Hujan mengguyur bumi, seakan ikut panik menyaksikan Alan memeluk sang kekasih yang kepalanya berlumuran darah karena terbentur bahu jalan.
"Elma bangun sayang, tolong telpon kan ambulan!" teriak Alan.Orang orang yang berkerumun melihat kejadian yang tak terduga itu ikut panik menyaksikan kejadian naas ini, bergegas seorang pria menelpon ambulan untuk menyelamatkan gadis malang yang nampak tak berdaya dalam pelkan Alan.Seorang pria berperawakan tinggi yang membantu menelpon kan abulan mencoba menolong untuk ikut membopong Elma ke pinggir jalan. Sekilas Pria itu menatap Alan yang nampak kalut, 'sungguh malang sekali pria ini,' fikir Pria tersebut.Beruntung Ambulan datang beberapa menit setelahnya, kemudian paramedis segera memindahkan Elma yang terbaring sambil dipeluk oleh Alan ke atas tandu dan segera dimassukkan ke dalam ambulan.Suara Sirine ambulan yang terus meraung raung menemani ketakutan Alan yang terus saja memanggil kekasihnya, berharap Elma masih bisa diselamatkan. Rasa takut kian mendera saat wajah Elma begitu pucat pasi bagaikan tak ada darah yang mengaliri tubuhnya."Jangan buatku takut sayang, aku mohon bertahan," racau Alan tak henti sambil mengusap ngusap tangan Elma.Beberapa saa berlalu, perjalanan yang terasa begitu lama bagi Alan itu akhirnya terlewati, padahal laju ambulan membelah jalan sudah dalam kecepatan seperti kesetanan.Bergegas Elma di pindahkan untuk segera ditangani di ruang IGD. Berlari sebisa yang mereka mampu membawa Elma diikuti oleh Alan yang terus saja memegangi tangan Elma yang mulai mendingin ikut berlari tak ingin menjauh sedikitpun dari Elma."Maaf pa anda tidak boleh masuk, mohon tunggu diluar pa," cegah seorang perawat saat Alan ikut masuk ke ruang tindakan.Alan tak bisa berkata apa apa, ia hanya menatap dengan cemas Elma yang mulai dikerumuni oleh perawat dan dokter yang memberi pertolongan."Kamu harus bertahan El, jangan tinggalin aku pleas," gumam Alan lirih menahan gejolak dalam dada yang begitu menyesakkan.Sejurus kemudian, dokter keluar dari ruang yang sebelumnya ditutup oleh tirai putih, melangkah nampak kelelahan setelah memberikan pertolongan pertama pada Elma.Segera Alan berlari mendekat pada Dokter pria tersebut, memberondongnya dengan pertanyaan yang sarat akan kekhawatiran yang terus mendera."Dok, bagaimana keadaan Elma dok, dia baik baik saja kan?"Dokter hanya menghela nafas dengan berat, ia lalu menatap Alan berusaha untuk menguatkan pria yang berantakan di hadapannya."Apakah anda keluarga pasien?" tanya Dokter berusaha tenang."Saya calon suaminya dok," jawab Alan."Nona Elma mengalami pendarahan hebat di kepalanya, Kita harus segera melakukan tindakan oprasi untuk menyelamatkannya.""Lakukan apapun yang harus dilakukan Dok, jangan buang waktu."Makin panik saja Alan mendengar keadaan Elma yang menghawatirkan."Kami pasti akan melakukan yang terbaik demi pasien kami, saat ini pasien kehilangan banyak darah, jadi kami membutuhkan donor darah yang golongan darahnya sama dengan pasien, sayangnya rumah sakit kami sedang kekurangan darah yang golongan darahnya sama dengan pasien," terang dokter berusaha untuk sabar menerima amarah dari Alan."Saya akan mencari donor darah yang sama dengan Elma," ucapnya lalu mengambil ponselnya."Saya sarankan kabari keluarganya dulu, karena kemungkinan salah satu dari keluarga pasien pasti memiliki golongan darah yang sama dengan Nona Elma."Alan mengangguk lalu mundur meninggalkan Dokter yang bername tag Harun itu. Ia menatap Alan yang memunggunginya, wajah gusar tercetak jelas di wajah Alan."Halo Bunda," sapa Alan dalam sambungan telpon bersama Ratna, bunda dari Elma."Ya Al, kamu sudah bertemu Elma?" tanya Ratna sumuringah mendengar suara calon menantunya itu.Hening sejenak, Alan meragu mendengar suara ceria Ratna. Janji untuk memberikan kejutan pada Elma malah berakhir dengan buruk, sesal yang dirasakan Alan begitu tak tertahankan."Maaf Bun, Elma sekarang di rumah sakit," gumam Alan Lirih."Di rumah sakit, siapa yang sakit?"Tiba tiba perasaan Ratna menjadi tak menentu saat mendengar kata Rumah sakit, Ratna tak ingin mendengar kabar buruk.Alan menelan ludah dengan susah payah, dalam fikirannya ia berusaha menguatkan diri, ia berharap wanita di sebrang sana yang tengah bicara dalam sambungan telpon dengannya itu tidak sampai pingsan mengetahui keadaan anaknya yang mengalami musibah."Elma tadi menjadi korban tabrak lari Bun, sekarang Elma di rumah sakit sedang ditangani para dokter dan membutuhkan donor darah segera.""Apa? kamu jangan bercandan Alan, bukankah Elma bersama kamu?" bentak Ratna tak percaya.Ratna berusaha menyangkal perkataan Alan, ia masih berharap ini hanya sebuah lelucon belaka yang dilakukan oleh calon menantunya itu, tapi jika benar ini hanya sebuah lelucon, maka Alan benar benar sangat keterlaluan menjadikan kabar kecelakaan anaknya menjadi sebuah lelucon itu sangatlah tidak lucu."Maaf bun, saya tidak bercanda. Saya tunggu anda di rumah sakit."Seketika Alan memutus sambungan telpon setelah mengucapkan salam, dan segera memasukkan ponselnya kedalam saku celana yang ia kenakan. Saat ini yang perlu ia lakukan adalah mengurus administrasi untuk persiapan Elma operasi yang akan dilakukan 2 jam lagi.Tergopoh gopoh pasangan suami istri yang berstatus orang tua dari Elma menyusuri lorong rumah sakit yang nampak sepi, setelah sebelumnya menanyakan keberadaan Elma yang masih berada di bangker ruang IGD pada resepsionis yang kini sedang berjaga.Takut. Hanya itu yang tergambar dalam benak pasangan yang berusia sama sama paruh baya itu. Bukan takut seperti takut hantu atau semacamnya, tapi mereka begitu takut jika mereka kehilangan anak satu satunya yang mereka miliki. Hanya tangis dan bisikan doa yang senantiasa mereka ucapkan dalam hati memohon keselamatan untuk Elma.Sampai di ruangan dimana Elma terbaring di atas ranjang rumah sakit, bersama Alan yang menunggui Elma sambil memegangi jemari lemah sang putri, Ratna tak tahan, ia langsung menumpahkan air mata kesedihan melihat keadaan gadis cerianya itu."Anakku, kenapa bisa begini," lirih Ratna tak kuasa membendung kesedihan.Kedatangan Ratna dan Hans orang tua dari Elma mengalihkan atensi Alan yang sedang menunduk sedih. Pria tampan yang jarang tersenyum itu menunduk lemah tak kuasa menahan kesedihan hingga tak ingin melepas tautan jemarinya bersama Elma. Hingga Ratna mendekat baru Alan memberi kesempatan Ratna untuk menggantikan posisi duduknya dengan Elma bersama Hans sang Ayah dari Elma."Maafkan Bunda El, harusnya Bunda ngga membiarkan kamu pergi tadi, semua salah Bunda, maafkan Bunda El.""Jangan begini Bun, bukan salah Bunda," Ucap Hans berusaha menyadarkan sang istri jika tak ada yang perlu disalahkan karena semua kejadian ini tak ada yang menginginkannya. Ini semua sudah takdir.Alan hanya menunduk di belakang Ratna dan Hans. Sesal yang teramat besar terus saja mendesak hati Alan, bahkan rasanya begitu nyeri dan menyesakkan."Maaf pak, bu. Apakah anda orang tua pasien?" tanya seorang perawat yang menghampiri banker Elma.Kedua orang tua yang sedang bersedih itu kemudian mengalihkan pandangan mereka pada si perawat yang memanggil tadi."Benar Sus, kami orang tua Elma," jawab Hans sambil memusatkan perhtiannya kepada sang perawar tersebut."Beberapa menit lagi pasien harus segera menjalani oprasi, dan pasien perlu darah yang golongannya sama, apakah ibu atau bapa memiliki golongan darah yang sama dengan pasien?""Saya sama golongan darahnya dengan anak saya, ambil darah saya," jawab Hans dengan yakin."Baiklah, mari ikut saya, kami akan segera mempersiapkan ruang oprasi setelah selesai mengambil darah anda."Tanpa Ragu Hans mengikuti perawat tersebut ke ruangan lain dimana ia akan diambil darahnya untuk kebutuhan Oprasi Elma. Ratna masih berusaha menguatkan diri dan terus berdoa dalam hati untuk kesembuhan anaknya. Sedangkan Alan, berpindah posisi menjadi berlutut dihadapan dengan calon mertuanya, ia merasa harus dihukum karena kelalayannya ini."Maafin saya Bun, saya tidak becus jagain Elma hingga Elma bisa celaka seperti ini maafkan saya.""Oh, jadi kamu mengaku telah mencelakakan anakku? dimana saja kamu Al sampai Elma bisa seperti ini, jika sesuatu yang buruk terjadi pada Elma aku tuntut kamu Al!" bentak Ratna tak bisa menahan Amarahnya.Denting jam berbunyi begitu nyaring, waktu sudah menunjukan pukul 12 tengah malam. Hujan diluar masih mengguyur begitu deras dengan petir yang terus menyambar, mungkin malam ini hujan tak akan berhenti hingga pagi. Rumah megah kediaman Bagaskara sudah mulai sepi, para penghuni rumah sudah mulai terbuai oleh mimpi mereka, bahkan para pelayanan sudah masuk ke kamar masing masing. Namun, tidak dengan dua pria yang berstatus Ayah dan anak ini. Setelah Nindi dan Lucas pamit untuk pulang ke rumahnya satu jam yang lalu, Bagas pun ikut undur diri kembali ke apartemennya, ia tak ingin menjadi bulan bulanan Ayah dan anak yang memiliki wajah dan karakter yang sama itu. Dua orang yang memiliki paras tampan dengan usia berbeda itu sama sama keras dan tak mungkin bisa dibantah. Jadi, Bagas memilih untuk menyelamatkan nyawanya saja, biarlah esok ya esok saja. "Aku sudah menikahi Elma," ucap Alan mengakui perbuatannya yang sangat terburu buru itu. Tristan hanya melipat lengannya di da
Wajah Alan muram, bahkan terkesan gelap penuh dengan Amarah. Alan sudah muak dengan tingkah Nindi yang terus menerus menggangu dirinya. Bagas yang sedang mengemudi pun menjadi ikut kesal juga, padahal dirinya baru hari ini melihat bos sekaligus sahabatnya itu ceria sepeti barusan. Hujan tiba tiba mengguyur begitu derasa, guntur pun sampai menyambar memekakan telinga, seakan merasakan kekesalan yang kini tengah Alan rasakan. Tiba tiba Alan teringat pada Elma. Ia lihat waktu sudah menunjukan pukul 10 malam, sepertinya Elma sudah terlelap mengingat kebiasaan Elma tak pernah bergadang "Apakah Elma sudah tidur?" gumamnya bertanya pada diri sendiri. Ah.. sepertinya Alan semakin tergila gila dengan istrinya itu. Ban mobil yang berdecit bergesekan dengan aspal basah yang tengah diguyur hujan itu kini telah sampai di sebuah komplek mewah. Komplek elit yang biasa dihuni oleh keluarga konglomerat berpenghasilan milyaran rupiah setiap bulannya sudah pasti tak semua orang bisa t
Baru saja Alan berpisah dengan Elma, tapi dirinya sudah begitu rindu, apalagi harus beberapa hari tak melihat wajah wanita yang baru ia persunting itu. Sepertinya Alan akan sangat merasa kesulitan, apalagi harus meninggalkan Elma yang sudah pasti akan sering bertemu dengan Erwan. Sungguh hati tak rela. "El, Aku mohon, jangan terlalu dekat dengan Erwan, dia sepupuku dan aku tak suka jika kamu terlalu dekat dengannya," pinta Alan sebelum meninggalkan Elma. "Kami tidak ada apa apa ka, Kenapa kaka sangat tak suka dengan Ka Erwan, padahal Ka Erwan temanku sejak dulu," jawab Elma untuk kesekian kalinya. "Menurut lah El, aku suamimu, dan seorang istri harus mematuhi apa yang suaminya katakan."Huft... Lelah rasanya Elma mendengar perintah Alan, ia sangat tahu apa yang harus dilakukan oleh seorang istri, meskipun ingatannya ada pada usia 17 tahun, tapi setidaknya dia sudah belajar banyak tentang hal termasuk kewajiban seorang i
"Kenapa menjadi rumit seperti ini?" gerutu Alan turun dari mobilnya. Awalnya Alan hanya berniat melihat istrinya sebentar saja sebelum dirinya menemui sang Ayah di kediaman keluarga Bagaskara. Namun sayang, sikap Hans memicu kemarahan pada diri Alan. Ia tak Terima dijauhkan dengan istrinya meskipun oleh mertuanya sendiri. Alan segera turun dari mobilnya lalu melangkah tergesa memasuki halaman rumah mertuanya itu. Ingin segera mengetahui apa yang dilakukan atau lebih tepatnya diberikan oleh Nindi pada Hans hingga memicu kemarahan pada pria baik itu. Saat Alan membuka pintu Rumah berwarna coklat yang ukurannya cukup besar itu, ia telah disambut oleh sang mertua dengan wajah tak ramah tak seperti biasa dan tak bersahabat tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dagunya terangkat dan melirik sini keberadaan Alan lalu melangkah mendahului seperti mengajak Alan untuk berbicara ditempat yang lebih privat. Ruangan kerja sang mertua tepatnya, tempat yang biasa dipakai oleh Hans berkutat denga
Tak akan mudah bagi Alan menahan diri, melihat Nindi menantang dirinya apalagi dihadapan banyak orang di lobi perusahaan yang berlaku lalang. Beruntung disana ada Bagas yang siap siaga menjadi pengawal. "Apa yang kau lakukan?" tanya Alan sambil menggeram marah, matanya melotot seakan ingin menelan dan menghancurkan wanita iblis bermuka malaikat ini. "Aku?" Nindi tersenyum sebelum melanjutkan provokasinya, "Hanya mengirimkan momen kebersamaan kita yang indah, bukankah mertuamu itu sangat baik? dia pasti ikut bahagian dengan kebahagiaan kita bukan?""Kau memang-" "Hentikan bos, jangan sampai anda menghancurkan reputasi anda hanya karena provokasi nona Nindi disini," ujar Bagas menghentikan Alan sebelum Bos nya itu membuat kekacauan karena tidak bisa mengontrol emosi. Bagas tahu betul jika Alan adalah pria luar biasa cerdas dalam mengambil langkah untuk memenangkan pertempuran, namun jika sudah diprovokasi oleh Nindi, sering kali Alan akan hilang kendali. Entahlah, wanita yang sudah
Rapat yang digelar jajaran petinggi Antana Group telah selesai digelar, meninggalkan perasaan kesal pada diri Alan. Kini wanita yang selalu ingin menghancurkan hubungannya dengan Elma itu sedang tersenyum manis pada Tristan, mebuat image sempurna agar menarik simpati pria nomor satu di Antana group itu. Wajah cantiknya seperti mengejek Alan yang berdiri tepat disamping sang Ayah. Sekali kali Nindi akan melempar pertanyaan yang akan membuat Alan mendengus sebal. "Benar benar wanita penjilat," gumamnya dalam hati. "Ajari Nindi dengan baik Al, kalian akan menjadi partner sempurna dalam mengembangkan perusahaan kita ini," ucap Tristan sambil merangkul bahu Nindi yang duduk tepat di sampingnya. "Tentu mereka akan menjadi partner terbaik, bukankah mereka sudah sangat dekat," ucap Lucas. Kini, Nindi duduk ditengah dua pria yang punya pengaruh penting di perusahaan, menjadikan dirinya seperti diapit oleh dua gunung yang begitu kuat dan akan melindungunya. Alan tak berkomentar, tak mung