fara, terlihat keberatan jika Fara pergi ke ibukota."Tenang, Bu, Fara gak bakal Bapak izinin pergi sendiri, apa kata orang nanti? Bapak ikut ke sana buat nemenin Fara, sebagai perwakilan keluarga. Lagian Fara juga belum tahu di mana alamat pastinya," ujar Pak Adi mencoba meyakinkan istrinya.Bu Anis tampak menimbang-nimbang ucapan suaminya. "Kapan rencana kalian berangkat? Nanti Ibu cariin oleh-oleh buat calon besan," wajah Bu Anis berangsur seperti semula."Kata Bang Dika, sih, kalo bisa minggu ini, Bu," ujar Fara."Ya udah kalo gitu, besok Ibu cari oleh-olehnya," sahut Bu Anis sambil berlalu ke dapur.***Hari yang ditunggu-tunggu oleh Fara pun tiba, sedari tadi pagi, Fara dan Pak Adi bersiap ke Jakarta dibantu Bu Anis."Kami berangkat, Bu," pamit Pak Adi pada istrinya
"Kakak diem aja? Gak ngelawan?" cecar Raisa tak habis fikir. "Kasih tahu Bapak aja, ya?" usul Raisa. "Jangan!" sanggah Fara cepat sambil menggeleng. Risa menatap wajah cantik kakaknya yang tak terkikis oleh usia. Sosok yang selalu menolongnya saat ia sedang kesusahan, yang tak pernah marah padanya meskipun Raisa melakukan kesalahan. Raisa tak rela jika kakaknya diperlakukan seperti itu. "Tapi ini udh termasuk KDRT, Kak!" paksa Raisa. "Kakak tahu, tapi ini gak semudah yang kamu bayangin, Sa," ucap Fara. Lalu pikirannya menerawang ke masa enam belas tahun yang lalu, saat mereka masih melakukan Long Distance Relationship. Raisa yang mendesak Fara supaya ia bercerita tentang masa lalunya, diangguki oleh Fara. *** Saat itu, hari sedang hujan lebat, Fara sedang berada di kamar menemani Raisa kecil belajar. Tiba-tiba saja pintu depan diketuk, dan tak lama terdengar suara pintu terbuka. Samar-samar terdengar Pak Adi, Bapak Fara sedang berbincang-binca
"Selagi kamu belum mengakuinya, jangan harap aku bakal lepasin!" bisik Dika yang membuat bulu kuduk Fara berdiri.Fara berfikir sejenak sambil sesekali meringis, karena rupanya Dika tak main-main dengan ucapannya. Akhirnya dengan penuh perhitungan, Fara pun mengangguk.Melihat Fara mengangguk, justru malah membuat Dika murka. Dihempaskannya Fara ke atas kasur dengan kasar, kemudian ia mengacak rambutnya frustasi. Sebenarnya Dika sudah berjaga-jaga jika jawaban Fara menyakiti hatinya. Namun, melihat langsung kenyataan yang ada di depan mata ternyata lebih menyakitkan. "Kenapa, sih, sekarang kamu jadi pembangkang gini?" tanya Dika kesal.Fara yang dihempaskan oleh Dika secara spontan itu memantul dan hampir mengenai Reza. Segera ia duduk lalu mengelus lengannya, yang tentu saja masih menyisakan lukisan tangan Dika yang berwarna merah karena cekalan yang cukup lama lagi kuat.Air mata pun masih saja saling berlomba turun ke pipi Fara yang mulus meskipun usia