Share

Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua
Karena Usia, Kunikahi Duda Anak Dua
Author: Arira

Bab 1. Permintaan Ibu

"Untuk apa kamu berpikir lagi, Yun? Kamu itu sudah tua. Umurmu sudah tiga puluh empat tahun. Umur segitu, ibu sudah punya anak empat," ucap ibu saat aku menolak keinginannya menerima lamaran laki-laki yang ditawarkan Paman Surya.

Aku menatap sedih pada ibuku. Ibu yang dulu selalu membelaku saat kerabatku menghinaku dengan sebutan perawan tua. Sekarang ikut mendesakku untuk segera menikah.

"Tapi laki-laki itu sudah tua, Bu. Dia juga punya anak dari pernikahannya yang dulu," aku memberi alasan.

Ibu mendecih. "Memangnya kamu berharap laki-laki lajang yang akan meminangmu? Ingat, Yun. Usiamu tidak muda lagi. Ya, jodohmu tentu juga yang sudah tua," kilah ibu.

"Tapi Bu, paman bilang dia duda cerai," aku masih mencoba mengelak.

"Yun, duda cerai pun sudah bagus untukmu. Sekarang ini, banyak laki-laki yang tidak mau sama perawan tua. Mereka maunya sama yang muda. Termasuk duda cerai sekalipun!" tandas ibu seraya menatapku.

Kata-kata ibu semakin menyakiti hatiku. Ingin aku berteriak padanya, jika aku juga ingin hidup bahagia dengan laki-laki pilihanku. Namun kalimat itu kelu di lidahku.

"Yun, Pamanmu pernah bilang pada ibu, jika kali ini kamu menolak lagi, dia tidak akan mengurusi kita lagi. Kamu tahu sendiri, Yun. Pamanmu itu pengganti ayahmu sejak beliau meninggal. Entah bagaimana nasib kita jika pamanmu benar-benar mengabaikan kita," keluh ibu dengan tatapan mengibanya.

Jantung aku seperti di palu kuat. Aku menunduk makin dalam.

"Apa kamu masih menunggu laki-laki itu, Yun?"

Aku tersentak dan menatap mata ibuku. Kenapa ibu membicarakan laki-laki bejat yang meninggalkanku saat di pelaminan? Aku berusaha keras melupakannya. Laki-laki yang mengukir janji tapi berkhianat dengan saudara sepupuku sendiri.

"Ibu, kenapa ibu menorehkan asam di lukaku lagi?" lirihku bertanya pada ibu.

Ibu terperangah. Ia merasa bersalah. Ibu menghela nafas berat.

"Ibu hanya takut jika dia yang menjadi alasanmu menolak semua pinangan laki-laki lain. Maafkan ibu, Yun. Banyak kata-kata yang tidak mengenakkan datang dari keluarga kita karena statusmu sekarang."

Aku kembali menunduk. Air mata mengalir pelan di pipiku.

"Yun, Rani sudah di pinang oleh pacarnya. Rani mendesak ibu untuk menikahkannya dengan pacarnya itu. Tapi ibu tidak mau jika kamu dilangkahi, Yun. Kamu sudah dua kali dilangkahi adikmu, masa adik bungsumu mau melangkahi kamu juga. Ibu jadi bingung, Yun!" beri tahu ibu.

Oh, pantas ibu mendesakku terus. Ibu pernah bilang padaku saat adik ketigaku menikah. Ia tidak mau jika adik bungsuku ikut melangkahi aku juga. Ia ingin jika aku menikah lebih dulu dari pada Rani.

"Jika Rani memang sudah ada jodohnya, aku tidak keberatan dia menikah dulu, Bu," ucapku kala itu.

"Bukan masalah kamu keberatan atau tidak, Yun!" Suara ibu terdengar kesal. "Ibu tidak mau kamu dilangkahi lagi. Tapi ibu tidak bisa menghalangi niat Rani juga. Dia sekarang sudah berumur dua puluh enam tahun. Umur yang sudah pantas untuk menikah. Ibu tidak mau jika dia jadi perawan tua juga seperti kamu!" tekan ibu dengan marah.

Aku menatapnya sedih. Ibu hanya memandangku dengan kesal. Ia kemudian berdiri dan meninggalkanku.

Air mataku mengalir deras. Ingin rasanya aku pergi dari rumah ini. Tapi kemana? Kemana aku harus melangkah?

Aku teringat dengan Farid, laki-laki yang dulu pernah mengisi hatiku hingga lima tahun. Selama lima tahun aku merajuk kasih dengannya, tidak pernah ada tanda-tanda jika ia akan mengkhianatiku. Namun kenyataannya ia pergi saat ia sudah menjanjikan mahligai pernikahan di depan orang tuaku. Ayah dan ibu menerima dengan senang hati saat pinangan dari orang tua Farid datang padaku. Pernikahan akan berlangsung tiga hari lagi, dan undangan juga sudah tersebar pada handai taulan. Di hari pernikahan, saat aku sudah dihiasi dengan cantik bak bidadari. Farid, laki-laki yang aku kira baik, ternyata tega meninggalkan aku di pelaminan dan menorehkan malu pada keluarga besarku.

Ayah sangat marah, ia menuntut tanggung jawab pada calon besannya. Namun mereka pun tidak mengetahui alasan Farid meninggalkan aku di pelaminan. Seminggu penuh aku tumpahkan air mata untuknya. Dan berbulan-bulan bagiku mengurung diri karena malu.

"Yun! Yuni!" Ibu menyentakkan aku dari lamunan. Ia kembali lagi. "Tadi ibu dapat telpon dari Pamanmu, katanya laki-laki itu akan datang ke sini untuk mengenalmu," ucap ibu. Aku menoleh pada ibuku.

"Jadi bagaimana? Nanti sore, laki-laki itu akan datang menemuimu. Dia datang bersama abangnya. Jika kalian cocok, bisa sekalian dianggap pinangan," ucap ibu mendesakku.

"Aku…aku belum siap, Bu!" ucapku lirih dan menunduk makin dalam.

Ibu menghela nafas berat. Ia terlihat putus asa. "Sudah beberapa tahun yang lalu, kamu juga berkali-kali mengatakan belum siap. Tunggu berapa tahun lagi, baru kamu siap, Yun?" tukas ibu dengan wajah kecewa.

Aku diam. Tubuhku gemetar dengan gemuruh perasaan di hatiku.

"Yun, ibu mohon! Kali ini, terimalah laki-laki itu. Siapa tahu dia laki-laki terbaik yang Allah berikan padamu. Tolong, nak! Jangan lagi tutup pintu hatimu!" Wajah ibu memohon padaku begitu terlihat menyedihkan. Aku seperti anak durhaka karena menghadirkan air mata di mata ibu yang aku sayangi.

Aku menatap ibuku. Air mataku pun ikut mengalir. "Jika menurut ibu, dia yang terbaik." Aku diam sejenak. Menjeda kalimatku dan menata hatiku yang terasa tertekan. "Aku bersedia mengikuti kemauan ibu," ucapku dengan suara yang semakin rendah. Aku menunduk, menyembunyikan air mataku yang mengalir deras.

"Alhamdulillah, nak!" Ibuku langsung memelukku erat. Wajah sedih itu sudah berubah cerah dan bahagia meskipun masih ada sisa-sisa air mata.

Baiklah, bu. Demi senyum itu, aku rela menyimpan tangisku dalam hati. Mudah-mudahan keputusan yang ibu buat, bisa membuatku bahagia. Hanya itu dia yang aku panjatkan padaNya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status