Di ruang kerja mewah yang tertata rapi dengan jendela besar menghadap pusat kota, Priambodo tengah duduk santai sambil menyeruput kopi hangat. Di hadapannya, Kevin, dengan rapi memaparkan laporan perkembangan Sanjaya Group setelah mendapatkan suntikan modal dari Priambodo."Bagaimana progresnya? Modal yang saya percayakan ke kamu, saya harap tidak sia-sia, Kevin," tanya Priambodo dengan nada santai namun tatapannya tajam, menuntut kejujuran.Kevin menyunggingkan senyum percaya diri. "Semuanya berjalan sesuai rencana, Om. Setelah mendapat tambahan modal, Sanjaya mampu membuka kembali proyek-proyek yang sempat tertunda. Bahkan, beberapa kontrak dengan vendor besar mulai kembali terbuka."Priambodo mengangguk perlahan. "Bagus. Saya senang mendengarnya."Kevin melanjutkan dengan suara tenang namun terukur. "Target keuangan triwulan ini juga hampir tercapai. Memang ada sedikit kendala di internal, tapi itu masalah kecil, Om. Masih bisa saya kendalikan."Priambodo mengerutkan kening. "Masal
Cinta hanya mendengus kasar mendengar celotehan Chiara, lalu dia menatap suaminya, sedikit gugup, tapi dia tahu, cepat atau lambat Rama harus tahu.“Nanti aku ceritakan. Tapi janji, kamu jangan marah dulu,” ucap Cinta pelan, dia tidak ingin Chiara menyaksikan kemarahan Rama.Tatap mata Rama justru semakin mengeras, menunjukkan amarah yang dia tahan.“Aku tidak janji. Kalau memang ada yang mengganggu kamu, aku tidak akan tinggal diam.”Cinta sebenarnya paham betul dengan kecemburuan Rama. Dia mengerti bagaimana protektifnya sang suami, terlebih bila menyangkut dirinya dan Chiara.Namun, Cinta juga tahu, Rama adalah seorang pengusaha besar, setiap tindakan gegabah bisa memberi dampak pada bisnis dan reputasinya. Dengan lembut, Cinta mencoba menahan Rama agar tidak bertindak emosional. Apalagi yang mereka hadapi adalah Priambodo, seorang pengusaha senior yang sangat berpengaruh.Cinta menatap Chiara sejenak, bocah itu masih duduk manis di posisinya, tanpa mengetahui ada tensi panas di de
Di ruang kerja yang megah dan dipenuhi aroma kayu tua, Priambodo duduk di balik meja besar berukir. Wajahnya murung, matanya kosong menatap lembar-lembar laporan yang sebenarnya tidak dia baca. Theo, orang kepercayaannya, duduk di seberang, menunggu tuannya bicara lebih dulu.“Aku rasa Rama benar-benar telah menguasai hati putriku, Theo,” gumam Priambodo pelan, seolah mengadu. “Cinta terlihat takut dekat dengan pria lain, mungkin Rama mengancamnya sehingga Cinta takut.”Theo yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara dengan sopan, “Maaf, Pak. Kalau boleh saya tahu… Bagaimana Bapak mendekati Cinta waktu itu?”Priambodo mengangkat alis, seperti pertanyaan itu aneh baginya. “Ya… saya menghampirinya, mengajak bicara. Saya tawarkan bantuan, saya coba ramah. Saya bahkan ingin membayar belanjaannya, membantu membawakan barangnya.”Nada bicara Priambodo terdengar santai, seolah tidak merasa ada yang salah.Theo tersenyum kecil, lalu dengan hati-hati berkata, “Mungkin bukan karena takut pada
Suasana supermarket siang itu cukup ramai, tapi di antara kerumunan, Cinta dan Chiara tampak seperti berada dalam dunia mereka sendiri. Ibu dan anak itu begitu menikmati waktu bersama, menelusuri lorong demi lorong sambil sesekali tertawa kecil. Chiara yang mendorong keranjang belanja dengan semangat, tampak sangat antusias memilih barang-barang kebutuhan rumah.“Jangan lupa beli sabun papanya, Ma. Papa kan sukanya yang wangi lemon,” ucap Chiara sambil mengambil dua botol sabun mandi dan memasukkannya ke dalam keranjang.Cinta tersenyum lembut, “Iya, Mama hampir lupa.”Chiara berlari kecil ke rak sebelah, mengambil kopi hitam merek favorit Rama, lalu mengambil beberapa bungkus camilan yang sering Rama makan di sela pekerjaan.“Ini kopi papa, terus ini… keripik pedas kesukaan papa! Oh, sama cokelat mint, papa suka itu kan, Ma?”Cinta mengangguk, hatinya hangat melihat betapa Chiara mengenal Rama begitu baik.“Kamu ini, kayaknya lebih hafal belanjaan papa dibanding mama,” goda Cinta sam
Keesokan paginya, langit baru saja mulai berubah warna saat mobil mereka perlahan memasuki halaman rumah keluarga Narendra. Suasana masih senyap. Burung belum sempat berkicau, dan matahari bahkan belum sempat menyembul penuh.Rama langsung melangkah ke kamarnya yang berada di sisi timur rumah, tahu persis Chiara pasti sudah tertidur pulas di sana. Benar saja, bocah kecil itu terlihat nyaman meringkuk di bawah selimut, memeluk boneka kelincinya.Tanpa banyak suara, Rama menyusul dan berbaring di samping putri sambungnya, membelai rambut halusnya dengan lembut, lalu menutup mata.Sementara Cinta, yang masih dalam balutan gaun santai tipis setelah mengganti bajunya di hotel, berdiri di ambang pintu kamar, menatap pemandangan itu dengan rasa campur aduk. Ia terharu melihat sisi kebapakan Rama yang begitu kuat, tapi juga bingung sendiri.“Rama... ini hari pertama aku bangun pagi di rumah ini...” ucap Cinta dengan suara pelan, “Aku belum tahu kebiasaan orang tuamu. Jangan-jangan mama kamu s
Di perjalanan pulang dari gala dinner, suasana di dalam mobil terasa sunyi dan berat. Lampu-lampu jalan berpendar redup di balik kaca, menemani keheningan yang menyelimuti pasangan muda itu. Cinta duduk memandangi jendela, meski tak benar-benar melihat ke luar. Tatapannya kosong, pikirannya sibuk menelusuri kenangan pahit yang perlahan muncul kembali ke permukaan.Bayangan wajah Priambodo yang menatapnya dengan cara aneh saat gala dinner masih lekat di benaknya. Entah kenapa, tatapan itu menimbulkan perasaan waspada dan tidak nyaman, seolah dia tahu sesuatu yang seharusnya terkubur dalam.Cinta menggigit bibirnya pelan. Dalam hatinya muncul ketakutan yang lama dikubur. Dia teringat salah satu rekan bisnis Rama, sebelum mereka menikah, pernah menawarinya uang dengan jumlah besar agar bersedia ‘melayani’ untuk satu malam. Tawaran yang menjijikkan itu menghantamnya seperti tamparan. Padahal saat itu ia sedang mencoba keras melepaskan diri dari dunia kelam yang pernah dia jejaki.Masa lal