Share

Bab 5 Sopir Untuk Ibu

“Ibu ....” Kak Aji mengamuk, lalu melayangkan tinju tepat di wajah Mas Arif.

Mas Arif hendak membalasnya, namun dengan cepat ku tepis tangannya.

“Sudah, Mas. Tak ada gunanya menjelaskan sekarang, semuanya sudah tersulut emosi.” Aku mengelus lengan Mas Arif agar ia sedikit tenang. Amira pun menangis, Mas Arif mengucapkan istighfar lalu menggendong Amira.

Ajaib, bayi cantikku berhenti menangis di gendongan bapaknya. Mas Arif melangkah masuk kamar, meninggalkan kami.

Wajah Kak Vivi merah padam, pun suaminya.

Aku pikir mereka hendak menyerangku lagi, ternyata tidak. Kedua kakak iparku itu memilih pulang tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.

Aku terkejut saat mendapati Ibu masih terduduk di lantai. Aku hendak membantunya berdiri, namun lagi-lagi Ibu menepis tanganku.

Ibu masuk kamar dan membanting pintu dengan keras. Aku hanya beristighfar, melihat tingkah Ibu yang kadang kekanakan. Mungkin inilah yang dinamakan penyakit orang tua. Semakin tua, tingkah mereka semakin aneh.

Aku masuk kamar, dan melihat Mas Arif yang asyik bermain dengan Amira.

“Mas, maafkan aku,” ucapku pelan sembari membelai punggung Mas Arif.

“Kamu tidak salah, Dek.” Mas Arif membelai rambutku pelan. “Mas sudah hafal betul dengan sikap Kak Vivi. Kak Aji juga, dari dulu memang selalu membenarkan kelakuan istrinya.”

Mas Arif lalu bercerita, dulu sewaktu Ibu dan Bapak mertua masih tinggal serumah dengan Kak Aji, Kak Vivi selalu menghasut Kak Aji untuk menyuruh Ibu dan Bapak tinggal di rumah belakang yakni rumah ini.

Kak Vivi selalu bercekcok dengan Ibu, dan Kak Aji yang selalu membela serta tunduk di depan istrinya. Dan Ibu masih terus membanggakan Kak Aji, kendati Kak Aji tak pernah membelanya saat bertengkar dengan Kak Vivi. Pertengkaran antara Ibu dan Kak Vivi terjadi karena hal sepeleh, dibesar-besarkan hingga akhirnya meledak.

 Jadilah, Ibu dan Bapak angkat kaki dari rumah depan, dan tinggal di rumah ini, setahun sebelum pernikahanku dengan Mas Arif.

Selesai Mas Arif menceritakan, aku menawarinya makan. Mas Arif yang memang sudah kelaparan sejak sore, langsung mengiyakan.

Tak lupa, Mas Arif membujuk Ibu makan. Awalnya ibu menolak, namun saat Mas Arif bilang kalau aku memasak urap khusus untuknya, Ibu pun ingin makan.

Mas Arif dan Ibu makan berdua, dan melupakan kejadian tadi. Aku senang melihatnya. Sengaja aku tak makan bareng mereka, karena ingin menjaga suasana hati Ibu mertua. Aku tak ingin, gara-gara aku, Ibu jadi mogok makan.

Untungnya Mas Arif paham saat ku jelaskan dengan pelan, kalau aku akan makan saat Amira sudah tidur.

Setelah selesai, aku membereskan meja makan.

Kulirik sayur urap milik Ibu, ternyata ludes tak bersisa. Jujur, aku senang jika masakanku habis dimakan dan tidak terbuang-buang.

Aku pun menikmati makan malam dalam diam, sendiri.

***

Seminggu berlalu. Sejak insiden daun singkong, aku dan Kak Vivi saling diam dan tidak bertegur sapa. Pernah sekali ku coba menyapa Kak Vivi yang lewat di depan rumah saat ke warung, Kak Vivi tidak menjawab dan memilih membuang muka saat melihatku.

Sejak saat itu, aku tak lagi peduli dengan Kak Vivi. Pun Kak Aji, jika melihatku melakukan hal yang sama, membuang muka.

Hubunganku dengan Ibu mertua juga baik-baik saja. Walau masih sering ku dengar Ibu mengomel dan menggerutu tak jelas. Aku mencoba berpikir positif saja, mungkin itu memang kebiasaan Ibu dari dulu. Aku tak ingin makan hati, dengan sesuatu yang tidak terlalu penting bagiku.

Mas Arif masih sering membantu Kak Ria. Namun, sudah dua hari ini, Mas Arif ikut Ibu ke pasar kota. Mas Arif tidak ikut menjual ikan, tapi menjadi sopir mobil ikan karena yang menjadi sopir selama ini mengundurkan diri.

Sesuai kesepakatan, Ibu dan Kak Siva yang akan menggaji dan membiayai Mas Arif, mulai dari rokok sampai makan dan minum.

Namun, selama dua hari ini, yang terjadi tidak sesuai kesepakatan. Mas Arif selalu mengeluh lapar saat pulang.

Ternyata, Ibu maupun Kak Siva tak membeli makan dan minum untuk Mas Arif, apalagi rokok. Mas Arif hanya makan saat subuh, dan setelahnya tidak makan dan minum lagi sampai kembali ke rumah jam delapan malam.

Aku yang mendengar keluhan Mas Arif hanya meneteskan air mata. Sangat sedih kondisi suamiku, sebagai anak bungsu bukannya di sayang malah diperdaya oleh kakak-kakaknya.

Tadi pagi aku melarang Mas Arif ikut bersama Ibu. Mas Arif tetap ngotot ingin ikut, karena kasihan jika Ibu atau pun Kak Siva menumpang di mobil orang lain. Mas Arif mengiyakan saran yang ku kasih, yaitu berbicara pada Ibu dan Kak Siva kalau dia tak ada uang untuk bekal ke kota.

Saat pulang, kembali ku tanya Mas Arif, apakah Ibu atau Kak Siva memberinya uang. Dan ternyata tidak. Ibu dan Kak Siva beralasan untuk mengganti uang makan sekaligus uang rokok dan gaji menyetir, seminggu sekali. Dan Mas Arif setuju.

Akhirnya genap satu Minggu Mas Arif membawa mobil ikan untuk Ibu dan Kak Siva.

Aku tak sabar menunggu Mas Arif pulang. Bukan karena aku ingin meminta gaji Mas Arif dari Ibu, aku hanya ingin memastikan apakah Ibu dan Kak Siva menempati janjinya.

“Asslamualaikum.”

“Wallaikumsalam ....” Aku menjawab salam Mas Arif dengan cepat membuka pintu.

Mas Arif masuk dan wajahnya tertunduk lesu.

Tak kulihat Ibu, yang biasanya pulang bareng Mas Arif.

“Mana Ibu, Mas?”

“Ibu masih di rumah Kak Ria,” sahut Mas Arif lemas, hampir tak terdengar. Aku mengikuti langkah Mas Arif sambil menggendong Amira.

“Ibu marah sama Mas, hanya karena Mas menanyakan perihal uang gaji Mas,” perlahan air mata Mas Arif meleleh, membuat dadaku terenyuh melihat suamiku menangis.

Aku tak sanggup berkata-kata, hanya ikut menangis di depan Mas Arif.

“Mas, ayo pergi dari sini. Kita bisa mandiri, Mas.” Aku menggenggam erat tangan Mas Arif.

Mas Arif yang baru menyadari jika aku juga menangis, dengan cepat menyeka air mataku.

“Maafkan Mas,” lirihnya lagi.

Baru saja aku hendak menjawab, terdengar suara Kak Ria dari luar.

“Arif, di mana kau Arif?”

Mas Arif menyeka air matanya, lalu bergegas keluar kamar. Aku mengikuti Mas Arif. Terlihat Kak Ria berdiri di muka pintu dengan wajah yang tak seperti biasanya.

“Ini! Uang gaji kau selama seminggu. Mulai besok, kau tak usah bantu kakak lagi.” Kak Ria melempar beberapa lembar uang merah ke wajah Mas Arif.

“Loh, ada apa ini, Kak?” sahut Mas Arif gemetar.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status