Masuk
"Untuk bulan ini."
Seperti biasa di awal bulan. Di tahun pernikahan mereka yang sudah memasuki angka ke 10. Huda memberikan gajinya yang tersisa 200 ribu itu kepada istrinya, Andara. Seperti biasa juga Andara menerimanya dengan wajah datar. Tanpa keterkejutan maupun kesedihan. Dia bahkan tak lupa mengucapkan terima kasih. "Makasih, mas." "Listrik dan air sudah ku bayar. Spp Randa juga sudah ditransfer. Bulan depan Randa baru bisa pulang." Sambung Huda lagi. Andara hanya mengangguk. Pernikahan keduanya menghasilkan satu orang putra bernama Randa yang berusia 8 tahun. Namun, Randa terpisah dari orang tuanya karena harus bersekolah di pesantren. Padahal dia masih sekolah dasar, Huda menganggap sekolah itu sebagai madrasah terbaik Randa untuk menjadi calon pemimpin di masa depan. Walau Andara berat hati melepas anaknya, tapi dia tak bisa mencegah. Tahu betul Andara bagaimana kerasnya watak suaminya itu. Jika dia sudah berkata A maka tidak akan pernah berubah jadi B. "Sepulang kerja nanti aku mampir untuk beli sembako." Ucap Huda sembari memasang jasnya. Andara pun mendekat untuk memasangkan dasi. Setelah rapi, barulah Huda pergi untuk bekerja. Penampilannya yang selalu rapi dan wangi menunjukan daya tarik yang luar biasa. Apalagi usia Huda akan memasuki usia 40 tahun. Dimana pesona seorang pria terpancar diusianya tersebut. Berbanding terbalik, Andara setia memakai daster lusuhnya. Dia sudah lupa kapan terakhir kali dia membeli gamis baru. Bahkan ketika lebaran saja, suaminya tak pernah memberikan uang lebih untuknya. Perkataan Huda 8 tahun lalu sudah cukup menyakitkan hatinya. "Kamu cuma tahu menghabiskan uang saja! Bajumu itu mahal, Dara!" Terngiang-ngiang kemarahan Huda waktu itu ditelinganya. "Aku cuma minta 300 ribu aja, mas." Andara merengek minta dibelikan gamis baru. "Mahal banget! Pakai baju yang ada aja! Jangan nyusahin aku." Ketus Huda yang membuat harapan Andara hancur berkeping-keping. Setelah itu, Andara tak pernah lagi membeli baju baru. Dia tak berani meminta. Sadar akan dirinya yang tak menghasilkan uang. Padahal dulu, Andara bekerja sebagai seorang sekretaris di perusahaan besar. Tapi dipaksa berhenti ketika Randa lahir. "Aku berjanji akan mencukupkan kebutuhanmu." Ucap Huda saat itu. "Tapi, mas.. aku mau kerja. Kasihan orang tuaku yang udah nyekolahin aku sampe sarjana kalau nggak kerja!" "Kamu itu sudah menikah denganku, Dara. Aku yang lebih berhak mengaturmu." "Tapi nanti kiriman perbulan untuk orang tuaku gimana kalau nggak kerja? Terus skincare ku?" Tanya Andara bersusah hati. "Aku yang akan menanggung semuanya. Pokoknya fokus kamu merawat anak aja." Kalau Huda sudah berkata demikian, maka Andara akan manut dan mematuhinya. Namun sayang, ucapan itu hanya terealisasi dalam beberapa bulan saja. Tekanan dari orang tua Huda yang menyuruhnya membeli rumah dan mobil sendiri. Juga kebutuhan adik kandungnya sendiri melupakan janjinya yang harus mengirimkan uang per bulan untuk orang tua istrinya. "Papa mama mu itu orang berada, Dara!" "Apa kamu lupa papa sudah pensiun, mas! Sebagai anak aku wajib membantu." Ucap Andara kala itu. "Kamu nggak wajib menafkahi orang tuamu." "Tapi setidaknya aku mau membalas jasa orang tuaku.." "Bisa nggak sekali aja kamu nggak membantah ucapanku? Aku ini suamimu, Dara!" Tegas Huda yang membuat Andara terdiam. Inilah sifat asli suaminya. Terlihat tegas tapi begitu keras sebenarnya. Tak pernah mau diajak berdiskusi. Baginya, apapun yang diucapkan olehnya adalah kebenaran. Keputusannya adalah mutlak. Percuma jika Andara merajuk atau menangis, itu tidak akan merubah keadaan. Dan semua sikap itu baru diketahui Andara ketika mereka menikah. Dua tahun setelah menikah, Andara merasa kebutuhan rumah tangga mulai bertambah semenjak kehadiran Randa. Apalagi dirinya ini tidak bekerja. Jelas Andara menggantungkan dirinya pada Huda. "Minta uang terus kamu ini bisanya! Awal bulan kemarin kan sudah ku kasih?" Huda sampai melotot tajam. "Iya. Tapi diapers Randa sudah habis. Aku cuma minta 100 ribu aja, mas.." ucap Andara mencoba bersabar. "Cuma minta 100 ribu katamu?" Lengking Huda meninggi. "Aku pontang panting kerja diluar, Andra. Berpeluh keringat dan terkadang terlambat makan. Tapi kamu bilang cuma 100 ribu. Enak banget kamu bicara!" Melihat kemarahan suaminya, Andara terdiam dan gemetaran. Padahal ketika dia masih menjadi anak milik orang tuanya, tak pernah sekalipun dia dihardik ketika meminta uang. Begitu juga ketika dia bekerja, dia bebas menggunakan uangnya begitu saja. Namun sekarang, Andara bagai pengemis di suaminya sendiri. Bahkan harus dibentak, dimarah hingga dihina dulu ia baru mendapatkan haknya. Apalagi mertuanya, ibunya Huda sering kali ikut campur urusan rumah tangga mereka. "Kalian harus hemat. Lihatlah Hendra sepupumu itu, Da. Sekarang sudah punya rumah sendiri, punya mobil besar. Nah, kalian kapan?" Yanti memberi nasihat ketika dia berkunjung ke rumah sewa anaknya. "Beda dong, bu. Hendra itu kan kerja di perusahaan. Gajinya besar." "Terus bedanya denganmu apa? Kamu juga bekerja di perusahaan besar, kan? Kenapa nggak bisa nabung?" Yanti lalu berbisik di belakang menantunya. "Gaji itu jangan semuanya di kasih sama istri. Kamu yang harus pandai mengatur keuangan. Kalau semua diberikan padanya, yang ada dia boros dan nggak mikirin betapa beratnya kamu kerja diluar." Ucapan Yanti itulah yang mempengaruhi anaknya. Sejak saat itu, Huda tak lagi memberikan semua gajinya pada Andara. Dia menyisakan untuk makan sehari-hari saja. "Masa cuma 200 ribu mas.. ini cuma bertahan untuk tiga hari.." Andara mengeluh. "Tiga hari 200 ribu? Astaga, Dara. Boros sekali kamu ini! Pantas saja gajiku cepat habis! Duh, benar keputuskanku kalau begitu. Seluruh gajiku sekarang aku yang pegang. Urusan listrik, air, sembako dan lainnya biar aku yang mengatur. Kamu cukupkan itu membeli sayur saja!" Menurut Huda uang segitu cukup untuk satu bulan. Namun kenyataannya berbeda. Andara harus bertarung dengan kenaikan harga pasar. Kalau sudah begitu, Huda mana mau mengerti. Dia terus mangatakan jika Andara yang tak pandai mengatur keuangan. "Kamu ini! Orang lain aja bisa masa kamu nggak bisa!" Gerutu Huda. "Orang lain mana yang bisa mengatur uang 200 ribu sebulan, mas? Apalagi kita hidup di kota." Seru Andara tak mau kalah. "Kamu mikir nggak ada orang lain yang kehidupannya lebih sulit dari kita? Syukuri pemberianku itu." "Aku mensyukurinya, mas. Tapi apa kamu mau cuma makan tahu tempe tiap hari?" "Nggak masalah!" Sahut Huda enteng. Asalkan Andara tidak merengek meminta tambahan uang lagi. "Tapi, mas.. aku juga butuh uang untuk beli skincare.. beli pulsa." Rengek Andara. "Oh.. jadi minta uang untuk beli sayur itu cuma akal-akalan kamu aja, ya? Mikir, Dara. Skincare mu aja hampir setengah juta! Belum lagi pulsamu! Pantas saja gajiku cepet habis ditanganmu. Kamu gunakan untuk hal yang nggak penting begitu!" "Tapi, mas.." "Nggak usah membantah terus! Tahunya cuma melawan suami aja kamu ini!" "Kalau begitu, aku minta izin bekerja lagi saja.." pinta Andara setengah memelas. "Tidak boleh! Kalau kamu kerja siapa yang akan mengurus Randa." "Kita bisa sewa pengasuh atau menitipkannya ke ibumu. Nggak masalah, kan?" Huda berdecak kesal dan menoyor kepala istrinya. "Di kepalamu itu uang aja isinya!" Bentak Huda. "Cukup diam di rumah dan ngurus anak, ngerti?" "Mas..." Andara harap suaminya mengerti kesulitan dirinya. Huda yang kesal berbalik dan menuju pintu depan. Sebelum itu, dia membuka dompetnya dan membuang uang itu ke arah belakang. "Ambil itu!" Teriaknya sebelum benar-benar keluar dari rumah. Andara menatap sedih uang yang jatuh berserakan di lantai karena dilempar oleh suaminya."Mas Huda.."Hampir terlepas tas tangan yang dipegang Andara saat ini. Keadaan Huda sungguh berbeda dari setahun yang lalu ketika mereka terakhir bertemu. Huda yang dulunya gagah kini terlihat ringkih dengan punggung yang sedikit membungkuk. Begitu juga dengan wajah yang tak lagi terlihat bersih dengan terpancar pilu. Keadaan Huda sekarang mengingatkan Andara pada dirinya saat dulu. Ketika dia tengah berjuang dengan penyakit autoimunnya.Sedangkan, Huda menatap Andara dengan takjub. Setelah lepas darinya, Andara berubah menjadi angsa putih yang menawan. Lihatlah tubuhnya yang langsing berisi, kulit yang begitu putih dan terawat. Oh, sejatinya Andara telah salah memilih suami."Apa kabar, Dara?" Tanya Huda penuh keharuan."Baik. Mas apa kabar?""Aku juga. Maafkan aku karena tak memberi tahu jika akan kemari. Aku hanya merindukan anakku.""Darimana mas tahu alamat rumah kami?""Aku sebenarnya pergi ke kampung halamanmu dan mencari kalian di rumah mama. Tapi, kata mama kalian sudah pind
Sejenak Huda merasa dunianya berhenti berputar. Andara, istri yang menemaninya selama sepuluh tahun ini. Wanita yang baru ia sadari jika masih dicintainya. Ya. Huda sempat kehilangan rasa pada istrinya. Terlebih karena penampilan Andara yang tak mampu mengimbanginya. Namun rupanya, itu bukan karena salah Andara. Diam-diam Andara menyimpan luka akibat torehan dari suaminya sendiri. Berharap jika Huda mengerti dan memahami kondisi sulit yang dialami Andara. Tapi, bagaimana mau mengerti kalau Huda saja tak pernah memandang Andara selama ini?Huda yang begitu sombong dan mencintai diri sendiri. Menginjak kepala istrinya dan menganggap bahwa perkataan Andara itu tidak penting. Tugas suami yang harusnya memuliakan istrinya malah mencabik harga diri Andara hingga jatuh berkeping-keping.Huda yang bersalah di masa lalu. Tega menyakiti hati istrinya, menduakan cintanya dengan wanita lain ketika Andara tengah berjuang dengan penyakitnya. Sekarang penyesalan itu datang dan menyelimuti.Di tempa
Sudah kurang lebih dua bulan Huda memperjuangkan kasusnya, namun hilal kemenangan belum terlihat. Sesuai janji Tiara, wanita itu memang ingin sekali menghancurkannya.Rumah milik Huda sudah dijual untuk membayar jasa dua pengacaranya. Belum lagi untuk menyuap hakim dan jaksa. Tapi tetap saja itu tak bisa membuat Huda terbebas dari sel sialan ini!"Gimana kabar Randa, bu?" Tanya Huda ketika Yanti kesekian kalinya datang berkunjung."Ibu kurang tahu soal itu.""Aku merindukannya.." lirih Huda. Dalam hati kecil ini, ia juga merindukan Andara. Tapi tak tahu apakah diri ini masih pantas untuk bersitatap dengan istrinya."Nggak usah kamu pikirkan soal itu. Jika memang Andara masih menganggap kamu sebagai ayah dari anaknya, harusnya dia datang kemari dan mengunjungimu.""Jangan!" Jawab Huda tersendat. "Aku malu jika dia datang kemari.""Kenapa? Bukannya tugas istri harus selalu ada di masa sulit dan senangnya suami?""Tapi, ini semua terjadi karena kesalahanku, bu. Aku yang tidak setia dan m
"Cukup!" Gilang yang sudah habis kesabaran memamdang sengit Yanti dan Huda bergantian."Kamu sadar apa yang kamu lakukan, Huda? Istrimu ini sedang sakit!""Aku tahu, mas." Huda jadi tak suka ditegur oleh orang yang tak memiliki hubungan keluarga dengannya. "Tapi ini istriku dan aku berhak mengambil keputusan mengenai dirinya.""Termasuk membiarkan dia sakit selama ini?" Gilang mematap tajam. "Sudah berapa kali Andara masuk rumah sakit dan kamu menepisnya? Sekarang aku tidak akan membiarkannya lagi!""Kamu itu bukan keluarga, Gilang! Jadi kamu nggak ngerti!" Seru Yanti membela putranya. "Kami bukan membiarkan Andara sakit. Tapi, lihat-lihat juga biaya pengobatannya. Apalagi Andara memilih kamar VIP begini! Darimana Huda mau membayarnya sedangkan kebutuham yang lain juga banyak?"Astuti ingin maju lagi melabrak besannya tapi langkahnya tertahan setelah Gilang mengangkat tangannya."Kalian berdua keberatan mengenai biaya pengobatan Andara, kan? Jangan khawatir. Saya akan membayar semuan
"Code blue.. code blue.."Suara itu terdengar nyaring dari speaker yang berada di atas. Huda sampai bangkit berdiri menatap petugas yang memakai baju biru itu menyibukkan dirinya. Ada yang mengganti oksigen, ada yang membawa trolly emergensi dan juga ada petugas yang naik ke tubuh wanita kurus yang ada di sebrang ruang Andara.Mereka tampak sibuk menyelamatkan wanita yang tengah berjuang di masa kritis. Jelas Huda melihat seorang dokter yang naik ke ranjang dan memberikan pijat kompresi di dada pasien wanita tersebut.Deg!Huda merasakan sekujur tubuhnya menjadi ngilu, reflek dia menggenggam tangan Andara yang masih tertidur lelap."Masukkan obat!" Perintah salah satu di antara mereka.Huda menyaksikan pemandangan tersebut. Sebuah pemandangan yang baru pertama kali dilihatnya namun biasa bagi orang yang bekerja disini.Sampai akhirnya.. "Cukup!" Teriak seorang pria yang tampak menangis. "Kasihani istri saya. Biarkan dia pergi!"Sejenak petugas saling memandang hingga akhirnya mereka
"Dara!"Astuti menyentuh pipi anaknya berkali-kali. Andara begitu pucat. Wajahnya bersimbah peluh dengan tarikan nafas yang begitu cepat.Gilang memencet bel untuk memanggil petugas, karena tak sabar, Gilang sampai memanggil ke depan agar para perawat datang untuk melihat kondisi Andara yang sesak hebat.Satu perawat menghambur memberikan oksigen. Yang lainnya sibuk memeriksa tanda vital. Tak lama, seorang dokter datang untuk melakukan pemeriksaan. Setelah itu, Andara dipindahkan ke ICU karena mengalami perburukan. Setelah dilakukan rontgen, terdapat infeksi di paru-parunya. Sebuah efek dari autoimun yang ia alami.Astuti tak tahan untuk tidak menumpahkan tangisannya. Bersama Randa, keduanya berpelukan. Randa juga belum sanggup kehilangan mamanya. Anak kecil ini terus memanggil Andara.Di sebrang sana, Gilang mengisi proses administrasi di ruang ICU. Mempersiapkan apa saja yang dibutuhkan selama Andara dirawat disana."Andara bisa melewati ini semua kan, dok?" Gilang jadi cemas meliha







