Share

Bab 6 Di Pecat

“Karena ini kan, kau menagihnya sama Ibu berulang kali dan bahkan kau menagihnya di depan orang lain?” Kak Ria marah ke Mas Arif.

Ya Allah, ada apa lagi ini.

“Kak, aku minta sama Ibu karena itu hak aku, Kak. Dan demi Allah, aku tak menagihnya di depan orang lain tapi di dalam mobil pas kami pulang.”

“Aku tak ingin mendengar penjelasan apa pun dari kau, Rif. Intinya mulai besok, kau tidak usah membantu kakak lagi!” Kak Ria beranjak pergi.

Mas Arif memungut beberapa lembar uang yang jatuh di depannya. Aku menuntun Mas Arif yang terlihat lemah ke sofa.

Mas Arif terlihat menyedihkan. Begitu lemah di hadapan kakaknya hingga tak mampu membela diri lebih jauh.

Mas Arif menggaruk kepalanya, frustasi. Ya Allah, begitu tersiksanya suamiku, di perlakukan seperti ini oleh orang terdekatnya.

“Dek, Mas harus kerja di mana besok dan seterusnya?” Mas Arif menatapku nanar.

Aku menggeleng, bingung.

“Mas akan mencoba berbicara lagi sama Kak Ria, ya Dek.”

“Jangan, Mas.” Aku membantah pembicaraan Mas Arif yang ingin memohon lagi sama Kak Ria.

“Cukup sudah Mas di permainkan oleh mereka, aku tidak ingin Mas mengemis pada saudara Mas yang lain!” tekanku pada Mas Arif.

“Tapi, Dek. Mas kerja di mana lagi kalau bukan sama Kak Ria? Tidak mungkin ‘kan Mas nganggur sementara uang sudah tidak ada?” Lagi-lagi Mas Arif menggaruk kepalanya.

Mas Arif terlihat begitu tersiksa dengan keadaan sekarang.

“Insya Allah, aku masih ada simpanan, Mas. Cukup untuk beberapa bulan ke depan. Fira mohon, Mas jangan lagi merendahkan diri di depan saudara Mas.” Mas Arif menatapku dalam. Bibirnya gemetar, seakan ingin berbicara namun tertahan.

Aku tahu kalau Mas Arif hendak menanyakan perihal uang simpanan.

“Selama ini aku menabung sedikit-sedikit, Mas. Dan aku rasa, sekarang sudah banyak.” Aku menjelaskan pada Mas Arif sebelum Mas Arif bertanya.

Mas Arif bangkit memelukku, dan menangis sesenggukan.

Aku melepaskan pelukan Mas Arif, saat mendengar tangisan Amira dari dalam kamar.

Mas Arif menatapku lalu tertawa. Kami berdua telah melupakan Amira yang sendirian di dalam kamar.

Aku dan Mas Arif masuk, dan saat melihat kami, Amira langsung tertawa. Mas Arif kembali tertawa melihat tingkah menggemaskan putrinya itu.

Aku bersyukur dan berterima kasih kepada Allah atas nikmat yang sudah aku rasakan.

Usahaku yang kini kian maju, suami yang penyabar, tulus dan sangat baik hati serta malaikat kecil yang kini hadir di tengah-tengah kami.

Oh iya, ngomong-ngomong tentang usaha, toko rotiku sekarang punya tiga cabang. Cabang utama tentunya di kota besar saat aku kuliah dulu. Usaha yang ku rintis saat kuliah, kini membuahkan hasil. Dari menyewa toko kecil milik Cina saat aku kuliah semester lima, kini toko rotiku punya gedung sendiri yang tentunya sangat megah. Aku mempercayakan kepada adikku yang sedang kuliah di kota tersebut, untuk mengelolanya. Setiap Minggu, selalu melapor tentang pemasukan toko.

Cabang kedua ada di kota terdekat, tepatnya kota tempat Ibu menjual ikan. Toko kedua juga tak kalah megahnya. Untuk cabang ini, di urus oleh teman yang sudah ku anggap seperti saudara.

Dan cabang ketiga ya ada di kota ini. Kota tempat tinggal Mas Arif, yang juga menjadi tempat tinggalku sekarang. Cabang di sini, di urus juga oleh teman yang mengelolah cabang kedua. Aku terus mengingatkannya agar jangan membocorkan ke karyawan toko, kalau akulah pemilik yang sebenarnya.

Dan sampai saat ini, karyawan dan seluruh keluarga suami tak ada yang tahu, jika aku adalah bos pemilik toko roti. Aku ingin memberitahukan pada Mas Arif, pada waktunya dan belum sekarang.

Kalau di hitung, sudah banyak kekayaan yang aku kumpulkan selama ini. Sebuah rumah mewah di Kota R, kota tempat cabang kedua toko roti, dan juga rumah mewah di kampung.

Sedangkan di kota ini, aku membeli sebidang tanah yang cukup luas, lalu membangun kontrakan elite. Dan semua aset yang aku punya, atas namaku sendiri dan sertifikatnya aku simpan di rumah orang tua di kampung.

Pemasukan dari kontrakan per bulan sangat fantastis, ditambah dengan pemasukan dari tiga cabang toko roti, cukup membuatku menjadi sultan.

Namun, aku tidak ingin menunjukkan pada keluarga suamiku, sekaya apa aku sekarang. Aku hanya ingin tahu watak mereka sekarang dan setelah tahu aku kaya.

Rasanya tak sabar, tapi aku harus menunggu.

Aku akan membalas semua perlakuan mereka yang begitu merendahkan aku dan Mas Arif.

Bagi mereka, kami adalah benalu yang menumpang hidup pada orang tua suami.

Padahal mereka tahu, jika aku dan Mas Arif sering meminta pindah. Namun, karena bapak dan Ibu yang selalu bilang kalau merawat mereka adalah mutlak kewajiban Mas Arif sebagai anak bungsu, membuat kami mengurungkan niat untuk pindah.

Kami akan mencoba berbakti kepada Bapak dan Ibu, walaupun mereka sering menjelekkan aku dan Mas Arif.

Mungkin seperti itulah orang tua, semakin tua tingkahnya semakin lain.

Lain lagi bapak mertua, selalu berbicara yang tidak sesuai dengan kenyataan.  

Jika ada orang yang datang berobat ke rumah, maka bapak akan bercerita banyak tentang aku dan keluargaku. Aku tahu karena dua kali aku mendengar langsung. Pertama Bapak bercerita kalau setiap bulan, Bapak selalu mengirim uang untuk kedua orang tuaku di kampung. Aku yang mendengarnya ingin marah dan melabrak Bapak saat itu juga, namun ku urungkan. Bagaimanapun, aku tetap menjaga nama baik Bapak di depan banyak orang. Dan saat pasien bapak pulang, aku lupa bertanya ke Bapak, kebenaran dari apa yang bapak sampaikan.

Kedua saat Bapak bercerita kalau uang panaiku sebesar lima puluh juta dan itu hasil dari keringat bapak serta patungan dari anaknya yang lain.

Aku yang mendengarnya hanya tertawa, padahal nyatanya di dalam uang panaiku saat itu, sepeser pun tak ada uang bapak apalagi anak-anaknya.

Lima puluh juta itu didapat dari arisan Mas Arif, patungan dari teman-temannya, dan sisanya aku sendiri yang tambah.

Untuk soal uang, aku memang tak peduli asalkan aku bahagia menikah dengan Mas Arif. Tak peduli jika aku sendiri yang membayar uang panai.

Lucu memang, tapi itulah cinta. Cinta yang membuatku bisa melakukan semuanya.

Cinta pada lelaki Sholeh dan lemah lembut seperti Mas Arif.  

Awalnya orang tuaku meragukan Mas Arif, akhirnya luluh saat ku yakinkan jika kelak aku bahagia dengan Mas Arif.

Dan sekarang, dengan segala perlakuan dan  masalah yang ditimbulkan kakak ipar dan mertua, aku masih tak peduli.

Aku akan terus bertahan, karena lelaki halalku masih mencintaiku dan tidak menyakitiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status