"Seharusnya itu sudah kamu pikirkan dan bicarakan sebelum rencana pernikahan terjadi. Menikah itu butuh komitmen, bukan hanya saling mencintai. Menyatukan dua keluarga dalam satu wadah kesepakatan itu lumayan rumit, makanya sekecil apapun harus dipertimbangkan sebelum bertindak."Suaka duduk bersila di depan Lyan. Berharap Kakaknya itu mau membantu. "Tidak usah menatapku seperti itu. Besok aku akan bilang ke Eyang agar kamu diperbolehkan tinggal di Bogor," cetus Lyan membuat Suaka tersenyum senang. "Terimakasih banyak, Bang. Abang selalu tahu apa yang Suaka pikirkan.""Itu kan memang kebiasaanmu. Merepotkanku!" ketus Lyan meletakkan buku yang sedang dibacanya lalu bersiap untuk tidur. Suaka gegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dan bersiap istirahat."Aku tidur di kamar Abang, ya?" ucap Suaka saat sudah selesai mandi."Apa kamu keberatan aku tidur di kamarmu?" Lyan yang tadinya sudah hendak terpejam tiba-tiba membuka matanya lebar."Bu-kan. Tapi aku tak enak kalau Abang ta
******Aroma masakan memenuhi dapur apartemen milik Lyan. Suaka yang sudah terbangun, gegas menuju dapur karena aroma sedap itu."Bang, tumben ma…sak? Loh, Almira?" tanya Suaka kaget."Hai, Ka," sapa Almira."Kamu kenapa di sini?""Karena kini aku kerja sama Lyan. Kamu mau bikin kopi? Sini aku bikinin," tawar Almira."Ini pasti salah," batin Suaka.Suaka segera ke kamar Lyan untuk menanyakan keberadaan Almira di apartemennya."Bang, bangun!" teriak Suaka yang melihat Lyan yang tertidur di atas ranjang. Setelah Almira pergi, ia sengaja berpindah tidur agar terasa nyaman."Ra, nggak usah rese!" usir Lyan dalam keadaan setengah sadar."Bang!!" Lyan membuka matanya dan mendongak ke arah suara. "Oh. kamu. Kenapa? Nggak usah ganggu Abang. Abang masih ngantuk.""Bangun nggak? Kalau nggak, Suaka aduin sama Eyang kalau Abang bawa wanita ke apartemen. Ini nggak dibolehin, Bang. Ketahuan Eyang, mati kita," protes Suaka."Eyang nggak akan mungkin bunuh kita, Suaka. Sudahlah, Abang mau tidur. Ka
"Jam 7. Buruan bangun, atau kita akan terlambat, Bee."Lyan tersenyum. Mendegar nama panggilan Almira, mengingatkan dirinya pada seseorang yang penting dalam hidupnya. "Suaka dah bangun?" tanya Lyan seraya bangun."Sudah dari tadi, sedang minum kopi. Mas Lyan mau kopi?""Mas Lyan?" tanya Lyan tak suka."Bee mau kopi?" ulang Almira."Nggak. Bikinkan saya susu.""Oke."Almira membereskan kamar tidur sambil menunggu Lyan selesai mandi. Mempersiapkan baju yang hendak Lyan pakai hari ini. Almira cukup pandai memadupadankan pakaian yang cocok untuk dipakai.Ponsel Almira bergetar. Nomor Zidan masuk menghubunginya. "Assalamualaikum.""Waalikumsalam," jawab Zidan ketus. "Aku nggak ada banyak waktu berbicara denganmu. Nadine sakit. Kamu diminta Ibu untuk datang. Nanti aku kirim alamat rumah sakitnya."Hati Almira hancur mendengar kabar Nadine sakit. Pantas saja tidurnya tak lelap beberapa malam ini. "Nadine sakit apa, Mas?" isak Almira."Tak perlu banyak tanya. Kamu bersiap saja ke sana,
"Assalamualaikum," salam Almira. Semua memandang ke arah Almira yang datang ditemani Suaka dengan tatapan kagetnya, termasuk Zidan yang juga baru datang. Almira berlari ke arah Nadine dan menciumnya berulang kali."Ini Mama, Nadine sayang. Bu, Nadine sakit apa?" tanya Almira sambil terisak karena melihat Nadine yang terbaring lemah sambil menutup matanya."Semalam demam," jawab Lilis ketus. Diciumnya sang anak yang sama sekali tak merespon itu. Nadin bergerak namun kali ini lebih ke kejang-kejang. Suaka yang melihatnya spontan melihat keadaan Nadine."Cepat panggil dokter!" teriak Suaka yang lebih ke membentak Zidan. "Jangan berbicara keras di depan anakku!" sentak Lilis namun tak dipedulikan Suaka. Almira yang panik karena melihat keadaan Nadine, mendadak lemas. "Nadine, Mama sudah datang, Nak. Bangun! Ada Dokter Suaka yang akan membawa kita pulang," isak Almira. Dokter yang memeriksa Nadine datang setelah Zidan memanggilnya. Semua menyaksikan bagaimana Nadine berjuang hidup.
*happy Reading guys.Pasca meninggalnya Nadine, Zidan hanya meminta libur dua hari. Selepas itu dia kembali bekerja. Tuntutan pekerjaan yang kian menggunung, membuat Zidan merasa badannya lebih capek dari biasanya. Bahkan tadi malam ia begadang demi memenuhi tugas yang sudah dua hari tak ia kerjakan. Sebagai manajer akuntansi, tentunya banyak tanggung jawab yang menunggu diselesaikan jika ia libur."Argh! Kenapa kepalaku berat sekali," rintih Zidan saat hendak bangun tidur. Sejak dua hari ini ia demam dan tidak enak badan. Dia menelpon Zaskia agar mau datang membantunya mengurus rumah, tetapi selalu saja ada alasan saat itu.Zidan menelpon Aldi. Memintanya agar mau menolongnya membawa ke rumah sakit. Obat yang kemarin Aldi berikan sama sekali tidak mempan baginya."Halo, Al. Kamu di mana?" tanya Zidan."Di rumah Kenapa emangnya?""Tolong ke rumahku ya. Please, kepalaku bertambah berat," ucap Zidan memohon."Bukankah hari ini kita ada rapat?" tanya Aldi."Tapi rasanya kepalaku berat s
"Mey, aku mau pulang."Almira sudah 5 hari dirawat di rumah sakit. Dia drop parah dan harus menginap di rumah sakit. Selain sakit Gonore yang dia derita, ia juga shock berat akan meninggalnya Nadine."Nanti ya. Nunggu dokter periksa kamu," lirih Meysila."Aku nggak enak ngerepotin kamu terus.""Nggak enak ya di enakin aja. Aku aja santai. Nggak usah mikirin kerjaanku. Aku dah mutusin istirahat jadi model.""Kok bisa?""Raffi dah lamar aku kemarin sepulang dari Bali. Tapi ya … masih lama sih untuk menuju halal. Tapi setidaknya, orang tua aku dah lega anak gadisnya dipinang orang."Emang Raffi minta waktu berapa bulan?""2 tahun paling lama. Sempat keberatan sih. Tapi alasannya bikin nyokap bokap ngeiyain.""ALasannya?""Nunggu kakaknya yang di Ausy nikah tahun ini. Dia nggak mau ngelangkahin kakak perempuannya. Keluarga Raffi juga bilang, mereka nggak bakalan main-main dengan lamaran ini. Ya kamu tahu sendiri, bukan? Aku dan Raffi memang sibuk. Tapi kemarin aku sama managerku lagi menc
"Mey, makasih udah nungguin aku sampai satu minggu lebih di rumah sakit ini. Aku nggak enak, sungguh," ucap Almira. Selama seminggu di rumah sakit, hanya Meysila yang tak pernah absen menemaninya. "Nggak apa. Gimana rasanya mau pulang?" tanya Meysila."Aku nggak tahu, Mey. Rasanya aku masih nggak nyangka Nadine …." Kembali Almira mengingat Nadine dan membuatnya seakan bosan untuk melanjutkan hidupnya. Berulang kali juga Lyan dan Meysila memberitahu dan menguatkan Meysila agar ikhlas dan sabar."Ra, semua ini sudah takdir. Kita pulang sekarang. Lyan sedang mengurus administrasi," ucap Meysila. Lima menit, Lyan kembali dari ruang administrasi. Dia membantu Almira untuk pulang ke rumah Meysila dan mendorong kursi roda hingga sampai ke mobil."Satu bulan ini kamu full istirahat. Ponsel masih saya simpan sampai kamu benar-benar sembuh, Ai."Setelah kejadian malam itu, Almira sengaja memberikan ponselnya saat Lyan meminta. Alasan Lyan yang masuk akal membuat Almira menyetujui keinginan L
"Yah, Mey pengen buka usaha butik deh. Kira-kira Ayah dukung nggak? Mey bosan jadi pengangguran, Yah," rengek Meysila. "Emang kamu dah nggak ada jadwal pemotretan?""Mesila dah mundur dari pekerjaannya, Yah. Dia mau jadi anak rumahan katanya," sahut Vivian."Urus butik itu nggak mudah. Tapi … kalau kamu kerja sama Almira, Ayah oke. Dia bisa Ayah percaya mengurus keuangan butik. Lah kamu, dikasih uang sejuta aja sehari abis," omel Gemal."Jadi kalau sama Almira boleh. Yah?""Bisa jadi boleh dan bisa jadi enggak. Tergantung kamu bisa Ayah percaya atau enggak.""Percaya aja deh. AYah cukup belikan satu ruko di mall kota untukku dan Almira. Kalau bisa yang tinggal masukin barangnya.""Kamu ini, mauny aja cepet-cepet nanti kalau dah jadi, ditinggal, awas, ya?" desak Gemal."Nggak lah.""Nanti Ayah coba tanyakan sama rekan Ayah yang ada toko juga di mall Explore Indah. Ngomong-ngomong Almira sudah sembuh?""Belum, Yah. Tapi Ayah cari rukonya sekarang aja. Biar nanti pas Amira dah sembuh