...Kehidupan Almira dan Lyan memang baru saja dimulai. Almira juga merasa bahagia sudah bisa dipertemukan dengan jodoh pengganti seperti Lyan. Namun, bukan berarti Almira juga akan mengikuti jejak Lyan sebagai selebritas. Almira memilih menggeluti dunia fashion dan kuliner daripada ikut dalam glamornya dunia entertain."Bang, beliin cilok yang ada sambal mayonaisenya," celetuk Almira saat Lyan baru saja pulang dari syuting jam 2 pagi."Jam berapa ini, Ai?""Tapi dede mau makan itu. Ya?""Nggak ada yang buka jam segini. Besok aja ya?"Lyan mencoba membujuk istrinya yang sedang dalam fase ngidam akut, agar mau mendengarkan kata-katanya. Nyidam Almira kali ini cukup membuat Lyan kerepotan. Pasalnya, Lyan tidak boleh pulang bekerja dengan baju yang berbeda seperti saat pergi dari rumah.Lyan tak marah dan justru ia senang. Di pernikahannaya yang menginjak 5 bulan, Tuhan memberikan kepercayaan seorang anak di rahim Almira. Meski banyak permintaan Almira yang kadang membuat pening kepala,
"Mas, mau kemana lagi? Kemarin kamu sudah pulang malam, sekarang pergi tengah malam lagi. Sebenarnya kamu kenapa, Mas?" tanya Almira pada Zidan yang malam itu ingin pergi begitu saja setelah berhubungan in tim. "Sudah aku bilang, jaga tubuhmu. Aku benci aroma pada alatmu itu, rasanya aku mau muntah saja. Sudah berulang kali aku minta, jaga! Jaga! Jaga! Bukanya semakin harum, tapi malah bau terasi!" Zidan beranjak pergi meninggalkan Almira yang menangisi kepergian suaminya itu. Bahkan, suara tangis Faris–anak lelakinya, tak didengarkan oleh Zidan. **"Kenapa, Bro? Mukanya kusut amat?" tanya Ardi–sahabat Zidan satu kantor. "Gue bosen." Zidan memesan satu gelas wine dan meminumnya sampai tandas. Ia menelpon Ardi malam itu untuk menemaninya ke club. Menghabiskan malam menyebalkan yang telah ia lalui bersama Almira. "Sama bini?" "Siapa lagi. Akhir-akhir ini dia begitu menyebalkan," adu Zidan. Ardi yang paham akan karakter Zidan memilih mendengarkan, alih-alih memberi saran. Karena
“Mas, hari ini aku nggak kerja dulu. Kamu juga, ya? Aku mau, Mas anterin aku ke dokter buat konsultasi ini,” tunjuk Almira pada sesuatu di balik rok yang ia kenakan.“Kamu ‘kan bisa pergi sendiri. Kenapa aku harus ikut?” tanya Zidan malas. Ia tetap melanjutkan aktivitas sarapannya tanpa memperhatikan wajah Almira yang kian memucat.“Tapi, aku lemas. Tak kuat bawa sepeda motor sendiri,” lirih Almira dengan nada sedikit memohon. “Nggak usah cengeng. Kayak yang nggak biasanya pergi ke mana-mana sendiri.”“Tapi, Mas ….”Bisa saja Almira memesan ojek online, tetapi ia hanya ingin diperhatikan suaminya. Sejak kejadian marah karena hasratnya tak terpuaskan, sejak itu juga Zidan berubah dingin.“Berisik, kamu! Jadi nggak berselera makan jadinya!” bentak Zidan lalu berlalu pergi. Menyambar kunci dan meninggalkan Almira seperti biasanya.“Ma, kita jadi ke rumah sakit?” tanya Nadine yang sengaja Almira minta untuk menunggu di kamar.“Jadi,” jawab Almira sambil menyeka air matanya agar tak dike
“Kamu terkena gonore. Infeksi bakteri menular seksual yang biasanya ditularkan melalui kegiatan seksual.”Almira kaget tentunya. Selama ini dia tak pernah melakukan hal buruk bahkan menyimpang seperti yang Suaka katakan.“Ba-gaimana mungkin? Aku setia selama ini. Bahkan tak sedikitpun terpikir melakukan dengan selain suamiku sendiri,” lirih Almira tak percaya.“Kalau misal kamu tak merasa melakukannya, itu berarti suami kamu yang membawa penyakit itu ke dalam tubuhmu. Kalau misal tidak segera ditangani, maka bisa menyebabkan infertilitas,” terang Suaka. “Meski kadang gonore ini tanpa gejala, alangkah lebih baiknya suamimu ajak ke sini untuk diperiksa juga. Aku yakin, semuanya akan lebih jelas siapa yang sudah membawa penyakit itu.”“Apa tak bisa disembuhkan?”“Bisa. Beruntung ini terdeteksi dini, jika tidak? Aku tak bisa menjamin nyawa kamu bisa baik-baik saja.”Almira pasrah. Inilah sebabnya kenapa suaminya sering mengeluhkan bau. Bahkan setiap malam, suaminya telat pulang. Almira pi
“Kita masuk ke dalam saja.”Meysila tahu jika Almira sedang tak baik-baik saja. Ia meminta agar sahabatnya itu berbicara semuanya di dalam rumah.“Rumah sepi, Mey?”“Iya. Kakak lagi di rumah Om, tadi aku yang nganterin. Nyokap lagi arisan kayaknya. Kalau bokap, kerja pulang malam biasanya. Eh, mau minum apa?” tawar Almira.“Nggak usah. Aku nggak haus,” tolak Almira.“Kalau gitu, kita bicara di kamar ya? Sekalian kamu istirahat di sana.”“Makasih banyak ya, Mey,” ucap Almira dengan mata berkaca-kaca.Almira dan Nadine naik ke kamar Meysila yang ada di lantai atas. Meysila sengaja membiarkan sahabatnya itu tenang terlebih dahulu agar bisa menceritakan segalanya dengan baik.“Nadine mandi dulu, ya? Mau mandi sama Mama atau Tante?” tawar Meysila.“Tapi aku nggak bawa baju ganti Nadine, Mey,” cegah Almira.“Tenang. Ada baju ponakanku yang biasa main di sini. Kayaknya sih ukurannya sama. Masa iya nggak mandi dan ganti baju. Kamu juga nanti, mandi sama ganti baju punyaku aja. Oke?”Almira te
Malam ini Almira tidur di kamar yang sama dengan Meysila. Sebenarnya ada kamar tamu. Namun, Meysila sengaja mengajak Almira untuk menanyakan kenapa ia tiba-tiba meminta menginap.“Ra, Nadine dah tidur?” tanya Meysila yang baru saja masuk kamar.“Sudah. Tadi minta dibacakan dongeng, langsung merem dia. Anakku itu gampang kalau tidur. Didongengin bentar, langsung lelap.”Almira duduk di sofa. Dan Meysila menyusulnya ikut duduk si sana.“Pasti kamu ingin menanyakan kenapa aku menginap, kan?” tanya Almira sambil tersenyum.“Ternyata keahlianmu jadi cenayang gak berubah, Ra. Jadi, kenapa?” tanya Meysila serius.Almira menarik sudut bibirnya. Tersenyum di saat hatinya tak baik-baik saja, sungguh berat. Ditariknya nafas perlahan lalu dikeluarkan dengan teratur.“Aku diceraikan Mas Zidan.”“What?! Seriusan? Gila itu si Zidan. Masalahnya apa?” tanya Meysila kaget.Almira beranjak dan mengambil hasil tes tadi. Memberikannya pada Meysila agar dia membacanya sendiri.“Gonore? Ra … suamimu?”“Buka
“Kok lama, Ma?” tanya Nadine.“Iya. Kita berangkat sekarang saja ya?”“Tapi kenapa Mama bawa koper? Kita mau piknik?”Ada rasa sedih saat Nadine menanyakan hal ini. Tapi mau gimana lagi, semuanya sudah tidak seperti awalnya. Sesuatu yang retak tidak mungkin akan utuh kembali.“Setelah ini, kita akan tinggal berdua. Menjalani hidup berdua dan harus terbiasa tanpa Papa. Nadine, kamu harus bisa terbiasa tanpa Papa,” batin Almira tanpa bisa mengatakan apapun pada Nadin. Lidahnya kelu untuk menjelaskan. Hatinya masih sakit akan cercaan yang Zidan katakan padanya. Bahkan seorang pel acur saja, tidak pantas mendapat sebutan sampah karena hanya Tuhan yang bisa memberikan gelar baik buruknya manusia. Terlebih Almira tak melakukan apapunMobil sampai di TK Kasih Ibu. Nadin dan Almira turun setelah mengganti baju di toilet umum tadi. Almira mencoba bersikap biasa saja agar tidak terlihat begitu menyedihkan.“Pagi, Bu Almira. Sudah sembuh?” tanya Tika–salah satu rekan guru.“Pagi, Bu Tika. Alh
“Seharusnya dia jangan bekerja dulu. Dia harus istirahat total dan jangan stres. Kamu tahu tentang sakitnya?” tanya Suaka pada Meysila yang ikut mendampingi Almira.“Ya. Aku tahu semuanya dan malangnya dia sedang tak baik-baik saja.” Almira menjauh dan mengajak Suaka keluar dari kamar Almira agar sahabatnya itu bisa beristirahat.“Maksudnya?”“Ya, nasibnya sedang buruk. Terkena penyakit yang sebegitu parah tapi suaminya justru menceraikannya. Kalau aku jadi dia, belum tentu aku kuat,” ucap Meysila.“Kenapa bisa begitu?” tanya Suaka kaget.“Makanya aku bilang, dia sedang tak baik-baik saja. Suaminya menganggap jika penyakitya itu datang dari dirinya sendiri dan menyalahkan Almira atas segala yang terjadi. Entahlah, aku tak tahu bagaimana pasti ceritanya. Yang jelas, dia butuh support kita.”“Aku tahu itu. Tapi aku cuti beberapa minggu untuk menyiapkan pernikahanku. Akan ada kemungkinan aku tidak stay di Bogor dalam waktu dekat ini karena calon istriku ada di Surabaya.”“Lalu, bagaimana